Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Epilog

Ibu memboncengku di atas sepeda motornya. Saat ini, kami sedang melesat di jalan raya dengan kecepatan enam puluh kilometer per jam. Angin kencang menerpaku dari depan, meskipun terhalang oleh badan ibu.

Lewat lenganku yang memeluk badan ibu, aku merasakan kalau ibu sedang panik. Aku pun bertanya, "Ada apa dengan ibu?" di dalam hati tentunya. Sebelumnya, ibu tidak pernah sepanik ini. Sepeda motor meraung saat ibu menaikkan kecepatannya ke delapan puluh kilometer per jam. Aku memeluk badan  ibu erat - erat agar tidak terhempas oleh angin.

Beberapa menit kemudian, aku melihat komplek perumahan tempatku tinggal di kiri jalan. Alih - alih memelankan kecepatan, ibu terus memacu sepeda motornya  hingga melewati komplek perumahan itu.

"Loh bu!" protesku sambil menggoyang - goyangkan badan ibu.

Tunggu sebentar! Ibu tidak mungkin melewati komplek perumahan itu dengan sengaja. Apa tujuan ibu membawaku bukan untuk pulang, melainkan ada hal lain yang lebih penting?

Sepeda motor terus melaju, melewati berbagai bangunan di kiri dan kanan jalan. Dua kilometer berlalu, sepeda motor yang kunaiki melewati bawah jembatan layang. 

Tak terasa, lima kilometer telah kulalui. Sepeda motor yang dikendarai dengan cepat oleh ibu membuat perjalanan jauh ini hanya memerlukan waktu kurang dari lima belas menit, menunjukkan betapa terburu - burunya ibu saat ini.

Laju sepeda motor semakin pelan, lama - lama terhenti, saat kami tiba di halaman sebuah rumah sakit umum terbesar di kota ini. Dari depan halamannya saja terlihat bahwa saat ini, rumah sakit sedang ramai. Puluhan orang—dewasa dan anak - anak—berlalu lalang di sana.

"Cepatlah," kata ibu setelah memarkirkan sepeda motornya di lapangan parkir.

Aku pun bertanya, "Ada apa bu?" namun tidak dihiraukan oleh ibu.

***

Ibu berjalan setengah berlari, memasuki bangunan rumah sakit. Aku mengikutinya dari belakang dengan terengah - engah. Jangan sampai badan ibu menghilang dari pandanganku. 

Langkah ibu terhenti di depan lift. Saat ini, kedua pintu lift sedang tertutup. Di sebelah kiri pintu lift itu terdapat sebuah tombol bundar bergambar panah ke atas yang nyalanya kelap -  kelip. Di bagian atas lift terdapat sebuah layar yang menunjukkan angka tiga berwarna merah.

Selain ibu, ada wanita lain yang juga sedang menunggu lift. Dia merangkul seorang bayi laki - laki yang digendongnya dengan  sebuah selempang berwarna coklat. 

Beberapa saat menunggu dalam keheningan, gambar di layar di atas lift menunjukkan angka satu, disusul dengan terbukanya kedua pintu lift ke samping. Aku, ibu, dan wanita yang sedang menggendong bayi itu pun berjalan memasuki lift. 

Di dalam lift, kulihat tangan ibu menekan tombol menuju ke lantai lima, lantai terakhir di rumah sakit ini. Kenapa harus lantai lima? Seingatku, tidak ada ruang rawat jalan di lantai lima. Aku menjadi semakin penasaran, di samping perasaan tidak enak yang terus kurasakan.

Wanita yang sedang menggendong bayi itu turun di lantai tiga, sementara kami masih harus naik dua—tidak, satu lantai lagi. Tidak ada lantai bernomor empat di rumah sakit ini, entah apa sebabnya.

Terdengarnya suara bel menandakan bahwa lift telah tiba di lantai lima. Kami pun melangkah keluar dari lift. Sesaat, kulihat kalau ibu sedang menghela nafas dengan pandangan yang tertuju ke atas. 

Kemudian, ibu berlari di sepanjang koridor dan aku ikut berlari di belakangnya.

Ke mana ibu mau membawaku kali ini?

Dua menit kemudian, langkah ibu terhenti di depan sebuah kamar pasien bernomor 524. Berhentinya langkah ibu yang tiba - tiba itu membuatku rem mendadak di belakangnya, hampir saja menabrak punggung ibu. 

Kami menghadapkan badan ke pintu kamar itu. Aku menghela nafas, bersiap dengan segala kemungkinan yang mungkin menantiku di dalam sana. Ibu mengulurkan tangan kanannya ke depan, perlahan - lahan memutar gagang pintu itu.

Begitu pintu kamar terbuka, ibu menghambur masuk ke dalamnya. Sementara itu, langkahku terhenti sesaat setelah terbukanya pintu.

***

Ti-tidak mungkin!

Tenggorokkanku tercekat. Di dalam kamar itu, tubuh ayahku terbaring kaku di atas tempat tidur. Di samping tempat tidur, terdapat dua buah kursi yang diduduki oleh ibu dan dokter. Seorang suster berdiri di belakang dokter dengan kedua tangan memegang sebuah jilidan kertas.

Dua kematian berturut - turut. Aku tak sanggup melihatnya lagi.

Tiba - tiba, ibu dan dokter melirik ke arahku. Pandangan mereka yang berkaca - kaca menggugah hatiku. Saat ini, aku hanya bisa berdiri mematung di depan pintu kamar dengan keringat dingin membasahi seluruh tubuhku.

"Ayah kenapa?" gumamku.

[TO BE CONTINUED]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro