Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 2: Insiden di Jalan Tradi

13 Maret 2013

Academy of Super Ability memiliki hari libur yang berbeda dengan sekolah pada umumnya. Salah satunya adalah tanggal 13 Maret ini.

Meski namanya hari libur, bukan berarti kami bisa keluar dari area komplek seenaknya. Kami tetap harus izin dan menaati peraturan untuk keluar dari area komplek.

Hari libur ini dibuat, karena guru – guru ingin melakukan penelitian di laboratorium tanpa terganggu oleh waktu untuk mengajar. Jadi, hari ini dinamakan hari libur, karena tidak ada jam pelajaran.

Hari libur ini hanya bisa kumanfaatkan untuk bermain laptop di kamar. Tadinya, aku ingin jalan – jalan ke luar area komplek sambil mengajak Clone, namun dia langsung menolak saat kuajak.

Karena aku bingung ingin melakukan apalagi, akhirnya aku pun memutuskan untuk bermain laptop saja.

Tok ... tok ... tok ... seseorang mengetuk pintu kamar saat aku sedang membuka website "News.com" di laptopku. Aku sedang membaca berita terbaru di website itu.

Aku menghela nafas sambil menatap layar laptopku. Pandanganku tertuju kepada kalimat terakhir dari paragraf yang sedang kubaca. Di sana tertulis, "... korban luka – luka sebanyak 11 orang."

Kemudian, aku pun bangkit dari kursi. Sesaat, aku melirik ke layar laptop, sebelum berjalan ke depan pintu kamar.

"Ya, tunggu sebentar!" seruku.

Sementara itu, di dalam hati aku bertanya, "Apakah itu Clone? Tapi, Clone tidak mungkin mengetuk pintu."

Aku pun membuka pintu kamar dengan memutar gagangnya ke arah kiri.

Pintu kamar terbuka, memperlihatkan Proty yang ternyata, dialah yang mengetuk pintu tadi. Aku pun bertanya, "Ada apa?" kepadanya.

"Anu ... Gen ...," kata Proty dengan terbata – bata.

"Loe ... kamu mau nggak, ikut jalan - jalan sama a-aku?" sambungnya.

"Jalan – jalan?" tanyaku memastikan. Proty menganggukkan kepalanya degan cepat, sampai – sampai aku tidak melihat proses anggukan kepalanya.

"Boleh. Aku ingin menghirup udara segar di luar. Tadinya, aku mengajak Clone jalan – jalan tapi dia langsung menolaknya. Lalu, kebetulan kau mengajakku, Proty," kataku sambil menghela nafas.

"Makasih Gen!" Proty berseru senang sambil menghadapkan badannya ke arah kiriku dan bersiap untuk berlari di lorong bangunan asrama.

Namun, sebelum Proty berlari, aku sudah menggerakkan tangan kananku untuk memegang pundaknya.

Proty pun menoleh ke belakang sambil bertanya, "Kenapa, Gen?" Pertanyaan itu segera kujawab dengan berseru, "Tunggu!"

"Apa hanya kita berdua saja?" sambungku.

"Ya ... gapapa sih kalau kamu mau ngajak anak yang lain," jawab Proty.

Aku pun menundukkan kepala sambil berpikir, siapa yang sebaiknya kuajak jalan – jalan. "Apakah Clone? Tidak, dia pasti tidak mau," pikirku.

"Mungkin, aku akan mengajak Trail," kataku setelah berpikir cukup lama.

Proty membalasnya dengan menganggukkan kepala dan berkata, "Yaudah kalo gitu. Nanti ketemuan di lobi aja."

Akupun melepaskan tangan kananku yang memegang pundaknya Proty. Sepersekian detik kemudian, Proty pun melangkahkan kaki dan melanjutkan proses berlarinya.

Dia berlari ke arah timur di sepanjang lorong lantai 2 bangunan asrama. Saat aku mengeluarkan sedikit kepalaku dari dalam kamar dan menoleh ke kiri, Proty sudah menghilang dari pandanganku.

"Larinya cepat juga. Tapi, kenapa Proty selalu terlihat kelelahan saat disuruh berlari mengelilingi lapangan di pelajaran olahraga?" tanyaku di dalam hati.

Aku pun membalik badanku dan berjalan ke depan meja yang terdapat laptopku di atasnya.

Sesampainya di sana, aku menggerakkan tangan kananku hingga telapak tangannya memegang bagian atas dari layar laptop di atas meja itu.

Kemudian, aku menutup layar laptop itu dengan mengayunkan lengan kananku ke bawah, searah arah ayunan engsel di bagian bawah layar laptop.

"Aku harus bersiap – siap," kataku di dalam hati.

***

Satu jam kemudian, aku sudah bersiap – siap dan mengurus surat izin keluar area komplek. Aku juga sudah menghubungi Trail melalui SMS dan mengatakan padanya kalau kita akan bertemu di lobi bangunan asrama.

Begitulah, kami pun bertemu di lobi. Aku berdiri di sisi lobi sebelah utara, sementara Trail berdiri di sebelah tiang penyangga yang ada di hadapanku.

Kami sedang menunggu Proty mengurus izin keluar area asrama miliknya sambil sedikit berbincang - bincang.

"Ini aneh sekali. Proty yang mengajak, Proty juga yang mengurus izin paling akhir. Kupikir, dia sudah mengurus izin sebelum mengajakku," pikirku.

Aku menyadarkan badanku ke tembok di belakangku dan juga melipat kedua lengan di depan dada. Kulihat Trail juga melakukan hal yang sama, tapi tanpa melipat kedua lengan.

"Kira – kira, kita akan ke mana ya, Trail?" tanyaku pada Trail kemudian sambil menghela nafas.

"Kenapa kau tanyakan padaku? Memangnya, Proty tidak bilang saat dia mengajakmu?" Trail balas bertanya.

"Tidak," jawabku sambil menggelengkan kepala.

Kemudian, Trail meletakkan telapak tangan kanannya yang mengepal di bawah dagu. Dia pasti sedang memikirkan sesuatu tentang Proty.

Sesaat kemudian, Trail berkata, "Kalau begitu, kita ikuti Proty saja. Sepertinya, dia akan membawa kita berputar – putar. Kau tahu sendirilah, seperti apa perempuan itu."

Aku terkekeh mendengar penjelasannya. "Ya, begitulah anak perempuan itu," kataku di dalam hati, membenarkan perkataannya.

Dua menit sudah berlalu dan Proty masih belum datang. "Kenapa dia lama sekali, padahal hanya mengurus surat izin saja?" tanyaku di dalam hati.

Aku menundukkan kepala dan memandang lantai yang sedang kupijak. Tiba – tiba, aku tersadar kalau Trail sedang memakai jaketnya yang merupakan Clothes of Chaos.

"Trail, kau memakai Clothes of Chaosmu?" aku pun bertanya.

"Ya. Memangnya kenapa?" tanya Trail.

"Bukankah ada aturan yang melarang kita untuk menggunakan Spirit Ability di luar area komplek?" balasku dengan sebuah pertanyaan.

"Tapi, bukan berarti kita tidak boleh memakai Clothes of Chaos. Kita hanya tidak boleh mengaktifkannya saja. Lagipula, aku suka saja memakai jaket saat berpergian," jawab Trail.

Aku menganggukkan kepala. Memang, saat ini aku sedang tidak memakai Clothes of Chaos, meskipun hanya itulah satu – satunya jaket yang kumiliki.

Kulihat Trail mengalihkan pandangan ke samping kirinya. Aku juga ikut menoleh ke arah yang sama, yaitu ke samping kananku.

Kami memandang ke arah pintu masuk ke bangunan asrama. Dari luar pintu itu, tampak Proty yang sedang melangkahkan kakinya memasuki lobi bangunan asrama.

"Dia sudah datang," komentar Trail.

Sesampainya di dalam lobi, Proty sempat menoleh ke kiri kanan dalam kebingungan untuk mencariku dan Trail.

"Proty sedang kebingungan. Aku harus membantunya," pikirku sambil menghadapkan badanku ke arah Proty.

Kemudian, aku mengangkat tangan kananku ke atas dan melambaikannya ke kiri kanan. Entah berapa kali lambaian yang sudah kulakukan. Aku berniat untuk melambaikannya hingga Proty menyadarinya.

Namun, karena dia tidak kunjung sadar, aku pun berseru, "Proty!" sambil tetap melambaikan tangan.

Semenit kemudian, akhirnya Proty pun menyadari lambaian tanganku itu. Dia pun menghadapkan badan ke arahku dan Trail.

Setelah itu, Proty berjalan setengah berlari ke arah kami, sambil mengayunkan kedua tangannya di samping badan.

"Kau terlambat," pikirku.

Kemudian, dalam waktu satu menit yang sama, Proty telah tiba di samping kirinya Trail. Saat itu, dia bertanya, "Kalian ke mana aja?" sambil menyilangkan tangan.

"Kami sudah di sini sejak tadi," jawab Trail. Kemudian, dia menghadapkan badannya ke arahku dan berkata, "Ya kan, Gen."

"Iya," jawabku sambil menganggukkan kepala.

Namun, Proty malah menyerngitkan dahi sampai kedua alisnya bertemu dan memiringkan kepala ke arah kanannya. Bola matanya juga ikut bergerak ke kanan, bersamaan dengan memiringnya kepalanya itu.

"Ada apa?" tanyaku.

"Dahlah, ayo pergi," Proty membalasnya dengan jawaban yang tidak sesuai untuk pertanyaanku.

Beberapa saat kemudian, Proty berjalan mendahuluiku, menuju ke depan pintu masuk lobi.

Aku dan Trail pun ikut melangkahkan kaki untuk menyusulnya. Kami berjalan dengan saling bersebelahan di belakangnya Proty.

"Kita akan naik angkot, kan?" tanyaku kemudian yang segera dijawab dengan gelengan kepala oleh Proty.

"Kalian ini kampungan banget sih. Masa jaman gini masih pake angkot? Jaman gini itu, pakenya taksi," sambungnya.

Aku menghela nafas, sementara di dalam hati aku berkata, "Aku belum pernah naik taksi sebelumnya."

"Jangan bilang kalo kalian gak pernah pake taksi," ancam Proty secara tiba – tiba.

Aku pun menoleh ke samping kanan. Kulihat kalau Trail juga menoleh, namun ke samping kiri. Dengan begitu, kami sedang saling berpandangan.

"Iya. Tidak pernah," jawabku dan Trail secara bersamaan sambil menggelengkan kepala.

"Haduh, kalian ini!" Proty berseru tidak sabaran.

Kemudian, dia mengeluarkan sebuah HP dari dalam saku celananya. Proty menyalakan HP itu dan menekan – nekan layarnya dengan kedua jari telunjuk di masing – masing telapak tangannya.

Aku tidak tahu apa yang sedang dia lakukan di sana. Bukan hal yang baik untuk mengintip hal yang sedang dilakukan seseorang di HPnya.

Setelah menekan – nekan layar ponsel itu selama kurang lebih sekitar lima menit, Proty mendekatkan layar HP itu ke telinganya.

"Ya, halo. Satu taksi ke toko sembako," kata Proty berbicara dengan HPnya.

"Oh, taksi harus dipesan dulu lewat telepon," kataku di dalam hati. "Tapi, kenapa ke toko sembako?" sambungku dengan sebuah pertanyaan.

Aku lupa dengan salah satu peraturan di akademi. Selain tidak boleh menggunakan Spirit Ability, kami juga tidak boleh menaiki kendaraan umum dari depan area komplek. Tujuannya adalah agar keberadaan akademi tetap tersembunyi dari orang awam.

Jika ingin menaiki kendaraan umum seperti angkutan kota, kami harus memberhentikan kendaraan itu di tempat lain yang letaknya berdekatan dengan komplek akademi, seperti toko sembako yang dikatakan Proty.

Tak lama kemudian, HP itu kembali dimasukkan oleh Proty ke dalam saku celananya. "Taksinya gue suruh ke toko sembako," katanya saat memasukkan HP ke dalam saku.

Aku dan Trail mengangguk bersamaan.

"Sesuai kata Trail tadi, kami harus mengikuti apapun yang dikatakan oleh Proty. Itu pun termasuk menyetujui apapun yang diinginkan Proty tanpa bertanya," pikirku.

Aku harus memikirkan cara untuk menghadapi Proty selanjutnya. Menghadapi anak perempuan sepertinya, berbeda dengan menghadapi anak laki – laki. Kuharap, Trail bisa membantuku.

Tiba – tiba, terdengar suara Trail bertanya, "Proty, kita urunan berapa untuk membayar taksinya?"

Proty menjawabnya dengan menggerakkan kedua pundaknya, naik turun dengan cepat.

"Gatau," kata Proty.

"Kenapa tidak tahu?" tanyaku di dalam hati sambil menghela nafas.

"Kayaknya, kalian emang gak pernah naik taksi," sambung Proty dengan nada seperti mengejek.

"Jadi, taksi tuh sistemnya kita naik dulu. Terus, pas jalan nanti, baru muncul di meterannya, jumlah uang buat dibayar. Selama jalan nanti, jumlahnya nambah terus dan baru berhenti nambah, pas kita udah nyampe," jelas Proty.

"Oh, jadi urunannya nanti saja, saat kita sudah sampai di tujuan," aku menyimpulkan.

"Berarti, jumlah urunannya sama dengan tulisan di meterannya saat kita sudah sampai," Trail menambahkan.

Proty menganggukkan kepala. Kemudian, dia memutar lehernya ke arah kanan untuk melirik ke belakang. Tidak terlihat jelas, siapakah yang sedang dia lirik, karena bola matanya sedang diam di tempat.

***

Sebuah mobil sedan berwarna biru dengan tulisan, "Taksi" di badan pintu depannya berhenti di depan halaman sebuah supermarket. Pintu belakang di sebelah kiri mobil itu terbuka lebar.

Tiga sosok remaja SMP keluar dari dalam mobil sedan itu. Tidak, ini bukan mobil taksi yang kami tumpangi. Oleh karena itu, tiga sosok remaja SMP itu bukan diriku, Trail, apalagi Proty.

Sebenarnya, aku sedang mengamati mobil taksi itu sambil berjalan memasuki pintu depan supermarket yang bisa terbuka secara otomatis dengan bergeser ke samping.

Mobil taksi yang kami tumpangi sudah tiba di supermarket ini sejak lima menit yang lalu. Setelah kami turun dari dalam mobil, mobil itu pun kembali melesat di jalan raya yang ramai.

Supermarket sedang sepi pada saat ini, karena memang hari ini bukan hari libur. Hanya kami bertiga yang terlihat di dalamnya, bersama dengan petugas supermarket yang terdiri dari kasir, satpam, dan petugas kebersihan.

Bangunan supermarket ini luasnya seribu tujuh ratus meter persegi. Meskipun begitu, kami hanya bisa menjelajahi dua per tiganya saja, karena sepertiga bagian yang lain adalah tempat khusus karyawan.

Aku mendongak menatap sebuah layar televisi yang digantung di langit – langit di atas koridor yang sedang kami lalui.

Layar itu memperlihatkan rekaman dari dua puluh tujuh CCTV yang terpencar di seisi bangunan. Sembilan buah rekaman ditampilkan di layar, sebelum tampilan berganti ke sembilan rekaman lain.

Tiba – tiba, seorang satpam menghadang kami sambil berkata, "Jaket tolong dititipkan ke kasir."

"Baik, pak," jawab Trail.

Proty yang biasanya memprotes, sekarang justru menuruti kata satpam itu. Dia dan Trail berbalik arah, menuju ke salah satu meja kasir sambil melepas jaket yang mereka pakai.

"Beruntung aku tidak memakai Clothes of Chaos," pikirku.

***

"Kenapa kita harus jauh – jauh ke supermarket ini kalau hanya untuk membeli perbekalan saja?" tanyaku pada Proty.

"Soalnya, di sini banyak diskonnya," jawab Proty.

"Sudah kuduga," balasku di dalam hati.

"Sekarang ini, diskon tuh penting banget," tambahnya.

"Kau benar. Sekarang masih tengah bulan, tapi uang sakuku sudah menipis," kata Trail menyetujui jawaban Proty.

Kami lanjut berjalan di sepanjang koridor. Sekitar dua puluh langkah kemudian, tiba – tiba Trail berkata, "Bagaimana kalau kita berpencar?" untuk memberikan saran.

"Gapapa sih," kata Proty menyanggupi.

Dia pun mempercepat langkah kakinya hingga hampir berlari, sehingga Proty yang tadi memang berada di depan kami, menjadi jauh meninggalkan kami di depan.

Di tengah lariannya, Proty menoleh ke belakang selama sedetik. Saat itu, dia berseru, "Nanti ketemuan di depan pintu masuk ya!"

"Ya," jawabku dan Trail sambil menganggukkan kepala secara bersamaan.

Sementara itu, di dalam hati aku berkata, "Dia teriak – teriak begitu, apa tidak mengganggu orang lain? Tapi, di supermarket ini hanya ada kita saja."

Proty berlari menuju ke pertigaan koridor. Sesampainya di sana, dia berbelok ke kanan tanpa mengurangi kecepatan sedikit pun. Tubuhnya sedikit oleng ke kanan saat dia berbelok.

Saat Proty sudah menghilang dari pandangan, aku menoleh ke kanan sambil bertanya, "Apakah ini ide yang bagus?" dengan sedikit berbisik.

"Kau tahu kan, Gen. Soal berbelanja seperti ini, perempuan bisa menghabiskan banyak waktu. Kita tidak akan betah jika terus – terusan bersamanya. Apalagi, perempuan juga suka membeli banyak barang yang mungkin tidak terlalu diperlukan," jelas Trail sambil berbisik juga.

"Ya, aku tahu," balasku.

Aku pun berpikir, "Sepertinya, Trail tahu banyak hal soal perempuan."

Aku kembali menghadapkan kepalaku ke depan. Kemudian, aku menghela nafas dan berkata, "jadi, maksudmu kita tidak perlu terlibat dengannya, begitu?"

"Ya, begitulah," jawab Trail.

Aku menghela nafas. Di dalam hati, aku berkata, "Sebenarnya, aku tidak tahu apa yang ingin kubeli. Sebaiknya, kupikirkan sekarang saja."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro