Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 8 Part 2*

Malam hari, ketujuh anggota Black Ace sedang berdiri saling berjajar di atas balkon yang berada di dalam ruangan. Balkon itu menghadap ke ruangan seluas lima puluh meter persegi.

Ketujuh anggota Black Ace memandangi lima puluh laki – laki berpakaian kaos biru, celana pendek abu – abu, dan topi terbalik yang berada di dalam ruangan dari atas balkon. Mereka sedang bekerja memindahkan tumpukan – tumpukan kotak yang berantakan di dalam ruangan itu menuju ke ruangan lain di sebelahnya.

Dua orang laki – laki berjalan mendekati balkon sambil berbincang – bincang.

"Visty," Ward berbisik.

Visty pun melompat dari atas balkon dan mendarat tanpa bersuara di belakang kedua laki – laki itu. Dari sudut pandang kedua laki – laki itu, mereka melihat sebuah bayangan yang menyerupai manusia sedang melesat di atas kepala.

Sebelum sempat menoleh ke belakang untuk melihat bayangan apa itu, tubuh kedua laki – laki itu tiba – tiba roboh ke depan dengan luka sabetan yang melintang dari atas bahu ke samping perut.

Visty menatap lurus ke depan, memandang seisi ruangan yang sontak berlarian panik.

"Lari! Ada Shadow Assassin!" itulah yang mereka teriakkan.

Sebelum berlari, mereka sempat meletakkan kotak – kotak yang mereka bawa ke lantai. Sebagian bahkan membanting kotak itu karena saking paniknya.

Padahal, di badan kotak itu tertera tulisan, "Jangan dibanting." Apa boleh buat. Dalam situasi darurat, melanggar peraturan dapat menjadi hal yang lumrah.

Sebagian besar orang berlari ke pintu di sebelah kiri ruangan jika dilihat dari sudut pandang Visty. Mereka berpikir, mereka akan aman asal tetap menjaga jarak dari Visty. Namun, tak satu pun dari mereka menyadari bahwa saat ini Visty tidak sendirian.

Terdengar suara tembakan saat kepala seorang laki – laki yang hampir tiba di depan pintu itu tiba – tiba mengeluarkan darah. Tubuhnya terpental ke samping, disusul dengan laki – laki lain yang sedang berbaris di belakangnya.

Hal serupa juga terjadi pada mereka yang masih sibuk dengan kotak – kotak itu.

Di atas balkon, Blast sedang meluruskan senapan yang dibawanya di atas pagar, sehingga larasnya mengarah ke ruangan di hadapan balkon.

"Kalian melupakanku!" dia berseru.

Saat pelatuk senapan itu ditekan, peluru melesat dari dalam larasnya sambil mengeluarkan suara desingan. Saat peluru itu mengenai ubun – ubun seorang laki – laki yang sedang menenteng kotak di depan dadanya, terdengarlah suara tembakan dan darah mengalir dari kepala laki – laki itu. Tubuhnya dan kotak yang dibawanya pun terjatuh ke lantai dengan disertai suara bantingan.

Setelah menembak, Blast menjauhkan mata kanannya dari pembidik senapan itu.

"Bagus," kata Ward kemudian.

Line yang berada di paling ujung barisan anggota Black Ace menoleh ke arah Ward sambil bertanya, "Apa yang bisa kita lakukan selanjutnya?"

Belum sempat pertanyaan itu terjawab, dinding ruangan yang berhadapan dengan balkon itu tiba – tiba rubuh. Dari balik dinding itu muncul seekor singa jantan yang sedang meraung. Dia melompati puing – puing dinding di bawahnya, lalu mendarat di atas tubuh seorang laki – laki yang tewas terkena tembakan.

"Mereka datang," gumam Ward.

Tanpa aba – aba, dia melompati pagar di depannya, sama seperti Visty.

Sesampainya di samping kanan Visty, Ward mengayunkan lengan kanannya, membuat pisau yang dipegangnya di tangan itu terlempar sejauh lima meter ke depan.

Ujung pisau itu menusuk dahi singa yang memasang sikap hendak menerkam—keempat lututnya ditekuk hingga bagian bawah tubuhnya hampir menyentuh lantai dan mulutnya terbuka lebar. Darah memancar dari dahi itu dan membasahi pisaunya Ward.

Kemudian, Ward menggoyangkan pergelangan tangan kanannya, membuat pisau itu terlepas dari dahi singa itu. Singa itu pun tersungkur tak sadarkan diri.

Tidak hanya ada seekor singa saja, dari balik dinding itu juga muncul dua ekor singa lain, ditambah dengan seekor orang utan, dan dua ekor elang yang terbang di langit – langit ruangan begitu keluar dari balik dinding.

Dua ekor singa itu meraung secara bersamaan, suara raungan yang memekakkan telinga hingga memaksa Visty untuk menutup kedua telinganya dengan telapak tangan. Di langit – langit terdengar suara memekik dari dua ekor elang yang terbang sambil sesekali mengepakkan kedua sayapnya.

Orang utan berjalan mendekati tumpukan kotak. Hewan itu mengangkat salah satu kotak dengan tangan kanannya. Kemudian, kotak itu dilemparkannya ke arah Ward dan Visty.

Sepuluh senti jarak kotak itu dari wajahnya Visty, tiba – tiba kotak itu beserta isinya terbelah menjadi dua bagian yang sama besar. Keduanya pun terjatuh di lantai dengan mengeluarkan suara bantingan.

Ward menoleh ke samping sambil berkata, "Yang ini biar kuurus."

Dia melangkahkankan kakinya hingga posisi badannya berada sedikit di depan Visty. Tangan kanannya yang memegang pisau kembali diayunkan ke depan.

Pisau itu pun terlempar membentuk lintasan horizontal ke arah salah seekor singa. Insting hewan buas itu mengatakan bahwa pisau merupakan sebuah bahaya, membuat singa itu lantas mengayunkan cakar depannya untuk menyambut pisau yang melayang ke arahnya.

Terdengar suara dentingan saat cakar singa itu bertabrakan dengan ujung mata pisau, disusul dengan berbeloknya arah lemparan pisau ke atas.

"Jadi begitu. Singa biasa tidak mungkin melakukan hal seperti ini," pikir Ward.

Di luar jangkauan pandang si singa, pisau itu tiba – tiba berbalik ke bawah. Pisau itu pun menancap di punggung singa itu, membuatnya meronta – ronta dengan punggung yang bercucuran darah.

Sementara itu, Blast yang berdiri di atas balkon sedang mengarahkan laras senapannya ke salah seekor elang. Elang yang terbang sambil berbelok – belok lincah tak menghalanginya untuk tetap menarik pelatuk senapan dan menembak elang itu.

Lima detik kemudian, terdengar suara tembakan dari laras senapan itu. Lalu, elang itu pun terbang menukik ke bawah dengan luka tembakan di sebelah kanan lehernya.

Selanjutnya, Blast mengarahkan senapan yang dibawanya itu kepada elang yang satunya. Namun, sebelum dia sempat melepaskan tembakan, sebuah luka telah muncul di sayap kiri elang itu. Luka itu membuatnya kehilangan keseimbangan yang untuk terbang. Elang itu pun terjatuh ke bawah dengan badan yang berputar – putar.

Blast menoleh, mencari orang yang telah memberi luka pada elang itu mendahului dirinya.

"Hei, itu targetku!" Blast berseru.

Shad, orang yang memberi luka itu, tidak menganggapi seruan Blast. Dia justru sibuk menggigit puntung rokok yang diletakkan di antara gigi seri atas dan bawahnya.

Kemudian, Shad melompati pagar di depannya dengan cara yang sama seperti Visty dan Ward.

Shad mendarat di lantai di bawahnya bersamaan dengan bertabrakannya dua ekor elang yang tadinya sedang terjatuh. Bulu – bulu putih bercampur hitam bertebaran di belakang Shad bagai percikan kembang api.

Shad tidak menghiraukan kejadian yang menakjubkan di belakangnya itu. Tatapannya kini tertuju pada seekor singa yang berlari mendekatinya dari sebelah kiri. Kilatan amarah melintas di kedua bola mata singa itu, sementara hewan itu menggertakkan giginya.

"Spirit Ability, Yami 闇," kata Shad kemudian, membuat rokok yang digigit di antara gigi – giginya terlepas.

Dalam sekejap, sepuluh duri yang tebal nan tajam mencuat dari lantai yang dipijak singa itu. Entah apa yang dikatakan instingnya, singa itu terdiam saat duri demi duri menusuk kulitnya, terus masuk hingga mengenai daging, dan keluar dari sisi kulit lainnya. Darah merembes keluar dari kulit singa yang tertusuk duri.

Shad menatap pemandangan mengerikan itu dengan perasaan puas.

Darah mengalir ke mana – mana, menimbulkan aroma amis. Sebagian darah yang mengenai duri itu membuat warna hitamnya duri dihiasi oleh gradasi merah.

Kini tinggal tersisa seekor orang utan. Visty berlari ke arah orang utan yang terus melemparkan kotak itu.

Sebuah kotak yang berukuran lebih besar dari kotak lainnya melayang ke arah Visty. Visty pun melakukan gerakan tackle dalam sepak bola—gerak meluncur di lantai dengan badan agak miring ke samping, kedua tangan dirapatkan di samping badan, dan kedua kaki diluruskan.

Dengan gerakan tackle, Visty dapat melalui celah di antara kotak yang melayang dengan lantai di bawahnya.

Setelah melakukan gerakan tackle, Visty kembali berdiri. Jaraknya dengan orang utan itu tinggal dua meter saja. Gerakan tackle itu sedikit memperlambat gerak lari Visty.

"Hyaah!" Visty pun tiba di depan orang utan itu.

Dia berseru sambil mengayunkan lengan kanannya di depan leher hewan itu. Ini membuat terlepasnya kepala orang utan itu dari badannya. Kepala itu terlempar sejauh satu meter ke belakang.

Badan orang utan tak berkepala itu terjatuh ke belakang dengan darah mengalir deras dari pangkal lehernya.

Tewasnya seluruh hewan liar di dalam ruangan itu menyisakan sedikit rasa lenggang. Ward menghela nafas. Dia menoleh ke belakang sambil berseru, "Semuanya sudah dibereskan! Sekarang, kita akan berpencar sesuai rencana.

Aku dengan Shad ke ruangan di sebelah kanan, Blaz dan Visty memeriksa ruangan di balik tembok, dan Blast ke ruangan di sebelah kiri. Untuk Picto dan Line tetap berada di sini!"

Terdengar suara hentakan kaki yang berasal dari Shad yang sedang menginjak putung rokok miliknya yang terjatuh ke lantai.

"Ya. Jangan memerintahku," katanya kemudian dengan nada seperti orang yang akan marah.

Di atas balkon, Blast dan Blaz menghadap ke kanan. Mereka tidak memiliki cukup keberanian untuk melompat dari atas balkon itu. Sebagai gantinya, mereka akan menuruni balkon dari tangga yang terletak di sisi kanannya.

Dengan demikian, berpencarlah anggota Black Ace yang telah kita kenal, menyisakan Line dan Picto yang masih berdiri—lama dalam posisi berjongkok membuat Line merasakan pegal pada kedua kakinya—di atas balkon.

Kemudian, Picto duduk bersila. Dia menyandarkan kanvas persegi yang dibawanya ke depan pagar.

Di atas kanvas itu tergambar sosok seorang laki – laki berusia tiga puluhan. Rambutnya disemir berbagai macam warna yang dicampur – campur—merah, biru, kuning, dan coklat. Rambut yang tidak disemir hanyalah cambang yang tumbuh di sepanjang pipi hingga menyentuh janggut di dagunya.

Picto mengangkat tangan kanannya yang menggenggam sebuah kuas. Saat dia akan menggoreskan kuas itu di atas kanvas, tiba – tiba sebuah logam yang dingin menyentuh ubun – ubunnya.

"Apa sih—" Picto hendak protes.

"Angkat kedua tanganmu dan jangan bergerak!" sela sebuah seruan.

Picto terdiam. Seruan itu terdengar asing baginya, sebuah seruan yang berasal dari mulut seorang wanita yang berlipstik. Kedua bola matanya memandangi lukisan pada kanvas di depannya. Dia memegang sebuah pistol yang mulutnya disentuhkan ke belakang kepalanya Picto.

"Kuulangi! Angkat tanganmu dan—" wanita itu mulai tak sabaran.

Sebuah pukulan mengenai hidungnya. Wanita itu pun melangkah ke belakang dan kemudian memutar bola matanya untuk mencari asal pukulan itu, yang tak lain adalah dari Line.

Line sedang berdiri di sebelah wanita itu dengan kedua tangan menggenggam di samping badan.

"Pergilah dulu, Picto!" katanya.

Tanpa berkata – kata, Picto melompat dari atas balkon sambil memeluk kanvas miliknya. Sesaat sebelum tubuh Picto mendarat di bawah, kira – kira sepuluh senti di atas lantai, muncul sebuah lubang lingkaran berdiameter satu meter yang memancarkan cahaya terang dari dalamnya di arah jatuhnya Picto.

Begitu seluruh tubuh Picto ditelan olehnya, lubang lingkaran itu pun lenyap, menyisakan butiran – butiran cahaya di tempatnya semula.

Kembali ke atas balkon, wanita yang sebelumnya itu sedang mengusap hidungnya dengan lengan kiri bagian dalam.

Lalu, dia bertanya, "Kau adalah Line kan? Satu – satunya anggota Black Ace yang bukan buronan. Yang memiliki Clothes of Chaos bernama Toki 時."

Line menyipitkan mata. Dia menyilangkan kedua lengannya di depan dada sebelum bertanya balik, "Siapa kau? Kenapa kau tahu banyak hal tentangku?"

Wanita itu menggerakkan tangan kanannya yang memegang pistol, hingga posisi tangan itu lurus ke depan badannya dan mulut pistol itu menodong ke arah wajahnya Line.

"Bosku dari Geng Joker menyuruhku untuk membasmi kalian," jawab wanita itu.

"Geng Joker? Tak pernah mendengarnya," balas Line.

Sementara itu, Ward dengan Shad sedang berjalan di lorong berdinding putih yang tak berujung. Di kiri dan kanan lorong itu terdapat pintu besi dengan jarak antar pintu satu dengan pintu lainnya adalah lima meter.

"Tempat ini sepi sekali," komentar Shad.

"Kebetulan semuanya sedang berkumpul di gudang. Kita telah memusnahkan seluruhnya," balas Ward.

Shad memasukkan tangan kanannya ke dalam saku jaketnya sambil bertanya, "Apa dia masih ada di sini?"

Dia meraba – raba bagian dalam saku jaket itu untuk mencari sesuatu. Tak kunjung menemukan sesuatu yang dimaksudnya, Shad pun menghentikan gerak meraba – raba itu.

"Kalau dia tidak ada di sini, dia pasti telah mati di tempat lain," jawab Ward.

Lima menit berlalu, mereka tiba di sebuah sisi lorong yang hanya ada pintu besi di sebelah kanannya saja.

Keduanya menghadapkan badan masing – masing ke arah pintu itu. Shad menyentuh permukaan pintu itu dengan telapak tangan kanannya, hanya untuk menyadari bahwa pintu besi itu terkunci dari dalam.

"Cih," Shad mendecih.

Di lantai yang dipijaknya terbentuk sebuah lingkaran hitam berdiameter satu meter. Dari permukaan lingkaran itu muncul sepuluh buah tangan hitam berlengan panjang, namun tak bersiku. Panjangnya lengan memungkinkan tangan itu untuk melengkung hingga setiap telapak tangan dari tangan itu menyentuh permukaan pintu besi.

Terdengar suara retakan saat sepuluh buah tangan itu mendorong pintu besi secara bersamaan.

"Kau bisa melakukannya kan?" Ward bertanya.

"Lihat saja," jawab Shad.

Tak perlu waktu lama bagi pintu besi itu untuk terlepas dari kusennya setelah didorong oleh tangan – tangan hitam. Pintu besi itu pun terbanting ke dalam ruangan dengan mengeluarkan suara dentingan yang menggema.

Kini, di hadapan dua makhluk itu terdapat sebuah ruangan seluas sepuluh meter persegi.

Dindingnya berwarna putih bersih, sama seperti dinding di lorong yang telah dilalui Ward. Di salah satu sisi ruangan terdapat sebuah meja kayu sepanjang empat meter yang di atasnya terdapat empat buah monitor yang diletakkan secara berhimpitan.

Namun, bukan itulah yang menarik perhatian Ward. Perhatian Ward tertuju pada seorang laki – laki yang terbujur kaku di lantai.

Dia sedang berbaring di dalam genangan darahnya sendiri. Secara keseluruhan, penampilan laki – laki itu sama dengan lukisan yang berada di kanvas milik Picto. Bedanya, dia sedang memakai sebuah mantel kulit berwarna hitam sesaat sebelum kematiannya.

Ward berjongkok di samping tubuh laki – laki itu sambil berbisik, "Clothes of Chaos dengan kemampuan mengendalikan hewan buas. Aku akan mengambilnya."

Shad tidak ikut masuk ke dalam, melainkan menunggu Ward dari luar ruangan.

Kemudian, Ward menoleh ke belakang untuk memerintah Shad dengan berkata, "Bawa Clothes of Chaos ini kepada Line!"

***

Seisi ruangan itu—kecuali Tyro—menganggukkan kepala begitu mendengar penjelasannya.

Seorang perempuan yang tidak penting untuk dideskripsikan rupanya, apalagi disebutkan namanya, berkomentar, "Memusnahkan Clothes of Chaos dengan membunuh pemiliknya adalah cara yang aneh." Perempuan yang berkacamata menganggukkan kepala tanda setuju.

"Motif yang kekanak – kanakan," Bind ikut berkomentar.

Tyro menghela nafas. Seratus hal yang memenuhi pikirannya telah lenyap saat dia menjelaskan yang barusan itu, menyisakan ribuan hal lainnya.

Hed menutup jilidan kertas di meja depannya melalui lembaran di paling akhir. Lalu, dengan tangan kanan dia menggeser jilidan kertas itu ke sebelah kiri. Jilidan kertas itu kemudian diletakkan di meja yang berada di depannya Bind.

Bergesernya jilidan kertas itu menandakan tibalah giliran Bind untuk membacanya. Dia pun membuka jilidan kertas itu ke lembaran acak yang kebetulan merupakan lembaran yang berada di tengah.

"Apa ini?" tanya Bind saat tulisan di lembaran itu terbaca olehnya.

Tanpa menoleh pun, Tyro tahu kalau pertanyaan itu ditujukan padanya.

Dengan kepala menunduk dan jari telunjuk digeserkan di atas lembaran kertas, Bind berkata, "Pernah suatu saat pemerintah membentuk squad khusus yang bertujuan untuk menyelidiki organisasi ini. Satgas khusus ini beranggotakan dua puluh tentara dan intel profesional—"

Tyro meletakkan kedua lengannya di atas meja dengan lengan kiri berada di bawah lengan kanan, sebelum menyela, "Itu hanya sekadar informasi tambahan."

Suasana menjadi hening saat Bind lanjut membaca tulisan yang terdapat di lembaran itu. Kira – kira, Bind membaca dua paragraf yang masing – masingnya terdiri dari enam baris, sehingga membutuhkan waktu sekitar tujuh menit.

Di luar dugaan, Bind memerlukan waktu lebih dari dua belas menit. Mungkin, itu disebabkan oleh kecepatan membaca Bind yang bisa dibilang lambat. Setelah selesai membaca, Bind meluruskan kepalanya dan menggerakkan tangan kanan untuk membalik jilidan kertas itu ke lembar selanjutnya.

Tyro pun menoleh ke arah Pak Bind hingga pandangan keduanya saling bertemu sambil menjelaskan, "Ini juga informasi yang kudapatkan dari deep web, karena informasi ini tidak ada di sumber berita mana pun.

Satgas itu dibentuk pada tahun 2011. Namanya adalah SAoTS, singkatan dari Special Agent of The Spirit. Sehari setelah terbentuknya, satgas ini langsung ditugaskan untuk melakukan penyelidikannya. Di hari itu juga, setiap anggotanya ditemukan tewas dengan tubuh yang terpotong – potong."

Seperti sebelumnya, seisi ruangan memasang ekspresi terkejut sambil menatap ke arah Tyro.

Setiap orang berbeda tanggapan terhadap apa yang dijelaskan Tyro. Ada yang merasa bingung, ada yang merasa takut, gugup, dan ada juga yang merasa biasa – biasa saja seperti Hed dan Bind. Dua laki – laki itu memang sudah tak kaget mendengar hal seperti ini.

Ray kembali menatap wajah Tyro dan berkata, "Tak kusangka kalau kau menyelidiki hal yang mengerikan seperti ini, Tyro." Tyro menganggukkan kepala untuk menjawabnya.

Bind menutup jilidan kertas di hadapannya. Kini, jilidan kertas itu digeser kepada Steven.

Setibanya jilidan kertas itu di hadapan Steven, tiba – tiba Steven menepuk telapak tangan kanannya ke sampul jilidan kertas itu hingga menimbulkan suara ketukan yang keras.

Wajahnya mulai memerah. Detak jantungnya terdengar tak beraturan. Keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya.

Benar – benar membuat seisi ruangan harus merasakan senam jantung. Setelah dikagetkan oleh penjelasan Tyro, lalu ditambah pula dengan amarah Steven. Selain itu, mereka pun merasakan senam leher, yaitu memutar leher yang sebelumnya menghadap ke Tyro, menjadi ke Steven.

Steven menekankan tepukan telapak tangannya dengan seruan, "Menurut laporan, kau bilang kalau Black Ace memasukkan penyusup ke sini!"

Suasana mendadak hening. Steven adalah tipikal orang yang murah senyum. Artinya, terjadi suatu kesalahan sampai – sampai membuatnya semarah ini.

"Ya. Penyusupnya adalah orang yang mengetahui proyek Kokoro 心. Artinya, itu adalah salah satu dari kalian," jawab Tyro.

Dia menyandarkan badannya ke kursi. Kedua matanya memandangi seisi ruangan. Dia menatap wajah hadirin di sana secara bergantian, mulai dari seorang perempuan yang duduk di sebelah kirinya, hingga Ray yang duduk di sebelah kanannya.

Steven menarik nafas panjang. Bind mengetuk – ngetuk meja di depannya dengan jari telunjuk. Seorang perempuan berkacamata sedang tertunduk lesu.

Saat suasana mulai tenang, barulah Hed memberanikan diri untuk membuka mulut. Dia berkata, "Ah, pantas saja kau meminta rapat ini dihadiri semua pengurus akademi."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro