Chapter 7 Part 3
Pria dengan wig merah dan jaket yang dipakai secara terbalik itu masih berdiri di trotoar dengan pandangan tertuju ke salah satu jendela bangunan yang berdiri di seberang jalan. Dia tersenyum tanpa alasan, mungkin ada sesuatu di jendela bangunan itu yang membuatnya senang.
Tiba – tiba, pria itu terkejut dengan suara mendengung yang terdengar dari jendela. Senyumannya perlahan luntur, tergantikan oleh ekspresi tidak senang.
Sepersekian detik kemudian, dari jendela yang dipandangnya terbentuk sebuah lubang berbentuk lingkaran dengan diameter dua meter.
Lubang itu sangat dalam, hanya kegelapanlah yang tampak dari pandangan pria itu. Dari dalam kegelapan, muncul sosok dua orang remaja laki - laki—satunya orang dewasa, ingat yang dikatakan penulis di awal bab—dengan yang berusia lebih muda berjalan di depan yang berusia lebih tua.
Walau sama – sama kegelapan, bagian lubang yang agak ke luar lebih terang daripada bagian yang agak ke dalam. Karena itulah, ketika dua remaja laki – laki itu berjalan hingga ke bagian luar lubang, wajah keduanya tampak sebagai wajah Tyro dan Ray.
Sontak, Tyro dan Ray melompat setibanya mereka di mulut lubang.
"Pemilik Clothes of Chaos, ya? Pantas saja dia berani macam – macam dengan Black Ace," pikir si pria saat melihat Tyro dan Ray melompat keluar dari lubang itu.
Di saat yang bersamaan, lubang di jendela bangunan itu mulai menyusut, seperti di sepanjang busurnya dibuat titik – titik dan dari setiap titik – titik itu ditarik garis berbentuk kurva ke pusat lingkarannya.
Tyro dan Ray mendarat di atas trotar dengan posisi badan membungkuk. Setelah menginjakkan kaki di trotoar, mereka meluruskan punggung sambil menepuk – nepuk pundak dan samping badan dengan kedua tangan, membersihkan debu yang mungkin menempel ketika mereka melompat.
Ray berdiri agak di belakang Tyro, dengan pandangan keduanya tertuju pada pria yang berdiri di trotoar di seberang mereka. Dapat ditebak bahwa pria itu memang menarik perhatian siapa pun yang melihatnya, karena selera berpakaiannya yang aneh.
"Apa kau hacker yang meretas e-mailku? Kalau tebakanku benar, maka tujuanmu datang ke sini adalah untuk membungkamku, karena aku telah mengetahui rahasia tentang Black Ace," Tyro bertanya secara terang – terangan.
"Tidak. Aku hanyalah utusannya," jawab pria yang berdiri di seberang mereka itu—penulis lupa memberi tahu bahwa nama pria itu adalah Sphere.
Ray memandang Tyro dan Sphere secara bergantian. Dia tidak mengerti dengan apa yang dibicarakan dua orang itu, membuatnya hanya bisa terdiam.
Tyro meletakkan kedua tangan di samping badan dengan telapak tangan membuka dan jari – jari dilemaskan. Secara bersamaan, pikirannya mulai dipenuhi banyak hal, sama seperti saat dia sedang mengamati berkas yang diunggah oleh Black Ace di deep web.
"Orang di depanku ini adalah pemilik Clothes of Chaos dengan Spirit Ability untuk memanipulasi ruang. Aku pernah mendengar kalau ada kemampuan seperti ini dari Pak Bind. Nama Clothes of Chaosnya adalah Aida 間 dan memiliki sifat berlawanan dengan Toki 時," itulah yang dipikirkan Tyro.
Lalu, Ray melangkahkan kakinya beberapa langkah ke depan untuk menyejajarkan badannya dengan badan Tyro. Sebenarnya, dia ingin menanyakan hal yang sejak tadi membuatnya bingung.
"Tyro, aku tidak paham. Kenapa Spirit Ability ruang hampa punyamu bisa—" saat pertanyaan itu terucap dari mulutnya, perkataan itu langsung disela oleh Tyro.
Tyro pun menjelaskan, "Orang itu memiliki Clothes of Chaos dengan kemampuan manipulasi ruang. Barusan, dia menyelimuti kamar dengan kemampuannya. Karena itulah, pintu kamar seolah terkunci dan kita tidak bisa melihat keluar dari jendela."
Setelah mendengar jawaban itu, Ray menganggukkan kepala, tanda bahwa dia sudah mengerti.
Karena tadi sudah membahas dengan hal yang dilakukan Tyro dan Ray setelah mendarat di atas trotoar, saat ini penulis akan membahas hal yang dilakukan Sphere sementara Tyro dan Ray sibuk dengan diri mereka masing – masing.
"Spirit Ability ruang hampa? Jadi dia memakai Kuro 黒, salah satu dari Rainbow Spirit? Orang ini diluar dugaan," Sphere sedikit mendengar pertanyaan Ray tadi.
Dia mengulangi pertanyaan Ray itu di dalam hatinya. Saat Tyro menjelaskan jawaban dari pertanyaan itu, Sphere juga diam – diam menyimaknya, namun tidak seperti Ray, Sphere tidak memahami penjelasannya Tyro.
Kemudian, Sphere berseru, "Saatnya mengakhiri ini! Black Ace tidak menerima kegagalan!" sambil menjentikkan jari di tangannya yang masih terangkat di samping kepala.
Hening sejenak selama lima menit. Tidak ada sesuatu yang terjadi, kecuali angin yang bertiup semakin kencang dan langit yang mulai mendung oleh awan gelap yang tadinya berada di sisi utara langit, kemudian tertiup oleh angin dan bergerak hingga menaungi tiga laki – laki yang sedang berdiri itu.
Tyro yang berdiri di atas trotoar di seberang Sphere sedang menghela nafas. Sementara itu, Sphere sendiri merasa canggung, karena teriakannya lima menit yang lalu itu tidak menghasilkan apa – apa.
"Kenapa tidak bisa?!" Sphere harus kembali berteriak agar dapat memecahkan keheningan ini.
Tyro menggerakkan kedua tangan ke atas kepala untuk menyisir rambut hitamnya ke arah belakang sambil berkata, "Aku menebak kalau kau ingin menyelimuti kami dengan kemampuanmu.
Karena itulah aku membuat kubah yang dindingnya terbuat dari ruang hampa di sekeliling kami agar kemampuanmu tidak bisa meraih kami. Dengan cara yang sama, kami juga bisa melepaskan diri saat kemampuanmu menyelimuti kami."
"Hah? Apa apaan itu?!" Sphere berseru tidak percaya.
Sementara itu, di dalam hatinya dia bertanya, "Inikah kemampuan dari Rainbow Spirit? Bahkan Aida 間 tidak berkutik dengannya."
"Tapi, bukan cuman itu saja yang bisa dilakukan Aida 間," yang ini tidak dikatakan Sphere di dalam hati, melainkan dia teriakkan kepada Tyro dan Ray.
Kemudian, Sphere meluruskan tangan kanannya ke depan dengan telapak tangan terbuka lebar. Sesuatu yang tak terlihat—berwujud energi—seolah berkumpul di permukaan telapak tangannya itu.
Tiga menit telah berlalu. Energi yang berkumpul di telapak tangan Sphere terlihat sebagai bola seukuran bola sepak, berwarna hijau yang transparan, dan terus berputar dengan poros horizontal yang mengarah ke telapak tangan Sphere.
Terlihatnya benda yang seharusnya tidak berwujud menunjukkan bahwa jumlah benda yang terkumpul itu sangatlah banyak. Bahkan, telapak tangan Sphere sampai memerah ketika memegang bola energi itu.
Dalam sekejap, bola energi itu—sebutan untuk bola hijau itu agar lebih mudah diingat—terlepas dari pegangan tangan Sphere dan melesat ke arah Tyro dan Ray sambil mengeluarkan suara mendesing layaknya pesawat terbang setelah lepas landas. Namun, Tyro terlihat tenang.
Hanya Ray yang merasa panik. Meski begitu, rasa tenang pada Tyro tersalurkan padanya, sehingga Ray juga sedang terlihat tenang, padahal di dalam hatinya dia sedang panik.
Dua meter jaraknya dari wajah Tyro, bola energi itu seolah pecah menjadi jutaan energi yang tak terlihat wujudnya. Energi itu terurai kembali ke lingkungan tempat mereka berasal.
Tyro menghela nafas, sementara Ray berseru, "Kubahnya masih ada!" di dalam hati.
Di seberang kedua remaja itu, Sphere berteriak, "Apaa!! Tidak!! Ini tidak mungkin!!" Rasa putus asa mulai menyelimuti dirinya.
"Percuma, kubah ruang hampa itu menghalangi Aida 間. Kalau begini terus, aku tidak akan pernah meraih mereka," pikir Sphere kemudian.
Dia menurunkan lengan kanannya yang masih diluruskan ke depan, secara bersamaan dengan mendongakkan kepalanya sedikit ke atas untuk menciptakan kesan sombong—kesombongan memang diperlukan oleh seseorang yang bermain – main di sisi gelap dunia sepertinya.
Tyro tertegun. Melihat orang lain menatapnya dengan tatapan angkuh, sontak membuatnya reflek untuk menundukkan kepala.
"Apa yang akan terjadi setelah ini?" tanyanya di dalam hati.
Kemudian, Sphere berkata, "Bisakah kau menghilangkan kubah ruang hampa itu sebentar saja?" Dia menekankan nada bicaranya saat mengatakan "sebentar saja."
"Tidak. Aku tidak bisa," jawab Tyro dengan nada tegas.
"Oh, ayolah!" Sphere memprotesnya.
"Tidak," Tyro sampai menggelengkan kepala untuk menegaskan perkataannya itu.
***
Dua menit berlalu dengan berdebatan antara Tyro dan Sphere. Sejak tadi, Ray hanya menyimak saja. Dia tidak memiliki argumen untuk diperdebatkan—dia berada di pihak yang mendukung Tyro.
Kemudian, Sphere mengangkat tangannya yang satunya—yaitu tangan kiri—ke samping kepala. Setelah kedua tangannya berada di samping kepala, telapak tangan dari masing – masing tangan itu dibuka lebar ke arah depan.
"Baiklah, aku menyerah," katanya kemudian.
Sontak, Tyro dan Ray terkejut dengan hal yang dilakukan Sphere itu.
"Aku hanyalah orang bayaran yang disuruh untuk membungkam kalian. Namun, nyatanya kalianlah yang membungkamku," sambung Sphere dengan suara yang seperti diseret, sehingga terdengar sangat berat.
Tyro menoleh ke kiri, sementara Ray menoleh ke kanan, sehingga keduanya saling bertatap – tatapan.
"Bagaimana, Tyro?" tanya Ray sambil berbisik.
"Aku masih belum bisa menonaktifkan Spirit Abilityku. Kita tidak tahu apakah Sphere benar – benar menyerahkan diri, atau dia sedang merencanakan sesuatu dengan pura – pura menyerah," jawab Tyro, juga sambil berbisik.
"Begitu ya," bisik Ray sambil menganggukkan kepala.
Setelah itu, keduanya kembali meluruskan pandangan ke depan. Di depan mereka, Sphere masih berdiri mematung dengan kedua tangan terangkat. Ekspresi yang menyakitkan tergambar di wajahnya.
Melihat ekspresi yang seperti itu membuat Tyro berpikir, "Orang ini bilang kalau dia sudah menyerah. Dia juga sudah mengangkat tangan. Lalu, wajahnya menyatakan ekspresi kasihan. Tapi, aku tidak tahu apakah ekspresi itu hanya dibuat – buatnya saja?"
"Aku tidak percaya denganmu," kata Tyro kemudian—dengan suara lantang.
Dia menekuk siku kanannya sembilan puluh derajat ke depan dan membuka telapak tangan kanannya ke atas.
Terdengar suara mendengung di telinga ketiga laki – laki itu. Ray pun menutup kedua telinganya dengan kedua telapak tangan, namun dengungan itu tetap terdengar olehnya, seolah kedua telapak tangan itu adalah dinding tembus pandang yang dapat tertembus cahaya—dalam kasus ini itu adalah suara.
Sebenarnya, Sphere juga ingin menutup kedua telinganya. Namun, tidak mungkin dia menggerakkan kedua tangannya yang sedang diangkat itu. Sementara itu, wajah Tyro tampak serius. Hanya dia yang tidak merasa terganggu oleh dengungan itu.
Di atas telapak tangan kanan Tyro itu muncul sebuah bola—bola yang serupa dengan bola energi milik Sphere sebelumnya, baik bentuk dan ukurannya. Bahkan, bola ini sama – sama tersusun dari kumpulan energi—berwarna hitam yang berputar di sumbu vertikalnya dengan arah putaran searah jarum jam.
Bola hitam itu tidak bersentuhan langsung dengan kulit telapak tangan kanan Tyro, melainkan melayang dua senti di telapak tangan itu.
Sphere menelan ludah. Dia bisa menebak bahwa bola hitam itu terbuat dari ruang hampa. Selain itu, dia juga menebak kalau siapa pun yang meneyentuh bola itu lenyap seketika.
"Apa yang akan dia lakukan? Jangan bilang kalau dia ingin menghilangkanku," pikir Sphere.
Kecepatan berputar bola hitam yang tadinya adalah seratus revolusi per menit bertambah hingga dua ratus revolusi per menit selama sedetik. Semakin cepat bola hitam itu berputar, semakin kencang pula suara dengungan yang terdengar.
Ray semakin mendorong telapak tangannya ke arah telinga sambil bertanya, "Tyro mikir apa sih?" di dalam hati.
Semenit kemudian, saat kecepatan berputar bola hitam itu telah mencapai enam ribu revolusi per menit, bola itu melayang dari atas telapak tangan kanan Tyro menuju ke depan wajah Sphere.
Sontak, hal ini membuat nafas Sphere menjadi tak beraturan. Dia menelan ludah secara cepat, dengan interval waktu setiap gerakan menelannya adalah setengah detik. Selain itu, keringat juga mengalir di wajahnya bagai aliran sungai.
"Mati aku, mati aku, mati aku," Sphere mengatakan kata "mati aku" ini dengan cepat, sehingga dalam satu detik dia telah menyebutkan kata itu sebanyak empat puluh kali.
Saat jarak bola hitam itu dengan wajah Sphere adalah dua senti, tiba – tiba gerak melayang dan gerak berputar bola hitam itu terhenti, sehingga tampak seolah bola hitam itu mengambang begitu saja di udara.
Sphere membelalakkan matanya, menatap ngeri ke arah bola hitam itu. Detik – detik kematian berada di depan matanya, ditambah dengan suara mendengung yang berasal dari bola hitam itu membuat seluruh tubuh Sphere serasa bergetar.
"Kau—" perkataannya terhenti.
Kemudian, bola hitam itu pun mulai mengecil bersamaan dengan suara dengungan yang juga semakin memelan. Pada akhirnya, bola hitam itu telah lenyap ditelan ruang.
Tyro yang berdiri di seberang Sphere menghela nafasnya. Di samping kirinya, Ray telah melepaskan kedua telapak tangan yang menutupi kedua telinganya itu. Dia kembali meletakkan kedua lengan itu di samping badan.
"Aku hanya mengetesmu. Bola hitam ini memang sengaja tidak kulemparkan hingga mengenai wajahmu. Jika kau hanya pura – pura menyerah, pastinya kau akan menggunakan Aida 間 untuk memindahkan bola hitam ini ke tempat lain. Tapi, tadi kau hanya terdiam pasrah yang membuktikan kalau kau memang sudah menyerah," jelas Tyro.
Penjelasan itu membuat Sphere merasa malu. Pasti terasa memalukan bagi seseorang yang telah bermain dalam gelapnya dunia jika dia ditakhlukkan oleh seseorang yang bahkan tidak tahu apa – apa tentang gelapnya dunia.
Dia pun berkata, "Eh, begitu ya." dengan memanjangkan nadanya saat mengatakan "eh."
Kemudian, Tyro mengambil dua langkah ke depan hingga kini dia berdiri di pinggir—tidak terlalu di pinggir, namun juga tidak terlalu di tengah—jalan raya.
Sambil mengulurkan tangan kanannya ke depan, dia berkata, "Sekarang, kalau kau benar – benar menyerah, lepaskan Aida milikmu. Aku tidak bisa melepaskan orang sepertimu saat masih memakai Clothes of Chaos, meskipun kau sudah berjanji padaku."
"Itu tidak mungkin!" Sphere berseru.
Di saat yang sama, Ray berpikir, "Yah, kalau orang ini dilepaskan, yang ada malah dia bakalan mengganggu orang selain kita."
Setelah itu, suasana menjadi hening selama dua menit. Tiga laki – laki itu sedang larut di dalam pemikirannya masing – masing.
Keheningan ini dipecahkan oleh Sphere yang tiba – tiba berkata, "Baiklah kalau itu yang kau minta." Perkataan itu kemudian dia sambung dengan kata – kata, "Pekerja bayaran sepertiku tidak punya pilihan selain mengikuti apa yang disuruh."
Mendengar kata – kata itu terucap dari mulut seorang Sphere, Tyro tersenyum dan Ray berpikir, "Orang ini mau melepas jaketnya?" dengan sedikit keraguan di hatinya.
"Cuman bercanda!" tiba – tiba Tyro berseru, namun nada bicaranya tidak menunjukkan bahwa dia sedang bercanda.
Dia kembali menaruh lengannya di samping badan, membuat Sphere yang tadinya akan membuka jaketnya—dia sudah memasukkan tangan kanan ke dalam kerah jaket untuk meraih restleting dari jaket, lagi – lagi membuktikan kalau jaket itu memang dipakai secara terbalik—jadi mengurungkan niatnya.
"Apa yang mereka inginkan," gumamnya.
Kemudian, Tyro membalik badannya dan berjalan ke atas trotoar tempatnya berdiri dua setengah menit yang lalu.
Sesampainya di sana, Ray menatap wajah Tyro dan dengan perasaan bingung bercampur tidak puas, dia bertanya, "Loh, kenapa dibiarkan saja, Tyro?"
Namun, Tyro tidak menghiraukan pertanyaan Ray itu. Dia justru memalingkan pandangannya dari Ray.
***
"Ada banyak hal yang ingin kutanyakan padamu," kata Tyro kepada Sphere.
Suasana di tempat menjadi mencekam. Awan gelap bergarak dari utara, timur, barat, dan selatan sisi langit. Mereka saling bertumpukan satu sama lain begitu tiba di atas ketiga laki – laki itu.
Sementara itu, di dalam hatinya Tyro berkata, "Aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu, Ray. Tapi, setelah ini kau pasti akan mengetahuinya sendiri.
Kenapa aku membiarkan Sphere, adalah karena dia telah merasa berhutang budi denganku. Dengan begini, dia akan melakukan apa pun yang kusuruh, seperti menjawab pertanyaan yang akan kutanyakan setelah ini. Itulah prinsip hidup yang dipegang oleh orang sepertinya."
Sphere pun menurunkan kedua lengannya yang masih terangkat. Kedua lengan itu pasti terasa pegal.
"Pertama, siapa dan dimana orang yang meretas komputerku? Apakah dia memiliki hubungan dengan Black Ace? Kedua, bagaimana cara mengembalikan e-mailku yang sudah diretas olehnya?
Ketiga, seperti apa akhir satgas khusus yang ditugaskan untuk menyelidiki Black Ace?" kemudian, Tyro menyerang Sphere dengan bertubi – tubi pertanyaan.
Mendengar tiga, tepatnya empat buah pertanyaan itu membuat Sphere berkomentar, "Pertanyaanmu merepotkan."
Tyro menghela nafas. Seharusnya, manusia sepintar dirinya itu tidak perlu menanyakan pertanyaan tak berbobot seperti itu. Dia sendiri pun bisa mencari tahu jawabannya, jika Sphere menolak untuk menjawab.
Namun, mendengar jawaban dari orang yang telah mengetahuinya adalah jalan pintas bagi Tyro. Dia tidak ingin melewatkan kesempatan ini.
"Kau minta berapa? Aku sanggup membayarnya," balas Tyro.
"Atau kau ingin mendapatkan ini?" sambungnya sambil meluruskan tangan kanan ke depan dengan telapak tangan terbuka.
Belum terjadi apa – apa pada telapak tangan itu, tubuh Sphere kembali dipenuhi oleh keringat. Terbayang olehnya, sebuah bola energi berwarna hitam dan suara mendengung yang dihasilkannya.
"Baiklah, akan kujawab dari yang terakhir," jawab Sphere dengan nada seperti orang malas.
Tyro dan Ray menganggukkan kepala secara bersamaan.
"Siapa pun yang berurusan dengan Black Ace tidak akan selamat, itulah yang selalu mereka katakan. Yah, hal ini juga berlaku bagi satgas pemerintah," sambungnya dengan suara yang perlahan – lahan lenyap dalam kesunyian.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro