Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 9 Part 3: Ruangan Berbentuk BOLA

Terdengar suara seperti palu dipukulkan ke dinding. Bersamaan dengan itu, langit – langit ruangan di belakang Joey roboh. Puing – puing yang besar dan berbentuk tidak simetris berjatuhan ke lantai.

"APA!!!" Joey berteriak.

Dia berbalik, menghadap ke arah jatuhnya puing – puing atap.

Sinar matahari menembus lubang berdiameter dua meter yang ditinggalkan oleh puing – puing itu. Setidaknya, mengurangi rasa suram dari ruangan yang gelap ini. Berlama – lama di ruangan yang gelap membuat bercak – bercak bayangan memenuhi pandanganku, ketika aku melihat dalam terang.

Bayangan – bayangan itu pecah menjadi seratus, kemudian seribu bayangan lagi. Warna mereka yang putih seolah berkurang opacitynya, semakin lama semakin bening.

Bayangan itu menghilang seluruhnya saat opacitynya mencapai angka nol. Hilangnya bayangan itu membuat pandanganku menjadi jernih. Kini, aku bisa melihat Joey dan puing – puing atap di belakangnya dengan jelas.

Di atas puing – puing atap, disirami oleh sinar matahari, laki – laki itu berdiri. Aku masih ingat wajahnya. Rambutnya yang hitam gondrong. Janggut yang tumbuh di dagunya. Dia adalah laki – laki yang menjadi petugas di kantor desa.

Meskipun begitu, aku lupa namanya. Sepertinya, namanya berawalan dengan huruf "B".

Laki – laki itu mengenakan jaket abu – abu tebal yang tidak direstleting, memperlihatkan seragam kecoklatan yang dia pakai di balik jaket itu. Papan nama masih terpasang di dada sebelah kanannya. Di papan nama itu tertulis, "Dome Colar." Itulah namanya. Rupanya, tebakanku salah.

"Hei, apa yang kau lakukan?!" Joey berseru.

Dome menggumamkan sesuatu. Tiba – tiba, dia telah berdiri di hadapanku. Joeylah yang justru berdiri di tempat Dome berpijak sebelumnya, di tengah – tengah puing – puing bekas langit – langit ruangan.

Dome memegang tali yang melilit tubuhku dengan tangan kanannya.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanyaku.

Dome tidak menjawab pertanyaanku. Aku tidak berharap pertanyaanku dijawab. Bukan, tepatnya, aku tidak berharap ada yang menolongku. Ada seseorang yang mengetahui lokasi ruangan entah berantah ini saja sudah merupakan suatu keajaiban.

Aku merasakan kalau ikatan tali yang melilit tubuhku mulai melonggar. Aku menundukkan kepala dan melihat kalau serat demi serat tali itu terurai. Entah bagaimana Dome bisa melakukannya. Saat itulah, aku sadar. Dome pasti menggunakan Spirit Ability.

Sedetik kemudian, tali tambang itu jatuh ke lantai dengan mengitariku. Seluruh tubuhku terasa kebas, seolah seseorang habis memelukku dengan erat.

Kedua lenganku terkulai ke samping badan. Punggungku rasanya seperti habis menahan beban jutaan kilo. Badanku tidak bisa ditegakkan dan aku hanya bisa menatap ke bawah. Kedua kakiku terasa sangat berat. Aku tidak bisa berdiri. Kedua lututku sudah menyentuh lantai.

"Tenanglah. Kau aman sekarang," kata Dome.

Dia mengalungkan lengan kirinya ke punggungku. Lengan kirinya itu menyalurkan energi ke tubuhku yang lelah. Aku menghela nafas berat.

"Ayo kita keluar dari sini," Dome berkata.

"Tunggu," gumamku.

Tangan kananku menuding sebuah meja kayu yang berada di samping kanan puing – puing atap. Di atas meja itu, terlipat rapi sebuah jaket berwarna hijau—tak lagi hijau, melainkan bercampur dengan warna kecoklatan dari debu Beruntung, langit – langit ruangan tidak jatuh menimpa meja itu.

"Apa?" tanya Dome.

Energi yang sesaat kudapatkan memberiku kemampuan untuk berbicara. Aku pun menjawab, "Tolong ambilkan jaket itu juga."

"Baiklah," balas Dome sambil menganggukkan kepala.

Dalam satu kedipan mata, jaket hijau itu sudah terpasang ke tubuhku. Jangan – jangan Dome tahu kalau jaket itu adalah Clothes of Chaos? Debu – debu yang menempel di jaket itu membuat tubuhku terasa gatal.

"Ada lagi?" Dome kembali bertanya.

Aku menggelengkan kepala sebanyak dua kali, sebelum menjawab, "Tidak ada. Ini sudah cukup."

Dengan jaket hijau itu terpakai di tubuhku, aku bisa menggunakan Spirit Ability untuk kabur dari sini. Tapi, Clone. Apakah ini yang benar – benar kau inginkan? Bukankah kau ingin mati? Ini adalah kesempatan emas untuk mati, bukan? Kalau kau kabur, kau akan mengalami siksaan dunia yang bertubi – tubi.

Tiba – tiba, wajah – wajah mereka terbayang di pikiranku. Teman – teman sekelasku. Apa kata sahabatku, Gen. kalau aku mati nanti? Aku tidak bisa melupakan Trail dan Syco yang selalu menolongku. Aku malah memasukkan mereka ke daftar "Orang yang Harus Kujauhi." Entah alasan apa yang membuatku mendaftarkan mereka ke daftar itu.

Aku juga masih ingin menonton Tech bermain game. Meskipun aku tidak begitu dekat dengan Proty dan Rite, namun mereka pasti sedih jika aku berpisah dengan mereka untuk selama – lamanya. Kemudian, ada urusan yang belum kuselesaikan dengan Pulse.

Wajah – wajah teman sekelasku itu menghilang. Lalu, dari ketiadaan, munculah wajah kedua orang tuaku. Di samping mereka, tampak wajah adikku yang buram.

Benar juga. Masih ada tugas dari ibuku. Aku belum menemukan adikku, Blade, yang menghilang. Aku tidak boleh mati sebelum menyelesaikan tugas itu. Ibu pasti marah.

Aku berseru, "Spirit Ability, Kaze 風!"

Angin pun bertiup dengan kencang. Jaket yang kukenakan berkibar. Dari lubang di langit – langit ruangan, tampak sesosok raksasa bertubuh hijau. Dia mendekatkan mulutnya ke lubang itu, seolah ruangan ini adalah gelas minumnya.

Raksasa itu mulai meneguk gelas itu—ruangan ini. Tarikan nafasnya membuat tubuhku dan Dome mulai terangkat. Kami melayang dua senti, lima senti, sepuluh senti dari lantai. Mulut raksasa itu menghisap kami, seperti vacum cleaner, lubang hitam, dan apa pun itu yang bisa menghisap.

Saat kami sudah melayang setinggi satu meter dari lantai, aku melihat kalau di bawah sana, Joey berteriak, "Jangan kabur!"

Kartu – kartu remi melesat ke arahku. Namun, sosok raksasa itu segera mengulurkan kedua tangannya ke dalam ruangan. Gerak kartu remi itu terhenti, begitu menyentuh kedua telapak tangan sang raksasa.

Bagi raksasa itu, kartu – kartu remi dan Joey adalah kuman yang membahayakan tubuhnya.

***

Bunyi logam bertabrakan dengan sesamanya menggema di sepenjuru ruangan.

Sebuah pipa besi berdiameter lima senti dan panjangnya satu meter, menggelinding di lantai. Di jalur yang hendak dilalui pipa besi itu, menghadang sebuah lantai ubin dengan retakan yang melintang sepanjang satu meter.

Retakan itu memperlambat gerak menggelinding pipa besi saat melintasi ubin yang retak itu, cukup lambat untuk membuatnya berhenti tak jauh dari ubin itu.

Tak hanya ada satu pipa besi. Sepuluh pipa besi yang sama juga menggelinding di lantai, menuju ke setiap sudur ruangan yang berbeda.

Joey berdiri di tengah – tengah kerumunan pipa besi. Badannya membungkuk ke depan sebesar tiga puluh derajat. Tangan kanannya mengayun di samping badan.

"SIAL! SIAL! SIALLLL!!!" dia berteriak.

Keringat membasahi wajahnya. Bercak – bercak keringat juga terpampang di seluruh jaket hitamnya, membuat jaket itu tampak seperti bercorak tutul abu – abu.

Suara langkah kaki terdengar. Semakin lama, terdengarnya suara melangkah itu menjadi semakin banyak. Suara itu menggema di dalam ruangan.

Joey menoleh ke arah sumber suara, ke sisi utara ruangan itu. Dia pun melihat, Dome sedang berjalan mendekatinya. Suara itu berasal dari sepatu hitam yang Dome kenakan.

Kemudian, langkah Dome terhenti. Dia berdiri tepat di bawah lubang besar yang menganga di langit – langit ruangan. Sinar matahari menyiram kepalanya, membuat terlihat seperti ada cahaya keemasan yang menutupi wajah Dome.

Bayangan Dome yang terpampang di dinding, tujuh meter di belakang laki – laki itu semakin lama, semakin membesar. Kemudian, bayangan itu miring ke arah kanan, hingga Dome dan bayangannya tidak berdiri dengan sejajar.

Melihat kehadiran Dome, Joey pun bertanya, "Kenapa kau kembali?" dengan nada malas.

Dome tak segera menjawab. Dia menggulung lengan pakaiannya yang panjang. Pakaiannya yang seperti baju safari itu terbuat dari kain yang tebal dan kaku, sehingga sulit untuk dilipat, apalagi digulung.

"Aku kembali untuk menghukummu," kemudian dia pun berkata.

Pandangannya yang lurus ke depan menatap tajam ke arah Joey. Mulutnya membentuk seperti perahu terbalik.

Joey membalas tatapan itu dengan memutar kedua bola mata hitamnya.

"Memangnya kau siapa? Sok sokan berlagak seperti pahlawan yang ingin menyelamatkan kota, lantas menghukum penjahat sepertiku," dia bertanya.

Remaja itu terang – terangan berkata dengan nada mengejek.

"Bangunan ini terletak di wilayah Sentosa," Dome berkacak pinggang, bersikap seolah guru hendak menghukum siswanya yang sulit memahami pelajaran.

Mulutnya menggumamkan sesuatu, sebelum dia melanjutkan, "Tak ada satu pun sudut di wilayah Sentosa yang lepas dari pengawasanku—tidak, pengawasan kami!"

Tangan kanannya diangkat ke atas. Jari telunjuknya menuding langit – langit ruangan yang bolong, menghujam ke langit biru. Seekor burung terbang melintas di langit. Burung itu berkicau, seolah bertanya, "Apa yang manusia itu inginkan dariku?"

"Atas nama pemerintah wilayah Sentosa, aku menghukummu, wahai penjahat!" Dome berteriak.

"Berisik!" sela Joey.

Telapak tangan kanannya membuka. Sebuah kartu bergambar hati berwarna merah di tengah – tengahnya, muncul di atas telapak tangan itu.

Kemudian, Joey mengayunkan lengan kanannya. Kartu bergambar hati itu pun terlepas dari tangannya dan melesat ke arah Dome. Keempat sudut kartu itu mengkilat. Ujung kartu itu menjadi setajam pisau.

Dua meter jaraknya dari Dome, kartu itu membelah diri. Kartu – kartu lain—dengan gambar yang berbeda. Ada yang bergambar sekop, ada yang bergambar wajik, dan ada yang bergambar seperti keriting—muncul, sebagai anak – anak pembelahan—atau mitosis—dari kartu bergambar hati itu.

Ada total lima puluh dua buah kartu yang melesat. Selain gambar dan warnanya yang berbeda, jumlah gambar pada setiap kartu juga berbeda.

Dome tersenyum. Kedua kakinya melangkah ke depan, seolah menyambut badai kartu itu.

"Kau takkan bisa melukaiku. Tidak dengan kemampuanmu yang lemah," Dome berkata dengan tenang.

Nada bicaranya lembut, meski perkataannya itu terdengar menyakitkan di telinga. Seperti benang, namun permukaannya tajam.

Satu meter dari Dome, kartu – kartu yang dilemparkan Joey terhenti di udara. Udara di sekeliling Dome seolah mengeras seperti dinding dan kartu – kartu milik Joey menancap di dinding udara itu.

Joey membelalakkan mata. Mulutnya menggumamkan kata – kata, yang meski tidak terdengar, dari gerakan mulutnya siapa pun tahu bahwa itu adalah kata – kata makian.

Remaja itu suka mengunjungi kebun binatang sambil menghafal nama – nama hewan yang tinggal di kebun binatang itu. Anehnya, sebagian besar binatang yang dihafal Joey adalah serangga, seekor hewan mirip tupai yang suka melompat dari pohon ke pohon, dan hewan peliharaan yang terkenal setia.

Dome meluruskan tangan kanannya ke depan. Jari telunjuk kanannya menuding ke arah wajah Joey.

"Berbaliklah," dia berbisik.

Dalam serentak, kelima puluh dua kartu itu kembali melesat. Alih – alih menuju Dome, mereka seolah melesat mundur, kembali ke arah Joey.

"Sial!" Joey berteriak.

Joey mundur selangkah. Lima buah kartu yang kesemuanya bergambar sama—hati—menancap di depan kaki kanannya. Lima kartu lain—namun bergambar sekop—mendarat di depan kaki kiri Joey.

Kemudian, Joey melompat mundur sejauh tiga meter.

"Kemampuan macam apa itu?!" dia berseru.

Bersamaan dengan itu, sepuluh kartu lain—kali ini seluruhnya bergambar wajik—melesat ke arah dada Joey. Kartu – kartu itu terbang sambil membentuk formasi menyebar. Semakin jauh jarak yang ditempuh kartu – kartu itu, jarak di antara mereka semakin renggang.

Joey meluruskan tangan kanannya dengan telapak membuka. Sepuluh buah kartu yang menancap di lantai bergetar pelan.

Kesepuluh kartu itu pun terbang ke udara, menabrak sepuluh kartu bergambar wajik yang sedang terbang dengan kecepatan sama menuju Joey.

Total dua puluh kartu berserakan di lantai ruangan, membuat ruangan yang berantakan itu menjadi semakin berantakan.

Sementara itu, tiga puluh dua kartu sisanya terbang mengelilingi Joey. Ujung – ujungnya yang tajam menghunus ke arah badannya.

"Cih," kata Joey sambil meluruskan tangan kanannya ke samping.

Dari celah di jaket hitamnya yang kebesaran, keluar sebuah kartu—satu – satunya kartu yang berbeda gambar. Kartu itu bergambar wajah seorang badut bertopi merah. Terdengar bunyi seperti senapan ditembakkan, saat kartu itu melesat ke udara.

Angin yang kencang berputar mengelilingi Joey.

Sepersekian detik kemudian, ruangan itu mengalami hujan kartu. Potongan – potongan kartu berukuran kecil seperti debu, berjatuhan ke lantai. Tidak tampak sudah, kartu – kartu apa yang terpotong itu. Bahkan, jika dilihat sekilas, tidak ada yang tahu bahwa debu – debu itu adalah bekas dari kartu remi.

Joey menyilangkan tangan kanannya di depan wajah. Kartu bergambar badut itu dijepitnya di antara jari telunjuk dan jari tengah.

"Hei, anjing! Kemampuanmu sama kayak punyaku, ya! Dasar peniru!" dia berteriak marah.

Wajah Dome terlihat santai. Sambil mengelus janggut di dagunya dengan tangan kanan, dia berkata, "Kau membuat dua kesalahan."

Tangan kirinya terulur ke depan, dengan jari telunjuk dan jari tengah membuka, menunjukkan isyarat angka dua.

"Pertama, aku bukan anjing. Aku adalah manusia. Kedua, kemampuan supranatural yang kita miliki tidaklah sama," sambungnya.

Joey menggertakkan gigi.

Kemudian, kartu bergambar badut yang dipegangnya memancarkan sinar merah. Sinar itu terang sekali, sampai – sampai menyelimuti seluruh ruangan. Meski begitu, sinar itu tidak menyilaukan. Joey masih dapat melihat dengan jelas.

Saat sinar itu menghilang, lima detik kemudian, muncul kerumunan badut di depan Joey.

Mereka mengenakan pakaian yang seragam. Mereka mengenakan pakaian ketat, dengan sisi kiri berwarna putih dan sisi kanan berwarna merah. Topi merah terpasang di kepala mereka. Sebuah topeng senyum menutupi wajah mereka.

Sayangnya, keseragaman itu dihancurkan oleh barang – barang yang mereka bawa. Badut – badut itu membawa berbagai macam barang, mulai dari tongkat kasti, sebuah bendera, lightsaber—maksudnya tongkat satpam—hingga banner berukuran besar yang rasanya tak mungkin untuk dibawa oleh manusia biasa.

"Kalau kartuku tidak bisa melukaimu, bagaimana dengan ini?" Joey menantang.

Badut – badut itu berlarian menuju Dome, menciptakan konvoi kecil – kecilan.

Tidak tepat jika disebut konvoi. Lebih tepat dianggap sebagai kerusuhan. Sebab, satu detik kemudian, badut – badut itu memukulkan apa pun barang yang mereka pegang kepada Dome.

Dome menghindari ayunan tongkat kasti dari badut pertama, dengan memiringkan badannya ke kiri. Tepat di belakangnya, badut kedua telah bersiap untuk menghunuskan tiang bendera yang dibawanya.

Ujung tiang bendera yang tajam itu malah menusuk dada badut pertama. Badut pertama pun meledak menjadi asap berwarna warni bak pelangi.

Tak lama kemudian, badut kedua ikut meledak. Dome berdiri di belakangnya. Tangan kanannya memegang sebuah tongkat kasti—milik badut pertama—yang disandarkan ke bahu kirinya. Dome terlihat seperti seorang pemukul dalam pertandingan kasti.

Badut ketiga yang membawa lightsaber maju menerjang. Dome mengayunkan tongkat kasti menuju badut itu.

Badut ketiga hendak menangkis tongkat kasti Dome dengan lightsabernya, tetapi lightsaber itu tiba – tiba lenyap dari genggamannya. Badut ketiga pun hancur menjadi asap setelah ayunan tongkat kasti mengenai kepalanya.

Dome berdiri tegak. Tangan kanannya memegang tongkat kasti, sementara tangan kirinya memegang lightsaber.

"Aku tidak butuh ini," katanya sambil mengayunkan tangan kiri.

Lightsaber itu pun terbang sambil berputar – putar. Bagi yang pernah menonton film Star Wars, pasti pernah melihat adegan ketika seorang jedi melempar lightsabernya, lalu menggunakan force untuk mengendalikan lighsaber itu agar melayang di udara.

Umur badut – badut yang tersisa tidaklah lama, sama seperti saudara – saudaranya. Ledakan asap pelangi mengepul mengelilingi Dome.

"Lalu, apa selanjutnya?" dia bertanya.

Tak perlu menunggu waktu lama demi terjawabnya pertanyaan itu. Joey berlari, menembus asap pelangi. Tangan kanannya mengepal, bersiap untuk memukul.

"Jangan menyentuhnya," tiba – tiba, sebuah suara berbisik di pikirannya.

Pukulan Joey pun terhenti, dua senti di depan wajah Dome.

Dome tersenyum sinis. Tidak menyia – nyiakan kesempatan ini, dia melepaskan pukulan dengan seluruh tenaga menuju perut Joey. Setelah terkena pukulan itu, Joey melangkah mundur dengan tertatih – tatih.

"Perasaan apa ini?" tanyanya di dalam hati.

Joey menelan ludah. Perutnya yang terkena pukulan tak henti – hentinya bersuara, seperti orang kelaparan. Seolah pukulan itu mengambil seluruh isi perutnya.

Sambil berjalan mendekati Joey, Dome bertanya, "Kau merasakannya, kan?"

"Apa yang kau lakukan?" Joey balas bertanya.

"Ini adalah kemampuanku. Aku bisa membuat kubah tak terlihat dan melakukan apa pun pada kubah itu, seperti membuat agar kubah itu menangkis kartu – kartumu.

Saat ini, aku membuat kubah itu di dalam tubuhmu. Jika kau macam – macam, aku bisa memerintahkan kubah itu untuk meledak dan menghancurkan organ tubuhmu dari dalam," jawab sekaligus jelas Dome.

Joey mengepalkan kedua tangan di samping badan. Tatapannya tajam. Dia berkata, "Apa apaan itu? Mana mungkin aku percaya dengan omong kosong seperti itu. Kau pasti cuman mengancam agar aku menurut denganmu, kan?"

Dome berkata, "Tidak percaya ya sudah." sambil menjentikkan tangan kanannya.

Tiba – tiba, Joey membelalakkan mata. Bulir – bulir keringat bermunculan di dahinya. Kulit wajahnya berangsur – angsur membiru. Seluruh tubuhnya gemetar, membuat kedua kakinya tak lagi mampu menahan beban dari seluruh tubuhnya.

Joey berlutut di lantai. Kedua tangannya memegangi perut, seperti orang habis salah makan.

"K-kau—" perkataannya tertahan.

"Aku menyuruh kubah itu untuk mengaduk makanan di dalam lambungmu," balas Dome.

Dia menundukkan kepala. Tatapannya memancarkan sesosok iblis bertanduk tinggi. Seluruh tubuhnya memancarkan hawa panas yang dapat mengelupas kulit. Iblis itu tengah tertawa terbahak – bahak, memamerkan gigi – giginya yang tajam.

"Bagaimana? Bagaimana rasanya?" iblis itu bertanya berulang - ulang.

Joey hendak menjawab, namun rasa sakit di perutnya membuat perkataan yang keluar dari mulutnya hanyalah, "A-a-a-a."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro