Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 6 Part 1: Tidak Bisa Melukis GAMBAR

1 Desember 2013

Orang lain mengetahuinya sebagai buronan level SS, julukannya Deadly Painter yang berarti pelukis mematikan, dengan bounty sebesar $1.000.000

Déjà vu. Seseorang telah menyebutkan kalimat ini, jauh sebelum bab ini ditulis.

Picto Kira alias Deadly Painter sedang duduk bersila di atas tempat tidur. Tempat tidur itu empuk. Seprainya yang berwarna putih penuh dengan bercak – bercak cat berwarna – warni—merah, biru, kuning, dan hijau.

Di pangkuan Picto terdapat sebuah canvas putih berukuran empat puluh dikali empat puluh senti. Jari telunjuk dan jari tengahnya menjepit sebuah kuas. Bulu – bulu kuas itu menyentuh permukaan kanvas.

Punggungnya bersandar ke bantal—juga bersarung putih—yang ditegakkan, menempel ke tembok.

Sejak pertemuannya dengan sosok bertopeng yang menyebut dirinya sebagai Ward Cime, hidup laki – laki itu berubah seratus delapan puluh derajat—mungkin hanya sembilan puluh derajat, karena Picto masih berstatus buronan.

Kini, dia mendapatkan ruangan pribadinya, lengkap dengan tempat tidur, lemari baju, kamar mandi, dan dapur.

Tak hanya berupa bilik kosong, Ruangan – ruangan itu juga diisi oleh bermacam – macam perabotan, meski setengahnya tidak pernah digunakan Picto.

Picto tidak perlu memikirkan biaya listrik dan air, karena semuanya dibayarkan oleh Ward. Perannya di ruangan ini hanya sebagai penikmat.

Perhatian Picto teralihkan pada suara ketukan yang berasal dari pintu kamar.

"Siapa di sana?!" teriaknya.

Pintu pun terbuka, memperlihatkan sosok bertopeng putih dengan titik – titik hitam di baliknya. Sosok itu mengenakan jubah hitam yang panjangnya selutut.

Di belakang sosok bertopeng itu berdiri seorang remaja laki – laki yang sedang menyipitkan—memejamkan—mata. Di bawah matanya terdapat kantong mata kehitaman, seolah tidak pernah tidur dalam waktu lama. Mulutnya terbuka lebar—menguap—dan remaja itu menutupinya dengan telapak tangan kanan.

"Ward dan Blaz," pikir Picto, menyebutkan nama kedua manusia itu.

Picto menggenggamkan telapak tangan kirinya. Kepalanya mendongak, sebelum laki – laki itu berseru, "Bisakah kalian tidak menggangguku hanya lima menit saja!"

Ward dan Blaz tiba di depannya. Keduanya harus berdiri tegak agar tinggi badannya sama dengan tinggi badan Picto yang sedang duduk di atas tempat tidur.

"Seharusnya kau bersyukur, Picto. Aku sudah menyewakan kamar kos – kosan ini untukmu. Kau tak perlu tinggal di jalanan lagi," balas Ward.

Picto terdiam. Mulutnya terkunci rapat. Di pikirannya terlintas pemandangan sore hari berlangit merah. Seorang laki – laki berwajah sama dengannya duduk di pinggir jalan sambil memeluk lutut.

Matanya menatap wajah satu per satu orang yang berlalu – lalang di jalan raya. Laki – laki itu merasa bahwa usahanya sia – sia, sebab wajah mereka tertutup bayangan.

Salah satu di antara orang – orang itu berjalan mendekatinya. Bayangan tidak menutupi wajahnya yang telah bertopeng.

Orang itu mengulurkan tangan kanannya kepada laki – laki itu. Laki – laki itu terdiam, menatap telapak tangan orang bertopeng yang dilapisi sarung tangan hitam. Ragu – ragu, dia ikut mengulurkan tangan.

Picto terbangun dari lamunannya. Tatapannya tertuju pada topeng yang menutupi wajah Ward.

"Ya ya," jawab Picto, malas.

Blaz membuka kedua matanya yang terpejam. Tangan kanannya diletakkan ke samping badan. Sementara itu, tangan kirinya sejak tadi sedang memeluk sebuah benda hitam berbentuk persegi panjang di depan dadanya. Benda itu dipeluk dalam orientasi portrait.

Blaz meluruskan tangan kirinya ke depan, membuat benda persegi panjang itu ikut bergerak mengikuti tangannya.

Di sisi benda persegi panjang yang tadi menghadap ke dadanya Blaz—sekarang sisi itu menghadap ke tangan Blaz yang bebas—tertulis "Laporan Penerimaan Siswa Baru Academy of Super Ability" dengan tinta putih.

"Lihat apa yang dibawakan Bind untuk kita," kata Blaz sambil mengayunkan tangan kiri, membuat benda persegi panjang itu terlepas dari pelukannya.

Benda persegi panjang itu melambung dengan lintasan parabola, lalu mendarat di atas tempat tidur, tiga senti di kanan pahanya Picto.

Picto menggertakkan gigi. Ini adalah caranya untuk menahan marah.

Laki – laki itu menggerakkan tangan kanannya ke samping badan, meletakkan kuas yang ujungnya dibalut cat merah ke atas tempat tidur, menambah bercak – bercak cat di seprainya.

Kemudian, tangan kanan Picto meraih benda persegi panjang—sebut saja jilidan laporan—di samping kanannya.

Benda itu dia letakkan di pangkuannya, di atas canvas yang terlukis sosok wanita berambut panjang putih dan mengenakan gaun kuning. Aroma minyak tercium begitu sisi jilidan laporan yang hitam polos menyentuh lukisan itu.

Blaz memalingkan pandangannya dari Picto, menahan jijik. "Lukisan itu belum kering. Catnya pasti menempel di buku itu," katanya di dalam hati.

Telapak tangan kanan Picto bergerak lincah, membalik – balik halaman jilidan laporan dengan cepat. Meski sudut kertas itu tajam, tanpa takut Picto memainkan jari – jarinya di antara lembar kertas. Kulit laki – laki itu bagai ditumbuhi sisik yang tajamnya melampaui sudut kertas.

Mata Picto menyipit semakin keras suara kertas bertubrukan yang terdengar. Dia hampir tiba di halaman terakhir dari jilidan laporan itu.

"Tidak ada yang menarik dari buku ini," pikirnya.

Semenit kemudian, tibalah Picto di halaman terakhir dari jilidan laporan itu.

Sebuah buku dinyatakan selesai dibaca ketika pembacanya telah menutup cover belakang dari buku itu. Namun, Picto tidak bisa menyelesaikan jilidan laporan itu.

Cat pada lukisan yang belum kering adalah penyebabnya. Cover belakang dari jilidan laporan menempel pada canvas, salah sendiri tidak berhati – hati.

"Buku sialan!" Picto tidak mampu menahan amarahnya.

Di hadapannya, Blaz tersenyum sinis sambil berkata, "Dengan begini, kita tidak perlu susah – susah menghadapi Academy of Super Ability. Cukup dengan melukisnya saja, lalu—"

Korek api telah dilemparkan ke atas genangan minyak.

"Kau gila!" Picto menyela dengan amarah menguasai sekujur tubuhnya.

Kulit wajahnya memerah. Suara laki – laki itu menggetarkan ruangan hingga terasa seperti gempa bumi bermagnitudo tiga. Badannya bergetar seirama dengan bergetarnya ruangan.

"Spirit Abilityku tidak bekerja dengan cara seperti itu! Aku harus menggambar orang dengan lengkap mulai dari ujung rambut hingga ke ujung kaki untuk dapat membunuhnya!

Foto album ini hanya berisi wajahnya saja!" sambungnya.

Blaz menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan. "He he," gumamnya. Bukannya meminta maaf, remaja berwajah mengantuk itu justru 'mengejek' Picto.

Telinga Picto menangkap gumaman Blaz bagai kelinci mendengar derap kaki hewan pemangsanya.

"Apanya yang he he! Sini kau!" laki – laki itu berseru marah.

Picto membungkukkan badan. Kedua tangannya yang berada di samping badan mendorong ke arah tempat tidur untuk membantu bokongnya terangkat dari tempat tidur yang menariknya dengan gaya gravitasi sebesar berjuta – juta newton.

Ada satu hal yang dilupakan laki – laki itu. Benda berwujud aneh berupa gabungan dari canvas dan jilidan laporan di atas pangkuannya juga menghalangi Picto untuk bangkit berdiri.

Blaz menyipitkan mata sambil melangkahkan salah satu kakinya ke belakang. Dia tidak membiarkan Picto untuk memukulnya semudah itu. Memangnya, Picto, laki – laki yang kerjaannya mengurung diri di kamar punya tenaga untuk memukul?

Ward berjalan ke tengah – tengah di antara tempat tidur—tempat Picto duduk bersila—dan Blaz yang sedang berdiri tegak.

Badannya dihadapkan ke pintu menuju dapur yang berada di sebelah kanan ruangan menurut sudut pandang Picto—berarti di sebelah kirinya Blaz.

Sosok bertopeng itu merentangkan kedua lengannya ke samping dengan kedua telapak terbuka. Lengan kiri tertuju ke wajah Blaz, sementara lengan kanan tertuju ke wajah Picto.

"Sudah sudah. Jangan bertengkar," katanya kemudian.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro