Chapter 12 Part 4*
Punggungku terasa sakit. Di saat seperti ini, aku selalu menganggap kalau tulang belakangku patah, entah sebenarnya memang patah atau tidak.
Pandanganku mulai kabur. Nafasku tersenggal - senggal seperti orang sesak. Terasa sedikit rasa pahit di lidahku. Saat aku menundukkan kepala, di ubun - ubunku terasa seperti ada paku tajam yang menusuknya.
Saat sedang menundukkan kepala pula, aku menatap genangan cairan merah kental dengan keliling tiga puluh dua senti. Ini adalah darahku ya? Kata orang, golongan darah O memiliki darah yang berwarna merah gelap. Saat inilah, aku bisa memastikan kebenarannya. Namun, lama - lama menatap darah bukan hal yang baik.
Aku pun segera mendongakkan kepala dan melihat kalau Blaz sedang berjalan mendekat sambil berkata, "Bukan pertarungan namanya jika tidak ada yang mati."
Perkataan ini mengingatkanku pada saat aku dan Blaz yang masih dalam sosok Pulse mendapat perintah untuk melakukan tes tahap tiga di laboratorium. Saat itu, Pulse bertarung seolah ingin membunuhku. Jadi, itu memang sifat asli Blaz. Dia tidak bisa menyembunyikannya, meskipun menyamar menjadi sosok Pulse sekalipun.
Dalam setengah menit, Blaz telah tiba di depanku. Dia menundukkan kepala, berkebalikan dengan kepalaku yang mendongak.
Begitu pandangan kami saling bertemu, seberkas cahaya yang menyilaukan melintas di mataku.
Setelah berlalunya cahaya itu, tiba - tiba pandanganku berubah. Kini, aku yang sedang dalam posisi berdiri berada di lorong putih tak berujung. Aku mencoba untuk menggerakan ujung jari telunjuk kanan. Percuma saja. Aku tidak bisa menggerakkannya. Seluruh tubuhku terasa kaku. Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi-
Potongan demi potongan gambar melewati sebelah kiri dan kananku secara bergantian. Apa ini? Aku seolah dipaksa untuk berjalan di galeri seni dan menyaksikan setiap lukisan yang dipamerkan.
Setiap gambar yang muncul itu berbentuk persegi panjang dengan panjang tiga belas senti dan lebar sembilan senti. Aku tidak mengerti apa hubungan setiap gambar yang muncul di sini. Namun, tidak ada salahnya untuk menghafalkan gambar - gambar itu bukan?
Gambar yang pertama muncul di sebelah kiri adalah seorang laki - laki yang mirip dengan Blaz, namun dari wajah dan postur tubuhnya terlihat kalau dia lebih muda.
Setengah menit-setiap potongan gambar di sini hanya muncul selama tiga puluh detik-kemudian, gambar itu lenyap dan di sebelah kananku muncul gambar yang memperlihatkan interior dapur bergaya Eropa, entahlah, aku hanya mengarang saja soal gaya Eropa itu.
Selanjutnya, di sebelah kiriku muncul gambar seseorang yang mirip-memang-dengan Blaz. Wajahnya terlihat senang. Tangan kanannya diayunkan ke atas sambil memegang sebuah medali emas bertali biru.
Gambar - gambar yang muncul selanjutnya tidak menarik perhatianku. Aku sempat melihat ada gambar gua yang di dalamnya terdapat sebuah kristal putih berukuran-sebenarnya, aku tidak bisa memastikan ukurannya-besar. Kristal putih itu memantulkan spektrum warna pelangi-merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, ungu.
Setelah melalui tiga buah gambar di masing - masing kiri dan kananku, akhirnya munculah sebuah gambar yang terlihat menarik. Itu adalah gambar sebuah gedung pencakar langit setinggi sepuluh lantai.
Atmosfer gedung itu diselimuti oleh langit mendung dan hujan lebat disertai petir. Di atas atap gedung itu, dua orang laki - laki sedang berdiri saling berhadapan. Aku mengenali salah satu dari mereka, yang tak lain adalah Blaz. Aku tidak tahu siapa orang yang satunya, tapi saat ini mereka terlihat seperti sedang ingin bertarung.
Kemudian terjadi hal yang aneh. Di sebelah kananku memang muncul sebuah gambar, namun gambar itu hanya menampilkan warna putih saja. Karena kurasa tidak ada yang penting dari gambar itu, aku pun memalingkan pandangan ke arah kiri.
Gambar yang selanjutnya muncul di sebelah kiriku adalah sebuah rumah mewah yang terbakar. Ini adalah berita kebakaran yang dulu pernah kutonton di televisi.
Setelah gambar itu lenyap, tidak ada gambar yang muncul di sebelah kanan untuk menggantikannya.
Dua menit berlalu, muncul sebuah gambar yang lebih besar dari sebelumnya-berukuran satu dikali satu setengah meter-dan letaknya bukan di sebelah kiri atau di sebelah kanan, melainkan di depanku.
Aku tidak ingat apa isi gambar itu, karena gambar itu memancarkan cahaya yang menyilaukan. Aku memaksakan diri untuk tetap membuka kedua mata walau berhadapan dengan cahaya yang silau demi menuliskannya di cerita ini. Tapi yah, apa boleh buat.
Kalau mau menebak, aku akan berkata kalau itu adalah gambar sesosok makhluk bukan manusia yang sedang berjalan di tengah - tengah kobaran api. Mungkin, memang ini yang terdapat di gambar itu.
Tapi, di mana aku sekarang?
Setelah gambar itu lenyap, tahu - tahu aku sedang duduk di kursi kayu ini. Di depanku terdapat sebuah meja kayu dan kursi yang kududuki ini sepertinya berhadapan dengan sebuah kursi kayu lain.
Tempat apa ini? Aku menoleh ke kiri kanan, mencoba melihat sekeliling.
Tidak hanya ada sebuah pasangan meja dan kursi saja. Pasangan meja dan kursi-setiap pasangan terdiri dari satu meja dan dua kursi-yang tak terhitung jumlahnya memenuhi ruangan ini. Ruangan ini berlantai ubin dan bertembok bata. Sebagian cat putih di tembok itu mulai luntur.
Langit - langitnya sama seperti langit - langit di rumah pada umumnya, terbuat dari gips dan di beberapa titik di sana terpasang sebuah lampu neon sepanjang seratus dua puluh senti.
Enam meter di depan meja yang kutempati saat ini terdapat sebuah meja kayu panjang yang diatasnya terbentang sebuah serbet bergaris - garis merah dan di atas serbet itu tersusun puluhan gelas kaca. Di sebelah kiri susunan gelas kaca terdapat sebuah termos air panas, sumber aroma aneh yang tercium olehku sejak tadi.
Tidak seaneh itu sebenarnya. Itu adalah aroma kopi.
Meskipun kopi beraroma enak, kopi bukanlah minuman yang kusukai. Aku lebih memilih teh atau susu daripada kopi. Karena itulah, orang - orang seumuranku menganggapku aneh. Di sisi lain, aku juga mengganggap aneh orang yang menyukai kopi.
Kopi itu rasanya-entahlah. Mencicipinya saja tidak pernah, bagaimana mungkin aku bisa tahu rasanya.
Pengamatanku kepada aroma kopi menyimpulkan kalau tempatku berada saat ini adalah kafe. Apa yang kulakukan di sini? Bukankah tadi, aku sedang berada di bangunan sekolah, kemudian berada di lorong aneh yang menampilkan gambar - gambar? Ah, aku tahu. Yang kebakaran dan lorong itu hanyalah mimpi.
Aku harus keluar dari sini. Teman - temanku pasti sedang menungguku di-tidak mungkin! Mereka pasti meninggalkanku yang ketiduran di kafe.
Aku pun berdiri dari kursi. Tak lupa kudorong kursi itu hingga sandarannya mengenai pinggir meja dan terdengar bunyi hantaman kayu yang kencang.
Kemudian, aku balik kanan. Entah apa yang kupikirkan saat itu. Bukannya berjalan ke pintu, aku malah berjalan ke jendela terdekat.
Langahku terhenti tiga puluh senti di depan jendela, jarak yang cukup untuk melihat jelas keadaan di luar kafe.
Tunggu dulu! Aku tidak salah lihat kan? Kafe ini terletak di tengah padang pasir? Sejauh mata memandang, yang terlihat olehku hanyalah pasir, pasir, dan pasir. Bagaimana caraku pulang kalau begitu? Ini bukan mimpi kan? Aku jadi tidak yakin mana yang mimpi dan mana yang kenyataan.
Dan juga, kenapa aku melihat diriku sendiri di luar sana?
Ya, di luar kafe ini ada sosok diriku yang sedang berlutut di samping sosok Blaz yang sedang berbaring di tanah. Sosok diriku itu menggoyang - goyangkan badan Blaz dengan kedua tangan.
"Hono! Jawab aku Hono! Apa kau tidak ingat dengan janji kita?! Janji kita kepada para Elemental?" sosok diriku di luar itu bertanya.
"Ka-kaze ya?" sosok Blaz merintih kesakitan.
"Ho-hono!" mereka saling memanggil satu sama lain.
Sosok Blaz mengulurkan tangan kirinya hingga telapaknya menyentuh pipi sosok diriku. Tangan kiri sosok Blaz itu sedang gemetar.
"Ma-maafkan aku Kaze. A-aku tak bermaksud mengkhianatimu dan para Elemental. Ta-tapi-" perkataan sosok Blaz terhenti.
Dengan mata berkaca - kaca, dia berteriak, "Aku telah membunuh Mizu!!" Aneh sekali melihat Blaz menangis, mengingat Blaz yang kukenal selama ini adalah seseorang yang tangguh dan licik.
"Mi-mizu? Kenapa kau membunuhnya Hono?" sosok diriku itu bertanya - tanya.
Sosok Blaz tidak segera menjawabnya. Dia justru memejamkan kedua matanya, membuat air mata mengalir melalui sela - sela kelopak mata itu dan membasahi kedua pipinya.
Beberapa saat kemudian, sosok Blaz berkata, "Ma-maafkan aku Kaze. I-ini semua. Gara - gara dia-" dengan terbata - bata.
Belum pun dia menyelesaikan perkataannya, sentuhan tangan kirinya di pipi sosok diriku itu mulai melemah. Sontak, sentuhan tangan kiri itu pun terlepas dan tangan itu bergerak ke samping badan sosok Blaz.
"Hono!!!" tiba - tiba, sosok diriku itu berteriak.
Dia terdiam menatap wajah sosok Blaz yang sedang tidur sambil tersenyum.
Aku mengamati semua itu dari dalam kafe sambil bertanya, apa yang mereka bicarakan?
***
Sesuatu yang terasa dingin mengenai wajahku, memaksaku untuk membuka kedua mata. Sepertinya, aku ketiduran, entah berapa lama.
"Aaaaakkkhh!" terdengar suara Blaz berteriak.
Apa yang telah terjadi selama aku tertidur? Kenapa di sini dingin sekali? Aku juga tidak mendengar suara api berkobar. Apakah kobaran api di seisi ruangan telah padam, dipadamkan oleh sesuatu yang dingin itu-eh, air?
Di depanku, terlihat sebuah tornado yang berputar - putar hingga membuat lubang di langit - langit bangunan. Tornado itu menarik apa pun yang berada di dekatnya, mulai dari puing - puing bangunan, hingga sisa - sisa percikan api yang melekat di puing - puing bangunan itu.
Tornado di dalam ruangan? Ini benar - benar gila. Tapi, dalam hal Spirit Ability, tidak ada yang tidak mungkin. Ini pasti ulah Kaze 風. Kalau dipikir - pikir, Kaze 風 sering bertindak tanpa sepengetahuanku akhir - akhir ini.
Benar juga! Aku tidak melihat Blaz. Hanya terdengar teriakannya saja.
Aw, kepalaku terasa pusing. Aku pun meletakkan telapak tangan kanan dengan jari - jari agak merapat di kepala bagian kanan hingga menutupi sebagian mata kananku.
Saat tertidur tadi, aku mengalami mimpi yang aneh. Aku tidak bisa melupakan mimpi itu. Sensasinya sama seperti mimpi saat sesosok makhluk aneh yang menyebut dirinya sebagai Kaze menemuiku.
Dalam empat setengah menit, tornado di depanku itu perlahan - lahan lenyap, dengan cara lenyap yang sama seperti pilar angin sebelumnya, kalau kalian masih ingat.
Saat tornado itu mengecil hingga mencapai setinggi orang dewasa, sosok Blaz terlihat di dalam tornado itu. Dia sedang merentangkan kedua tangannya ke samping, sementara mulutnya terbuka lebar, seolah sedang meneriakkan sesuatu. Tapi, suara teriakan itu tak lagi terdengar darinya. Mungkin, Blaz sudah kehabisan suara.
Setelah tornado itu lenyap seluruhnya, tubuh Blaz terjatuh ke lantai dengan mengeluarkan suara seperti seorang peserta smackdown membanting lawannya ke lantai.
Keadaan Blaz begitu mengenaskan. Dia sedang duduk bersimpuh dengan kepala yang mendongak ke atas dan kedua mata yang membelalak. Mulutnya-seperti yang telah disebutkan sebelumnya-terbuka lebar.
Pakaian yang dikenakannya compang - camping. Jaket dan celana panjangnya bolong di mana - mana, memperlihatkan kulitnya yang membengkak.
Dia ... mati?
Perutku sontak terasa mual. Ini pertama kalinya aku melihat kematian, tepat di depanku. Tak kusangka kalau aku telah membunuh Blaz. Bagaimana caraku menjelaskan ini ke yang lainnya saat mereka memeriksa bangunan ini. Tidak! Bukan aku yang membunuhnya. Ini adalah ulah Kaze 風. Dia bertindak di luar kendaliku.
Mana mungkin mereka mempercayai alasan seperti itu? Padahal, aku selalu berusaha untuk menghindari masalah agar tidak terjadi seperti saat di SMP dulu.
"Ini belum berakhir, Clone," tiba - tiba, sebuah perkataan bergema di telingaku.
Bukan! Bukan aku yang mengatakan ini. Lalu siapa yang mengatakannya? Kaze 風? Terlalu banyak hal aneh yang terjadi semenjak aku melangkahkan kaki memasuki bangunan sekolah yang terbakar.
Sekarang apa lagi? Kenapa aku merasakan kehadiran sesuatu yang amat mengintimidasi. Seperti monster mengerikan sedang berjalan mendekatiku dari belakang dan dia dapat menakutiku kapan saja. Perasaan yang saking mengerikannya, aku jadi tidak berani untuk menoleh ke belakang.
Aku tidak tahu berapa langkah lagi monster itu tiba persis di belakangku. Aku juga tidak tahu bagaimana dia akan menakutiku. Apakah dengan mengeluarkan suara yang membuat pendengarnya merinding? Ataukan dengan jumpscare, tiba - tiba menunjukkan wajahnya di hadapanku?
Aku menggepalkan kedua tangan di samping badan. Keringat dingin mengalir dari atas kepalaku, saat suara yang sama kembali menggema di telinga.
"Dia datang Clone. Itu adalah Toki!" kali ini, itulah yang terdengar olehku.
Toki 時 ? Kedengarannya seperti nama Clothes of Chaos.
Lalu, suara itu berkata, "Kau melihatnya kan, Clone? "
Melihat? Oh, mungkin maksudnya mimpi yang aneh itu.
"Hono bilang kalau dia tidak ingin membunuh Mizu. Awalnya, aku tidak menyadarinya. Namun, setelah Hono meninggal, aku pun sadar, kalau Hono tidak membunuh Mizu atas kehendaknya sendiri. Saat itu, dia sedang dikendalikan oleh Toki," sambung suara itu.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro