Chapter 9 Part 2
27 September 2014
Dan terjadi lagi. Pak Steven memanggilku ke ruang guru setelah jam sekolah selesai. Aku tahu, Pak Steven memanggilku bukan tanpa alasan. Ini adalah "udang dibalik batu," pada ada maksud tertentu yang membuat Pak Steven memanggilku.
Lewat SMS, dia mengatakan, "Selesai jam sekolah nanti, tolong datang ke ruang guru. Aku menunggumu di mejaku."
Aku pun membalas, "Mejanya Pak Steven yang mana ya?" namun oleh Pak Steven malah dibalas, "Berulang kali aku memanggilmu ke ruang guru dan kamu masih tidak tahu dimana mejaku?"
Akibatnya, kebohonganku itu terungkap. Parah memang, membuatku terpaksa menuruti perkataannya dengan membalas, "Maaf pak, saya akan ke sana."
Sepuluh menit berlalu, Pak Steven tidak membalas SMSku yang terakhir. Hal ini membuatku berpikir kalau dia marah denganku.
Hubunganku dengan Pak Steven memang selalu buruk. Mungkin, dia tahu kalau aku mengambil lima gorengan dan hanya membayar satu di kantin saat jam istirahat tadi. Tapi, bukankah aku sudah memastikan tidak ada siapa pun di kiri, kanan, depan, dan belakang?
Tidak juga. Justru keberadaan anak – anak lain di kiri, kanan, depan, dan belakang adalah yang mempermudahku untuk menjalankan misi rahasia itu. Karena banyaknya anak, penjaga kantin pasti tidak memperhatikan jumlah gorengan yang diambil oleh setiap anak. Jadi, setiap anak bebas menentukan berapa gorengan yang ingin dibayarnya.
Jangan – jangan, saat itu Pak Steven ikut mengantri di belakangku? Kalau begitu, aku tidak perlu memenuhi panggilannya di ruang guru nanti.
Mudah mengatakannya. Bagaimana caraku melarikan diri? Ini adalah Pak Steven, guru yang berulang kali berhasil mencegahku saat aku ingin melarikan diri, bahkan membongkar cara yang kulakukan untuk kabur. Dia pasti sudah menghafal berbagai macam cara kabur milikku.
Jadi, apa seharusnya aku memenuhi panggilannya? Tentu saja tidak. Aku masih punya cara lain untuk kabur. Tak akan kubiarkan Pak Steven menangkapku kali ini.
"Pulse!" tiba – tiba suara perempuan memanggilku.
"Tolong jawab pertanyaan ini," sambung suara itu.
Aku pun terbangun dari lamunan. Rupanya, saat ini aku sedang berada di kelas, duduk di bangkuku dengan tangan kanan menopang kepala dan pandangan tertuju ke papan tulis di depan kelas.
Di sana tertulis berbagai rumus matematika yang tidak kumengerti, rumus – rumus seperti V sama dengan empat per tiga dikali phi dikali R pangkat tiga. Saat melihat tulisan – tulisan itu, seluruh tubuhku terasa lemas dan kedua mataku terasa berat.
Namun, karena guru matematika telah memanggilku, aku pun bangkit dari tempat duduk sambil menutup mulutku yang terbuka lebar dengan telapak tangan kanan.
Kemudian, aku menggeser pandanganku di sepanjang papan tulis, mencari pertanyaan yang harus kujawab. Sepertinya, itu adalah gambar kubus yang di dalamnya terdapat bola berdiameter sama dengan panjang sisi kubus, membuat setiap kutub bola bersentuhan dengan setiap sisi kubus.
Aku tahu soal ini. Rumus volume kubus adalah panjang sisi dipangkatkan tiga, sementara rumus volume bola adalah tulisan yang kulihat sebelumnya. Ini adalah soal yang mudah. Dalam sekejap aku sudah menemukan jawabannya.
Aku pun berjalan ke depan papan tulis sambil berkata, "Iya bu."
Guru matematika memberikan kapur miliknya kepadaku. Aku pun mengambil kapur itu dari tangannya dan menggunakannya untuk menulis jawaban yang sudah kupikirkan.
Dalam waktu singkat, aku telah menjawab pertanyaan itu. Setelah itu, aku berdiri menyampingi papan tulis—menghadap kepada guru matematika—sambil berkata, "Sudah selesai bu."
Guru matematika menghadapkan badannya ke papan tulis, lalu membaca jawaban yang kutuliskan tadi. Inilah saat – saat yang menentukan, benar tidaknya jawabanku. Tentunya, aku tahu kalau jawabanku pasti benar. Tanpa melihat jawabanku pun, seharusnya guru matematika sudah menyadarinya.
"Jawabannya sudah benar. Silahkan duduk kembali, Pulse," sesuai dugaanku, guru matematika berkata seperti ini.
Ini benar – benar meningkatkan kesombonganku. Aku pun kembali duduk di bangkuku dengan perasaan banga. Sangat bangga, sampai – sampai rasa lelah akibat melihat soal di papan tulis itu pun lenyap. Sekarang, aku merasa kalau aku bisa melakukan banyak hal, termasuk melarikan diri dari Pak Steven.
Tapi, menjawab soal barusan membuang banyak waktu yang kuperlukan untuk memikirkan cara untuk kabur.
"Soal selanjutnya," perkataan guru matematika terhenti.
Dia melemparkan pandangannya ke seisi kelas. Aku pun ikut menoleh ke belakang. Bukan hanya aku yang sedang mengantuk saat ini. Di pojok belakang kelas, kulihat kalau Tech sedang tertidur dengan kepala di atas meja dan Clone sedang melamun dengan kepala dihantamkan beberapa kali ke jendela kelas.
Tech tidak mungkin dipilih oleh guru matematika. Dia memang menyebalkan, sampai – sampai membuatnya tidak pernah terpilih untuk mengerjakan soal di depan kelas.
Aku kembali menghadap ke depan kelas saat guru matematika berkata, "Gen, silahkan maju."
Gen ya. Biasanya dia meminta bantuan Clone sebelum menjawab soal di depan kelas. Aku sangsi kalau Clone yang sedang mengantuk dipercaya untuk membantunya.
Pokoknya, aku berharap pelajaran matematika ini berlalu dengan lama, karena setelah ini adalah jam pulang sekolah. Aku harus mengulur waktu untuk kabur dari Pak Steven selama pelajaran matematika ini.
Aku tahu! Aku bisa menggunakan Spirit Ability Kaze 風. Selama ini, aku selalu menahan diri untuk menggunakannya. Pelajaran PCOC sialan itu memaksaku untuk memberitahu kemampuannya Kaze 風 kepada teman sekelasku, hingga Pak Steven pun mengetahuinya.
Namun, setelah semua cara yang telah kulakukan, dia pasti tak menduga kalau aku akan menggunakan Spirit Ability.
Sayangnya, hal yang kuharapkan tidak terjadi. Setelah Gen menjawab soal di papan tulis, bel pulang berbunyi. Selanjutnya, guru matematika memberikan kami PR untuk mengerjakan sisa soal yang belum dibahas.
"Jangan lupa untuk dikerjakan, ya. Dan sampai ketemu besok Senin," guru matematika berpamitan kepada kami.
Tujuanku setelah jam matematika selesai adalah pergi ke wastafel terdekat, yaitu wastafel yang berada di depan ruangan kelas. Di depan setiap ruang kelas di akademi ini terdapat sebuah wastafel yang jarang digunakan, karena siapa juga yang mencuci tangannya sebelum makan? Seperti anak kecil saja.
Aku membungkukkan badanku di depan wastafel dan memutar kerannya ke arah kanan dengan tangan kanan.
Saat air mengalir keluar dari kran wastafel, aku menengadahkan kedua tangan di bawah kran untuk menampungnya. Namun, itu membuat airnya malah menyiprat ke mana – mana saat mengenai tanganku—memangnya siapa juga yang peduli.
Dengan Spirit Ability Kaze 風, aku bisa mengendalikan air yang telah mengenai telapak tanganku ini. Saat air itu kembali memasuki pipa, aku akan menggerakkan air di dalam pipa ini ke lantai satu. Melalui air yang kukendalikan, aku jadi tahu kalau di ujung sana ada pipa yang mengarah ke bawah.
Air di dalam pipa ini kuarahkan untuk menuruni pipa itu. Setelah menuruni pipa, air ini akan bergabung dengan air yang berada di pipa di lantai satu. Kemudian, aku jadi bisa mengendalikan air di pipa itu juga.
Lalu muncul masalah baru. Aku ingin membawa seluruh air ini ke wastafel di dalam ruang guru. Tapi, pipa mana yang mengarah ke wastafel itu? Merepotkan saja, tapi lebih merepotkan lagi jika harus bertemu dengan Pak Steven.
Ruang guru pasti berada di bawah ruang kelasku. Berarti, pipa yang mengarah ke sana adalah pipa yang paling dekat dengan—tiba – tiba, menemukan percabangan di pipa ini. Pasti itu yang mengarah ke dalam ruang guru.
Baiklah, aku akan menggerakkan seluruh air ini ke sana, lalu bergerak mengikut arah pipa. Ujung pipa yang sedang dilalui air ini bergerak naik ke atas. Aku pun menggerakkan air untuk menaiki pipa, meskipun membutuhkan kekuatan lebih untuk melakukannya.
Bagus! Aku bisa merasakannya. Akhirnya, air yang kugerakkan tiba juga di wastafel guru.
Ini masih kurang banyak. Akan kutambah dengan air lain yang masih mengalir di dalam pipa hingga air itu membentuk genangan yang melebihi mulut wastafel dan akhirnya membanjiri ruang guru. Dengan begitu, guru – guru akan panik dan berlarian ke luar bangunan sekolah, dan Pak Steven adalah salah satu dari guru itu.
Selain itu, aku juga memilih untuk mengendalikan air, karena salah satu kemampuan Clothes of Chaos Kokoro 心 adalah untuk mengendalikan cairan. Ini akan menyusahkan mereka untuk mencari tahu pelakunya, jika mereka sadar kalau ini diakibatkan oleh Spirit Ability.
Tanpa sadar aku senyum – senyum sendiri. Saat aku ingin mematikan kran wastafel, tiba – tiba seseorang menepuk pundakku. Aku pun menoleh ke belakang untuk melihat siapa itu.
Ah sial. Itu adalah Pak Steven. Kenapa malah dia yang mendatangiku? Kalau sudah begini, aku tidak akan bisa melarikan diri.
"Kebetulan aku menemukanmu," kata Pak Steven.
"Ah, i-iya pak," jawabku gugup.
Aku menelan ludah. Sial, situasinya menjadi tidak menguntungkan. Yang harus kulakukan saat ini adalah memikirkan jawaban saat Pak Steven berkata kalau dia melihatku mengambil gorengan lebih di kantin.
Tapi, itu tidak mungkin dilakukan saat kami sedang berhadap – hadapan seperti ini. Gerak sedikit saja, Pak Steven pasti akan langsung mencurigaiku dan menghajarku dengan entah bagaimana dia mengetahuinya. Pak Steven benar – benar tidak masuk akal.
"Biar kuberitahu sekarang saja," kata Pak Steven kemudian.
Ini dia. Momen penentuan. Apakah yang akan diberitahukannya padaku?
Pak Steven pun menjelaskan, "Guru – guru sudah rapat dan hasilnya mengatakan kalau di sini memang ada penyusup. Alumni mengusulkan cara menjebak penyusup itu adalah dengan memancingnya menggunakan bahasa kebalikan." Sambil berbisik.
"Bahasa kebalikan?" aku mengulangi perkataannya.
Kupikir apa. Berarti, kekhawatiranku sebelumnya itu hanyalah kekhawatiran yang tak berarti. Tunggu dulu! Pak Steven masih belum selesai. Mungkin baginya untuk mengganti topik pembicaraan.
"Yah, kami baru memutuskan bahasa ini kemarin," jawab Pak Steven.
Dia melangkah beberapa senti ke belakang sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Entah kenapa, olehku saat ini, Pak Steven tampak sebagai seorang Clone.
"Oh, kata – katanya dibalik – balik gitu pak ya," aku menyelanya.
Pak Steven menganggukkan kepalanya sambil menjelaskan, "Kata yang punya antonim diganti dengan antonimnya, seperti 'ya' menjadi 'tidak,' dan 'berdiri' menjadi 'duduk.'
Kalau kata lain yang tidak punya antonim, diganti dengan kata lain yang artinya jauh, seperti 'berlari' menjadi 'berjalan,' dan 'kamar mandi' menjadi 'kamar tidur.'"
Contoh yang kedua sedikit menggangguku dan membuatku bertanya, "kata benda juga diganti pak?"
"Iya. 'Aku' menjadi 'kamu,' 'lapangan' menjadi 'ruangan,' 'air' menjadi 'api,' dan 'sekolah' menjadi 'kantor,'" jawab Pak Steven.
Cih, permainan macam apa ini? Membolak – balikkan kata adalah hal yang bisa dilakukan siapa saja saat hari kebalikan. Ah, Pak Steven mau memulai hari kebalikan di akademi ya? Tidak, bukan hari kebalikan, tapi tahun kebalikan, karena ini akan berlangsung sampai penyusupnya tertangkap, entah kapan itu.
Berarti, di akademi memang ada penyusup? Cih, perkataan Trail benar rupanya. Syco juga yang bilang kalau ini sedang diselidiki oleh alumni. Rasanya, seperti ada yang sedang memojokkanku.
Tiba – tiba, Pak Steven memegang kedua pundakku dengan kedua tangan. Inilah hal yang kutakutkan sejak awal kehadirannya tadi.
"Pulse," perkatannya terhenti.
"Aku mempercayaimu untuk memberi tahu bahasa kebalikan ini ke kelas 2B yang lainnya. Tolong beritahu mereka dengan diam – diam, karena takutnya penyusup itu dapat mendengarnya. Oiya, penyusupnya bukan di kelas 2B, jadi kamu bebas memberi tahu ini ke siapa saja," sambungnya.
"Eh, aku?" aku berseru tak percaya.
Pak Steven mempercayakan sesuatu padaku? Keajaiban dunia ke berapa ini?
***
3 Oktober 2014
"Lingkaran adalah kumpulan banyak titik-titik yang saling terhubung. Jadi, sangat salah jika salah satu contoh lingkaran adalah jam dinding. Contoh lingkaran yang benar adalah cincin, karena titik-titik itu hanya terdapat di pinggirnya saja, sementara tengahnya dibiarkan kosong."
Buku matematika yang kubaca pun menyatakan hal yang sama tentang definisi lingkaran. Namun, untuk contoh lingkaran, buku itu menunjukkan bahwa jam dinding adalah salah satu contoh lingkaran. Aku ragu mana yang benar. Mungkin, guru matematika kami mempunyai buku referensi lain.
Selepas menjelaskan, beliau menggambar lingkaran sempurna di tengah-tengah papan tulis hanya berbekal tangan kosong. Itu bukan Spirit Ability, karena beliau tidak memiliki Clothes of Chaos.
Di suatu kesempatan, beliau pernah berkata, "Clothes of Chaos atau apa pun namanya itu membuat anak-anak zaman sekarang menjadi malas. Dengan Clothes of itu, mereka bisa mengerjakan sesuatu tanpa bersusah payah.
Ini akan menyulitkan di dunia kerja nanti, saat persaingan mendapat pekerjaan memerlukan skill. Tidak mungkin kan, kalian menggunakan Clothes of itu saat bekerja. Makanya, ibu pernah menyarankan kepada kepala sekolah untuk membatasi penggunakan Clothes of itu."
Pulse pun menyela seraya bertanya, "Lalu, bagaimana hasilnya?"
"Kepala sekolah tidak pernah membahasnya lagi."
Sebagian besar dari kami juga tidak setuju dengan usulan itu. Namun, sudah sepatutnya bagi kami untuk menghormati pendapat siapa pun, termasuk orang tua, guru, maupun teman sebaya.
Kembali ke pelajaran saat ini yang membahas tentang lingkaran, beliau mempersilahkan salah satu dari kami untuk menjawab soal yang telah ditulisnya di atas papan tulis.
Aku mengangkat tangan, berniat menjawab.
"Jangan Syco. Yang lainnya!" belum berkata sepatah kata pun, beliau melempar pertanyaan itu.
Beliau memiliki ingatan yang kuat. Telah kuamati berkali-kali, bahwa beliau tahu mana siswa yang sering menjawab soal, mana siswa yang jarang menjawab, lalu mana siswa yang sering terlambat mengumpulkan soal, dan mana siswa yang belum mengumpulkan.
Mengerikan jika digambarkan. Bayangkan, hidupmu 24 jam diawasi olehnya.
Beruntung, tak lama kemudian Gen mengangkat tangannya. Siswa yang duduk di serong belakangku ini pun berjalan gontai ke depan kelas.
Dia merebut kapur dari tangan guru matematika, lantas menuliskan jawaban akan soal yang tertulis di atas papan tulis. Kupikir, jawaban yang ditulisnya adalah jawaban yang benar, meski caranya berbeda dengan caraku menjawab.
"Iya. Jawabannya benar. Terima kasih."
Gen dipersilahkan duduk kembali.
Tidak sampai di situ. Masih ada puluhan soal lain yang belum terselesaikan. Soal tentang lingkaran ini adalah soal ke-53 di Buku Kumpulan Soal Matematika SMP. Ada 97 soal dari 150 yang belum terselesaikan.
Guru matematika menuliskan 5 soal sekaligus, yaitu nomor 54 – 58.
"Untuk nomor 54, Clone silahkan maju. Untuk nomor 55 silahkan Pulse. Nomor 56 Tech, nomor 57 Rite, dan nomor 58 Syco."
Sungguh, aku tak menyangka ini. Beliau menunjuk kami secara acak untuk mengerjakan soal. Karena aku kebagian nomor 58, kupikir akan lebih baik jika jawabannya kutuliskan dahulu di buku catatanku. Sementara itu, Clone yang kebagian nomor 54 pun berjalan ke depan kelas.
"Iya. Jawabannya benar. Siapa selanjutnya?"
Clone kembali duduk di belakangku.
Lantas, siapa yang menjawab pertanyaan beliau? Tentu, Pulse. Dialah yang kebagian nomor 55.
"Sebentar bu. Aku belum ketemu jawabannya," kata Pulse seraya mengangkat tangan.
"Gapapa. Maju saja. Nanti dibantu."
Mudah mengatakannya, seharusnya mudah pula melakukannya.
Pulse maju mengerjakan soal di depan kelas, dengan dibimbing oleh guru matematika tentunya. Beliau selalu menjaga ucapannya dan menepati kata-katanya. Tak heran jika aku menjadikan beliau sebagai guru favorite semenjak kami masih duduk di kelas 1.
Sedikit hambatan tak membuat Pulse menyerah. Sedikit demi sedikit, guru matematika begitu sabar dalam membimbingnya. Soal nomor 55 pun bisa terselesaikan.
Berikutnya giliran Tech untuk mengerjakan soal nomor 56.
Tech Zone. Siswa ini meski dibimbing pun tak akan beranjak dari bangkunya. Meski menunggu hingga jam istirahat, Tech tetap bersikukuh dengan kemalasannya itu. Dia membenamkan wajahnya ke atas meja, lantas kesadarannya berpindah ke dunia mimpi.
Soal nomor 56 terpaksa dijadikan PR oleh guru matematika kami. Sesungguhnya, sistem PR tak begitu efektif diterapkan di sekolah asrama semacam akademi ini.
Hal inilah yang membuat beliau tidak suka memberikan PR, namun suasana kelaslah yang memaksa beliau untuk memberi PR.
Dengan demikian, aku harus merelakan berpisah dengan guru yang amat kusukai ini, karena pelajaran matematika telah berakhir, tergantikan oleh jam istirahat.
Aku berbalik ke belakang, menatap Clone yang sedang mengambil kotak bekal miliknya dari dalam ransel. Gen berjalan menghampiri kami seraya mengayunkan lengan di samping badan.
"Pelajaran sebelumnya tadi apa ya?" tanyanya.
"Sebelumnya?"
Tak ada gunanya juga mengingat-ingat pelajaran yang telah berlalu. Gen bermaksud untuk bertanya pelajaran setelah jam istirahat, yaitu pelajaran ...
"Bahasa inggris."
"Bahasa inggris tidak ada PR kan?"
"Tidak—" tenggorokkanku tercekat. Ini bukan bahasa kebalikan.
Sudah hampir 2 minggu semenjak bahasa kebalikan diberlakukan. Nyatanya, penggunaan bahasa kebalikan di akademi sendiri tidak begitu maksimal. Bahasa kebalikan tidak bisa digunakan setiap saat, contohnya saat pelajaran, karena akan menimbulkan kesalahpahaman antara siswa dan guru.
Bahasa kebalikan tak bisa menjadi bahasa sehari-hari. Kami hanya menggunakannya untuk saling berbicara dengan teman sebaya, saat istirahat di kelas yang lenggang dan saat tak sengaja bertemu guru.
"Ya. Hari ini ada PR," buru-buru kuperbaiki perkataanku barusan.
Clone membuka kotak bekal miliknya yang di dalamnya berisi roti selai stroberi.
Kemudian kurasakan getaran di saku. Aku meraih ponselku yang kuletakkan di sana. Layarnya menunjukkan bahwa Mas Tyro sedang menghubungiku.
"Sebentar ya."
Setelah kuberkata demikian, tanpa bertanya-tanya Gen dan Clone mempersilahkanku berjalan ke luar kelas.
Sesampainya di luar kelas, aku berdiri membelakangi salah satu tiang. Sambil menatap layar ponsel, kugulirkan simbol hijau di layar itu ke samping, lantas menjawab panggilan dari Mas Tyro.
"Bagaimana kabarku Syco? Buruk ya?"
Aku terkejut oleh kalimat pembuka dari Mas Tyro yang menggunakan bahasa kebalikan. Kupikir, aku dapat mengistirahatkan diri sejenak dari bahasa kebalikan. Sayangnya, Mas Tyro orangnya terlalu serius untuk diajak bercanda. Begitulah kakak laki-lakiku itu.
"Bisa pakai bahasa Indonesia yang baik dan benar tidak?" protesku.
"Tidak bisa. Bukankah sudah diberitahu kalau bahasa kebalikan ini harus dipakai seluruh civitas akademika di akademi? Untuk berbicara dengan salah satu dari mereka, aku harus menggunakan bahasa kebalikan juga kan?"
"Tidak harus, Mas. Kalau denganku tidak usah!"
"Beraninya kau membuat aturan sendiri! Peraturan bahasa kebalikan itu aku loh yang membuatnya!"
"Iya. Maaf maaf," kataku malas.
"Tidak. Aku yang harusnya minta maaf, menelponmu di tengah-tengah pelajaran seperti ini."
"Tidak juga. Sekarang sudah jam istirahat."
"Iyakah? Di zamanku dulu istirahatnya jam 10 loh."
Sekarang kan memang jam sepuluh. Kutebak, Mas Tyro pasti sibuk di sana, sampai-sampai tak sempat melihat jam walau sejenak.
"Omong-omong, aku ingin memberi tahu kalau proses penyelidikan akan selesai sebentar lagi. Black Ace memang merepotkan. Aku sibuk sekali akhir – akhir ini. Rupanya, penyusupnya adalah seorang buronan level A. Coba tebak. Kamu kan pernah menghafal majalah daftar buronan paling berbahaya di kota."
"Aku sudah lupa."
Tanpa sadar aku senyum-senyum sendiri.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro