Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 8 Part 2: DI SAAT YANG BERSAMAAN

2 Desember 2013

Pukul 09.30

Bangunan pencakar langit dengan berbagai ketinggian menjadi pemandangan di pusat kota. Disebut "pemandangan" tidak tepat sebenarnya. Pemandangan adalah gunung, hutan, dan lembah, bukannya bangunan pencakar langit.

Jalanan beraspal menghubungkan bangunan – bangunan itu seperti labirin.

Berbagai jenis kendaraan bermotor berlalu – lalang. Di atas jalan. Bunyi deru bersahut – sahutan. Knalpot mereka mengepulkan asap tipis yang membumbung tinggi dan membaur dengan udara. Seorang pejalan kaki terbatuk – batuk menghirup asap—polusi udara—itu.

Angkutan kota berwarna biru tampak mencolok di antara kendaraan – kendaraan bermotor yang ada. Roda mereka bervelkkan bintang dengan setiap sudutnya bercahaya kelap – kelip.

Bukan angkutan kota namanya jika kendaraan itu tidak dalam kondisi mengenaskan. Karat terpampang di mana – mana. Pemiliknya sengaja membiarkan karat itu terekspose begitu saja. Seolah karat itu adalah piagam yang patut dibanggakan.

Salah satu angkutan kota berwarna biru itu menepi. Di kaca depannya tertempel stiker putil bertuliskan, "AG," kode jurusan yang menjadi rute angkutan kota itu.

Lalu, api menyelimuti angkutan kota itu. Suara berdentum terdengar kencang sekali. Badan logam kendaraan itu meleleh, menyisakan kerangkanya.

Di atas atap angkutan kota yang meledak itu berdiri seorang remaja laki-laki. Rambutnya berantakan. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku jaketnya yang tebal.

"Dia kabur, ya," pikir remaja itu.

Ledakan itu membuat orang – orang menghentikan kesibukannya masing – masing. Para pejalan kaki berkumpul, menatap tak acuh ke arah angkutan kota yang tinggal rongsokan itu. Kendaraan – kendaraan menghentikan lalu lalangnya. Pengemudinya keluar dari kendaraan untuk melihat ledakan itu dengan lebih jelas.

Kemacetan terjadi dengan segera. Suara klakson menggema di udara. Kendaraan bermotor saling tumpuk di jalan raya. Kerlap – kerlip cahaya putih terlihat di antara keramaian.

"Dasar manusia," remaja itu menghalau lengan kanannya di depan wajah, menutup wajah dari cahaya putih nan silau.

Di seberang jalan dari sumber ledakan, sebuah kerumunan menonton angkutan kota yang meledak itu dari jauh.

Seorang ibu – ibu memeluk anaknya yang gemetar ketakutan. Sepasang ibu beranak itu tengah menangis.

Seorang remaja laki – laki yang bernama Tyro menghampiri mereka.

"Tenang, bu. Sekarang, kalian aman," katanya.

"Terima kasih, mas. Kalau mas telat sedikit saja, kami pasti tidak selamat. Kami berhutang banyak padamu, mas," kata bapak – bapak yang berdiri di samping Tyro.

"Ah, bukan apa – apa, pak," balas Tyro sungkan.

Kemudian, dia menatap tajam ke arah remaja aneh yang berdiri di atas kerangka angkutan kota.

"C0wb0y F4n5 alias Line Clark. Dialah orang yang dikatakan Trail," pikir Tyro.

Kedua tangannya mengepal. Mulutnya menggumamkan sesuatu.

Di atas angkutan kota yang meledak, remaja yang bernama Line itu merentangkan kedua tangannya.

"Membosankan sekali!" dia berteriak.

Kemudian, dia melangkahkan salah satu kaki ke udara. Tubuh remaja itu pun ditarik gravitasi untuk meluncur jatuh ke tanah.

Bersamaan dengan itu, di atap angkutan kota yang tadi dipijak Line muncul sebuah bola berwarna hitam. Bola itu seukuran bola tenis.

Tyro menggertakkan gigi.

"Tidak semudah itu, ya. Kalau aku bisa menghindari serangan kejutannya, harusnya dia juga bisa menghindari serangan kejutanku," pikirnya.

Tyro meluruskan tangan kanan dengan telapak membuka. Bukaan telapak tangannya itu seolah menangkap tubuh Line yang melayang turun. Jauh di seberangnya, Line juga melakukan hal yang sama.

Tatapan kedua remaja itu saling bertemu. Mereka saling membaca pikiran masing – masing.

"Kali ini, aku tidak akan membiarkanmu lepas," pikir Tyro.

"Nah, apa yang akan kau lakukan?" pikir Line.

Bayangan berkumpul di tengah – tengah telapak tangan Tyro. Bayangan itu menyerupai bola berukuran kelereng berwarna hitam legam. Kelereng itu terus berputar di kutubnya, semakin lama semakin cepat.

Tiba – tiba, Line menghilang.

Belum sempat Tyro bereaksi, Line muncul di belakangnya.

"Sebaiknya simpan tenagamu nanti. Aku tidak mau menarik perhatian," Line berbisik sambil memiringkan kepala.

Suaranya menggema di pikiran Tyro. Perkataan yang seharusnya bisikan dengan suara kecil itu, terdengar seperti berasal dari pengeras suara yang rusak.

Rasanya memusingkan. Seperti ada hantu yang tak henti – hentinya membisikimu dari segala arah.

"Apa yang terjadi?" Tyro bertanya di dalam hati.

Seolah bisa membaca pikiran remaja itu, Line berbisik, "Coba kau cari tahu sendiri. Kau dijuluki si jenius bukan tanpa alasan, kan?"

Remaja itu berani mengejek Tyro.

Tyro ingin membalas ejekan itu, namun dia merasakan nafasnya mendadak sesak. Saat Tyro mencoba menggerakkan kepala untuk memperhatikan sekitar, remaja itu baru menyadari kalau kepala—tidak, seluruh tubuhnya membeku. Mengedipkan mata saja tidak bisa.

Suasana lenggang sejenak. Kerumunan pejalan kaki di sekeliling mereka diam di tempat. Mereka berpose dangan kedua lengan mengayun di samping badan dengan arah yang berlawanan dan salah satu kaki mereka melangkah di depan kaki yang lainnya—seperti hendak berjalan,

Tatapan mata mereka lurus ke depan. Kabut abu – abu menutupi kedua mata mereka, menghalangi orang – orang itu untuk menyaksikan perdebatan antara Line dan Tyro.

"Apa yang kau inginkan?" Tyro bertanya dengan suara pelan.

Line terkekeh, "Rahasia. Mana mungkin aku mau menyebarkan rencanaku semudah itu."

Rasanya, Tyro ingin mengepalkan tangan. Namun, sekujur tubuhnya terasa seperti kesemutan. Saat dia memaksakan diri menggerakkan setiap jari – jari di tangannya, sebuah energi listrik seolah menyambar sendi – sendi tulangnya, membuat Tyro merasakan sensasi seperti tersetrum.

"Aku tidak bisa bergerak," pikirnya.

"Percuma! Percuma! Percuma!" Line berteriak dengan nada mengejek.

Di akhir teriakan itu, dia tertawa terbahak – bahak.

"Yahahahaha!" tawanya yang kencang menggema menembus atmosfer.

"Kau—," perkataan Tyro terhenti.

Tiba – tiba, dia merasakan seperti ada angin kencang yang mendorongnya dari segala arah. Tubuh remaja itu bergoyang – goyang ke kiri kanan, depan belakang, berkali – kali selama bermenit – menit.

***

Tyro mengedipkan mata. Kerumunan orang – orang di sekelilingnya berjalan menuju tujuan masing – masing. Ramai sekali. Pandangan mereka kosong tanpa perasaan, menatap lurus ke depan. Gerakan mereka kaku, seperti tentara yang tengah latihan baris berbaris.

Mereka tidak memperhatikan kehadiran Tyro di tengah – tengah mereka. Bukan hanya sekali, lebih dari lima kali Tyro tersandung.

Seorang bapak – bapak menyenggol bahu kanan Tyro, sampai – sampai badannya terdorong ke belakang dan bahu kanannya mengayun pelan.

"Aw," Tyro mengaduh.

Bapak – bapak yang menabraknya itu berambut hitam tipis. Dia mengenakan setelan jas putih yang dimasukkan ke dalam celana panjang hitam.

Tiba – tiba, wajah bapak – bapak itu menjadi cerah. Seperti habis memakai sabun muka bermerk mahal. Dia membungkukkan badan sambil berkata, "Maaf ya, mas. Saya tidak lihat jalan."

Tyro memasang tampang bingung. Kedua matanya menyipit dan kedua alisnya melengkung hingga hampir menyentuh kelompak matanya.

"Tidak apa – apa, pak. Saya yang tidak hati – hati," Tyro membalas.

"Duluan ya, mas," bapak – bapak itu menganggukkan kepala.

Bapak – bapak itu pun berjalan menjauhi Tyro dengan tergesa – gesa.

Dan terjadi lagi. Seorang anak kecil berpakaian seragam putih merah tiba – tiba menabrak kaki Tyro.

Anak kecil itu terkejut. Dia melangkah mundur, tiga langkah. Kepalanya mendongak ke atas, menatap wajah Tyro yang terlihat semakin bingung.

Remaja itu pun berlutut di hadapan anak kecil itu agar bisa melihat wajahnya dengan lebih jelas. Mata anak kecil itu berkaca – kaca. Rongga hidungnya kembang kempis.

"Kamu baik – baik saja?" Tyro bertanya dengan nada pelan.

Anak kecil itu menjawabnya dengan mengusap wajahnya dengan lengan kanan.

"Kamu kenapa?" Tyro kembali bertanya.

Anak kecil itu menganggukkan kepala. Dia menjawab, "Ti-tidak. Tidak apa – apa." dengan terbata – bata.

"Hati – hati, ya," Tyro menasehatinya.

Anak kecil itu pun berlari melewati Tyro. Kedua tangannya memegangi tali ransel yang disampirkannya di kedua pundak.

Tyro kembali berdiri. Ada hal yang terasa janggal baginya. Dia pun melirik jam tangan perak yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Antara jarum jam dan jarum menit pada jam tangan itu, terbentuk sudut sebesar seratus empat puluh derajat. Setiap kali jarum detik jam tangan itu bergerak, terdengar suara seperti tik.

Tyro pun bergumam, "Jadi begitu."

Dia kembali memandang ke jalan raya. Diperhatikan olehnya, satu per satu kendaraan bermotor yang berlalu lalang.

Sebuah mobil sedan berwarna hitam melaju kencang. Mesinnya berbunyi nyaring seperti Formula One. Sesungguhnya, bunyi itu berasal dari knalpotnya yang dimodifikasi menyalahi aturan jalan raya.

Akibatnya, knalpot mobil sedan itu menghasilkan asap hitam yang membumbung ke udara, seperti seseorang habis membakar sampah. Tyro mengibaskan telapak tangan kanannya di depan wajah, mengusir bau busuk dari asap yang mengepul ke arahnya.

Mobil sedan itu melaju kencang, membunyikan klaksonnya yang nyaring, sebelum berpindah lajur ke kanan dan menyalip sebuah truk pickup berwarna perak yang berjalan agak lambat.

Tyro menyipitkan mata. Dia bergumam, "Spirit Ability, Kuro 黒."

Kemudian, seluruh tubuhnya dilapisi kegelapan yang padam – nyala, seolah layar televisi rusak. Tubuh Tyro melayang beberapa meter di atas tanah. Tangan kananya dijentikkan.

Dalam satu kedipan mata, Tyro mendarat di kap belakang mobil sedan hitam yang masih melaju kencang dengan kecepatan tetap, delapan puluh kilometer per jam. Kedua kaki Tyro menapak dengan lembut di atas kap mobil sedan itu tanpa mengeluarkan suara.

Di sanalah Line, berdiri di atas atap mobil sedan itu. Rambutnya berantakan dan kotor oleh debu. Jaketnya yang tidak dikancing berkibar – kibar tertiup angin.

"Kau menemukanku," Line berkomentar sambil tersenyum sinis.

Sebuah pukulan yang kencang meluncur menuju kepalanya. Saking kencangnya sampai – sampai mengeluarkan suara seperti memotong angin. Line pun memiringkan kepalanya ke samping, membuat pukulan itu mengenai udara kosong.

Di hadapannya, Tyro tak menahan diri untuk tidak menyerang remaja itu. Pukulan tadi dilepasannya dengan mengalirkan seluruh tenaga ke tangan kanannya yang mengepal.

Kemudian, tangan kanan itu ditariknya dan dipukulkan kembali ke samping kanan, menurut sudut pandang Line. Line kembali memiringkan kepala—kali ini ke arah kirinya—untuk menghindari pukulan itu.

Tangan kanan Line diluruskan di depan dada, dengan jari – jarinya menutup kecuali jari telunjuk dan jari tengah. Jari telunjuk dan jari tengah itu diluruskan dan saling merapat.

Lalu, pukulan Tyro—yang lagi – lagi dengan tangan kanan—mengarah pada dada—pada jari – jari tangan Line yang membentuk pose itu.

Line menggerakkan persendian pergelangan tangan kanannya hingga jari telunjuk dan jari tengah Line menuding ke arah kiri.

Kemudian, di belakang tangan kanan itu, dia mengulurkan tangan kiri dengan telapak tangan membuka. Pukulan—tangan Tyro yang mengepal—menabrak telapak tangan kiri Line.

Angin berhenti bertiup. Mobil sedan yang mereka pijak bergetar, seolah didorong ke belakang. Klakson menggema di atmosfer, bersahut – sahutan.

Suasana lenggang sejenak.

Jalan raya yang dilalui mobil sedan itu telah tiba di perempatan. Setengah kilometer jaraknya, kendaraan – kendaraan lain berbaris, mengantri menunggu lampu lalu lintas menyala dari merah menjadi hijau.

Dari atap tempat Line dan Tyro beradu pukulan, mereka bisa melihat lampu lalu lintas itu—sebuah tiang abu – abu yang melintang melintasi jalan raya sepanjang dua puluh meter. Pada seperempat bagian dari kiri tiang abu – abu itu, terdapat lampu lalu lintas yang berbentuk kubus, diletakkan secara horizontal, dengan tiga buah lampu berbentuk lingkaran menempel di badan kubus.

Line melompat mundur.

"Sampai jumpa. Kejar aku kalau kau bisa!" kemudian dia berteriak.

Line berjalan ke ujung kiri dari atap mobil sedan hitam, kemudian melompat, menyebrangi celah di jalan raya yang terbentuk dari jarak antara mobil, dan tiba di atas sebuah mobil SUV perak.

Pada atap mobil SUV itu, tergambar refleksi dari sepatu Line yang berwarna biru bergaris – garis hitam.

Saat Line mendarat di atas mobil SUV itu, kakinya membentur atap mobil dengan sangat keras, membentuk cekungan yang menghapus refleksi dari sosok Line dari sana.

Bersamaan dengan itu, sebuah lingkaran hitam dengan jari – jari sepuluh senti, muncul di tempat Line berpijak, menggantikan cekungan yang terbentuk beberapa detik yang lalu.

Reflek Line mengatakan kepada dirinya untuk berpindah ke mobil lain.

Kaki kanannya melangkah dan dalam sekejap, Line telah berdiri, menginjak bak sebuah mobil pickup yang berada di depan mobil SUV perak. Bak mobil pickup itu penuh dengan kotak kardus.

Lingkaran hitam yang sama muncul di atas salah satu kardus itu.

Line kembali lenyap dan muncul kembali di atas helm seorang pengendara sepeda motor. Anehnya, pengendara sepeda motor itu tak merasa seperti ada yang berdiri di atas kepalanya.

Sama seperti sebelumnya, lingkaran hitam itu juga muncul di atas helm pengendara sepeda motor.

Tampaknya, Line kehabisan akal, karena setelah itu dia muncul kembali sambil melayang lima meter di udara. Kedua kakinya seolah menapak di tanah yang tak kasat mata. Kedua lengannya mengayun searah jarum jam di samping badan.

"Yahahahahaha!" tak henti – hentinya dia tertawa.

Sepuluh meter dari Line, Tyro sedang meluruskan lengan kanannya ke depan dengan telapak tangan membuka.

Tatapan Tyro yang tajam bertemu dengan tatapan Line yang memancarkan aura intimidasi bercampur ejekan.

Kemudian, setiap lingkaran hitam yang melayang di atas kendaraan di jalan raya itu mengembang menjadi bola seukuran bola sepak.

Setiap bola hitam itu melesat secepat kilat ke arah Line, hingga tampak bagai karet yang kedua ujungnya ditarik hingga melar.

Line tersenyum sinis.

Bola – bola hitam itu bertabrakan dengan sesamanya di langit, hancur menjadi asap berwarna dominan ungu dan merah, berkelap – kelip seperti glitter. Asap berwarna warni itu membaur dengan awan. Langit mendadak gelap. Burung – burung berterbangan sambil berkicau panik.

***

Di atas tiang lampu lalu lintas, Line berdiri dengan kedua tangan direntangkan ke samping badan—menjaga keseimbangan.

Perhatiannya tertuju pada kendaraan – kendaraan yang berbaris di urutan paling depan dari antrian kendaraan di perempatan itu.

Lima buah sepeda motor yang berjajar saling bersebelahan, sebuah mobil van, dan sebuah truk barang yang pada boksnya bergambar wajah seorang wanita. Wanita itu memakai make up tebal yang menyamarkan wajah aslinya. Di samping kanan gambar wajah wanita itu, tertulis, "Jatuh di jalan tak seindah jatuh cinta" dengan font yang mencolok.

"Hyaah," Line pun melompat ke atas boks truk barang itu.

Bersamaan dengan itu, lampu lalu lintas yang menyala berpindah dari merah, menjadi hijau.

Kendaraan demi kendaraan mulai menambah kecepatan. Asap mengepul. Debu bertebaran. Truk barang yang mengangkut Line telah berjalan melintasi perempatan.

Tyro tertinggal jauh, setengah kilometer jauhnya, masih di mobil sedan hitam yang sama.

"Takkan kubiarkan kabur!" dia pun berseru.

Kedua kakinya menapak ke atap mobil sedan tempatnya berdiri. Semacam energi kegelapan muncul, mengitari tempat Tyro berpijak. Dalam sebuah dorongan, tubuh Tyro mendapat energi yang melemparkannya ke udara.

Tyro terbang seperti misil—bukan perumpamaan, karena memang terdengar suara seperti misil ditembakkan. Tubuhnya meluncur ke jauh depan dengan kepala menukik, membelah udara.

Sepuluh detik kemudian, Tyro pun mendarat di atas boks truk barang yang bergambar wajah wanita itu. Line berdiri persis di depannya.

Kemudian, Line menjatuhkan diri. Badannya menghantam lantai.

Kaki kanannya diluruskan. Lalu, kaki kanan itu menyapu areal sepertiga lingkaran di depannya. Sasaran dari gerak ayunan kaki itu adalah betis Tyro yang menyisakan celah.

Tyro melompat, menghindari serangan Line itu.

Dia pun mendarat dan memasang kuda – kuda menyerang dengan menarik lengan kanannya, miring ke belakang badan, dengan tangan dikepalkan.

Tiba – tiba, Line menghilang dari pandangannya. Seharusnya, remaja itu tengah berlutut di hadapannya.

"Cih," dia mencibir.

Tyro memiringkan kepala ke kiri. Sebuah pukulan melesat di samping telinga kanannya. Hampir saja mengenai remaja itu, jika dia tidak cepat.

Line berdiri di belakang Tyro, melepaskan pukulan dengan tangan kiri dan tangan kanan secara bergantian. Badan Line agak membungkuk. Kedua kakinya membuka selebar bahu.

Tyro melangkahkan salah satu kaki ke belakang. Pukulan tangan kiri Line mengayun di depan dadanya.

Sementara itu, pukulan tangan kanan Line ditangkisnya dengan mengayunkan telapak tangan kanan, menepis pergelangan tangan Line yang digunakan untuk memukul, membuat arah pukulan itu meleset ke samping bahu kanan Tyro.

Kemudian, Tyro balas menyerang dengan mengepalkan tangan kanan, lalu mengayunkan tangan itu menuju wajah Line.

Sebelum mengenai wajah Line, remaja itu telah melompat mundur. Terbentuk jarak yang lenggang di antara Line dan Tyro. Keduanya terengah – engah. Nafas mereka tidak beraturan.

Tiba – tiba, Line melompat ke depan. Saat tubuhnya melayang di udara, dia memiringkan badannya ke belakang, sambil memposisikan kedua kakinya di depan badan. Kaki kanan lurus dan kaki kiri menekuk, sehingga posisi kaki kanan berada di depan kaki kiri.

Rangkaian gerakan itu dilakukan dengan cepat, di luar kecepatan yang bisa diamati mata manusia biasa.

Tyro membelalakkan mata.

"Sebuah gerakan tendangan seperti di film – film superhero. Seharusnya, gerakan itu tidak mungkin dilakukan di dunia nyata," pikirnya.

Dia merapatkan kedua lengannya di depan wajah, menangkis tendengan itu.

Tyro memang berhasil menangkis tendangan Line. Namun, dampaknya cukup hebat. Tyro terdorong tiga meter ke belakang, tiba di ujung atap boks. Beruntung, boks mobil barang yang dia tempati cukup luas.

Merasa mendapat keuntungan, Line maju menerjang.

Tyro memutar badannya, satu kali putaran lingkaran, searah jarum jam. Di akhir gerakan memutar badan itu, dia meluruskan kaki kanan, sikap hendak menendang.

Tyro menendang Line dengan telak, mengenai dadanya.

Line tidak menduga tendangan itu akan mengenainya.

Tendangan itu seperti melepaskan energi tak kasat mata yang mendorong tubuh Line, mementalkannya hingga keluar dari boks truk barang.

Secara kebetulan, di pinggir jalan raya yang tengah mereka lalui, terparkir sebuah bus pariwisata. Bus itu berwarna hijau dengan foto sekelompok panda tergambar di badan bus. Di atas gambar panda itu, tertulis, "RESTU" berwarna merah dengan huruf tegak bersambung.

Line terpental hingga menabrak badan bus itu, tepat di gambar wajah seekor panda. Badan bus itu penyok dan huruf "S" terhapus dari badannya. Kini, tulisan di badan bus yang tersisa adalah "RETU".

Line tak berkutik. Tendangan Tyro membuat seluruh tulang belulangnya terasa seperti akan patah. Tangan dan kakinya lemah, terkulai ke samping.

Tyro yang masih berdiri di atap boks truk barang meluruskan tangan kanan. Seluruh tubuh Line bergetar. Dalam satu kedipan mata, Line melesat kembali menuju truk barang itu.

Tyro tersenyum. Dia berpikir, "Aku telah menang."

Tiba – tiba, dada Tyro terasa sesak. Mulutnya memuntahkan cairan bening yang berbau masam.

"HOEKKK!" dia berteriak kesakitan.

Tyro berlutut. Kepalanya menghadap ke bawah. Kedua tangannya menyentuh lantai. Cairan bening itu tak henti – hentinya keluar dari mulutnya.

"Tidak. Akulah yang menang," terdengar suara Line.

"Kita yang menang," balas suatu suara yang mirip.

"Kita adalah Line. Berarti, Line yang menang!" suara yang pertama berseru, tak mau kalah.

Di atas boks truk barang itu, dua puluh sosok Line berdiri mengelilingi Tyro. Mereka mengenakan pakaian yang berbeda—tidak hanya itu. Wajah hingga tinggi badan mereka juga terlihat berbeda.

Line yang posturnya seperti anak usia sekolah dasar—badannya pendek dan rambutnya yang tipis disisir rapi—memegang permen lolipop di tangan kanannya sambil berkata, "Apa yang sedang kulakukan di sini?"

Line yang wajahnya ditumbuhi kumis dan jenggot hingga tampak mengerikan menganggukkan kepala. Dia menggaruk lehernya yang tampak di balik kerah kemeja putihnya yang tidak dikancing.

"Jadi, dia orang yang mengganggu pekerjaan Line," katanya, dengan memberi tekanan saat mengatakan "Line," namanya sendiri.

Line yang tadi menghadapi Tyro—Line yang merupakan seorang remaja berpakaian jaket—berjalan mendekati Tyro.

"Nah, apakah ada kata – kata terakhir?" tanyanya sambil menyipitkan mata.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro