Chapter 1 Part 3
Pukul 18.20
Aku tiba di depan pos satpam untuk menemui penjaga komplek. Dia selalu duduk di sebuah kursi plastik berwarna putih, satu satunya yang ada di dalam pos. Dia jarang keluar atau berpindah dari tempat duduknya. Matanya memandang dengan tajam, ke sebuah jendela di pos itu.
Ada dua jendela di pos itu. Keduanya terletak saling berseberangan satu sama lain. Jendela yang pertama, mengarah ke jalan raya di dalam komplek, yang kutulis di penjelasan tentang akademi. Jendela yang kedua mengarah ke jalan raya di luar area komplek. Dengan begitu, satpam bisa memantau kedua sisi sekaligus.
Sementara itu, kursi plastik yang kutulis sebelumnya terletak di antara dua jendela itu. Si satpam biasa memutar posisi kursi plastik itu jika dia ingin mengubah posisi duduknya, menghadap ke jendela pertama atau jendela kedua.
Tapi aku beruntung karena saat ini dia sedang duduk menghadap ke jendela pertama. Aku bisa segera berbicara dengannya tanpa harus memanggilnya terlebih dahulu.
Si satpam itu menatapku dengan tatapan yang menyeramkan sambil berkata, "Ada apa nak?" Meski tatapannya menyeramkan, sebenarnya dia adalah orang yang baik.
Aku mengangguk sambil menjawab dengan tegas, "Saya mau minta surat izin keluar komplek."
"Ya sebentar," balas satpam itu.
Tanpa basa basi lagi, satpam itu mengayunkan tangan kanannya untuk meraih sebuah meja kayu di depannya. Di atas meja itu, ribuan kertas tersebar secara berantakan. Dia meraih salah satu kertas untuk kemudian diserahkan kepadaku melalui jendela yang terbuka di depannya.
Aku mengayunkan tangan ke depan untuk meraih kertas itu. Di atas kertas itu tertulis lima buah poin yang masing masing poin, terdapat sebuah kata yang diakhiri dengan tanda titik dua. Setelah tanda titik dua itu, puluhan tanda titik berbaris hingga ke ujung kertas. Aku harus menulis di atas puluhan tanda titik itu.
Benar! Kertas itu adalah surat izin keluar kompleks, atau begitulah aku akan menyebutnya mulai dari titik ini.
Setelah menerima surat izin itu, si satpam kembali menatapku dengan tatapannya yang menyeramkan sambil berkata, "Silahkan diisi. Sudah tahu caranya kan?"
Aku mengangguk. Dia cukup peduli dengan anak kelas satu yang mungkin masih belum tahu banyak hal tentang akademi, meski ini sudah semester kedua kami.
Aku mengeluarkan bolpoin dari saku jaketku dan mulai mengisi surat izin itu. Mengisi surat izin bukanlah hal yang spesial. Karena itulah, aku tidak akan menceritakan bagaimana caraku mengisinya.
Sebelum aku beralih meninggalkan pos satpam, dia memberiku sebuah peringatan yang biasanya juga dia katakan pada orang lain yang ingin keluar dari area komplek.
"Segera pulang sebelum jam delapan malam. Banyak penjahat yang berkeliaran di atas jam itu. Anak anak dibawah umur menjadi korban mereka. Kita tidak tahu apa yang akan mereka lakukan pada korbannya," katanya seperti menghafal sesuatu.
"Hati hati agar tidak bertemu mereka. Jika bertemu, segera lari, atau melawan mereka jika kau percaya diri. Walaupun begitu, ingat aturan akademi untuk tidak menggunakan kemampuanmu dan menimbulkan kecurigaan," katanya menyambung peringatannya yang belum selesai.
Setelah mengurus surat izin yang memakan banyak waktu itu, aku pun menempuh perjalan menuju toko terdekat. Kira-kira waktuku terbuang lima menit untuk mengisi surat izin itu.
Ini bukanlah kali pertamanya aku meminta izin keluar komplek. Sejak semester pertama, aku sudah sering keluar untuk membeli berbagai perlengkapan, seperti yang kulakukan saat ini.
Jalan yang kulalui hari ini, bukanlah jalan yang asing. Jalan ini adalah jalur antar provinsi, yaitu jalan utama yang menghubungkan kota ini dengan kota lain yang terletak dalam provinsi yang berbeda. Selain itu, jalan ini memang sering dilalui oleh anak anak di akademi jika ingin membeli sesuatu di toko.
Tokonya sendiri, letaknya tidak terlalu jauh dari akademi. Setelah keluar dari gerbang selatan komplek, karena komplek memiliki dua gerbang, cukup berjalan sekitar tiga puluh meter ke timur. Sebuah toko perlengkapan akan terlihat di seberang jalan.
Uniknya, aku tidak jadi menceritakan apa yang kulakukan selama berjalan kaki menuju toko karena aku sibuk menjelaskan cara menuju toko, yang secara tidak langsung juga menceritakan hal yang kulakukan saat berjalan kaki.
Aku menghentikan langkah. Toko perlengkapan yang kumaksud sudah berada tepat di sebelah kananku. Jarak di antara kami hanya terpisah oleh jalan raya yang ramai dengan kendaraan.
"Saatnya menyebrang," aku bergumam sambil menghadap ke arah jalan raya.
***
Entah apa yang terjadi setelah itu. Kepalaku terasa berat. Pandanganku kabur. Bencana apa yang menimpaku saat ini? Sebelumnya, aku mendengar seperti suara kayu menghantam besi.
"Jaket yang kau pakai itu Clothes of Chaos kan!" tiba tiba terdengar sebuah seruan dari depanku.
"Semua pemilik Clothes of Chaos adalah musuh kami!" seruan lain menyusulnya.
Aku mencoba untuk menggosok kedua mataku. Tidak bisa! Sesuatu menahan tanganku agar tidak bergerak!
"Dimana aku?" gumamku.
Tiba tiba terdengar suara benda menghantam angin, disusul tubuhku yang terpental ke kiri. Pundak dan dadaku terasa sakit. Aku tidak tahu apa yang terjadi.
Jeda sejenak. Suara barusan terdengar lagi. Tubuhku berguling ke kiri. Seluruh tubuhku terasa sakit, rasa sakit yang memaksaku untuk membuka mata dan memulihkan kesadaran.
Hal yang pertama kali kulihat saat sadarkan diri adalah seorang remaja yang berbaring di salah satu sisi ruangan. Tubuhnya diikat oleh tali tampar agar dia tidak bisa bergerak. Dari postur tubuhnya, mungkin dia seumuran denganku.
Aku merasa familiar dengannya. Kurasa aku pernah bertemu dengan remaja itu sebelumnya. Tentu saja! Tak lain dan tak bukan, dia adalah Gen, teman sekamarku yang bolos sekolah hari ini.
Kenapa Gen ada di tempat ini? Kini aku mencoba mencari tahu apa yang sedang terjadi. Aku merasa kalau tubuhku sedang berbaring di lantai. Tangan dan kakiku tidak bisa digerakkan, keduanya diikat dengan erat oleh tali tampar yang sama seperti pada Gen.
Tiba tiba aku menggulingkan badan ke kiri. Suara benda yang sebelumnya kembali terdengar, disusul raungan marah.
"Suara apa itu?" pikirku.
Aku menaikkan pandangan untuk melihat benda asal suara. Belum sempat aku melihatnya, suara benda itu kembali terdengar. Tubuhku lalu terpental beberapa meter dari tempat barusan. Rasa sakit yang kini kurasakan semakin menjadi - jadi.
Aku menjerit saat tubuhku menghantam lantai. Sepertinya, tulang belakangku patah. Kalau begini, aku harus segera melepaskan jeratan di kedua tanganku.
Dari tempatku sekarang, aku melihat dua pria berusia dua puluh tahunan berdiri berhadapan di atas lantai tempatku berbaring dua menit yang lalu. Mereka kembar, karena keduanya memiliki wajah yang mirip. Satu-satunya perbedaan yang tampak adalah pria yang pertama rambutnya berwarna merah sementara pria yang kedua rambutnya berwarna coklat.
Keduanya memakai pakaian yang sama, yaitu sebuah kaos kutang dan celana pendek. Badan mereka kurus. Sebuah tato berwujud naga berwarna merah gelap menghiasi lengan kanan masing-masing dari mereka.
Saat ini aku menyimpulkan banyak hal. Sebelumnya, saat aku akan menyebrangi jalan raya, seseorang mendekatiku dari belakang dan menghantamkan sebuah tongkat besi ke kepalaku. Hantamannya yang keras lantas membuatku tidak sadarkan diri.
Lalu, dia dan teman-temannya membawaku ke tempat ini. Mereka sedang menginterogasiku dengan memukulku dan menendangku hingga aku terjatuh ke lantai. Namun, dilihat dari cara mereka bergerak, mereka seolah tahu kalau akan ada anak akademi di pinggir jalan itu.
***
Aku mendengar suara hentakan kaki lima kali dari telinga kananku. Perkataan, "Kami akan membunuhmu terlebih dahulu." terdengar menyusul suara hentakan kaki itu.
Dalam posisi berbaring aku menoleh ke kanan. Ternyata, dari tadi di sebelah kananku ada pria ke ... bukan! Ada tiga pria di dalam ruangan ini. Dua kembar itu, dan satu pria gemuk yang lebih pendek dari Si Kembar.
"Siapa kau?!" aku memberanikan diri untuk berseru.
Suara benda, pukulan kembali terdengar. Tubuhku berguling ke kanan. Itu bukan jawaban yang kuharapkan, atau itulah cara mereka menjawabnya. Pukulan barusan tidak terasa menyakitkan, mungkin karena aku sudah terbiasa menerima pukulan mereka.
Orang pertama, yaitu salah satu dari Si Kembar menunduk untuk menatapku. Wajahnya menyeringai sambil berkata, "Jawab pertanyaanku dulu sialan!"
Seringainya yang menyeramkan menakutkanku. Aku pun memalingkan wajah darinya. Soal pertanyaan yang dia maksud, itu adalah pertanyaan yang dia tanyakan dua puluh tiga paragraf di atas paragraf ini saat dia sedang menginterogasiku.
Orang pertama bergumam, "Cih tidak mau menjawab." dengan kesal. Lalu dia berdiri tegak sambil menoleh kepada orang kedua.
Sementara ketiga orang itu berbincang bincang, aku mencoba berpikir bagaimana cara untuk melepaskan ikatan tali ini dan kabur dari sini, dengan membawa Gen tentunya.
Karena ini adalah pikiranku dan karena aku yang menulis cerita ini maka, isi pikiranku tidak akan tertulis di antara tanda petik dua, sebenarnya aku sudah menggunakan cara ini dari awal bab atau episode ini.
Aku tidak boleh melanggar aturan akademi supaya tidak dimarahi oleh guru sesampainya disana. Aku pernah melihat di televisi, sebuah sulap dimana tangan dan kaki si pesulap diikat oleh tali, seperti yang terjadi padaku saat ini.
Dalam hitungan detik, si pesulap berhasil melepas ikatan tali itu sekaligus membebaskan tangannya. Tanpa menggunakan alat satupun. Tapi, ikatan tali di tangan dan kaki pesulap itu pasti sudah diatur sedemikian rupa agar mudah untuk dilepaskan.
Di lain tempat, ada sebuah cerita dimana si tokoh utama berhasil melepaskan diri dari ikatan tali dengan cara menggesekkan ikatan itu ke sebuah benda tajam. Lagi-lagi, aku tidak menemukan benda tajam di ruangan ini.
Selain itu, dia melakukannya saat terkurung di sebuah ruangan, tidak mungkin untuk kulakukan karena jika aku mencoba untuk bergerak sedikit, preman itu akan tahu dan mereka pasti langsung memukulku,
Terakhir, aku tidak bisa memikirkan cara lain. Lagipula, apa tujuan guru di akademi melarang kami untuk menggunakan Spirit Ability di luar komplek? Apakah untuk menyembunyikan keberadaan Clothes of Chaos dari dunia luar?
Tapi dari pertanyaan preman itu, entah berapa paragraf di atas paragraf ini karena aku malas menghitung ulang, mereka sepertinya tahu soal akademi dan Clothes of Chaos.
Aku kembali mendongak ke atas untuk melihat orang kedua yang kini diam menunggu perintah dari orang pertama, begitu pula dengan yang gemuk, sebut saja orang ketiga.
"Lepaskan jaket anak itu!" tiba tiba orang pertama berseru memerintah. Perkataan, "Itu pasti Clothes of Chaos!" menyambung seruan itu.
Orang kedua mengangguk. Dia berjalan mendahului orang pertama dan menghampiriku.
Sementara itu, orang ketiga mendengus sambil menghentakkan kaki kanannya puluhan kali. Aku menyimpulkan kalau itu adalah kebiasaannya saat dia sedang tidak sabar.
Sepuluh senti jarak antara orang kedua dengan tubuhku, aku menyadari sesuatu. Dari awal, aku terikat sambil memakai jaket. Entah mereka ini bodoh atau apa, tapi aku bisa menggunakan Spirit Ability dari awal tadi jika aku mau.
***
Tidak ada gunanya lagi untuk mempertahankan peraturan akademi! Tidak akan kubiarkan mereka mengambil jaketku!
Orang kedua berhenti di sampingku. Dia membungkuk dan menatap wajahku sambil menyeringai seram seperti yang dilakukan orang pertama sebelumnya. Sepertinya dua kembar itu sama sama mempunyai wajah yang seram.
Tapi, aku tidak akan takut atau memalingkan pandanganku lagi. Ada yang pernah berkata padaku kalau seseorang bisa membaca pikiran orang lain ketika mereka saling adu tatapan.
Karena itulah, aku mencoba membalas seringainya dengan menyeringai seseram mungkin sambil menatap matanya untuk memberikan kesan kalau aku sedang menentangnya.
Tiba tiba, orang kedua mendongak sambil berkata, "Kau cukup tenang untuk seorang yang telah ditangkap dan sebentar lagi akan kami bunuh," seolah sedang mengejekku.
Aku menghembuskan nafas pelan sambil menjawab, "Itu karena kalian sudah melakukan kesalahan yang bodoh." Apakah emosi orang kedua akan terpancing saat mendengar jawabanku?
Wajah orang kedua menunjukkan emosi marah. Dia kembali menyeringai sambil berseru, "Kurang ajar!"
Telapak tangan kanannya menggenggam. Dia mengayunkan genggaman itu ke depan, bersiap untuk mengayunkan pukulan bertubi - tubi.
Tapi sayang sekali. Aku berbisik, "Spirit Ability" sebelum pukulan itu mengenaiku. Apa yang kubisikkan itu adalah kunci untuk mengaktifkan kemampuan dari jaket yang sedang kupakai.
Tiba tiba saja, tubuh orang kedua terlempar ke belakangnya. Dia berteriak, "AAAAHHH!!!" dan matanya membelalak karena kaget.
Teriakan itu memancing orang pertama dan ketiga untuk menoleh, melihat orang kedua. Dan tebak apa yang terjadi. Ya! rasa terkejut yang dialami orang kedua mengalir kepada orang pertama dan ketiga.
Tubuh orang kedua melayang dan menghantam tembok dengan keras, beruntung tidak mengenai orang pertama dan kedua yang berdiri. Kemudian dia jatuh ke lantai sambil merintih kesakitan.
Jeda sejenak. Orang pertama dan ketiga saling berhadapan. Mungkin mereka sedang berdiskusi dan bertanya - tanya soal apa yang terjadi kepada orang kedua.
Selama momen sesaat ini, aku mencoba untuk melepaskan ikatan tali di kedua tangan dan kakiku. Pergelangan tangan dan kakiku terasa kesemutan saat ikatan tali itu telah lepas.
"Tembak dia!" tiba tiba orang ketiga berseru.
Dia memasukkan tangan kanan ke saku celanannya. Apa yang kira - kira akan dia lakukan? Orang pertama juga ikut - ikutan melakukan hal yang sama. Aku melihat kalau tangannya seperti meraba - raba sesuatu.
Secara bersamaan mereka mengeluarkan sebuah senjata api berjenis revolver, yaitu senjata api yang memiliki selongsong peluru berbentuk silinder di tengah tengah badan pistol. Akan memakan waktu cukup lama untuk menjelaskan cara kerja senjata itu.
Secara bersamaan pula, mereka menodongkan senjata api itu tepat ke wajahku. Reflek, aku mengangkat kedua tangan ke samping kepala seperti yang dilakukan oleh seorang penjahat saat tertangkap polisi, bedanya, disini merekalah penjahatnya.
Terdengar suara dentuman dua kali. Kemudian jeda sebelum empat kali suara dentuman kembali terdengar. Dengan kecepatan secepat mengedipkan mata, pelatuk senjata api itu telah ditarik dan peluru melesat ke arahku.
Aku tidak sempat melihatnya. Mereka telah menembak dan aku akan mati, atau terluka parah terkena tembakan. Namun, alih - alih melukaiku, peluru itu justru terhenti dan menggantung di udara, beberapa senti di depan wajahku.
Wajah orang pertama dan orang ketiga seolah berkata, "Tidak mungkin." Melihat ekspresi mereka, aku tersenyum tipis sambil berkata,"Inilah kesalahan bodoh yang kumaksud."
Tanpa membuang - buang waktu lagi aku memutuskan untuk segera menghabisi mereka dan kabur dari sini, dengan membawa Gen tentunya.
Masih ketika kedua orang di depanku sedang kaget, sepertinya tiga preman ini suka kagetan, aku merentangkan tangan kanan ke depan, dengan telapak tangan terbuka dan jari - jari tidak saling menempel.
Kemudian aku mendorong telapak tanganku ke depan. Sesaat, aku merasakan ada angin lembut di depan telapak tanganku. Angin itu bergerak mengiringi dorongan telapak tanganku.
"Terlemparlah," bisikku.
Sama seperti sebelumnya, dua orang itu juga terlempar ke belakang. Mereka menabrak tembok yang sama dengan yang ditabrak oleh orang kedua sambil merintih kesakitan. Tubuh mereka tergeletak di sebelah orang kedua yang sudah pingsan terlebih dahulu.
Jadi kesimpulannya, aku harus melanggar aturan akademi untuk melawan mereka. Aku tidak berniat untuk melukai mereka. Orang ketiga sempat sadarkan diri beberapa detik saat tubuhnya menghantam tembok.
"Sial," dia menggeram di tengah tengah rasa sakitnya sambil mengayunkan salah satu tangan ke depan.
***
Saat ini aku melihat kalau Gen sedang merintih kesakitan. Wajahnya penuh dengan luka. Kelopak salah satu matanya terluka sehingga dia tidak bisa membuka penuh mata itu. Terdapat lebam biru di pipi kirinya.
Selain itu, terdapat goresan berwarna merah di sepanjang pergelangan tangan dan kakinya, tempat tali itu mengikatnya. Ada kemungkinan kalau ketiga preman itu sudah memukulinya sebelum mereka menangkapku.
Tahu apa yang paling parah? Gen sedang memakai jaket Clothes of Chaosnya. Parah sekali sampai - sampai, seolah preman itu sedikit tahu soal aturan akademi. Aneh sekali.
Aku berjalan menghampirinya sambil bertanya, "Apa kau baik baik saja Gen?"
"Jangan terlalu khawatirkan aku," Dia menjawab.
Berangsur - angsur luka pada wajah Gen mulai menghilang, luka dan lebam itu melebur dengan warna coklat kulit dan raib begitu saja. Wajahnya menjadi pulih seperti semula.
Aku telah tiba di sebelahnya saat Gen berkata, "Tadi kau menggunakan Spirit Ability jadi kupikir aku juga akan menggunakannya." Lalu aku berjongkok agar bisa meraih tubuhnya.
Namun, perkataan Gen itu memberiku rasa penasaran. Karena penasaran itulah aku pun bertanya, "Kenapa tidak digunakan dari awal saja?"
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro