Chapter 6 Part 2: Perbedaan WAKTU
"Blaz, bagaimana hasil penyusupanmu ke Academy of Super Ability?" Ward bertanya, mengalihkan topik pembicaraan.
Blaz meluruskan tangan kanannya di depan dada dengan telapak tangan digenggamkan dan jari telunjuk kanan menyentuh dagu. Ini adalah pose berpikir yang ditirunya dari salah satu siswa di Academy of Super Ability.
Lalu, remaja itu berkata, "Cih, TFG sialan itu mengganggu rencanaku saja."
Ward memiringkan kepalanya yang bertopeng. Jika sosok itu memiliki wajah, tentu wajahnya sedang berekspresi heran.
Dia hendak bertanya, "Apa yang dilakukan TFG sehingga mengacaukan rencana penyusupan kita?" jika saja seorang remaja laki – laki yang usianya lebih muda dari Blaz tidak muncul secara tiba – tiba di atas tempat tidur yang juga diduduki Picto.
Remaja itu sedang berjongkok di atas tempat tidur. Kedua tumitnya menekan tempat tidur itu, membuat gepeng busa yang menyusun tempat tidur. Meski telapak kakinya menginjak bercak – bercak cat yang masih basah, warna cat itu tidak menempel di kakinya.
Sambil menyipitkan mata, dia berkata, "Aku sampai turun tangan untuk membungkam mereka." Perkataan yang menyela Ward untuk bertanya.
Picto terkejut. Dia menoleh ke kanan, menghadap ke tempat remaja laki – laki itu berjongkok.
"Line! Sejak kapan kau ada di sini?!" tanya Picto sambil berseru.
Wajah pelukis itu memerah. Setetes keringat bertengger di pelipis kanannya.
Remaja yang dipanggil Line itu tersenyum. Tangan kanannya mengelus kepalanya ke arah belakang, menyisir rambutnya yang pirang. Sementara itu, tangan kirinya diluruskan ke samping, merangkul pundak kanan dan sebagian punggung belakang Picto.
Line memutar kepalanya ke kiri hingga mulutnya hampir menyentuh daun telinga Picto sambil berkata, "Aku ada di mana – mana. Ingatlah itu." setengah berbisik.
Picto menggertakkan gigi. Suara nafas Line bagai bisikan gaib.
Kehadiran Line tak hanya mengejutkan Picto. Blaz mengusap kedua matanya dengan lengan kanan bagian bawah, berusaha memperjelas pandangannya yang kabur—efek mengantuk. Ward menggerakkan kakinya satu langkah ke belakang. Semua orang tahu untuk tidak macam – macam dengan Line.
Blaz berjalan ke depan Line sambil bertanya,"Apa yang kau lakukan pada Blast setelah aku pura – pura ingin membunuhnya?"
Kemudian, remaja itu menjelaskan, "Aku memindahkan Blast ke dunia alternatif tiga puluh enam bersama dengan anggota TFG lainnya yang seharusnya telah tewas."
Jari Line membentuk angka tiga puluh enam dengan membuka jari jempol pada tangan kanan dan membuka jari telunjuk, jari tengah, dan jari manis pada tangan kiri, sementara jari – jari yang lainnya ditutup.
"Kau melakukan a—" perkataan Ward terhenti.
Line meluruskan kedua lengannya ke depan dengan jari – jari saling terkait, sebelum menjelaskan, "Ya. Dengan menggunakan Clothes of Chaos berkemampuan kloning, setiap anggota TFG membuat kloningan dari dirinya sendiri yang berfungsi sebagai tumbal.
Saat tentara menggrebek tempat persembunyian mereka, tumbal – tumbal itulah yang mereka bunuh. Kerena mereka adalah kloningan, mereka akan teridentifikasi sebagai orang yang asli ketika diotopsi.
Sementara itu, anggota TFG yang asli kabur ke dunia alternatif tiga puluh enam. Di dunia alternatif tiga puluh enam itulah markas besar TFG berada."
"Jadi, TFG sebagai teroris antar dimensi itu benar adanya," Blaz menyimpulkan sambil melakukan pose berpikir dari salah satu murid Academy of Super Ability—penulisnya terlalu malas untuk mendeskripsikan ulang.
"Lalu, apa yang terjadi pada Visty?" Ward bertanya, kali ini siapa pun tidak menyela perkataannya.
"Untuk Visty, aku melemparnya ke satu tahun di masa depan. Sayangnya, penglihatanku tidak bisa memprediksi apa yang akan terjadi di masa itu," jawab Line.
Tangan kanannya ditekuk hingga lengan bawahnya sejajar dengan lengan atasnya. Kemudian, telapak tangan kanannya dibuka lebar sambil memegang setengah bagian wajah, menutupi mata kanannya.
Picto menyimak pembicaraan ini sambil menatap berganti – gantian ke arah orang yang sedang berbicara. Wajahnya terlihat bingung. Mulutnya terbuka lebar dengan air liur mengalir dari sisi kiri dan kanan bibirnya.
Di dalam hati, dia bertanya, "Apa yang sebenarnya terjadi?" Penjelasan Line terlalu membingungkan untuk dipahami orang sepertinya.
Tempat tidur yang didudukinya tiba – tiba bergetar. Line melompat dari atas tempat tidur seperti perenang melompat dari tepi kolam menuju kolam renang. Bedanya, bukan benda cair, namun benda padatlah yang menyambut remaja itu, lantai kamar.
Suara hentakan terdengar ketika kedua telapak kaki Line menyentuh lantai kamar. Remaja itu mulai melompat dari sikap berjongkok, dan mendarat dengan berjongkok pula.
Blaz menundukkan kepala untuk menatap wajah Line.
"Sekarang, tinggal menjalankan rencana awal untuk mencuri Clothes of Chaos Kokoro 心, kan?" tanyanya.
"Sayangnya tidak," jawab Line singkat.
Ward menganggukkan kepala. Isi pikiran Line memang sulit untuk ditebak. Namun, sosok bertopeng itu berhasil membacanya bagai melihat huruf teratas dari poster tes rabun yang biasa terpasang di tembok rumah sakit.
Dia menghela nafas, sebelum berkata, "Aku mengerti. Selama Blaz ada di sini, tidak ada yang mengawasi anak – anak Academy of Super Ability. Kita tidak tahu, apa saja yang mungkin mereka lakukan selama liburan akhir semester."
"Tepat sekali," Line menjentikkan jari jempol dengan jari tengah kanannya.
"Saat liburan akhir semester ini, mereka sedang bergerak. Kita harus mencegah mereka," sambungnya.
"Untuk itu, tenang saja!" seruan bersuara serak terdengar dari dalam dapur yang terletak di sebelah kanan tempat tidur.
Picto pun menoleh ke arah dapur sambil berseru, "Siapa di sana?!"
Gumpalan asap mengepul dari dalam dapur yang tak berpintu, lewat di antara kusen pintu yang terbuat dari kayu.
Asap memenuhi ruang kamar, membuat pandangan empat manusia yang sedang menghuninya—Picto, Ward, Blaz, dan Line—menjadi serba abu – abu. Bau gosong tercium dari gumpalan asap itu.
Dari dalam dapur yang gelap, muncul siluet seorang laki – laki dewasa berbadan tinggi. Kedua kakinya melangkah, membawa badannya keluar dari bayang – bayang langit – langit dapur.
Begitu ia tiba di depan kusen pintu dapur, tampaklah bahwa laki – laki itu berambut merah. Tangan kanannya yang berada di samping badan memegang sebuah puntung rokok yang dijepit dengan jari telunjuk dan jari tengahnya. Rokok itulah sumber asap.
Laki – laki itu berdiri di samping kanan Line, rekan dalam kejahatannya. Tangan kirinya meraih ke samping hingga menyentuh bahu kanan Line.
"Shad! Kau juga muncul tiba tiba seperti Line!" kehadiran perokok itu membuat Picto berseru marah.
Seniman itu menundukkan kepala, menatap kanvas bergambar lukisan wanita bergaun kuning yang berada di pangkuannya. Kedua tangannya memegang erat sisi kiri dan kanan kanvas itu.
"AAARRRGHHH!!" dia mengerang.
Kedua bahunya diayunkan ke depan, membuat lengan yang merupakan perpanjangan dari bahu ikut terayun.
Kanvas putih di ujung tangan terlepas dari pegangannya. Kanvas itu melambung di udara sejajar dengan pandangan mata Picto, kemudian mendarat di lantai—sejajar dengan titik tempat tidur yang diduduki Picto—semenit kemudian.
Suara bantingan terdengar begitu kanvas mendarat di lantai. Manusia di dalam kamar yang kini berjumlah lima orang menoleh ke sumber suara.
Picto menggertakkan gigi. Kedua matanya melotot dan urat – urat merah tampak di bagian mata yang berwarna putih. Keringat membasahi sekujur tubuhnya. Dengan perasaan marah memenuhi hatinya, dia berseru, "Kenapa kalian selalu menjadikan kamarku sebagai tempat rapat?! Aku ingin berisitirahat dengan tenang!"
Amarahnya tidak tertahankan lagi.
"Aku dan Line sudah menyiapkan jebakan untuk mereka," Shad berkata seolah tak terganggu oleh amarah Picto.
Kasihan sekali buronan level S itu. Orang – orang normal menakutinya. Namun, dia menjadi bahan bulan – bulanan di kalangan sesama buronan.
Blaz mengayunkan kedua lengan bawahnya menuju ke arah sesamanya. Kedua telapak tangannya saling bertemu, memperdengarkan suara tepukan yang nyaring. Kulit telapak tangan itu pasti terasa sakit, mengingat tepukan itu memunculkan bekas kemerahan di sana.
Bukan hanya sekali. Blaz mengulangi pergerakan tangannya sebanyak sepuluh kali.
Suara tepukan itu pun menggema di dalam ruangan. Di antara suara tepukan yang terdengar, Blaz berseru, "Kalian berdua memang hebat!" memuji laki-laki yang barusan datang itu. Seruan remaja itu memecah suara tepukan.
Line menanggapi pujian itu dengan sebuah senyum miring di bibirnya.
"Aku memang hebat," katanya di dalam hati dengan perasaan bangga—ralat, maksudnya sombong.
Sementara itu, Shad memandang ke seisi ruangan dengan wajah datar. Tak ada yang menarik perhatian laki – laki berambut merah itu selain sepuntung rokok di sela – sela jari tangan kanannya yang tak henti – hentinya mengepulkan asap.
Dia mendekatkan puntung rokok itu ke mulutnya dengan menggerakkan tangan kanan. Sesampainya di depan mulut, Shad menghisap ujung rokok yang tidak mengepulkan asap.
Kemudian, jumlah asap yang mengepul dari ujung puntung rokok yang satunya menjadi semakin banyak. Pemandangan serba abu – abu pun memenuhi ruangan.
Picto menyipitkan matanya yang memerah akibat asap. Shad sengaja menyalakan rokoknya untuk mengganggu seniman itu.
Dengan jari tangan mengepal kecuali jari jempol dan jari telunjuk, Ward menyentuh sebuah titik di permukaan topengnya yang seharusnya menjadi lokasi hidung bagi manusia normal. Di situlah letak hidung bagi sosok bertopeng sepertinya.
Anehnya, Line yang berdiri tepat di samping Shad tak merasa terganggu dengan keberadaan asap.
Remaja itu meluruskan tangan kanannya ke depan, membentuk sudut sembilan puluh derajat dengan badannya.
Telapak tangannya yang terbuka lebar menghadap ke arah langit – langit. Di atas telapak tangan itu terdapat sebuah ponsel berwarna hitam. Layarnya yang berukuran lima inci menampilkan sebuah ikon lingkaran berwarna merah.
Di tengah – tengah ikon lingkaran itu terdapat simbol telepon. Menuju ke atas ikon lingkaran merah terdapat sebuah papan ketik yang berisi angka.
"Tunggu sebentar," kata Line dengan tatapan yang tertuju pada layar ponsel.
Kemudian, dengan volume seperti seorang pemimpin upacara memberi aba – aba kepada pasukannya, dia berseru, "Ya?!" Seruan itu ditujukan pada benda berwarna perak—namun tidak terbuat dari perak—yang berada di atas layar ponsel. Badannya yang lonjong dipenuhi lubang layaknya microphone—memang sebuah microphone.
Bunyi seperti orang berbisik pun terdengar dari benda yang sama lonjongnya, namun berada di sisi ponsel yang menghadap ke telapak tangan Line.
Tiga menit berlalu dengan bunyi bisikan itu mewarnai heningnya ruangan. Selama terdengarnya bunyi itu, Blaz yang berdiri di hadapan Line menatap tajam ke arah ponsel di atas telapak tangan Line.
"Siapa—" perkataannya terhenti.
Mulut remaja itu terbuka lebar seolah mengucapkan huruf "o." Kedua kelopak matanya kian menutup seiring semakin lebarnya mulut Blaz terbuka.
Ketika mulut Blaz terbuka seutuhnya, barulah lanjutan dari kalimat yang hendak diucapkan remaja itu meluncur keluar bagai angin bertiup melalui sela – sela ventilasi yang sempit.
"—Itu?" rupanya, Blaz ingin bertanya.
"Informanku," jawab Line.
Bola matanya berputar ke kiri kanan, menatap wajah Blaz dan layar ponsel di telapak tangannya secara bergantian.
"Aku dan Shad sudah menyiapkan jebakan dengan bantuan darinya," sambungnya kemudian.
Shad yang berdiri di belakang remaja itu memiringkan lengan kanannya, membuat tangan yang tadinya vertikal sejajar dengan dada, menjadi menyilang di depan tubuh bagian atasnya.
Dengan jari telunjuk dan jari tengah, laki – laki itu mengarahkan kepala puntung rokok yang dijepitnya di telapak tangan, menghadap ke arah pundak kiri. Ujung rokok yang hitam—gosong—menyentuh tulang belikat Shad, menciptakan serbuk – serbuk abu di atas kain yang membungkus kulit tempat tulang itu berdiri.
Ward mengepalkan kedua tangannya yang berada di samping badan. Mulutnya yang tersembunyi di balik topeng putih bertitik – titik hitam—ya, sosok itu memiliki mulut—berbentuk melengkung ke bawah.
Sosok bertopeng itu lantas bertanya, "Katakan Line, apa saja yang sudah kau rencanakan?"
Remaja yang ditanyainya tak segera menjawab.
Line justru tersenyum sinis. Jari – jari tangan kanannya terlipat ke arah dalam hingga membungkus sempurna ponsel yang berada di atas telapak tangannya. Dari sela – sela jari yang menekuk terlihat bahwa layar ponsel di baliknya itu memancarkan cahaya kehijauan.
***
?? ?? ????
Botol soda menggelinding di lantai, menimbulkan suara seperti palang besi dipukul berulang kali. Gerak menggelinding botol soda terhenti begitu mengenai mata kaki milik seorang gadis yang tengah berbaring di atas lantai.
Kedua matanya memejam. Telapak tangan kanannya menjadi bantal dari kepalanya yang menghadap ke kanan. Sementara itu, tangan kirinya berada lurus di depan wajah.
Seekor semut mengintip dari balik celana pendek yang dikenakannya. Bagi semut itu, kaki gadis itu terlihat seolah pegunungan yang membentang dari utara ke selatan—secara kebetulan, itulah arah terbentangnya tubuh si gadis.
Kedua antena semut menari – nari, mendeteksi keberadaan botol soda—yang tampak sebagai gedung pencakar langit di mata semut itu—di kaki gunung.
Keenam kaki kecilnya melangkah, membawa semut itu dalam perjalanan menuruni gunung. Namun, ada satu hal yang tidak diketahui semut itu. Gunung yang didakinya dapat adalah gumpalan daging yang hidup. Gunung itu dapat bergerak.
Gadis yang tertidur memutar kaki kanannya—kaki yang ditempati semut itu—ke arah kiri.
Kulit kaki yang ditempati semut itu berbalik menghadap ke lantai. Semut itu pun tewas terhimpit kaki si gadis dan permukaan lantai.
Masih dalam keadaan tertidur, gadis itu membuka mulutnya. Menguap. Begitu damai dunia alam tidur gadis itu. Berbanding terbalik dengan keadaan ruangan di sekelilingnya yang seperti kapal pecah—perumpamaan yang sungguh mainstream.
Kotak kayu beragam ukuran—mulai dari sekecil rubik, hingga sebesar lemari—berserakan di sekeliling ruangan.
Kotak kayu itu tak berbentuk kotak sepenuhnya, karena salah satu sisi kotak itu tidak memiliki selimut. Melalui bagian kotak yang terbuka itulah, siapa pun dapat melihat isi di dalamnya.
Sebuah senapan serbu berwarna hitam berdiri tegak di dalam kotak kayu yang berukuran sebesar lemari.
Lima meter di atas kotak kayu itu terdapat sebuah balkon berpagar besi. Di atas balkon berdiri seorang laki – laki tinggi berambut hitam yang acak – acakan. Kedua tangannya mencengkram erat pagar besi yang membatasi balkon dengan ruang kosong di depannya.
Tatapan laki – laki itu tertuju pada gadis yang tengah tidur di tengah – tengah ruangan, di bawah balkon.
"Bangunlah, Blast! Sampai kapan kau mau tidur terus!" teriaknya.
Seorang gadis yang berusia sama dengan gadis yang sedang tertidur di lantai bawah menghampiri laki – laki itu dari belakang. Rambutnya yang sebahu kotor oleh debu—gadis itu tak merasa terganggu dengan rambutnya yang kotor.
"Jangan teriak – teriak, bodoh!" katanya sambil mengayunkan lengan kanannya ke depan.
Telapak tangan kanannya yang terbuka memukul punggung laki – laki di depannya. Laki – laki itu pun membungkukkan badan—bukan karena hormat, namun karena menahan rasa sakit di punggungnya. Dia menoleh ke arah gadis yang memukulnya sambil merintih kesakitan.
"Aw, sakit sekali, Rose!" teriaknya.
"Gusk bodoh! Jadi pemimpin kok gak becus," balas gadis yang dipanggil Rose itu.
Dia memalingkan pandangannya dari Gusk.
Kegaduhan di atas balkon tertangkap oleh telinga gadis yang tengah tertidur di bawah.
Gadis itu membuka matanya. Badannya pun ditegakkan, meski kedua kakinya masih lurus di atas lantai. Secara otomatis, kepala gadis itu terarah pada balkon di atas ruangan. Pandangannya buram. Dia tidak bisa melihat wajah – wajah yang berdiri di atas balkon dengan jelas.
Telapak tangan kanannya memegang sisi kanan dari wajahnya. Gadis itu tahu bahwa dia sedang berada di tempat aman. Orang – orang yang sedang mengawasinya adalah orang – orang yang dia kenal.
"Di mana aku?" tanyanya setengah berbisik.
"Selamat datang di markas besar Terror For God!" Gusk berseru lantang.
"Saat ini, kita berada di dunia alternatif tiga puluh—" perkataannya terhenti secara tiba – tiba, ketika laki – laki itu berusaha mengingat kombinasi angka yang pernah dibisikkan Line padanya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro