Chapter 12: Tatapan yang Mengancam
4 November 2014
Pelajaran pertama di hari ini adalah olahraga. Pelajaran olahraga adalah pelajaran yang disukai oleh sebagian anak, karena pelajaran ini dilakukan di lapangan belakang bangunan asrama. Jadi, setelah sarapan kami tidak perlu berjalan ke bangunan sekolah.
Aku memakai baju olahraga—untuk pelajaran olahraga, akademi menyediakan seragam olahraganya sendiri dan kami tidak diperbolehkan untuk memakai jaket—dengan lengan dan celana panjang berwarna biru cerah. Di sisi samping lengan dan kaki baju itu terdapat dua buah garis putih.
Baju olahraga yang kupakai terasa kebesaran, berbeda dengan Gen yang baju olahraganya melekat pas di tubuhnya. Padahal sudah lewat satu tahun, mengapa baju olahragaku masih kebesaran saja?
"Ayo, Clone," ajak Gen.
Dia telah berdiri di depan pintu kamar. Aku tidak tahu dan tidak ingin tahu, apa yang membuatnya begitu bersemangat. Bagiku, pelajaran olahraga tidak ada bedanya dengan pelajaran lain.
Tidak! Pelajaran olahraga adalah pelajaran yang paling tidak kusukai nomor dua setelah IPS atau Ilmu Pengetahuan Sosial. Kalau pelajaran yang paling kusuka adalah IPA atau Ilmu Pengetahuan Alam dan bahasa inggris di nomer dua.
"Iya, sebentar," kataku sambil menoleh ke arahnya.
Saat ini, aku sedang berlutut di sebelah tempat tidur dengan posisi kaki kanan ditekuk ke depan dan kaki kiri ditekuk ke bawah. Kedua telapak tanganku menyentuh bagian depan dari sepatu hitam yang kupakai di kaki kanan.
Di bagian depan sepatu itu terdapat dua utas tali yang menjulur dari bagian depan sepatu, hingga menyentuh lantai.
Aku mengerakkan kedua tanganku sedemikian rupa—sulit menjelaskannya—hingga dua utas tali itu saling membentuk ikatan berbentuk seperti pita. Setelah itu, aku menarik setiap ujung pita untuk memastikan bahwa tali itu telah terikat dengan kuat.
Kemudian, aku kembali menoleh ke arah pintu kamar. Kulihat bahwa pintu itu terbuka dengan sudut sebesar enam puluh derajat, dengan Gen berdiri di depan sisi luar pintu.
"Ayo, Clone," ajaknya lagi.
Aku pun mendorong kedua telapak kakiku ke lantai, sehingga kedua lutut yang masih menekuk itu dapat diluruskan secara paksa, dan secara otomatis tubuhku meninggalkan posisi berlutut dan memasuki posisi berdiri.
Saat posisi badanku sudah sepenuhnya berdiri, aku berkata, "Ayo." kepada Gen.
***
Sekitar lima menit—aku tidak tahu. Jam tanganku kutinggalkan di dalam kamar, tergeletak begitu saja di atas meja belajar—aku dan Gen tiba di lapangan bangunan asrama dan kami disambut oleh anak – anak yang lain.
"Yo," sapa Pulse.
"Ayo, sini," kata Trail sambil melambaikan tangan kanannya.
"Tinggal Tech aja, ya?" aku tidak sengaja menguping Proty yang sedang berbisik – bisik dengan Rite.
Sementara itu, Syco hanya tersenyum saja. Aku pun membalas senyuman itu dengan memalingkan pandangan, karena suatu alasan yang tidak kuketahui.
Ah, benar. Sudah beberapa minggu berlalu sejak terbongkarnya penyusup di akademi yang ternyata adalah Pak Bind. Aku bingung, bagaimana orang – orang tahu kalau Pak Bind adalah penyusup? Sepertinya, ada sesuatu yang kulewatkan di akademi.
Bukankah memang selalu begitu? Ingat Clone, ada sesuatu yang orang lain selalu tahu dan kau tidak tahu. Tapi, kenapa mereka tidak memberi tahuku?
Pokoknya, setelah beberapa minggu berlalu, anak – anak melanjutkan kehidupan di akademi seperti biasa, seolah tidak ada hal besar yang telah terjadi. Saat dulu ada yang menyerang akademi pun sama. Setelah penyerangan itu selesai, hari – hari kembali menjadi normal.
Gen balas melambaikan tangan ke arah Trail sambil berseru, "Iya!"
Setelah itu, dia pun melangkahkan kakinya menuju ke arah Trail. Aku ikut berjalan di belakangnya.
Sejak aku memasuki lapangan ini, aku tidak melihat Pak Met, guru olahraga kami. Yang kutahu, dia juga mengajar pelajaran lain selain olahraga, mungkin matematika. Karena itulah, Pak Met sering terlambat mengajar olahraga di kelasku, karena di pagi hari seperti ini, biasanya dia sedang mengoreksi tugas matematika dari kelas yang diajarnya di ruang guru.
Di depanku saat ini, Gen sedang berbincang – bincang dengan Trail. Entah apa yang mereka bicarakan, mengupingnya pun percuma, karena aku tidak akan mengerti dengan pokok pembicaraan mereka.
Setelah berbincang – bincang dengan Gen, Trail berjinjit. Dia sedikit mendongak ke atas dan kedua tangannya digerakkan ke atas kepala.
Sambil menepuk kedua telapak tangan di atas kepalanya sebanyak enam kali, Trail berteriak, "Semuanya! Ayo pemanasan dulu!"
Aku menoleh ke belakang, menatap pinggir lapangan yang menjadi tempat berkumpulnya anak – anak perempuan. Sebagian dari mereka—hanya Syco sebenarnya—menuruti teriakan Trail dan berjalan ke tengah lapangan—tempatku, Gen, dan Trail berdiri saat ini.
Aku kembali menghadap ke depan, saat Pulse mendekati Trail dari sebelah kiri dan raut wajah Trail tiba – tiba terlihat serius dengan dahinya yang berkerut. Ada apa dengannya?
Dia mengeluarkan benda hitam berukuran kecil dan berbentuk persegi panjang—ponselnya—dari saku kiri celana panjang olahraganya. Aku tidak tahu, ada apa di ponsel itu yang membuat wajah Trail mendadak serius. Namun, jika harus menebak, maka aku akan menebak kalau itu adalah ... entahlah, aku tidah tahu.
Trail memandang layar ponsel, masih dengan wajah serius. Lama – lama, dia terlihat seperti Tech yang dimana pun dan kapan pun tidak bisa lepas dari ponselnya—tidak! Tech lebih parah dari ini.
Setengah menit kemudian, wajah seriusnya perlahan – lahan menghilang dan dalam lima ketukan, wajah serius itu telah hilang sepenuhnya. Kemudian, dia mengembalikan ponsel itu ke tempat asalnya sambil berkata, "Salah satu tolong ikut denganku. Pak Met menyuruh untuk mengambil matras di gudang."
"Aku saja!" Pulse langsung menyahut setelah Trail menyelesaikan kalimatnya itu.
Kenapa Trail bisa memerintah anak yang lain, lalu anak yang lain mau menuruti perintahnya? Jawabannya, karena dia adalah ketua kelasku, kelas 2B. Wakil ketua kelas kelas 2B adalah Syco. Mereka berdua memang cocok.
"Ayo Pulse," Trail berlari berpapasan denganku di sebelah kanan.
Pulse ikut berlari di belakangnya—ya, mereka sama – sama berpapasan denganku di sebelah kanan. Lima menit kemudian, saat aku menoleh ke belakang, tubuh dua anak itu telah menghilang dari pandanganku.
Jadi, apa yang sebaiknya kulakukan sekarang? Trail telah pergi yang berarti, tidak ada yang memimpin pemanasan.
"Clone," Gen memanggil.
Aku pun menoleh ke arahnya.
"Pemanasannya bagaimana? Kalau kau yang memimpin mau gak?" tanyanya dengan raut wajah seperti orang yang sedang menahan tawa.
Aku? Memimpin pemanasan? Yang benar saja. Mana mungkin orang bodoh, pemalas, pemarah, penakut, pemarah, pendiam, pe—ehm, apa lagi ya, sombong mungkin—memimpin pemanasan ini. Pemimpin itu harusnya seseorang yang berwibawa. Kalau aku yang memimpin, yang ada hanyalah kekacauan dan pemanasan ini jadi tidak bisa dilakukan.
Aku menatap Gen sambil menyipitkan mata. Pertanyaan Gen itu memberikan dua arti, apakah itu adalah gurauan atau tidak. Atau, sebaiknya kuanggap serius saja pertanyaan itu?
"Jangan aku Gen," kataku kemudian.
Gen menghela nafas. Mungkin, dia menganggap kalau aku terlalu serius menanggapi gurauannya itu. Namun, sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk bergurau.
Anak – anak perempuan seperti Syco, Proty, dan Rite pasti tidak mau memimpin pemanasan. Biasanya, yang memimpin pemanasan memang anak laki – laki, kalau bukan Trail, ya Pulse. Saat di kelas satu dulu, guru olahraganya jarang terlambat seperti ini. Jadi, dialah yang selalu memimpin pemanasan.
Kalau Tech, dia pasti tidak mau, karena dia terlihat selalu bermain game di ponselnya dan tidak ingin bermain gamenya diganggu, bahkan oleh pemanasan.
Entah berapa menit telah berlalu, Pulse dan Trail masih belum kembali. Jarak dari lapangan—lapangan terletak di dalam bangunan asrama—ke bangunan gudang membutuhkan waktu paling sedikit lima menit untuk ditempuh.
Gen kembali menghela nafas sebelum mengatakan, "Sudahlah, aku saja."
Kenapa tidak bilang begitu saja tadi, tanpa basa basi?
Kemudian, Gen melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan Trail beberapa saat lalu—berjinjit sambil menepuk kedua tangannya di atas kepala dan meneriakkan kata – kata, "Semuanya! Ayo pemanasan!" Bedanya, saat ini Proty dan Rite menuruti teriakan itu.
Berarti, Gen lebih berjiwa pemimpin daripada Trail? Sebenarnya saat pemilihan ketua kelas di kelas satu dulu, Gen menjadi salah satu calon. Namun, tanpa alasan yang jelas, Pak Steven tiba – tiba mencoret nama Gen dari daftar calon dan menunjuk Trail secara sepihak. Tapi, saat itu semua anak di kelas setuju – setuju dengan Trail yang menjadi ketua kelas.
Sampai sekarang hal itu tidak pernah diperdebatkan. Yah, aku juga tidak terlalu suka melihat perdebatan. Begini saja sudah baik, suasana kelas damai tanpa ada masalah di antara anak – anak. Atau ada masalah, hanya saja aku tidak mengetahuinya?
Berkat usaha teriak – teriaknya Gen, saat ini teman – teman sekelasku—kecuali Pulse dan Trail tentunya—sedang berkumpul di tengah lapangan.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro