Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 9 Part 2: Bertiupnya ANGIN Kemarau

Tiba – tiba, pintu ruangan terbuka. Cahaya yang masuk menyilaukan mata kami.

Keadaan di luar sana berbanding terbalik dengan keadaan di dalam sini. Di luar terang sekali. Lampu – lampu menyala. Sementara itu, di dalam sini gelap, karena lampunya selalu dimatikan.

Tech bilang, dia tidak bisa bekerja kalau ruangannya terang. Padahal, menggunakan komputer di tempat gelap bisa merusak mata.

"Apakah ada informasi dari pak polisi?" aku bertanya.

"Sepertinya begitu," jawab Trail.

Di ambang pintu, berdiri lima orang polisi. Ayahnya Tech adalah yang paling mencolok. Dia tidak mengenakan seragam polisi, melainkan kemeja biru tosca yang dimasukkan ke celana panjang coklat.

Dialah yang berdiri di tengah – tengah. Tangan kanannya memegang sebuah ponsel hitam.

"Kenapa kalian teriak – teriak?! Kami sedang rapat di sebelah," dia berkata.

Aku menghela nafas. "Kukira ada apa," kataku di dalam hati.

Trail maju ke hadapan polisi – polisi itu. Salah satu tangannya mengepal di depan dada. "Kami menemukan sesuatu, pak!" serunya bersemangat.

Ayahnya Tech menyipitkan mata. Polisi yang berdiri di sebelahnya mendekatkan kepala ke wajah ayahnya Tech.

Setelah berbisik – bisik, ayahnya Tech pun berkata, "Kami juga menemukan sesuatu. Tadinya, kami ingin memberi tahu kalian setelah rapat."

"Apa itu, pak?" tanyaku.

"Ada alumni akademi yang menawarkan diri untuk membantu," dia menjawab.

Ayahnya Tech membungkukkan badan. Dia meluruskan tangan kanannya yang memegang ponsel ke arah kami.

"Ini nomernya," sambungnya.

Aku melangkah mendekat, untuk melihat isi ponsel itu.

Di tengah – tengah layar terdapat gambar seorang laki – laki kartun berambut hitam, berponi panjang hingga menutupi kedua matanya. Gambar itu dibingkai berbentuk lingkaran.

Di bawah gambar itu terdapat sebuah nomor telepon, yang di bawahnya lagi tertulis, "~Tyro Net", nama pemilik foto.

"Itu kan—," perkataan Trail terhenti.

Aku menoleh ke arah Trail, sebelum bertanya, "Kau kenal dia?"

"Itu adalah kakaknya Syco," sambung Trail.

"Apakah sebaiknya, kita memberi tahu dia soal TFG?" aku kembali bertanya.

Trail mengangguk, sebelum menjawab, "Tentu saja."

Aku menghela nafas. Sementara itu, di dalam hati aku berkata, "Semoga dia bisa membantu kami."

Ayahnya Tech kembali menegakkan badan. Barisan polisi di kiri kanannya mulai renggang. Sebagian terlihat membalikkan badan.

Aku dan Trail mendongakkan kepala secara bersamaan.

"Pak—," aku berkata, namun perkataanku terpotong, sebelum aku sempat menyelesaikannya. Trail telah mengatakan hal yang juga ingin kukatakan.

"Pak, tolong telepon dia. Ada hal penting yang harus kami beritahu padanya," katanya.

Ayahnya Tech mengangguk. Dia pun menekan sebuah tombol berwarna hijau di layar ponsel itu.

"Teman – teman!" kemudian, terdengar seruan yang tidak asing dari belakang kami.

Kami menghadap ke sumber suara, sebuah lemari kayu di belakang ruangan. Bagian depan lemari itu terbuat dari kaca, membuat kami bisa melihat isi di dalamnya.

Dash berdiri di depan lemari itu. Dia mengedipkan mata. Bercak kehitaman tampak di bawah kelopak matanya.

Lengan kirinya mengusap kedua mata, sementara telapak tangan kanannya menutup mulutnya yang tengah menguap.

"Apa aku kelewatan sesuatu?" tanyanya kemudian.

***

1 Desember 2013

Pukul 14.00

Aku sudah gila. Itulah yang kutanamkan berkali – kali ke pikiranku.

Aku tidak tahu sudah berapa lama aku berada di ruangan ini. Jam demi jam berlalu dengan lama. Rasanya, aku sudah mengalami penyiksaan ini selama bertahun – tahun, meski kenyataannya tidak demikian.

Saat menulis cerita ini, aku baru menyadari bahwa penyiksaan yang kualami hanya berlangsung selama dua hari. Sungguh tidak sebanding dengan rasa sakit yang kurasakan.

Sekujur tubuhku perih. Aku tidak bisa merasakan tangan dan kaki – kakiku. Sebenarnya, bukan begitu maksudku. Sulit untuk dideskripsikan, karena aku yang sekarang sedang berada di antara hidup dan mati. Jiwaku hidup, namun fisikku mati. Kedengarannya aneh, tapi begitulah yang terjadi.

Apa harus kucoba mendeskripsikannya dengan kata – kata lain, ya? Baiklah, kepalaku mulai dipenuhi ribuan kata – kata secara acak. Oke, ini dia.

Rasa sakit yang kualami, membuatku seolah tidak bisa membedakan mana tangan, mana kaki, bahkan rasanya saja seperti kepalaku sudah tidak ada—meski tidak mungkin kepalaku copot, karena saat ini aku masih hidup. Aku masih bernafas. Namun, aku tidak bisa mengedipkan mata atau pun membuka mulut. Bergumam saja tidak bisa.

Yang kulihat hanyalah warna hitam yang sesekali memunculkan tali – tali berwarna merah—apakah kalian bosan membacaku, saat mendeskripsikan pandangan gelap yang tampak saat menutupkan mata? Aku bahkan mencoba menggunakan kata – kata lain untuk mendeskripsikannya, agar kesannya semakin bervariasi.

Sepertinya, hari sudah malam. Beberapa saat yang lalu—aku telah kehilangan perhitungan akan waktu—Joey mengarungkan sebuah karung ke kepalaku sambil berkata, "Selamat tidur, Clone."

Aku tidak tahu, apakah "tidur" yang dia maksud adalah tidur secara literal, atau "tidur" yang merupakan penggambaran dari "mati".

Bagiku, dua duanya tidak terlalu buruk.

Kemudian, kurasakan kalau tubuhku berguncang. Bukan hanya sekali, namun lima kali. Apakah sedang terjadi gempa?

Dilihat sekilas—kau berbicara seolah punya mata saja, Clone—aku tahu kalau ruangan ini tidak tahan gempa. Dinding ruangan ini disusun dari batu bata yang telah rapuh. Sebagian langit – langit ruangan telah retak, sebagiannya lagi bahkan copot. Di tempat yang seharusnya ada langit – langit, tampak kayu penyangga atap yang melintang.

Bagus sekali. Ruangan ini akan rubuh dan menimpaku. Lalu, aku akan mati, tanpa siapa pun menemukan jasadku.

Dua menit kemudian, guncangan itu terhenti. Sepertinya, gempa sudah reda. Sayang sekali, gempa itu tidak sampai membunuhku. Mungkin, setelah ini akan terjadi gempa susulan.

Lima menit menunggu, suasana lenggang. Tidak terjadi apa – apa. Di dunia ini hanya ada aku, tubuhku yang mati rasa—bahkan aku tidak yakin, apakah aku masih memiliki tubuh—dan ruangan hitam yang sedang kupandangi.

Alih – alih gempa susulan, yang terjadi selanjutnya adalah bisikan suara, "Hari sudah pagi. Saatnya bagun." di telingaku. Itu adalah suara Joey, orang yang menjadi penyebab dari semua penyiksaan ini.

Kemudian, seluruh dunia gelap yang kupandangi terangkat ke atas. Sebagai gantinya, cahaya yang silau merembes dari bawah, kemudian mengambil alih dunia hitam itu dengan menyebar ke seluruh sudut ruangan.

Menyusul tusukan cahaya ke mataku adalah ucapan, "Selamat pagi, Clone." dari Joey.

Kepalaku sakit. Pandanganku buram. Samar – samar, terlihat sosok bersurai biru, yang tengah memakai selimut dari kain terpal hitam. Sosok itu melambaikan kipas kecoklatan ke arah wajahku.

"Hei, bunuh saja aku," aku bergumam.

Joey menjawab, "Tidak. Tidak." dengan gestur tubuh khasnya—badannya membungkuk ke depan dan kedua tangannya disilangkan di depan dada. Penglihatanku sudah mulai jelas—yang mana membuatku muak, karena aku benci menatap wajah Joey.

"Permainan ini masih lama," sambungnya.

Joey mengarahkan telapak tangan kanannya yang membuka ke wajahku. Entah apa yang ingin diperlihatkan olehnya.

Di atas telapak tangannya itu, keluar sebuah kartu remi, seperti kapal selam muncul dari permukaan laut. Sudut – sudutnya yang berkilauan terarah ke wajahku.

Kali ini, aku pasti benar – benar mati.

"Apakah kau siap?" Joey bertanya dengan meninggikan suaranya.

Aku bergumam, "Tentu saja. Aku siap mati." Lagi – lagi aku tidak sengaja mengucapkan isi hatiku. Sebenarnya, aku tidak berniat untuk mengatakannya. Mengatakan itu hanya akan membuat Joey menunda kematianku, lebih lama lagi.

Kartu itu terus memanjang. Sepuluh senti, dua puluh senti, tiga puluh senti. Aku tidak tahu kalau ada jenis kartu yang ukurannya bisa sepanjang itu. Tinggal satu senti—tidak, jaraknya lebih tipis, daripada sehelai benang—lagi bagi kartu itu untuk mencapai mataku, menusuknya, dan membuatku buta.

Setelah itu, aku pun mati. Dan, cerita ini tamat. Terima kasih telah membaca sejauh ini. Bagaimana pendapat kalian tentang cerita ini? Kutunggu komentar dan votenya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro