Chapter 2 part 2: Kosongkan PIKIRAN
Pukul 15.00
Aku berdiri di depan sebuah rumah mewah. Tak cocok jika disebut 'sebuah' sebab seluruh rumah di komplek perumahan ini sama mewahnya.
Bukan mepet sawah layaknya guyonan anak-anak seusiaku. Namun serba berlebihan seperti yang tertulis di Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Bangunan berlantai dua ini dibangun di atas petak persegi seluas lima puluh meter persegi.
Dindingnya serba putih. Pilar yang dilapisi kuningan yang memantulkan cahaya menopang teras rumah hingga ke balkon di lantai dua. Aku suka bercermin di pilar itu saat masih kecil.
Halaman rumah dikelilingi pagar tinggi yang di ujungnya terdapat mata tombak untuk menghalau pencuri.
Interior rumah ini pun tak kalah mewah. Di ruang tamu misalnya, terdapat dua pasang sofa yang diletakkan saling berhadapan. Keempat sofa mengelilingi sebuah meja kaca.
"Aku pulang!"
Aku menghempaskan diri ke salah satu sofa. Empuknya tak tertandingi oleh kursi lain.
"Selamat datang, Mas Tyro!"
Adikku, Syco, berdiri di atas tangga. Dia masih mengenakan seragam sekolah merah putih. Syco berwajah cantik seperti ibunya.
Bukan berarti aku suka dengan adik perempuanku sendiri. Hal itu ilegal di negara ini.
"Baru pulang jam segini?" tanyaku.
Syco mengangguk. "Iya. Ada kelas tambahan di sekolah."
Sekolah dasar sekarang pulang sore? Berbeda dengan zamanku dulu. Tinggal di akademi membuatku tertutup dari perkembangan dunia luar.
"Di mana ibu?" aku kembali bertanya.
"Barusan ibu keluar."
"Ke mana?"
"Gak tahu juga ya mas."
Saatnya menyatakan tujuanku pulang ke rumah.
Aku mengangkat tinggi-tinggi jaket merah bergaris-garis putih yang terlipat di atas telapak tanganku.
"Selamat ulang tahun, Syco!"
Wajah adikku memerah. Dia berlari menuruni tangga. Sungguh manis.
"Hati-hati tersandung!" aku berseru memperingatkan.
Syco mengambil jaket merah itu sesampainya bawah. Lipatannya terbuka, lantas jaket itu membentang di depan wajahnya.
Syco mengerutkan dahi seolah ada yang tak beres.
"Kok kebesaran, mas?" tanyanya.
"Jaket ini adalah Clothes of Chaos. Namanya Ki 気 yang berarti pikiran."
Apakah aku melakukan hal yang benar? Jaket ini kan telah memilihku sebagai tuan barunya.
Secara logika, sudah semestinya dia juga memilih orang yang memiliki hubungan darah denganku.
"Clothes of Chaos-ku sendiri?" Syco menatap jaket itu dengan mata berkaca-kaca. Sudah menjadi impiannya sejak dulu untuk memiliki Clothes of Chaos.
Syco duduk di sofa di sampingku. Sedari tadi dia tak memalingkan pandangan sedikit pun dari jaket merah itu.
"Berarti, aku bisa pergi ke akademi tempatnya Mas Tyro?"
"Tentu saja," jawabku disusul dengan sorakan oleh adikku.
"Apa kemampuannya?"
"Telekinesis."
"Dari mana Mas Tyro dapat jaket ini?" dia terus mengoceh. Menggemaskan, meski terkadang membuatku kesal.
"Ceritanya panjang."
Aku pun memulai cerita panjang yang menyita waktu berjam-jam.
***
Pukul 13.30
Tak jauh dari gang dengan patung raksasa di pintu masuknya itu terdapat pos polisi kecil.
"Selamat datang, ada yang bisa kami bantu?" dua orang polisi menyambutku di dalam.
Pos ini berukuran kecil. Melihat dari langit-langitnya, aku menebak kalau pos ini berukuran lima meter dikali lima meter.
Kedua polisi itu berdiri di samping meja kayu berbentuk letter L.
Aku berjalan ke depan meja dan meletakkan kaos putih dan jaket merah bergaris-garis putih milik pencuri itu ke atas meja.
"Jaket ini milik buronan level A yang dijuluki Invisible Hands," aku mengatakan maksudku mendatangi pos polisi ini.
"K-kau bertemu dengannya?" polisi yang berdiri di kiri bertanya.
Dia berbadan besar. Aku harus mendongakkan kepala untuk menatap wajahnya yang dipenuhi kumis dan jenggot. Rambut hitamnya acak-acakan.
Penampilan polisi itu berbanding terbalik dengan polisi yang satunya. Dia berwajah putih dan bersih dari jenggot maupun jerawat. Rambutnya gondrong hingga mencapai pundak. Badannya pendek namun kekar.
Satu kata, tampan.
"Tolong ceritakan kronologi kejadiannya, nak," pinta polisi berwajah tampan.
Aku pun menceritakan bagaimana dompetku dicuri dan aku ingin mengambil kembali dompet itu. Namun, aku tak menyebutkan kalau pencuri itu memiliki Clothes of Chaos.
Academy of Super Ability meminta siswa-siswanya untuk merahasiakan keberadaan Clothes of Chaos.
"Kau membunuhnya?" polisi berkumis bertanya ketus. Dia menatapku tajam.
Aku memasukkan tanganku ke saku jaket, mengambil poster buronan yang kusut. Di sana tertulis:
Wanted! Dead or Alive!
Name: Let Teleka
Alias: Invisible Hands
Bounty: $1.000.000
Crime: Pencurian
Level A
Dead or Alive. Artinya aku boleh membunuh asal dengan niat membela diri.
"Kau sudah melakukan hal yang benar, nak," polisi berwajah tampan mengangguk. Dia mengambil kaos putih dan jaket merah yang kuletakkan di atas meja.
"Ini adalah barang buktinya?"
"Ya. Pencuri itu selalu memakai kaos dan jaket ini saat beraksi," jawabku tegas.
Polisi berwajah tampan berbalik, menghadap lemari kayu yang berada di belakang meja.
Aku menebak di lemari itu mereka menyimpan barang bukti tindakan kriminal.
"Kami akan menyita jaket dan kaos ini," kata polisi berkumis.
"Lalu bounty-nya?"
"Karena kau masih di bawah umur, wali-mu lah yang berhak mendapatkannya."
Tak sesuai perkiraanku.
Aku tak ingin berlama-lama di pos polisi. Tujuanku untuk mendapatkan dompet telah tercapai. Anggap bounty setelah membunuh pencuri itu sebagai bonus.
Keberuntungan berpihak padaku.
Begitu kakiku memijak trotoar di luar pos polisi, sebuah angkutan kota berhenti di depanku.
Angkutan kota adalah mobil bermerek carry dan berwarna biru.
Pemiliknya memodifikasi mobil itu dengan memasangkan rim berbentuk bintang—kelima sudutnya memancarkan cahaya warna-warni—dan spoiler di atap bagian belakang.
Supir angkutan kota menjulurkan kepalanya melalui kaca depan yang terbuka. Lelaki itu berusia 30-an Kulitnya sawo matang. Topi biru di kepalanya dipakai terbalik.
"Angkot, nak?" tanyanya.
"Iya, pak."
Aku pun menaiki angkutan kota itu melalui pintu tengahnya yang dapat digeser.
Aku tak sendiri.
Seorang ibu-ibu berpakaian daster duduk di samping pintu. Wanita itu menenteng tas yang terbuat dari anyaman rotan.
Dua anak perempuan seusiaku duduk saling berhadapan di belakang angkutan kota. Mereka mengenakan seragam biru putih.
Keduanya melengkingkan tawa bersahutan, membuat risih penumpang lain.
Sekarang adalah jam pulang sekolah.
Aku menjatuhkan bokongku ke tempat duduk di belakang kursi supir, tempat ternyaman di angkutan kota.
Sepanjang perjalanan pandanganku terpaku pada jendela angkutan kota. Begitu menarik melihat kendaraan berlalu-lalang, salip-menyalip. Gedung-gedung tinggi menjulang menembus langit.
Tak teralihkan sedikit pun seandainya ibu-ibu itu tak memanggilku.
"Nak," panggilnya.
"Iya, bu. Ada yang bisa saya bantu?"
Ibu itu menuding jaket merah bergaris-garis putih yang terlipat di atas pahaku—tunggu, sejak kapan jaket itu ada di pangkuanku?
"Sejak kapan jaket itu ada di sana?" tanyanya.
Ya, saya juga ndak tahu bu.
Aku menunduk. Jaket ini persis seperti jaket—Clothes of Chaos—yang dimiliki pencuri, jaket yang seharusnya sudah kuserahkan ke kantor polisi.
Perhatian dua anak perempuan di belakang angkutan kota juga terpaku pada jaket merah bergaris-garis putih di pangkuanku.
"Eh, itu kan jaket yang terkenal itu!" anak yang duduknya sejajar denganku berseru.
Rambutnya disemir coklat dan dikuncir dua. Wajahnya bulat dan matanya sipit, mirip seorang temanku di akademi.
"Dia beruntung sekali, ya. Aku pernah mau beli tapi dah kehabisan," jawab temannya.
"Iya iya. Kamu dah cerita kemarin kok."
Topik pembicaraan mereka sekarang adalah membicarakanku.
Aku mengelus badan jaket dengan telapak tangan. Jaket ini terbuat dari kain yang lembut, namun tak begitu tipis. Cocok dikenakan saat berpergian menggunakan bus atau kereta api.
"Ki," aku bergumam.
"Apa, nak?" ibu-ibu di hadapanku bereaksi terhadap gumamanku.
Aku tak menjawab. Biarlah orang lain menganggapku aneh.
"Ki."
"Ki."
Apa yang terjadi padaku?
Mulutku terus-terusan mengucapkan kata itu. Ki. Ki berarti pikiran.
***
Pukul 16.10
Ceritaku berakhir ketika ibu pulang. Habis belanja di pasar, itulah yang dikatakannya.
Di kedua tangan ibu tergantung kresek tembus pandang, terisi penuh dengan barang. Ibu membeli buah-buahan, sayur-sayuran, dan—snack?
Banyak sekali yang dia beli.
"Selamat datang, Tyro. Maaf, ibu gak sempat membuatkan teh," ibu menyapaku.
"Tidak usah repot-repot, bu," jawabku.
Ibu bergegas melangkah ke dapur untuk meletakkan barang bawaannya—dan membuatkan teh.
Tebakanku benar. Ibu berjalan dari dapur seraya membawa nampan berisi tiga cangkir teh. Untukku, untuk Syco, dan untuk dirinya sendiri.
"Ganti pakaian dulu dong, bu," kataku.
"Gausah. Nanti kamu keburu kehausan," ibu menolak. Nampan berisi cangkir teh itu diletakkan di atas meja kaca.
Aku menghela nafas.
"Bu bu!" Syco memanggil ibu. Ceritaku barusan membuatnya tambah bersemangat alih-alih mengantuk.
"Iya, Syco?"
"Lihat ini, bu!"
Adikku itu menunjukkan jaket merah bergaris-garis putih yang kuberikan padanya. Kedua lengannya lurus ke depan, membawa jaket itu bagai membawa bendera di upacara.
"Ini Clothes of Chaos-ku sendiri!" ia berseru riang.
Tidak dengan ibu. Ibu murka dengan kehadiran jaket berkemampuan supranatural itu. Entah masalah apa yang menimpanya hingga tak mau berbaikan dengan Clothes of Chaos.
Ibu menatap tajam ke arahku.
"Tyro, kamu mau menyeret adikmu?!" dia bertanya ketus.
"Tapi bu, Syco sendiri yang minta," protesku.
Ruang tamu seketika berubah menjadi ruang pengadilan. Aku sebagai terdakwa, ibu sebagai hakim, dan Syco sebagai saksi.
"Apa itu benar, Syco?" tatapan ibu beralih ke adikku.
Syco mengangguk perlahan. Ia takut. Takut melihat orang marah padahal sendirinya pun menakutkan kalau marah.
Pernah suatu saat Syco berurusan dengan guru BK, karena dilaporkan oleh teman sekelasnya. Masalahnya simpel. Syco melihat pembullyan di kalangan teman-temannya. Ia membela yang terbully dan memarahi si pembully.
Namun, caranya memarahi berlebihan. Syco menjewer telinga si pembully dan menampar pipinya hingga memerah.
Tentu saja pembully itu tak terima. Dia melaporkan Syco kepada guru BK.
Akibatnya ibu-lah yang direpotkan. Ibu harus berdiskusi dengan guru BK, wali kelas, dan wali murid si pembully.
Sepulangnya ke rumah, ibu bercerita kalau dia memarahi wali murid pembully itu layaknya Syco memarahi si pembully. Ibu anak sama saja.
"Tampaknya kalian berdua mewarisi takdir ini dari ayah," perkataan ibu membangunkanku dari lamunan.
Lantas aku teringat sesuatu.
"Ayah belum pulang?" tanyaku.
Ibu dan adikku menggeleng bersamaan.
"Belum. Akhir-akhir ini ayah selalu sibuk. Dia pulang malam terus. Dia bilang ada urusan di kantor," jawab ibu.
Ayah tak sesibuk ini sebelum aku masuk ke akademi.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro