Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 1 Part 2

Lima menit kemudian, kami pun tiba di lobi bangunan sekolah. Kondisi lobi sekolah pun sama, baik sebelum liburan, maupun setelah liburan.

Tidak sepenuhnya sama sesungguhnya. Itu karena, satu – satunya perbedaan yang tampak adalah sebuah papan plastik berwarna kuning yang diletakkan berdiri di atas lantai di tengah – tengah lobi. Terdapat tulisan, "Hati – hati! Lantai licin" di bagian atas papan plastik itu.

Aku kembali menoleh ke belakang untuk memastikan, apakah anak yang sebelumnya juga mengikuti kami ke bangunan sekolah. Apalagi, bangunan sekolah adalah tempat yang bagus untuk bermain petak umpet, karena banyak titik persembunyian di dalamnya.

Yang harus kuamati sekarang adalah titik persembunyian di lobi dan di halaman depan bangunan sekolah.

Kalau di lobi, titik persembunyiannya adalah sebuah pilar yang ... sepertinya tidak mungkin kalau dia bersembunyi di sana, karena pilar itu terletak di depan kami.

Sekarang di halaman. Aku harus menajamkan penglihatan untuk melihat kondisi halaman sekolah yang terhampar di balik pintu bangunan yang seluruhnya terbuat dari kaca tembus pandang.

Satu – satunya benda yang terdapat di halaman sekolah adalah tiang bendera yang berdiri tegak di tengah – tengah halaman. Aku berpikir kalau tiang bendera itu terlalu tipis untuk dijadikan tempat sembunyi.

Atau, mungkin dia sedang tiarap—posisi seperti orang telungkup yang biasa dilakukan tentara untuk menghindari tembakan—di tanah halaman.

Bukankah akan langsung terlihat jika sedang tiarap? Ah, betul juga. Aku pernah dengar, ada anak kelas 1A—sekarang 2A—yang memiliki Clothes of Chaos dengan kemampuan membaur dengan lingkungan.

Kalau memang anak itu yang sedang bersembunyi, maka percuma saja aku melakukan hal ini.

Tunggu dulu! Kalau begitu, kenapa dia tidak menggunakan kemampuannya saat bersembunyi di bangunan asrama tadi? Apakah dia merasa kalau persembunyiannya yang sebelumnya cukup aman, jadi tidak perlu menggunakan kemampuan?

Jika aku adalah dirinya, aku pasti akan menggunakan Spirit Ability untuk berjaga – jaga.

"Ada apa, Clone?" tiba – tiba, Syco bertanya dan membuyarkan lamunanku.

"Tidak," jawabku sambil memutar leher hingga kepalaku kembali menghadap ke depan.

Ternyata, Gen dan Syco sudah selangkah di depanku. Dua langkah lagi, aku akan tertinggal dari mereka. Beruntung mereka masih mengingatku. Yah, ini bukan pertama kalinya aku mengalami hal seperti ini, karena lalu aku sudah mengalaminya lima menit yang lalu.

Gen menghela nafas. Kemudian, dia berkata, "Sudahlah, ayo lanjut jalan."

Secara bersamaan, aku dan Syco menganggukkan kepala dan berkata, "Hmm."

Ada perbedaan nada antara perkataan yang kukatakan dan yang dikatakan Syco. Syco mengatakannya dengan nada yang bersemangat, sementara aku mengatakannya dengan nada malas.

Malas? Kenapa aku merasa malas? Padahal, aku sudah berjanji dengan Gen untuk berkeliling area komplek. Saat SMSan kemarin juga, akulah yang paling bersemangat.

Mungkin, karena aku tidak punya banyak hal untuk diceritakan selama berkeliling. Aku hanya berjalan mengikuti Gen dan Syco yang berjalan duluan di depan.

Selama berjalan, Gen dan Syco berbincang – bincang membicarakan hal yang tak kumengerti. Aku hanya bisa diam dan menguping pembicaraan mereka dari belakang.

Lama kelamaan, suara pembicaraan mereka terdengar seperti suara nyamuk sedang terbang mondar – mandir di telinga kiri, lalu berganti ke telinga kanan, lalu berganti ke kiri lagi, dan begitu seterusnya.

Rasanya benar – benar mengganggu. Seperti berada di keramaian, namun tidak di keramaian. Apalagi, aku tidak suka keramaian.

Berkali – kali, Gen mengganti topik pembicaraan dan Syco tetap bisa menangkap topik yang dikatakan Gen. Aku pun mencoba untuk menunggu sebuah topik yang tidak dipahami Syco agar pembicaraan mereka terhenti.

Pembicaraan mereka awalnya membahas tentang hal – hal selama liburan. Keluarganya Gen berlibur ke alun – alun kota dan secara kebetulan, mereka bertemu dengan keluarganya Syco.

Kemudian, pembicaraan beralih ke hobi masing – masing. Aku sudah tahu soal hobi Syco yaitu membaca buku. Namun, aku baru tahu kalau Gen mempunyai slogan, "Hemat pangkal kaya."

Setelah itu, mereka membahas tentang berita penyerangan akademi yang disamarkan menjadi berita penyerangan teroris di komplek tentara. Hal itu membuktikan kalau keberadaan akademi tetap dirahasiakan dari dunia luar.

Tiga menit—benar, aku tidak salah, Pembicaraan Gen dan Syco hanya berlangsung selama tiga menit—kemudian, aku memutuskan untuk berpisah dengan Gen dan Syco, daripada harus mendengarkan pembicaraan mereka yang tidak ada akhirnya.

Lagipula, aku masih ada hal keempat yang harus kulakukan. Aku sudah melakukan hal ketiga, walau hanya sekitar tiga puluh persennya saja.

"Gen, Syco!" aku berseru, membuat Gen dan Syco menoleh ke belakang secara bersamaan.

"Oh, Clone. Ada apa?" tanya Gen.

"Aku duluan ya. Ada hal yang ingin kulakukan," jawabku sambil menggerakkan tangan kanan untuk memegang atas kepala.

"Kenapa Clone? Bukannya kita sudah janji?" Gen kembali bertanya.

"Aku ingin melihat – lihat kondisi kelas baru," jawabku langsung to the point.

"Iya—," perkataan Gen terpotong.

"Kenapa tidak kita lihat sama – sama? Kebetulan, aku juga ingin melihat kondisi kelas," Syco memberi saran, sebuah saran yang melarangku untuk berpisah dengannya.

"Baiklah kalau begitu," balasku sambil menghela nafas.

Dengan demikian, perjalanan trio ini kembali dilanjutkan. Kami pun berjalan menaiki tangga yang mengarah ke lantai dua.

Aku lupa, apakah sebelumnya sudah pernah kujelaskan. Kalau pernah, mungkin penjelasan ini akan sedikit berbeda dengan penjelasan yang sebelumnya.

Bangunan sekolah memiliki tiga lantai. Ruangan kelas satu terdapat di lantai pertama, sementara ruangan kelas dua terdapat di lantai kedua.

Tahun lalu, saat aku masih kelas satu, ruang kelasku berada di lantai satu. Namun, sekarang aku sudah kelas dua dan otomatis, lokasi ruang kelasku berubah menjadi di lantai dua.

***

Ruang kelas 2B terletak di koridor lantai dua yang sebelah selatan. Ruang kelas ini dihimpit oleh UKS di sebelah timurnya dan kelas 2C di sebelah baratnya.

Kelas 2B—sama seperti kelas lainnya—memiliki panjang enam meter dan lebar empat meter. Dengan begitu, luas kelas ini adalah dua puluh empat meter persegi.

Pintu kelas terletak di sebelah utara ruangan. Gen berjalan ke depan pintu itu dan memegang gagang pintu dengan tangan kanannya. Lalu, dia memutar gagang pintu itu ke arah kiri.

Alih – alih terbuka, pintu sempat bergetar dengan disertai suara seperti papan kayu yang dihantamkan ke tembok bata.

"Pintunya terkunci," kata Gen kemudian.

"Yah, sayang sekali," balas Syco.

Ini adalah kali keduaku dan Gen untuk berusaha memasuki ruangan yang terkunci, setelah ruang kamar yang tadi pagi. Tapi, ini adalah kali pertamanya Syco.

"Tadi pagi pun, aku kelupaan mengambil kunci kamarku," kata Syco menyambung perkataannya yang sebelumnya.

"Hah, apa?!" aku bertanya sambil berteriak.

Sontak, Gen dan Syco menoleh bersamaan ke arahku dengan memasang wajah kesal.

"Iya Clone. Syco juga sama. Saat aku mengambil kunci di lobi asrama tadi, aku sudah bertemu dengan Syco," jelas Gen sambil menghela nafas.

Aku menganggukkan kepala sebanyak dua kali sebagai tanda mengerti.

Tiba – tiba, wajah kesal Syco berubah menjadi wajah senang. Dia pun berkata, "Jangan begitu, Gen."

Gen membalasnya dengan menganggukkan kepala. Sedetik kemudian, dia kembali menghadapkan kepalanya ke depan.

Baiklah, aku menarik pemikiranku yang sebelumnya. Pemikiran itu segara kuubah dengan, "Ini adalah kali kedua bagi kami untuk berusaha memasuki ruangan yang terkunci."

Semenit kemudian, aku, Gen, dan Syco berdiri dengan urutan seperti yang kusebutkan itu dari kiri ke kanan di depan jendela yang terletak di sebelah timur pintu.

Melalui jendela ini, kami bisa melihat kondisi kelas 2B yang ternyata tidak berbeda jauh dengan kondisi kelas 1B.

Sepuluh buah bangku yang terdiri atas sepasang meja kayu dan kursi kayu tertata rapi di dalam ruangan. Jarak di antara setiap bangku adalah lima puluh lima senti.

Bangku – bangku itu membentuk tiga buah baris yang memanjang dari barat ke timur. Terdapat tiga buah bangku di setiap baris, kecuali sebuah baris yang terletak di paling selatan, karena terdapat empat bangku di baris itu.

"Aku ingin duduk di yang satu itu," gumamku.

"Menyendiri lagi?" tanya Gen yang segera kujawab dengan anggukan kepala.

"Kalau kamu duduk di situ, ada kemungkinan bangku yang di depanmu kosong, karena kelas kita hanya ada delapan anak," kata Syco.

"Aku tak peduli," gumamku.

"Yah, aku akan duduk di depanmu kalau begitu. Sama seperti saat kelas satu dulu," balas Syco sambil melirik ke kiri.

Suasana hening sejenak. Gen dan Syco mungkin sedang larut dalam pemikirannya masing – masing. Entah apa yang mereka pikirkan, aku tidak tahu, karena aku tidak punya kemampuan untuk membaca pikiran.

Setelah berpikir panjang, Gen pun berkata, "Aku mungkin akan duduk di sebelahnya Syco."

Perkataan itu direspon oleh Syco dengan berkata, "Kita bertiga duduk berdekatan lagi, ya."

"Tidak juga. Tidak kalau ada yang protes dan ingin bertukar tempat duduk," gumamku yang sudah pasti akan didengar oleh dua anak di sampingku ini.

Benar, hal seperti ini seharusnya dibahas bersama anak – anak yang lain agar tidak menimbulkan perdebatan saat masuk besok.

Aku tidak tahu dimana lima anak lainnya akan mengambil tempat duduk nanti. Mungkin saja, Tech ingin duduk di pojokan yang kuinginkan, karena apa pun yang kuinginkan biasanya tidak pernah tercapai.

Tapi, kenapa malah membahas soal tempat duduk? Bukankah aku harus mendeskripsikan kondisi kelas? Sejauh ini, hanya tempat duduknya saja yang sudah kudeskripsikan.

Sekarang, aku akan mendeskripsikan unsur – unsur kelas yang lain. Ada dua hal yang akan kudeskripsikan yaitu rak buku dan meja guru.

Yang pertama adalah rak buku. Sebuah rak buku kayu yang panjangnya dua meter dan tingginya empat puluh senti berdiri berhimpitan dengan tembok belakang ruang kelas.

Rak buku ini memiliki tujuh ruang yang masing – masingnya terisi oleh tiga sampai sepuluh buku bacaan yang ditinggalkan oleh kakak kelas yang sudah lulus tahun lalu.

Selanjutnya adalah meja guru. Meja guru—sama seperti meja guru di kelas lain—ini, permukaan atas mejanya ditutupi oleh taplak meja putih dengan pola seperti batik.

Terdapat vas bunga—dengan bunga buatan dari plastik di dalam vas—berukuran kecil di sudut tenggara meja guru. Di sebelah barat vas itu terdapat kubus berwarna putih yang merupakan tempat penyimpanan kapur papan tulis.

"Sudah selesai lihat – lihat kelasnya?" tiba – tiba Gen bertanya dan mengagetkanku.

Syco sedikit tersentak saat menjawab, "A-aku sudah." "Bagaimana dengan Clone?" dia pun lanjut bertanya.

"Aku juga sudah," jawabku.

Kemudian, aku melirihkan suara saat berkata, "Juga sudah melihat - lihat benda – benda yang akan kudeskripsikan."

Tampaknya, Syco mendengar perkataanku yang itu. Oleh karena itu, dia balik bertanya dengan mengatakan, "Kamu inign menceritakan ini di ceritamu?"

"Ya. Memangnya kenapa?" aku menjawab sekaligus bertanya.

"Aku juga ingin menceritakannya. Oh, bagaimana kalau cerita kita digabung jadi satu bab? Aku akan membantumu mengerjakan beberapa bagiannya. Ini akan menjadi bab pertama di cerita yang kedua, kan?" Syco mengatakan itu sambil mendongakkan kepala ke atas dan sesekali menoleh ke kiri.

Aku menganggukkan kepala sebanyak sekali saja sambil berkata, "Boleh." Memangnya, siapa yang bisa menolak permintaan Syco?

Sial, aku jadi banyak bicara hari ini. Apa yang dilakukan Gen selama Syco menjelaskan banyak itu? Hanya menyimak seperti yang kulakukan saat dia berbicara dengan Syco sebelumnya?

"Kau bagaimana, Gen?" tanya Syco kepada Gen.

"Akhir – akhir ini, aku kehabisan ide untuk ceritaku," jawab Gen.

"Tapi, ceritamu hanya satu bab saja loh," balas Syco dengan nada tinggi.

Gen tidak menghiraukan perkataan itu dan mengalihkan pandangannya dari jendela kelas. Aku tahu kalau dia tidak ingin membalas perkataan Syco, karena akan memicu sebuah perdebatan.

"Ceritamu juga ... baru satu bab kan, Syco," gumamku.

Sialan! Aku tidak berniat untuk menggumamkannya. Aku hanya ingin mengatakannya di dalam hati, namun tanpa sengaja mulutku ikut berucap.

"Clone!" Syco berseru marah.

Kalau begini, Syco pasti akan membenci ... tidak, Gen juga akan membenciku. Mereka ingin menghindari perdebatan, namun aku malah memantik api yang menciptakan perdebatan itu.

Aku pun terdiam selama lima menit, menyesali perkataanku barusan. Gen dan Syco juga ikut terdiam karenanya.

Lima menit kemudian, Syco mulai membuka mulut. Dia berkata, "Sudahlah, ayo lanjut jalan." untuk mencairkan suasana.

"Ayo!" Gen berseru sambil membalik badannya.

Kemudian, mereka berjalan ke arah barat untuk meninggalkanku yang masih berdiam diri di depan jendela kelas 2B.

Bagus! Tinggalkan aku sendiri! Aku memang pantas menerimanya!

Terdengar suara langkah sebanyak empat kali, sebelum kemudian suara itu terhenti. Sebuah perkataan terdengar, menyusul terhentinya suara langkah itu.

"Clone, mau ikut tidak?" kata suara itu yang ternyata adalah suaranya Gen.

Aku pun membalikkan badan dan melihat kalau Gen dan Syco belum berjalan terlalu jauh. Jarak mereka denganku sekarang hanyalah satu meter saja. Jadi, mereka memang tidak bisa meninggalkanku di belakang.

"Y-ya," jawabku dengan terbata – bata.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro