Chapter 3 Part 2: PETIR yang Menyambar*
Pukul 10.00
Seorang anak laki – laki duduk di atas sofa. Kedua kakinya berada di atas sofa dengan kedua lutut ditekuk. Kedua tangannya lurus ke atas dengan siku menopang pada kedua lutut.
Kepalanya menunduk. Tatapannya tertuju pada ponsel hitam yang yang dipegang miring oleh kedua telapak tangannya.
Headphone menutup kedua telingannya, menghalangi mereka untuk mendengar suara deruman mobil dari luar ruangan.
Anak laki – laki itu tidak tertarik dengan sekitarnya. Dia lebih tertarik dengan layar ponsel yang menampilkan gua berbatu. Kerumunan monster hijau, berbadan kotak, dan berjalan dengan empat kaki sedang merayap di tengah gua. Badan monster itu berkelap – kelip semakin dekat mereka dengan layar.
"Yahh!" anak laki – laki itu berseru kecewa.
Dia mengepalkan tangan kanannya, lalu memukulkannya berulang kali ke layar ponsel ketika tampilan di layar berubah menjadi abu – abu dan di tengah layar muncul tiga buah tombol berbentuk persegi panjang.
"Respawn," gumam anak laki – laki itu.
Kemudian, satu – satunya pintu di ruangan itu terbuka—pintu kayu yang setiap sudutnya telah lapuk dimakan rayap.
Dari balik pintu muncullah seorang bapak – bapak bertubuh kekar. Badannya tegak. Dadanya dibusungkan ke depan. Kedua tangannya mengepal di samping badan.
Bapak – bapak itu mengenakan seragam polisi. Logo polisi berwarna emas mengkilap terpasang di dada sebelah kanannya. Sepatunya yang tingginya mencapai lutut dihentakkan, membuat seisi ruangan seolah bergetar.
"Tech!" dia berteriak. Perutnya kembang kempis.
Teriakan yang mampu merontokkan kaca. Namun, headphone yang dipakai anak laki – laki yang sedang duduk di sofa menghalangi anak laki – laki itu untuk mendengar.
"Berhentilah bermain! Kau sudah bermain game dari tadi pagi!" bapak – bapak itu kembali berseru.
Anak laki – laki itu menghela nafas. "Aku benci diganggu saat sedang bermain game," katanya di dalam hati.
Bapak – bapak itu berjalan mendekat. Meski menunduk, anak laki – laki itu tahu bahwa bapak – bapak itu sedang mendekatinya.
"Sekarang masih pagi, pak," protesnya.
Bapak – bapak itu menghentikan langkahnya lima senti di depan sofa. Kepalanya menunduk ke bawah hingga tatapannya tertuju lurus ke kepala anak laki – laki yang sedang duduk di sana.
"Tech, bapak punya pekerjaan untukmu. Dari pada main game saja di rumah," katanya kemudian.
"Gak ah pak," jawab anak laki – laki itu.
Layar ponselnya tak lagi menampilkan suasana gua. Layar itu kini menampilkan sebuah desa luas di tengah padang rumput. Bangunan – bangunan di dalam desa itu dikelilingi oleh tembok berwarna kuning.
Warga – warga desa berlalu lalang, keluar masuk desa dengan cara melompati tembok kuning itu.
Anak laki – laki itu menekan layar ponsel dengan jari telunjuknya ketika seorang warga desa berdiri di depan pohon sambil bertepuk tangan.
Bapak – bapak itu menghela nafas. Dia belum kehabisan akal untuk membujuk anaknya.
Tangan kanannya dimasukkan ke saku celana—celana panjang berwarna putih khas seragam polisi—yang berada di paha sebelah kanan.
Tak butuh waktu lama bagi bapak – bapak itu untuk menemukan benda yang ingin diambilnya dari dalam saku. Hanya ada satu barang di dalam saku itu, sebuah pistol berjenis glock.
Bapak – bapak itu meluruskan tangan kanannya, menempelkan moncong pistol ke bagian atas headphone di kepala anak laki – laki.
"Bagaimana, Tech?" jari telunjuknya bersiap di pelatuk.
Suasana hening.
"Menyebalkan," anak laki – laki itu terang – terangan mengejek bapaknya.
"Berhentilah bermain game atau kuhancurkan headphonemu!" ancam bapak – bapak itu.
Anak laki – laki yang bernama Tech itu menyeringai, sebelum berkata, "Hancurkan saja. Aku bisa memperbaikinya lagi dengan Clothes of Chaos."
"Asal jangan telinga—" perkataannya mendadak terhenti.
Tech menghela nafas. Dia menekan sebuah tombol di samping ponsel, membuat layar ponsel berubah menjadi hitam. Kemudian, posisi ponsel itu diluruskan menjadi orientasi potrait.
"Sekarang ikut aku," perintah bapaknya.
Tech menurunkan kakinya dari atas sofa, lalu dihentakkan ke lantai. Posisi ini akan mempermudah tubuhnya untuk bangkit berdiri.
***
Pukul 22.00
Malam ini aku tidak bisa tidur nyenyak. Bapakku dan ibukku juga belum mengatakan hasil diskusi mereka tentang ajakan bapaknya Tech.
Dari celah di bawah pintu kamar, aku melihat kalau lampu ruang tamu masih menyala. Suara bisik – bisik terdengar dari luar kamar. Bapakku dan ibukku berdiskusi saat hari sudah malam.
Kamarku tidak kedap suara. Kalau mau, aku bisa menguping pembicaraan bapakku dan ibukku. Tapi, itu tidak sopan.
Selain suara bisik – bisik, dari luar kamar juga terdengar suara film dari TV. Pasti film robot yang bisa berubah itu, karena suaranya seperti suara tembakan dan ledakan.
Aku duduk bersila di atas kasur. Aku berpikir untuk meminum segelas susu. Mungkin akan mempermudahku untuk tidur.
Akupun berdiri dan berjalan ke pintu kamar. Pintu kamar kubuka dan akupun melihat kalau bapakku dan ibuku sedang duduk di sofa di ruang tamu sambil menonton TV.
Seperti tebakanku, TV sedang menampilkan film robot yang bisa berubah. Ada robot berwarna merah sedang bertarung dengan musuhnya yang berwarna hitam.
Suara tembakan terdengar ketika robot berwarna merah menembakkan meriam di tangan kanannya. Robot berwarna hitam terkena tembakan dan terpental hingga menabrak gedung di belakangnya.
Aku sudah hafal dengan urutan kejadian di film ini. Kemarin, TV juga memutar film robot yang sama.
Bapakku dan Ibukupun menoleh ke arahku ketika aku ikut menonton TV seperti mereka.
Ibuku bertanya kenapa aku keluar dari kamarku saat malam hari. Akupun menjawab kalau aku tidak bisa tidur dan mau minum segelas susu.
Ibuku berdiri dari sofa. Dia ingin membuatkan susu untukku. Seharusnya tidak perlu. Biar aku saja yang membuat. Aku sudah bukan anak kecil lagi.
Tapi, ibuku sudah pergi ke dapur mendahuluiku. Kalau ibuku yang membuat, susu selalu selesai lebih cepat. Katanya, rahasianya adalah suhu air dan kecepatan mengaduk.
Sambil menunggu ibuku membuat susu, aku duduk di meja.
Tidak sampai satu menit, susu telah dibuat. Ibuku meletakkan segelas susu itu di atas meja makan. Aku melihat kalau bapakku ikut bergabung ke dapur.
Ada sesuatu yang ingin dibicarakannya.
Bapakku bilang kalau barusan bapaknya Tech menelpon. Ternyata, bapaknya Tech juga mengajak teman – temanku yang lain. Ada Dash, Proty, Rite, Pulse, dan Tech sendiri pastinya.
Kami terlambat menyadari kalau seseorang sedang mengincarku sebelum aku tinggal di akademi. Karena itulah, suasana rumah santai – santai saja saat aku pergi. Tapi, Academy of Super Abilitylah yang terkena getahnya.
Jadi, dugaanku benar. Teroris TFG sedang mengincarku.
Bapakku ingin aku menyelesaikan masalah ini. Akan lebih baik kalau aku bersama orang – orang yang bisa dipercaya.
Kedua orang tuaku tidak bisa berbuat banyak, karena mereka hanyalah manusia biasa. Berbeda denganku yang memiliki Clothes of Chaos Iku (行く).
Aku terkejut. Aku tidak menebak kalau kedua orang tuaku akan memperbolehkanku untuk ikut dengan bapaknya Tech. Terima kasih kepada teman – teman yang akan menemaniku.
Bapakku juga memberiku 1 nasehat. Jangan berbicara dengan orang asing yang tidak kukenal.
***
1 Desember 2013
Pukul 08.00
Pagi ini aku masih mengantuk. Ini gara – gara bergadang sampai malam untuk membahas tugas dari bapaknya Tech oleh kedua orang tuaku.
Aku juga sempat menghubungi Dash. Ternyata dia juga tidak bisa tidur tadi malam. Pagi ini, kami sepakat untuk berangkat bersama ke rumahnya Tech.
Sejak kemarin, Dash selalu datang ke rumahku pagi sekali, sebelum aku bangun tidur.
Lagi – lagi aku bangun tidur dengan panggilan Dash dari luar rumah sebagai alarm. Kali ini, Dash memanggilku bukan untuk mengajak berolahraga, tapi untuk pergi bersama ke rumahnya Tech.
Buru – buru aku mandi, berganti pakaian, dan sarapan. Bapakku protes kenapa Dash selalu datang pagi – pagi.
Aku juga tidak tahu.
Kemungkinan pertama, Dash ingin menikmati kebebasan setelah terkekang oleh peraturan di akademi.
Kemungkinan kedua, Dash telah beradaptasi dengan aturan di akademi yang mengharuskan kami untuk bangun pagi – pagi.
Selama di akademi, Dash juga menjemputku ke kamar pagi – pagi di jam yang sama seperti saat ini. Aku pergi berolahraga dengan Dash, sementara teman sekamarku, Tech, bermain game di HPnya.
Kemungkinan kedualah yang paling tepat. Kemungkinan pertama berlaku untukku. Aku ingin menikmati kebebasan itu dengan tidur sampai siang.
Sementara aku sarapan, ibuku mempersilahkan Dash untuk masuk ke rumah. Seperti biasanya, ibuku selalu membuatkan segelas susu untuk siapapun tamu yang datang.
Setelah sarapan, aku menghampiri Dash yang juga telah menghabiskan susunya di ruang tamu. Bersama – sama, kami berdiri di depan pagar rumahku, menunggu bapaknya Tech menjemput kami dengan mobil polisinya.
Lima menit menunggu, aku melihat mobil polisi berbelok memasuki blok rumahku. Mobil polisi itu pasti sempat tersesat, karena susunan blok di komplek perumahan yang rumit.
Mobil polisi itu berhenti di depan kami. Aku membuka pintu belakangnya dan masuk ke dalam mobil itu.
Bapaknya Tech banyak bercerita selama perjalanan. Sifatnya berkebalikan dengan Tech yang sering diam.
Selain itu, bapaknya Tech suka berolahraga. Buktinya, dia berbadan kekar. Aku jadi iri. Aku belum berhasil membangun otot sepertinya.
Membingungkan. Dari mana Tech mendapatkan sifatnya yang pemalas dan cuek.
Aku menyempatkan diri untuk bertanya, apakah bapaknya Tech suka bermain game. Dia bilang kalau dia pernah memainkan beberapa game saat masih kecil. Game kesukaannya adalah Tetris.
Jawabannya kurang lebih sama seperti jawaban kedua orang tuaku saat aku bertanya tentang game apa yang mereka mainkan saat masih kecil dulu.
Kalau aku, game kesukaanku adalah game sepak bola di PS.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro