Chapter 4 part 2: Mondar Mandir Seperti Orang GILA*
Anak itu meluruskan lengan kanannya. Jari telunjuk dan jari tengahnya menjepit sebuah kartu remi—kartu dengan sisi belakang berwarna merah dan dikelilingi warna putih. Motif seperti bunga terdapat pada area yang berwarna merah.
"Sejak kapan ada kartu di sana?" gumamku.
"Rahasia!" anak itu berseru.
Aku menyipitkan mata. Aku tidak suka bermain rahasia – rahasiaan.
"Pesulap yang baik tidak akan menceritakan rahasia sulapnya kepada orang lain," jelas anak itu.
Menyebalkan. Kalau begitu, aku akan membongkar rahasianya sendiri. Bisa saja anak itu menyembunyikan kartu remi di balik lengan jaketnya yang kebesaran.
"Salah!" dia berseru seolah membaca pikiran.
Kedua lengannya disilangkan di depan dada. Jari jarinya mengepal—tunggu, ke mana perginya kartu remi tadi? Apakah disembunyikan di dalam kepalan tangannya? Bukankah ini akan merusak kartu?
Anak itu kembali meletakkan kedua tangannya di samping badan.
"Jawabannya—" tiba – tiba dia mengayunkan tangan kanannya ke depan seperti seorang prajurit mengayunkan pedang.
Sebuah kartu remi melesat ke arahku. Keempat sudutnya yang tajam mengarah kepadaku. Jadi, dia memang menyembunyikan kartu itu di balik kepalan tangannya. Kalau begitu, kenapa tidak terlihat bekas lipatan pada kartu itu?
Aku mengambil satu langkah ke belakang. Mataku melirik sisi depan dari kartu itu.
Di tengah kartu terdapat gambar hati berwarna merah. Di sudut kiri atas dan sudut kanan bawah kartu tertulis huruf "A" berwarna merah. Gambar hati dan huruf "A" itu diletakkan pada latar belakang berwarna putih.
Tiba – tiba, gambar hati pada kartu itu mengeluarkan asap. Hidungku mencium aroma seperti daun terbakar.
Asap berangsur – angsur berubah menjadi api. Aku mengayunkan tangan kiri hingga lengan bagian bawahnya menutupi wajah, sebelum pandanganku menjadi serba merah.
Suara ledakan terdengar ketika kurasakan angin mendorong tubuhku dari samping kiri. Tubuhku pun terhempas ke kanan, searah dengan arah dorongan angin. Alih – alih dingin, angin yang mendorong tubuhku itu bersuhu panas.
Anak itu tersenyum sinis saat aku terbang terbawa angin panas di udara. Mulutnya mengucapkan sesuatu yang tidak terdengar olehku.
Dengan kasar aku mendarat di tanah, sepuluh meter jauhnya dari tempatku berdiri beberapa saat lalu. Tulang ekorku terasa sakit. Aku meringis kesakitan.
Aku menundukkan pandangan. Keadaan kedua kakiku begitu mengenaskan. Kulit kaki kiriku memerah. Sebagian kulit terkelupas dan daging di baliknya terasa perih saat disentuh. Sementara itu, betis kananku terasa sakit saat digerakkan. Pasir menutupi bercak – bercak darah di lututnya.
Aku meluruskan tangan kiri di depan wajah. Keadaannya kurang lebih sama seperti kaki kiri, kulitnya melepuh dan terdapat luka bakar di mana – mana.
Bagaimana aku menceritakan luka ini kepada ibu? Ibu paling was – was kalau soal luka.
Anak yang memakai jaket kebesaran itu berjalan mendekatiku. Dia berkata, "Kau sempat menghindar, ya."
Satu langkahnya membutuhkan waktu satu detik. Membutuhkan waktu dua puluh detik—satu langkah sama dengan setengah meter—bagi anak itu untuk sampai di depanku.
Aku akan memanfaatkan kelenggangan ini untuk berdiri. Meski sakit, kedua kakiku masih dapat menopang berat badanku dengan seimbang. Tanpa oleng sedikit pun.
Setelah badanku berdiri dengan sempurna, aku pun berkata, "Jadi begitu Spirit Abilitymu." Seharusnya aku tidak mengajak bicara anak itu. Jarak di antara kami sekarang adalah lima meter.
Ini bukan di akademi. Tidak ada aturan yang mengekangku saat ini. Aku bebas untuk menggunakan Clothes of Chaos.
Aku menggerakkan kedua tanganku ke belakang kepala, menarik hoodie jaket hingga menutupi kepala. Kemudian, kedua tanganku itu kumasukkan ke dalam saku jaket. Dengan begini, wajahku tersamarkan dan sidik jariku tidak akan menempel secara disengaja.
Namun, mau berhati – hati macam apa pun, celah akan tetap ada. Pendarahan di lutut kananku dapat menjadi bukti.
"Spirit Ability!" Aku berteriak.
Angin bertiup kencang di sekitarku. Angin berbentuk seperti tali. Angin berputar mengelilingi tubuhku seperti hulahop. Warnanya hijau seperti jaket yang kukenakan.
"Jadi, kau pemilik Clothes of Chaos juga?" tanya anak itu.
Dia meluruskan tangan kanannya ke depan dengan telapak terbuka sambil berkata, "Ternyata, pemilik Clothes of Chaos saling menarik satu sama lain, ya." Di setiap sela – sela jarinya terdapat sebuah kartu remi.
"Sesama pemilik Clothes of Chaos, kita harus akrab. Perkenalkan, namaku Joey," kemudian, anak itu memperkenalkan diri tanpa diminta.
Saat telapak tangannya digenggamkan, kartu – kartu remi itu melesat cepat ke arahku seperti peluru.
Aku tahu apa yang harus kulakukan untuk menghadapi situasi ini. Membuat dinding dari angin.
Gerakan kelima kartu terhenti di udara yang berjarak dua meter dari depan wajahku. Di sana, dinding angin setinggi sepuluh meter terbentang dari ujung kiri ke ujung kanan jalan.
Apakah kartu – kartu itu akan meledak juga? Tenanglah Clone. Dinding angin itu mampu menahannya. Berbeda dengan dinding bata, dinding angin takkan retak, meski terkena energi besar sekalipun.
Anak yang bernama Joey itu meluruskan tangan kirinya ke samping sambil bertanya, "Siapa namamu?"
"Aku tidak perlu menjawabnya," gumamku.
Sebuah kartu remi muncul di telapak tangan kiri Joey, dijepit oleh jari telunjuk dan jari tengahnya. Jadi dari sanalah asal kartu remi itu. Kartu remi itu tersusun dari partikel – partikel debu yang saling terikat—aku sendiri juga tidak paham dengan yang kutuliskan di sini.
Tali angin melilit tangan kiri Joey sebelum dia sempat melempar kartu remi.
Joey meronta – ronta, tangan kirinya digoyang – goyangkan ke sembarang arah. Seharusnya, arah goyangan tangan itu tidak melawan arah angin.
"Jadi begitu kemampuanmu!" dia berseru.
"Sudah terlambat!" aku balas berteriak.
Tali angin melilit kedua kakinya, mengangkat tubuh Joey setinggi dua meter di atas tanah. Aku harus mendongakkan kepala untuk menatap wajahnya.
Wajah Joey tidak menggambarkan rasa takut. Justru, dia sedang senang. Bola matanya mengarah ke bawah dengan berseri – seri. Mulutnya tersenyum. Wajahnya bersih dari keringat. Rambut birunya bergoyang – goyang ditiup angin.
Semakin banyak lapisan angin yang melilit kedua kaki Joey, tubuh Joey terangkat semakin tinggi.
Saat tali angin itu melepaskan lilitannya, tubuh Joey pun terbang ke arah timur langit sambil berputar searah jarum jam—berlawanan arah jarum jam kalau dari sudut pandangnya.
Kepalaku bergerak mengikuti pergerakan tubuh Joey di langit. Aku jadi teringat dengan momen kekalahan kelompok penjahat dalam sebuah film kartun.
***
30 November 2013
Pukul 08.00
Kenapa tak terpikirkan olehku? Aku bisa melaporkan kaburnya Blade ke kantor polisi. Ah, jangan. Aku tidak punya bukti. Polisi hanya menerima pelapor yang membawa bukti yang jelas.
Mungkin ke kantor desa. Kantor desa masih menerima laporan tanpa bukti, bukan? Masalahnya, lama di akademi membuatku lupa, siapa kepala desa dan di mana lokasi kantor desa.
Aku pun menghadapkan badanku ke timur. Sinar matahari menyiram badanku. Mataku tidak terasa silau, karena matahari tidak berada tepat di depan wajah, melainkan agak condong di atas.
Aku ingat sekarang. Untuk menuju ke kantor desa dari tempatku saat ini, aku harus berjalan ke timur sejauh dua ratus tujuh puluh meter hingga mencapai pertigaan. Pertigaan itu bukan sembarang pertigaan.
Di sebelah kanan pertigaan dari arahku datang terdapat sebuah pos jaga yang dindingnya di cat biru. Di seberang pos jaga, berarti di pinggir jalan yang berbelok ke kanan, terdapat sebuah toko yang menjual sayuran.
Dari pertigaan itu aku harus belok ke kiri—dengan kata lain ke utara. Setelah berjalan sejauh tiga ratus lima puluh meter, kantor desa berada di sebelah kanan.
Suara klakson sebanyak tiga kali terdengar dari belakangku. Aku pun menoleh ke belakang dan melihat kalau sebuah sepeda motor sedang melaju ke arahku dengan kecepatan empat puluh kilo meter per jam, kecepatan yang cukup untuk membuat luka parah jika tertabrak.
Tanpa kusadari, aku berdiri terlalu di tengah jalan. Aku pun menggeser badanku ke kiri, membiarkan sepeda motor itu lewat di samping kanan. Beruntung aku tidak tertabrak.
Sepeda motor melesat di sampingku hingga terdengar suara seperti nyamuk terbang di dekat telinga, membuktikan betapa cepat sepeda motor itu. Aku harus merevisi tulisan di dua paragraf sebelumnya. Bukan "cukup untuk membuat luka parah" namun "dapat membunuhku."
Saat sepeda motor itu telah berada di depanku, pengendaranya—seorang laki – laki tinggi—menegakkan tangan kirinya ke atas. Jari – jari pada telapak tangan itu terlipat kecuali jari tengah.
Kenapa dia terlihat sangat marah?
"Baiklah, Clone. Pergi ke kantor desa," gumamku, berusaha mengabaikan pengendara sepeda motor itu.
Memerlukan waktu delapan menit berjalan kaki untuk menempuh rute sesuai rencana. Itu jika berjalan kaki dengan kecepatan biasa. Jika jalan cepat, aku bisa memangkas waktu hingga—entahlah, aku pun tidak yakin.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro