Chapter 12 Part 3*
Ternyata, dia sudah berdiri di depanku dengan tatapan mengancam dan wajahnya yang dingin.
Aku yakin. Ini adalah akhir dari semuanya. Akhir dari kehidupan normalku di akademi, batas akhirku untuk menahan emosi, dan akhir dari rahasia yang sedang kujaga.
"INI KAU YANG ASLI KAN! PULSE?!" aku berteriak dengan segenap tenaga di tenggorokan.
Setelah meneriakkan kata – kata itu, tenggorokanku terasa sesak. Kemudian, terasa seperti ada sesuatu yang sedang menggerogoti dinding tenggorokkanku. Aku pun membungkukkan badan dengan sudut sembilan puluh derajat dan membuka mulut selebar mungkin untuk berusaha memuntahkan sesuatu itu.
Bahkan, aku sampai terbatuk – batuk, namun sesuatu itu tak kunjung keluar dari tenggorokanku. Ini benar – benar menyiksa.
"Cih, sejak kapan kau mengetahuinya?" anak laki – laki yang berdiri di depanku itu bertanya.
Aku kembali menegakkan badan.
Dengan suara serak, aku pun menjawab, "Sejak dulu. Aku tahu, karena tidak mungkin ada dua Clothes of Chaos yang namanya sama."
Benar, Kaze 風 adalah nama Clothes of Chaos milikku. Awalnya, aku tidak yakin kalau namanya adalah Kaze 風, karena saat pelajaran dengan Pak Bind, Pulse bilang kalau Clothes of Chaos miliknyalah yang bernama Kaze 風. Jadi, aku merasa kalau Kaze 風 hanyalah nama karanganku saja.
"Sialan! Kenapa kau diam saja?!" tanya Pulse dengan nada seperti orang marah.
Aku tidak bisa memberitahu anak – anak yang lain tentang kenyataan ini, kalau sebenarnya ada dua penyusup di akademi, Pulse dan Pak Bind. Kalaupun aku memberitahu yang lain tentang hal ini, mereka tidak akan mempercayaiku dan pasti bilang kalau aku hanya mengarang saja.
Namun, aku tidak tahu bagaimana caranya si sialan ini bisa menyembunyikan identitas aslinya, bahkan memalsukan nama Clothes of Chaos dan Spirit Abilitynya. Setidaknya, keberadaannya di depanku ini sudah membuktikan kalau dia juga seorang penyusup.
Aku menggertakkan gigi, bersamaan dengan mengepalkan kedua tangan di samping badan. Aku tidak tahu apa Clothes of Chaos Pulse yang sebenarnya.
"Spirit Ability, Kaze 風!" aku akan menggunakan Clothes of Chaosku untuk memancingnya menggunakan Spirit Ability.
Pulse tersenyum, sebuah senyuman yang menyebalkan. Dia meluruskan tangan kanan ke depan dengan telapak tangan terbuka sambil berseru, "Spirit Ability, Hono 炎!"
Hono 炎? Salah satu dari Elemental Spirit itu? Jadi, itu nama Clothes of Chaos Pulse yang asli. Kalau tidak salah, Spirit Abilitynya adalah untuk membakar apa pun. Sepertinya, menghafal nama – nama Clothes of Chaos di pelajaran PCOC ada gunanya juga. Tapi kan, Pak Bind juga penyusup. Berarti, dia bisa saja membohongiku tentang Spirit Ability Hono 炎 untuk melindungi rekannya!
Tidak! Buku pelajaran PCOC juga menyatakan hal yang sama. Berarti, Pak Bind tidak berbohong. Spirit Ability Hono 炎 memang untuk membakar apa pun.
Jadi begitu. Pulse membakar bangunan sekolah dengan Spirit Abilitynya. Sebaiknya, aku tidak menyebutnya dengan 'Pulse'. Itu bukanlah nama aslinya. Untuk sementara ini, aku akan memanggilnya sebagai 'si penyusup', hingga aku mengetahui nama aslinya.
Aku akan menyerang duluan. Angin bertiup kencang di sekelilingku, sedikit mengusir hawa panas akibat kobaran api di mana – mana.
Kenapa panasnya malah berkurang? Aku pernah membaca kalau api memerlukan tiga hal agar dapat terbakar, yaitu tanah, air, dan udara. Anggap saja angin dan udara sebagai hal yang sama. Saat tertiup angin, seharusnya api menjadi semakin besar. Saat ini, mungkin Spirit Abilityku yang membuat angin itu bisa mengurangi panas.
Aku memasukkan kedua tangan ke dalam saku jaket, saat di depanku muncul seperti pilar berwarna hijau yang tersusun dari angin. Seharusnya, angin tidak memiliki wujud. Memang, hanya aku yang bisa melihat pilar itu.
Tiba – tiba, kobaran api menyelimuti pilar itu. Pilar yang tadinya berwarna hijau dan terbuat dari angin, kini berubah warna menjadi merah dan terbuat dari api. Ini adalah Spirit Ability yang digunakan si penyusup. Tidak mungkin! Tidak mungkin dia bisa melihat pilar angin itu.
"Kenapa Clone?" si penyusup bertanya dengan nada yang mengejek.
Aku benci nada bicaranya. Nada bicara itu mengingatkanku dengan masa – masa kelam di SMP—sudahlah, aku tidak mau membahasnya.
Spirit Ability Hono 炎 adalah untuk membakar apa pun. Itu berarti, si penyusup bisa menggunakannya untuk membakar angin. Benar – benar tak terpikirkan olehku. Tapi, membakar angin? Terdengar seperti sesuatu yang mustahil.
"Spirit Ability Hono 炎 adalah untuk membakar apa pun, termasuk benda yang bersifat isolator panas. Kau pasti tahu apa isolator panas itu," si penyusup berbaik hati untuk memberitahu rahasianya.
Isolator panas? Mungkin, maksudnya benda yang sulit terbakar. Kalau begitu, si penyusup bisa membakar apa pun yang ada di dekatnya, termasuk tubuhku.
Lalu, bagaimana cara melawannya?
Pilar api di depanku itu berjalan mendekatiku. Ingin saja aku menghentikan gerakan pilar api itu dengan Spirit Abilityku. Tapi, apa daya. Aku tidak bisa mengendalikan pilar itu lagi setelah kepemilikannya diambil alih oleh si penyusup. Di sini, aku menyimpulkan kalau si penyusup bisa mengendalikan benda yang dibakar dengan Spirit Abilitynya.
Bangunan sekolah ini kan dibakar dengan Spirit Abilitynya. Berarti—gawat! Seluruh bangunan ini adalah wilayah kekuasaan si penyusup. Memasuki bangunan ini adalah kesalahan fatal. Seharusnya, aku menunggu si penyusup keluar dari sini, yang mana itu tidak mungkin terjadi.
Satu meter di depanku, gerakan pilar api itu terhenti. Aku bisa melihat sebuah tembok tembus pandang membentang di hadapanku dan saat ini, pilar api itu sedang menabarak sisi tengah tembok.
"Percuma saja!" si penyusup berteriak.
Ya, dia benar. Pilar api itu menggerogoti sedikit demi sedikit tembok tembus pandang yang kubuat. Lama – kelamaan, seluruh tembok ini akan ikut terbakar. Saat ini, yang terpikirkan olehku adalah untuk menebalkan dinding tembok yang telah habis digerogoti.
Tunggu dulu! Sesuatu terpikirkan olehku. Menebalkan dinding tembok ini tak ada gunanya. Semakin tebal dinding tembok, semakin mudah pilar api itu untuk memakannya. Justru, yang harus kulakukan saat ini adalah menjauhkan pilar api itu dari sumbunya, yaitu pilar angin yang kubuat sebelumnya.
Di buku yang sama pun tertulis bahwa air dan udara memang dapat membesarkan api. Namun, jika keberadaan air dan udara itu menjauhkan api dari tanah, maksudnya sumbunya, maka api itu akan padam.
Pilar api itu pun perlahan – lahan lenyap mulai dari bagian yang paling atas. Lenyap di sini bukanlah seperti gambar yang opacitynya dikurangi, melainkan seperti benda yang ukurannya menyusut hingga menjadi sangat kecil dan tidak terlihat.
Saat pilar api itu telah lenyap seluruhnya, aku merasa kalau sepertinya tembok tembus pandang ini sudah tidak berguna.
Ancaman pilar api memang telah tiada. Namun, kenapa tubuhku masih gemetar? Keringat dingin mengalir dari ubun – ubunku hingga membasahi kerah jaket yang kupakai. Aku terlihat seperti seseorang yang habis kehujanan hujan keringat.
Tangan kananku mengayun secara vertikal ke depan tanpa kuperintah dan secara bersamaan, si penyusup memasang ekspresi serius. Dia melompat mundur ke belakang seolah sedang menghindari sesuatu.
Sekarang gantian tanganku yang satunya—tangan kiri—yang diayunkan. Kali ini, si penyusup itu menghindar dengan memiringkan badannya ke arah kirinya. Selang dua puluh detik kemudian, muncul ledakan di belakang si penyusup.
Percuma saja, itulah yang kupikirkan. Barusan, aku mengendalikan angin yang masih bertiup di sini, untuk membuat peluru yang berukuran kecil hingga tak kasat mata. Entah bagaimana caranya si penyusup bisa melihat peluru angin itu. Tidak mungkin kan, dia menggunakan Spirit Ability tanpa melihat benda yang ingin dibakarnya?
Apa pun yang terjadi, aku harus terus menyerang. Jangan membuat celah bagi si penyusup untuk memanfaatkan api yang membakar bangunan ini.
***
Si penyusup merentangkan kedua tangannya di samping badan. Hawa di sini menjadi semakin panas. Keringat mengalir tak henti – hentinya, tidak hanya dari atas kepala saja, namun juga dari punggungku. Bisa – bisa, tempat ini banjir keringat nantinya.
"Bagaimana ini?" aku bergumam.
Kobaran api di sekeliling si penyusup seolah bergerak menuju kedua telapak tangannya yang sedang dibuka lebar. Setibanya di dekat telapak tangan itu—tidak sampai menyentuhnya, hanya melayang kira – kira dua senti di depannya—kobaran api itu berkumpul hingga menyerupai gumpalan.
Atmosfer kemerahan mengisi ruangan ini, sebuah pemandangan yang membuat kedua mataku terasa perih.
Tunggu dulu! Suasana ruangan ini membuatku teringat sesuatu.
Dulu, aku pernah menonton berita di televisi, tentang rumah yang terbakar di sebuah komplek perumahan elit—bukan di kota ini sebenarnya. Polisi mengatakan kalau kebakaran ini adalah kebakaran yang disengaja. Pelakunya dijuluki sebagai The Pyromancer, berdasarkan kejadian kebakaran yang serupa.
Satu hingga dua tahun kemudian, ada berita lagi yang mengatakan tentang identitas The Pyromancer. Dia bernama Blaz Flar, sementara statusnya saat itu masih buron.
Oh, begitu. Aku menemukan banyak hal di sini. Blaz Flar adalah nama aslinya Pulse. Dia menyusup sebagai Pulse dengan memakai Clothes of Chaos berkemampuan mengubah identitas, Clothes of Chaos yang juga pernah dipakai Pak Bind, atau setidaknya itulah yang dikatakan Trail padaku.
Dua buah gumpalan api yang melayang di depan kedua telapak tangan Blaz itu melesat ke arahku, namun gerakan mereka terhenti saat berjarak satu meter dariku.
Ya! Gumpalan api itu menabrak tembok tembus pandang yang masih berdiri kokoh di situ. Walaupun tadinya kupikir tembok ini sudah tidak berguna, namun aku tidak coba – coba untuk menghilangkannya. Tembok ini kubiarkan saja untuk berjaga – jaga.
Dua buah gumpalan api itu pun padam, empat detik setelah menyentuh dinding tembok. Ini membuktikan kalau asal aku bisa menjauhkan api itu dari sumbunya, maka aku akan bertahan di sini.
Rasa percaya diri mendadak mengisi dadaku.
Tiga meter di depanku, Blaz meluruskan kedua tangannya secara vertikal di depan badan dengan lengan saling dirapatkan. Di depan telapak tangannya yang masih terbuka itu, api kembali berkumpul membentuk gumpalan. Kali ini, gumpalan api itu berbentuk bola berdiameter sepuluh senti.
Bola api itu pun melayang ke arahku. Baiklah, ayo sini! Aku akan menahannya juga dengan tembok tembus pandang itu. Lima detik kemudian, ketika bola api itu menabrak dinding tembok, terdengarlah suara gemuruh yang disertai dentuman.
Aku baru memikirkan ini. Blaz bisa mengambil alih pilar angin yang kubuat dengan cara membakar pilar itu. Kalau begitu, seharusnya aku juga bisa mengambil alih bola api yang dilempar Blaz ini dengan cara menyelimutinya dengan udara, maksudnya angin.
Aku menghela nafas, sebuah kesalahan, karena begitu hidungku menghirup hawa panas di sini, tenggorokkanku sontak terasa kering.
Tanpa kusadari, bola api itu telah melahap sebagian besar dinding tembok tak kasat mata itu. Jika ini terus dibiarkan, tembok itu akan berlubang dan bola api itu dapat melesat melewati lubang, lalu mengenaiku.
Sepertinya, ini hanyalah kekhawatiran yang berlebihan. Bukan itu yang sebenarnya terjadi. Ini sama saja seperti menjauhkan api dari sumbunya. Hanya saja, bola api yang berukuran besar harus ditiup dengan angin yang besar pula.
Karena itulah, dua setengah menit setelah bola api itu menabrak dinding tembok tembus pandang, kedua benda itu—bola api dan tembok tembus pandang—pun lenyap.
Di saat yang bersamaan, Blaz terlihat sedang menaruh kembali kedua tangannya di samping badan, sebelum kemudian tangan kanannya digerakkan ke depan dada dengan telapak tangan mengepal.
Terdengar suara seperti kobaran api yang tertiup oleh angin. Tangan kanan Blaz, mulai dari telapak tangannya yang menggenggam hingga ke sikunya, mulai diselimuti oleh api. Berbeda denganku, dia tidak terlihat kepanasan, mungkin karena Clothes of Chaosnya yang membuat Blaz tidak bisa merasakan panas api.
Dia melompat, jauh sekali, kira – kira sejauh dua meter, hingga tiba di depanku. Pertarungan jarak dekat, ya? Gawat! Aku tidak ahli dalam pertarungan jarak dekat.
Secara reflek, aku ikut mengayunkan tangan kanan dengan telapak yang digenggamkan untuk menyambut tangan kanan Blaz yang sedang bersiap untuk memukul.
Yang terjadi selanjutnya terlalu kacau untuk diceritakan. Saat pukulanku dan pukulannya Blaz bertemu, aku merasakan seperti ada udara panas yang menerpa wajahku. Kobaran api di sekeliling kami menari – nari mengikuti irama bertiupnya udara panas itu.
Aura kemerahan seolah sedang dipancarkan oleh Blaz. Di sisi lain, tubuhku seolah memancarkan aura kehijauan. Aura ini seperti sedang berusaha mempertahankan posisi pemancarnya masing – masing.
Saat kuperhatikan, rupanya pukulan kami tidak benar – benar bertemu. Tanpa kuminta, Kaze 風 menyelimuti tangan kananku, dari genggamannya hingga ke sikunya, dengan pusaran angin. Dengan kata lain, yang sedang terjadi saat ini adalah kobaran api yang berasal dari Blaz saling bertabrakan dengan pusaran angin yang berasal dariku.
Selanjutnya terdengar suara dentuman, disusul dengan tubuhku dan Blaz yang terhempas ke arah yang berlawanan.
Namun, kami takkan gentar hanya karena hempasan itu. Setelah masing – masing dari kami menapakkan kaki di lantai dan menyeimbangkan tubuh, kami berdua pun berlari ke arah yang sama dengan saling berhadapan – hadapan.
Blaz melepaskan pukulan dengan tangan kanan yang diselimuti kobaran api dan aku menangkis pukulan itu dengan tangan yang sama.
Melihat ada celah di tubuh Blaz saat pukulannya sedang tertangkis, aku pun mengayunkan tangan kiriku yang mengepal untuk memukul wajahnya. Namun, Blaz bisa menghindari pukulan itu dengan memiringkan kepalanya ke arah kiri. Salahku juga memukul dengan tangan kiri yang bukan tangan dominan.
Tiba – tiba, Blaz melepaskan pukulan dengan tangan kiri yang mengenai pipi kananku. Terasanya rasa sakit akibat pukulan membuat tubuhku sedikit terdorong mundur ke belakang.
Terbentuk ruang sepanjang lima belas senti di antara badanku dengan Blaz yang kumanfaatkan untuk mengatur nafas sejenak, sebelum kami kembali bertukar pukulan.
Namun, selanjutnya bukan pukulan yang datang dari Blaz, melainkan dia meluruskan kedua tangannya ke depan dengan telapak tangan terbuka. Kulit telapak tangan Blaz itu berwarna kemerahan, sepertinya iritasi akibat terbakar oleh kobaran api yang menyelimuti tangan itu tadi.
Aku menyambut gerakan—aku tidak tahu namanya—dari Blaz itu dengan melakukan gerakan yang sama. Di akhir gerakan yang kami lakukan, badan kami dalam posisi membungkuk dan kedua telapak tangan kami saling mencengkram satu sama lain.
Begitu telapak tangan kami saling bertemu, sebuah sensasi panas terasa di kedua telapak tanganku. Sepertinya, Blaz membakar kulit tangannya sendiri, membuatnya berwarna kemerahan seperti itu.
Aku tidak bisa menahan gerakan ini terus menerus. Lama – lama, kulit telapak tanganku akan ikut terbakar. Kalau begini, mau tak mau aku harus melepaskan cengkraman kedua telapak tanganku di kedua telapak tangannya Blaz.
Sambil melepaskan cengkraman kedua tangan, aku juga mengambil ancang – ancang untuk melompat ke belakang agar ruang yang seperti sebelumnya itu kembali terbentuk.
Namun, aku tidak menduga kalau tubuhku menjadi tidak seimbang setelah aku melompat ke belakang.
Sepertinya, Blaz sadar kalau aku sedang lengah. Dia segera memanfaatkan kesempatan untuk melepaskan tendangan dengan cara memiringkan badannya sedikit ke kiri, kemudian kaki kanannya diluruskan ke depan membentuk sudut sembilan puluh derajat terhadap kaki kiri.
"Bodoh!" Blaz berseru sambil melepaskan tendangan.
Tendangan ini ditujukan ke arah dadaku. Aku mencoba untuk menangkis—tepatnya menahan—tendangan Blaz dengan memegang pergelangan kaki kanan Blaz dengan kedua tangan, begitu kaki itu diluruskan.
Ini adalah jurus andalahku saat lawanku di pertarungan jarak dekat melepaskan tendangan. Jurus ini kupelajari sejak SD dan sering kugunakan saat SMP dulu. Tak kusangka kalau aku akan menggunakannya juga saat di akademi.
"Lepaskan!" Blaz berteriak saat aku memengang kakinya itu.
"Tidak akan!" jawabku.
Dia menggoyang – goyangkan kaki itu, berusaha untuk melepaskannya. Namun, semakin sering digoyangkan, semakin erat pegangan tanganku ke kaki itu.
Blaz terlihat kesal, sebuah ekspresi yang sangat ingin kulihat.
Namun, dia masih belum kehabisan pilihan. Blaz mengangkat kaki kirinya dengan kobaran api yang menyelimuti kaki itu. Kaki kiri itu digunakan untuk menendang pergelangan tanganku yang menahan kaki kanannya. Aku tidak akan melepaskan pegangan tanganku ini, tak peduli apa pun yang terjadi.
Itulah yang kuharapkan. Nyatanya, harapanku tidak tercapai, karena begitu tendangan Blaz mengenai pergelangan tanganku, pegangan kedua tanganku ke kaki kanannya Blaz sontak terlepas.
Selain itu, tubuhku juga terdorong dua meter ke belakang.
Seolah tidak memberikan waktu untuk bernafas, Blaz melompat ke arahku dengan tangan kanan yang bersiap untuk memukul. Seperti sebelumnya, genggaman di tangan itu juga diselimuti oleh kobaran api.
"Hyaaah!" teriaknya saat tubuhnya melayang di udara.
Secara reflek aku meluruskan kedua tangan di depan kepala, dengan lengan saling menyilang. Saat Blaz mendarat dan pukulannya dilepaskan, ayunan tangan kanannya itu tertahan saat lengan bawahnya menyentuh persilangan antara kedua lenganku.
Aku berhasil menangkisnya. Tapi, ini panas sekali. Genggaman tangan Blaz yang berkobar dengan api berada tepat di depan wajahku.
Tidak! Kali ini tidak akan kulepaskan. Lebih baik kedua lenganku yang terbakar daripada wajahku yang terbakar.
Aku mencoba untuk mengumpulkan seluruh tenaga di kedua tanganku yang sedang bersilangan ini. Setelah cukup tenaga terkumpul, aku akan mendorong tanganku yang menyilang, bersamaan dengan melangkahkan kaki secara perlahan ke depan.
Tiba – tiba Blaz mengangkat kaki kanannya hingga lututnya mengenai sisi kiri perutku. Semacam guncangan terasa di bagian perutku yang terkena tendangan lutut itu.
Tidak hanya sekali, Blaz melakukan tendangan lutut itu berkali – kali, lima kali jika hitunganku benar. Di tendangan yang kelima, guncangan itu seolah memaksa keluar isi perutku. Sesuatu yang rasanya masam mengalir dari perut, naik ke kerongkongan.
Tendangan kelima itu pula yang membuat kedua tanganku terasa lemas. Keduanya bergerak ke samping badan, membuat pukulan api Blaz terlepas dan akhirnya menghantam wajahku dengan telak.
Aku belum kalah. Aku masih bisa berdiri, walau dengan badan sempoyongan.
Sepintas kulihat kalau Blaz sedang tersenyum. Dia mengayunkan kedua tangannya secara bergantian, melakukan pukulan bertubi – tubi ke arahku dan setiap pukulan itu mengenai sisi kiri dan kanan wajahku. Tanpa ampun memang. Blaz tidak menahan diri lagi. Saat ini, dia sedang mengerahkan seluruh kemampuannya.
"Ora ora ora ora ora ora ora ora!" itulah yang diteriakkan Blaz setiap sebuah pukulan mengenai wajahku.
Gawat! Apa aku akan mati di sini?
Satu pukulan ... dua pukulan ... tiga pukulan ... empat pukulan ... tujuh pukulan ... delapan pukulan ... eh, sepertinya ada pukulan yang terlewat.
"Ora!" pukulan yang terakhir adalah pukulan yang paling bertenaga, sekaligus dibungkus dengan kobaran api.
Pukulan ini membuatku terlempar jauh ke belakang. Dari pandanganku, terlihat bahwa semakin lama, Blaz semakin jauh.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro