Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 2 Part 3*

Begitu kami menginjakkan kaki di lantai satu, aroma darah yang menyesakkan dan pemandangan yang menyeramkan menyambut kami.

"Apa apaan ini!" aku berseru terkejut saat melihat pemandangan di lantai satu.

Meja dan kursi hancur berantakan, sebagian terbelah menjadi dua dan sebagian lagi menjadi tiga. Satu - satunya meja yang masih utuh adalah meja kasir.

Kaca di depan restoran sudah runtuh. Pecahan kaca berterbaran di lantai. Sebuah mayat ditutupi oleh pecahan kaca itu, membuatnya tidak terlihat jelas.

Namun, hanya mayat itu saja yang tidak terlihat jelas. Masih ada belasan mayat lain yang berserakan di lantai. Darah mengalir dari tubuh mereka, mengotori lantai dan tembok.

Pandanganku tertuju pada salah satu mayat. Itu adalah pasangan remaja laki - laki dan remaja perempuan yang sebelumnya.

Mereka sedang bersandar di tembok yang kacanya pecah. Darah mengalir dari kepala keduanya dan mengotori tembok itu.

Proty di sebelahku tidak bisa berkata - kata. Dia berlutut sambil bergumam, "A-apa? Ke-kenapa?"

"Seharusnya aku mencegah Proty untuk melihat ini," kataku di dalam hati.

Tiba - tiba, perutku terasa mual. Aku pun menutup mulutku dengan kedua telapak tangan, sebelum muntah.

"Aku harus muntah," bisikku.

"Hah?" sahut Proty. Dia mendengar bisikanku barusan.

"Sebentar," balasku.

Aku berlari ke balik meja kasir. Sesampainya di sana, aku malah mengurungkan niat untuk muntah, karena aku melihat ada orang lain yang sedang bersembunyi di sana.

Isi perutku yang hampir keluar jadi tertelan kembali. Tenggorokkanku terasa panas saat aku menelannya.

"Beruntung masih ada yang selamat," kataku di dalam hati.

Ada belasan orang yang sedang bersembunyi di balik meja kasir. Mereka adalah pegawai restoran ini dan beberapa pengunjung restoran.

"Sebaiknya, aku panggil Proty ke sini," pikirku.

Aku pun menoleh ke kiri. Lalu, aku berseru, "Proty, tolong ke sini!" sambil melambaikan tangan kanan.

Pelayan wanita restoran yang tadi menyambut kami saat memasuki bangunan berbisik, "Jangan keras - keras." Aku langsung membalasnya dengan berkata, "Tenang saja. Polisi sudah datang dan gerombolan yang menyerang sedang adu tembak dengan polisi."

Pelayan wanita itu menganggukkan kepala. Lalu, dia menoleh ke kanan dan membisikkan sesuatu kepada pegawai restoran yang duduk di sebelah kanannya.

"Aku tidak tahu apa yang dia bisikkan, karena tidak baik untuk mengupingnya," kataku di dalam hati.

Beberapa saat kemudian, Proty sudah tiba di sebelahku. Kami sama - sama menghadap kepada orang - orang yang bersembunyi di balik meja kasir.

Aku melihat kalau ada Trail di antara mereka. Kami pun berjalan menghampirinya sambil membungkukkan badan.

Sesampainya di depan Trail, tiba - tiba dia bertanya, "Bagaimana dengan lantai dua?"

"Di sana tidak ada korban, karena hanya kami yang ada di sana," jawabku sambil berlutut, sementara Proty duduk bersila di lantai.

"Gue gak nyangka kalo di lantai satu bakal separah ini," kata Proty dengan nada pelan.

"Emangnya, orang - orang itu ngapain aja di lantai satu?" sambungnya dengan sebuah pertanyaan.

"Aku juga ingin menanyakan itu," kataku di dalam hati.

"Orang - orang itu menembaki restoran lewat jendela. Saat itu, yang di dalam hanya bisa berteriak panik. Ada yang terluka karena terkena tembakan dan ada yang terluka karena terkena pecahan kaca," kata Trail menjelaskan.

"Kemudian, orang itu ...," kata Trail sambil melirik ke arah kasir restoran. Aku dan Proty juga ikut melirik orang yang sama.

"... dia menyuruh kita untuk bersembunyi di balik meja kasir. Saat itu, aku sedang berada di sebelah meja kasir, jadi aku bisa langsung bersembunyi di sini," sambungnya.

"Apa kau mendengar suara sirine tadi?" tanyaku.

"Ya. Beberapa saat setelah suara sirine itu terdengar, aku mencoba melirik ke balik meja dan melihat kalau kalian sudah berada di lantai satu," jawab Trail.

"Jadi begitu ya," pikirku.

Suasana hening dengan terdengar suara tembakan dari luar restoran. Beberapa menit kemudian, Proty bertanya, "Loe punya rencana gak?"

"Rencana?" Trail balas bertanya.

"Buat kabur dari sini. Kita gabisa di sini terus - terusan. Kita harus kabur," jawab Proty.

"Dan waktu kita sudah hampir habis," sambungku.

Trail tidak segera membalasnya. Dia melirik ke luar meja dengan cara berdiri dengan bertumpu di kedua lututnya.

Aku menghela nafas. "Hanya Trail yang bisa diandalkan di saat seperti ini. Aku harus menunggu rencananya dengan sabar," kataku di dalam hati.

Suara tembakan kembali terdengar, selang - seling dengan suara sirine. Juga terdengar suara teriakan di antara suara tembakan.

Beberapa saat kemudian, Trail kembali duduk. Dia pun berkata, "Tapi Gen, hanya kita yang bisa kabur dari sini. Kita tidak bisa mengajak yang lainnya juga."

Aku mengalihkan pandanganku ke sekitar setelah mendengarnya. Pegawai restoran dan pengunjung lain sedang duduk ketakutan di sini.

"Kita tidak bisa meninggalkan mereka," pikirku.

"Kalo gue sih gapapa," sahut Proty.

Aku menoleh ke kiri untuk menatap Proty. Di dalam hati, aku berkata, "Apanya yang 'gapapa' Proty? Apa kau tidak merasa kasihan dengan orang - orang di sini?"

Tanpa kusadari, aku menggenggamkan kedua tanganku di atas pangkuan. Seluruh tubuhku terasa panas dan keringat pasti mengalir dari atas kepalaku.

"Tidak apa - apa, Gen," kata Trail, setelah membaca isyarat tubuhku.

"Setelah adu tembak di luar selesai, polisi pasti akan memeriksa restoran ini. Saat itulah, mereka akan menyelamatkan yang lainnya," sambungnya.

Aku menggelengkan kepala dan membalas, "Tapi-" Perkataanku itu terhenti.

"Aku lupa. Waktu kita hampir habis. Kita pasti akan mendapat hukuman jika terlambat sampai ke akademi," kataku di dalam hati.

"Baiklah," tanpa protes lagi, aku pun menyetujui rencana Trail sambil menghela nafas.

Kemudian, Trail tersenyum puas. Dia pun menjelaskan rencananya sambil menggoreskan jari telunjuk kanannya di lantai yang berdebu.

"Sebelum itu, aku ingin bertanya. Dari mana mobil polisi itu berasal?" Trail bertanya.

"Aku tidak melihatnya. Mungkin Proty," jawabku sambil menunjuk Proty dengan melirikkan mata.

"Mobil polisi datang dari mana - mana. Yang paling banyak dari utara sih tapi," kata Proty kemudian.

Aku sedikit bingung dengan jawabannya. Karena itulah, aku pun bertanya, "Kenapa kamu tahu kalau itu dari utara?"

Proty pun menjawab, "Kan udah gue bilangin, kalo gue udah sering ke restoran ini. Yah, gue udah hafal lah, utara selatannya restoran ini." dengan nada tinggi, membuat orang - orang di sekeliling kami menoleh bersamaan.

"Jadi begitu," gumam Trail. Dia meletakkan telapak tangan kanannya di bawah dagu dan kedua matanya mulai menyipit.

Beberapa menit berlalu, Trail menurunkan tangan kanannya itu hingga menyentuh lantai. Kemudian, dia berkata, "Jadi, polisi sudah menguasai jalan raya di sebelah utara. Kita akan kabur lewat sana."

Aku dan Proty menganggukkan kepala secara bersamaan.

"Orang - orang itu masih menguasai area di depan restoran. Jadi, kita akan bersembunyi di balik mobil truk yang terparkir di depan saat keluar dari sini," sambungnya.

"Selanjutnya, tergantung situasi. Tapi, aku memperkirakan kalau akan ada mobil polisi yang terparkir di pinggir jalan, jadi kita bisa bersembunyi di baliknya," penjelasan Trail berakhir di sini.

"Gimana kalo kita ketauan?" protes Proty.

"Jangan sampai ketahuan," jawab Trail, singkat.

Proty memasang wajah cemberut, mengetahui pertanyaannya dijawab dengan jawaban yang tidak memuaskan.

***

Suasana di luar restoran lebih mencekam dari pada di dalam restoran. Di sini, suara tembakan terdengar lebih jelas. Kadang - kadang juga terdengar suara langkah kaki seseorang yang sedang berlari.

Sesuai rencana, kami bersembunyi di balik mobil truk saat keluar dari restoran.

"Saat ini masih aman," pikirku sambil menempelkan badan ke mobil truk.

Trail memimpin kami di depan. Proty mengikuti di belakangnya. Sementara itu, aku menjadi berjalan yang terakhir. Tugasku adalah untuk menjaga bagian belakang.

"Aku akan memastikan kalau tidak ada yang terluka!" aku berseru di dalam hati untuk menyemangati diri sendiri.

"Di sana bagaimana, Gen?" tanya Trail dengan berbisik.

"Di sini aman," jawabku juga sambil berbisik.

"Di depan sana ada mobil polisi. Kita bisa berlari dan sembunyi di baliknya," kata Trail kemudian.

Aku menganggukkan kepala saat Trail melanjutkan, "Tunggu aba - aba dariku."

Tiba - tiba, aku mendengar suara langkah kaki dari belakang. Aku pun menoleh ke belakang untuk memastikan asal suara itu.

Namun, aku tidak melihat apa pun di belakang, selain bayangan seseorang yang muncul dari balik salah satu sisi mobil truk tempat kami bersembunyi. Seseorang itu memegang sesuatu di tangan kananya.

"Apa kita sudah ketahuan?" aku bertanya di dalam hati.

Aku kembali menghadap ke depan. Kemudian, aku berbisik, "Cepat Trail, ada orang di sini."

Dalam lima ketukan, Trail berseru, "Baiklah! Kita akan ke mobil polisi di depan sana!" dengan berbisik.

Kami pun berlari ke arah mobil polisi yang berada di utara dari mobil truk. Mobil polisi lebih pendek daripada mobil truk, jadi kami harus berlutut agar bisa bersembunyi di baliknya.

Sejenak, aku sempat menoleh ke belakang. Aku melihat kalau dari balik mobil truk yang sebelumnya itu muncul seorang anggota polisi.

Dia memegang pistol di tangan kanannya dan pistol itu sedang ditodongkan ke depan. Polisi itu terlihat berhati - hati saat sedang memeriksa mobil truk itu.

"Ternyata anggota polisi. Syukurlah," kataku di dalam hati.

Selama kami berlari, suara tembakan terdengar semakin nyaring.

"Di mana tembakannya? Semoga tidak ada peluru nyasar yang mengenai kami." kataku di dalam hati.

Beberapa saat kemudian, kami pun tiba di balik mobil polisi dengan terengah - engah.

Mobil polisi ini letaknya sedikit serong ke tenggara. Trail yang memimpin kami bersembunyi terlebih dahulu di mobil bagian belakang, agar anggota polisi yang sedang memeriksa mobil truk tidak bisa melihat kami.

"Trail tidak tahu kalau orang hampir menemukan kami tadi adalah polisi," kataku di dalam hati.

Aku dan Proty mengikuti Trail untuk bersembunyi di tempat yang sama. Kami harus berjongkok agar tubuh kami tertutup sepenuhnya oleh mobil polisi.

Sambil mengatur nafas, Trail bertanya, "Apa kita ketahuan tadi?"

"Tadi itu anggota polisi," jawabku.

Trail terdiam. Dia sedang memikirkan rencana lain. "Kami sudah berhasil menyelinap sejauh ini. Jangan sampai ketahuan," pikirku.

Di belakang mobil polisi ini terdapat mobil polisi lain yang terparkir menghadap ke barat. Mobil polisi itu menutupi pandangan polisi yang berjaga di ujung utara jalan raya.

Mereka jadi tidak bisa melihat kalau ada tiga orang remaja yang sedang bersembunyi di sini.

"Rencana Trail boleh juga," aku memujinya di dalam hati.

Selama jeda waktu saat Trail sedang berpikir, aku mencoba untuk mengintip ke arah selatan melalui atap mobil polisi yang menjadi tempat kami bersembunyi.

Aku pun melihat kalau adu tembak antara polisi dan gerombolan preman terjadi di jalan raya sebelah selatan.

Di sana, terlihat sebuah mobil sedan yang atapnya terbakar dan kacanya pecah. Dua orang preman bersembunyi di balik mobil itu, sambil mencoba menembaki polisi melalui kaca.

Polisi yang berada di depan mobil sedan itu balas menembak ke kaca yang sama.

Lalu, kepala salah satu preman itu memancarkan darah. Tembakan polisi mengenai kepalanya dan membuatnya tewas seketika.

"Lebih menyeramkan daripada di game," pikirku.

Aku merasa ngeri, lalu mengalihkan pandangan ke sisi jalan raya yang lain. Di sana, tampak seorang preman yang sedang berlari sambil mengarahkan pistolnya ke belakang.

Beberapa meter di belakangnya, lima anggota polisi mengejarnya sambil menembaki preman itu di tangan dan kakinya. Dia pun tersungkur dengan kedua kaki berdarah - darah.

"Baiklah," terdengar suara Trail yang mengagetkanku.

Aku pun berhenti mengintip dan menoleh ke arah Trail.

"Kita akan kabur lewat gang di sana," kata Trail sambil menunjuk ke sebuah gang sempit yang terletak di seberang jalan.

"Kita nyebrang nih?" tanya Proty yang merasa tidak puas dengan rencana Trail.

"Iya ...," jawab Trail.

"Bukankah kalau kita keluar dari persembunyian, gerombolan preman itu akan melihat kita?" tanyaku di dalam hati sambil menghela nafas.

"... tapi, dengan menyebrang, itu berarti kita akan memasuki arena adu tembak. Oleh karena itu, kita harus berlari dengan cepat," sambung Trail.

Aku mengangukkan kepala. Sementara itu, di dalam hati aku berkata, "Tidak ada pilihan lain. Hanya inilah satu - satunya cara untuk kabur dari sini."

Proty ikut menganggukkan kepala bersamaan denganku. "Saat ini, Proty menjadi sedikit penurut," pikirku saat melihatnya.

Dalam hitungan ketiga di dalam hati, kami pun berlari ke jalan masuk gang itu. Urutan kami masih sama, Trail yang paling depan, Proty di tengah, dan aku yang paling belakang.

"Semoga tidak tertembak!" aku berseru di dalam hati.

Kecepatan lari Trail lebih cepat dari kami, membuat kami tertinggal beberapa langkah di belakangnya.

"Tunggu, Trail," Proty berbisik.

Kecepatan lari Proty adalah yang paling pelan. Aku terpaksa menurunkan kecepatan, demi mempertahankan posisiku di bagian belakang.

Sambil berlari juga, aku mencoba untuk menuntun Proty. Telapak tangan kananku kuletakkan di atas pundak kanannya Proty.

"Ayo cepat," aku berbisik.

"Ba-baik," balas Proty. Setelah mengatakan hal itu, kecepatan larinya tiba - tiba bertambah.

Saat ini, aku bisa mendengar suara langkah kaki kami dengan jelas, bersamaan dengan suara detak jantungku yang berdegup kencang.

"Gerombolan preman itu pasti mendengar suara langkah kami. Jika mereka menyadarinya, habis sudah," kataku di dalam hati.

Beruntung, tidak ada satu pun peluru yang melesat ke arah kami. Kami pun bisa tiba di dalam gang itu tanpa terluka.

Sesampainya di depan jalan masuk gang, aku mendorong kedua tanganku ke punggungnya Proty, agar dia segera masuk ke dalam gang.

Namun, hal yang kulakukan itu malah membuatnya terjatuh di jalanan gang. Aku pun berusaha untuk mengabaikannya dan mengambil langkah panjang dan memasuki gang.

"Yang penting kita sudah masuk ke dalam," itulah yang kupikirkan.

Trail yang sudah memasuki gang terlebih dahulu sedang berdiri bersandar di tembok gang. Dia menatap Proty yang sedang duduk di jalan dengan tatapan kasihan.

***

Beberapa menit sudah berlalu sejak kami mencoba kabur dari restoran itu. Saat ini, kami sedang berlari - lari kecil di dalam sebuah gang sempit sambil sesekali menarik nafas lega.

"Tadi itu sakit banget tau!" protes Proty.

"Maaf," kataku dengan nada pelan. Sementara itu, di dalam hati aku berkata, "Harusnya aku tidak mendorongnya tadi."

"Tapi, rencanamu hebat banget dah. Kita gak ketauan sama sekali," kata Proty untuk mengganti topik pembicaraan.

"Ya, begitulah," balas Trail.

Aku menghela nafas. Kemudian, aku menatap Proty sambil berkata, "Apa masih sakit? Aku bisa mengobatimu nanti di akademi."

"Gak usah, gapapa kok," balas Proty.

"Baiklah kalau begitu," kataku dengan suara pelan sambil kembali mengarahkan pandangan ke depan.

Beberapa menit kemudian, Trail bertanya, "Setelah ini, kita ke mana?" kepada Proty.

"Pulang lah. Kan, Gen udah bilang kalo waktunya udah mau habis," jawab Proty sambil memandangku dan Trail secara bergantian.

"Jadi, ayo kita nyari tempat buat mesen taksi," sambungnya.

"Baiklah," kataku dan Trail secara bersamaan sambil menganggukkan kepala.

Kemudian, aku memasukkan tangan kananku ke dalam saku celana. Dalam sekejap, aku sudah mengeluarkan tanganku itu dengan memegang HP.

"Aku penasaran. Apakah kejadian barusan sudah masuk berita?" tanyaku di dalam hati.

Aku menyalakan HPku dan membuka website berita yang sebelumnya. Kemudian, aku memasukkan kata kunci yang sama ke search bar.

Saat ini, berita yang muncul berbeda dengan berita yang muncul saat kami masih berada di restoran.

Aku pun menyentuh layar HPku yang terdapat tulisan, "Penyerangan di Jalan Tradi pasca penyerangan kantor polisi."

Sebelum membaca tulisan yang muncul, aku mengarahkan pandanganku ke Proty dan Trail sambil berseru, "Kejadian barusan sudah masuk berita!"

"Benarkah?" balas Trail. Dia memelankan langkahnya hingga tubuhnya menjadi sejajar dengan tubuhku.

Setelah itu, Trail melirik ke arah layar HPku. Bersama - sama, kami mulai membacanya di dalam hati masing - masing.

"13 Maret 2013. Terjadi penyerangan ke berbagai fasilitas umum di Jalan Tradi, oleh kelompok yang sama dengan yang menyerang kantor polisi tadi pagi.

Masih belum diketahui motif penyerangan. Saat ini, mereka sedang terlibat adu tembak dengan aparat setempat. Jumlah korban jiwa 10 di pihak mereka dan 2 di pihak polisi.

Sementara itu, korban jiwa di pihak masyarakat umum masih belum diketahui. Aparat yang berwajib masih berusaha untuk mengevakuasi masyarakat umum yang terjebak di tengah - tengah penyerangan."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro