Chapter 1 part 2: LUKA yang Sulit Pulih
29 November 2013
Pukul 16.30
Aku berdiri mematung. Tatapanku terpaku pada mobil sedan yang terparkir di halaman rumah sebelah timur. Aku sedang menunggu ayah keluar dari dalam mobil sedan itu.
Pergelangan tangan kananku terasa pegal. Sejak tadi, tangan kananku memegang koper seberat sepuluh kilogram, koper yang kubawa ke akademi.
Walau koper itu diletakkan di lantai dan aku memegang tiang penariknya, tetap saja pegal meluruskan tangan ke bawah dengan telapak menggenggam selama bermenit – menit.
Aku sudah melepas sepatuku sejak lima—empat sepertinya, entahlah aku tidak menghitungnya—menit yang lalu. Saat ini aku sedang berdiri di teras rumah yang lantainya tersusun dari ubin.
Kenapa aku harus menunggu ayah keluar dari mobil? Aku kan bisa langsung masuk ke dalam rumah. Tidak, aku tidak bisa. Pintu rumahku selalu terkunci satu dikali dua puluh empat jam. Sementara itu, pintu kunci rumah dibawa oleh ayah.
"Clone," panggil ayah.
Aku pun berdiri tegak dengan tatapan ke depan, seperti sikap siap dalam upacara. Jika ayah memanggil, itu artinya ada sesuatu yang tidak beres dan dia ingin memarahiku atas ketidakberesan itu.
"Tunggu apa? Kenapa tidak langsung masuk ke dalam?" sambung ayah dengan sebuah pertanyaan.
Pintunya tidak terkunci? Atau ada cara lain untuk masuk ke dalam rumah tanpa membuka pintu masuk?
Aku pun balik kanan, menghadap ke pintu masuk.
Tangan kananku bergerak dengan sendirinya untuk melepaskan pegangannya dari tiang penarik koper—pegangan koper namanya. Kemudian, dengan aku mengetuk pintu sebanyak dua kali. Mungkin ada keajaiban yang terjadi ketika pintu ini diketuk.
Terdengar suara keributan dari dalam rumah. Aku menajamkan pendengaran untuk mendengar suara itu dengan lebih jelas.
Di akhir suara keributan, terdengar suara langkah kaki, lalu suara seperti dua benda yang tidak jelas bahan penyusunnya saling bertubrukan. Suara apa ini?
Selanjutnya terdengar suara seperti besi digesekkan, sebelum pintu masuk rumah terbuka sebesar tujuh puluh derajat.
Di hadapanku berdiri wanita yang sangat kukenal. Dialah ibuku. Sudah lama aku tidak melihat sosoknya.
Tentu saja ada ibu di dalam rumah. Kenapa tidak terpikirkan olehku? Pintu rumah memang terkunci, namun kuncinya dimiliki oleh ibu. Suara seperti benda saling bertabrakan adalah suara saat kunci pintu dibuka.
Sepertinya ibu sendirian di rumah. Adikku, Blade, tidak ada di dalam, mungkin masih sekolah. Meski masih di pintu depan, aku bisa merasakan aura orang – orang yang menempati rumahku.
Aku menoleh ke belakang. Kulihat ayah sudah keluar dari dalam mobil sedan. Entah apa yang membuatnya lama.
Tentu saja aku penasaran dan ingin bertanya. Namun, aku selalu berpikir apakah sifatku yang banyak bertanya membuat orang lain merasa kesal? Karena itulah aku mengundurkan niatku untuk bertanya.
Padahal, ada pepatah yang mengatakan, "Malu bertanya sesat di jalan." Sepertinya, pepatah ini tidak berlaku bagiku Kenapa kesannya seperti sombong sekali?
Ayah membawa sebuah gulungan koran. Aku tidak melihat gulungan koran itu saat masih duduk di dalam mobil. Ayah selalu begitu, menyembunyikan barang yang tidak jelas apa fungsinya. Tidak hanya di mobil, tapi juga di dalam rumah. Barang – barang itu selalu membuatku penasaran.
Sebenarnya tidak juga, karena gulungan koran itu pasti diletakkan di dalam laci dashboard mobil. Berulang kali aku menemukan barang – barang aneh di dalam laci itu.
Aku berjalan ke dalam rumah dengan mengekor di belakang ibuku. Suasana rumahku tidak berubah—aku kan hanya meninggalkannya selama setengah tahun.
Ruang tamu masih suram seperti dulu. Meski ruangan yang terletak di paling depan, ruang tamu selalu gelap, tidak mendapat sinar matahari. Mungkin disebabkan oleh jendela ruang tamu yang menghadap ke utara, sementara matahari bergerak dari langit sebelah timur ke barat.
Rak buku yang berdebu masih berada di tempat yang sama. Jalan menuju dapur ada di samping kanan rak buku.
Rumahku tidak mempunyai sofa. Sebagai ganti sofa, karpet biru berukuran seratus tujuh puluh lima senti dikali seratus dua puluh lima senti terbentang di atas lantai ruang tamu. Saat ada tamu datang, ayah dan ibu mempersilahkan tamu itu untuk duduk di atas karpet ini.
***
Suara mesin cuci terdengar saat aku menginjakkan kaki di dapur. Sepertinya ini sumber keributan yang terdengar sesaat setelah aku mengetuk pintu. Ibu sedang mencuci baju sebelum menyambutku dan ayah di teras rumah.
Mesin cuci terletak di ruangan paling belakang. Suara di luar rumah memang tidak begitu terdengar dari ruang belakang. Ditambah dengan suara mesin cuci yang bising, ibuku tidak tahu kalau aku dan ayah sudah memasuki halaman rumah. Barulah ibu sadar saat aku mengetuk pintu depan.
Membutuhkan waktu lima menit untuk berjalan dari ruang belakang ke ruang tamu. Ibu pasti berlari sehingga terdengar suara keributan dari luar.
Kepalaku berputar ke kanan, menghadap kamar tidurku yang terletak di sebelah kanan dapur.
Pintu kamarku tertutup, seolah telah tidak ditempati dalam waktu lama. Biasanya, pintu kamarku selalu terbuka setiap saat—hanya tertutup di malam hari saat seisi rumah sedang tertidur. Keluargaku tidak mengenal privasi.
"Clone, jangan berdiri di tengah jalan," terdengar suara ayah dari belakang.
Aku reflek bertanya, "Kenapa, yah?" Gawat, aku keceplosan. Tampaknya aku tidak bisa menahan diri untuk tidak banyak tanya.
"Ayah mau lewat," jawab ayah.
Aku pun menyingkir ke samping kanan, menyisakan celah sebesar tiga puluh senti di pintu masuk dapur. Ayah berjalan memasuki dapur melalui celah yang terbentuk. Setelah itu ayah tidak berhenti, namun terus berjalan ke ruang keluarga di belakang dapur.
Oh, sepertinya ayah mau ke kamar mandi. Apakah gulungan koran yang dibawanya digunakan di kamar mandi? Sepertinya tidak.
Sebenarnya tidak terlihat dari tempatku berdiri. Namun, aku menebak kalau ayah meletakkan gulungan koran itu itu di ruang keluarga. Kamar mandi terletak di samping ruang keluarga, berhimpitan dengan ruang belakang tempat mesin cuci yang telah kutulis di awal tadi.
Suara pintu dibanting terdengar, disusul dengan suara air mengucur. Ayah sudah masuk ke dalam kamar mandi.
Kembali ke depan kamar tidurku, sebuah pertanyaan muncul di kepalaku. Aku banyak bertanya hari ini.
Apakah pintu kamarku sedang terkunci? Untuk memastikan, aku memutar gagang pintu kamarku searah dengan jarum jam.
Pintu itu tidak terkunci, karena begitu aku memutar gagang pintu, pintu itu langsung terbuka ke arah dalam.
Suasana kamar tidurku sama seperti dulu. Kamarku gelap, karena tidak mendapat sinar matahari. Lampu di langit – langitnya harus menyala setiap saat.
Jika guru ilmu pengetahuan alam menyarankan untuk membuka jendela sehabis bangun tidur agar cahaya matahari bisa masuk ke dalam kamar, maka hal ini tidak berlaku kalau aku tidur di dalam kamarku. Jangankan sinar matahari, jendela saja tidak ada.
Dua buah tempat tidur berjajar di dalam kamar yang sempit. Keduanya tertutup oleh gumpalan debu, sehingga warna seprainya tidak terlihat. Sepertinya kedua tempat tidur itu sudah tidak digunakan dalam waktu yang cukup lama.
Blade tidak tidur di kamar ini selama aku tinggal di akademi. Kenapa dari tadi aku berprasangka buruk tentang adikku?
Tanpa menoleh aku tahu kalau ibu sedang berdiri di belakangku. Aku ingin memastikan sesuatu mumpung ibu ada di sini.
"Bu, di mana Blade?" tanyaku.
Ibu terdiam. Matanya berkaca – kaca. Apa ada yang salah dengan pertanyaanku? Kenapa ibu seperti ingin menangis. Kalau pun pertanyaanku adalah sumber masalah, seharusnya ibu mengarahkan emosinya menuju kemarahan.
"Blade kabur dari rumah," jawabnya kemudian.
Aku benci ini. Kenapa ketidakberesan selalu terjadi setiap aku ingin bertanya? Harusnya aku tidak usah menanyakan keberadaan Blade. Biarkan saja menjadi misteri yang tidak akan terungkap selamanya.
Karena pertanyaan itu terlanjur keluar dari mulutku, topik pembicaraan mendadak berubah.
"Sejak kapan Blade kabur?" pertanyaan keduaku membuat ibu semakin sedih.
Ibu mengusap wajahnya yang berkeringat. Beruntung ayah sedang berada di kamar mandi—dindingnya kedap suara, jika kamar mandi tidak direnovasi saat aku sedang tinggal di akademi. Jika dia mendengar pertanyaanku barusan, ayah pasti akan memarahiku habis – habisan.
Ibu membanting badannya ke kursi, kursi yang berada di samping meja makan.
Wajah ibu terlihat cemas. Kulit wajahnya memerah. Keringat membasahi kiri kanan pipinya. Ibu menundukkan pandangan dengan tatapan kosong. Kedua telapak tangan ibu diletakkan di pangkuan dengan jari – jari saling terkait.
Pulang dari akademi disambut kabar bahwa Blade kabur dari rumah. Sungguh menyebalkan.
***
Pukul 16.00
Di dalam rumah, ayah dan ibu sedang menonton televisi di ruang makan. "Ternyata ini yang membuat adikku keluar duluan," kataku di dalam hati.
Tidak seperti rumah pada umumnya dimana televisi diletakkan di ruang tamu atau ruang keluarga, televisi di rumahku diletakkan di ruang makan. Awalnya ini adalah saran dari ayahku, karena dia ingin menonton bola sambil makan.
Kemudian, terjadi perdebatan di antara ayah dan ibu tentang haruskah memindah televisi yang awalnya berada di ruang tamu ke ruang makan.
Perdebatan antara ayah dan ibu tidak pernah berakhir damai, jadi mereka selalu memintaku dan adikku untuk melakukan pemungutan suara. Dan saat pemungutan suara, aku selalu memilih yang mendapatkan paling banyak suara.
Oleh karena itu, aku memilih pilihan yang sama dengan adikku, yaitu memindahkan televisi ke ruang makan. Masalah televisi ini pun selesai, meski awal – awal terasa aneh dengan kehadiran televisi di depan meja makan.
Kembali ke cerita, di atas meja makan terhidang berbagai jenis camilan. Ada bungkus keripik kentang kesukaanku. Ada mangkok yang berisi kue kering. Ada biskuit gandum yang disimpan di dalam toples plastik.
Ayah dan ibu duduk di kursi yang bersebelahan sambil mengambil salah satu camilan. Ayah mengambil keripik kentang dari dalam bungkusnya, sementara ibu mengambil kue kering di atas mangkok kecil.
Aku berdiri di belakang kursi yang diduduki ayah untuk melihat televisi dengan lebih jelas.
Layar televisi menampilkan siaran berita dengan seorang reporter wanita berdiri di depan rumah yang porak poranda.
"Penangkapan dilakukan kepada AD, terduga anggota teroris TFG. Bukti yang diamankan antara lain, kotak berisi amunisi, album foto, dan bendera TFG," kata reporter itu.
Anggota polisi atau tentara—aku tak melihat warna seragam mereka dengan jelas—mondar – mandir di belakang reporter itu.
Kemudian, kamera diarahkan pada sebuah bendera berwarna hitam yang tergeletak di tanah. Gambar yang terdapat di bendera itu diblur.
"Bendera ini kan—" perkataanku terhenti.
Aku pernah melihat bendera itu sebelumnya. Aku lupa tanggal berapa persisnya, tapi saat itu aku dan teman sekelasku sedang dalam perjalanan ke kantin.
Di tengah jalan, aku melihat pantulan cahaya dari langit. Secara reflek aku berdiri membelakangi Tech. Rupanya, pantulan cahaya itu berasal dari penembak jitu yang sedang mengawasi komplek akademi.
Untung saja aku yang tertembak. Aku segera menggunakan Spirit Ability untuk menyembuhkan luka di kepalaku. Aku bisa menyembuhkan diri sendiri lebih cepat daripada menyembuhkan orang lain.
Setelah itu, kerumunan orang – orang yang membawa senjata api mendobrak pagar halaman sekolah.
Rombonganku dan teman – teman sekelas pun terbagi menjadi dua. Aku, Trail, dan Pulse pergi ke luar komplek untuk menemui penembak jitu itu.
Sesampainya di tempat penembak jitu, penembak jitu itu membawa bendera berwarna hitam yang sama persis dengan yang ada di layar televisi. Aku lupa gambar apa yang terdapat di bendera itu, tapi sepertinya gambar itu berwarna putih.
Layar televisi kembali menampilkan wajah reporter wanita. Kali ini dia tidak sendirian, melainkan dengan seorang anggota tentara.
"Ternyata pakaiannya berwarna hijau," aku menyimpulkan di dalam hati.
Anggota tentara itu memakai rompi anti peluru berwarna hitam dan helm di kepalanya. Dia membawa senjata api bertipe senapan serbu.
"Apa ada kendala yang dialami saat penangkapan AD?" reporter bertanya kepada tentara itu.
Tentara itu menganggukkan kepala sebelum menjelaskan, "Awalnya kami mendapat laporan dari warga sekitar kalau AD memasukkan barang – barang mencurigakan ke dalam rumahnya.
Setelah itu, kami mengirimkan intel untuk mengawasi rumah AD. Dari bukti yang didapatkan intel, kami pun memulai proses penangkapan."
Tentara itu menghela nafas, lalu melanjutkan, "Soal kendala yang kami alami, AD sulit untuk diajak kompromi. Dia menjawab ketukan pintu dari salah satu anggota kami, tapi begitu melihat tentara mengepung rumahnya, AD pun bersembunyi."
Penjelasan tentara itu terputus, karena tentara lain memanggilnya dari belakang. Dia balik kanan dengan gerakan yang kaku khas tentara, lalu menghampiri orang yang memanggilnya.
Kamera kembali terarah pada wajah reporter wanita. Perhatianku tidak terfokus pada reporter itu, melainkan kepada dua orang tentara di belakangnya.
Mereka mengangkat sebuah kotak logam yang terlihat sangat berat. Tentara yang tadi diwawancarai berdiri di depan kotak sambil berjalan mundur, sementara tentara yang memanggilnya berdiri di belakang kotak dan berjalan maju.
"Apa isi kotak itu?" tanyaku di dalam hati.
Pertanyaanku tidak terjawab, karena kedua tentara itu telah berjalan hingga keluar dari jangkauan kamera.
"Tidak mungkin juga mereka menunjukkan isi kotak itu ke kamera," di dalam hati aku membenarkan yang dilakukan oleh kedua tentara itu.
Kedua tentara itu telah keluar sepenuhnya dari jangkauan kamera, bertepatan saat reporter wanita berkata, "Itulah dia pemirsa, informasi dari tempat kejadian perkara. Kembali ke studio."
Kemudian, tampilan di layar televisi berubah menjadi studio televisi. Dua orang reporter—satu pria dan satu wanita—duduk di belakang meja.
Di atas meja terdapat papan yang bertuliskan, "Breaking News." Di sebelah papan tersebut terdapat segelas kopi panas. Terdapat logo luwak berwarna putih di badan gelas.
Reporter wanita meminum kopi dari gelas itu sebelum berkata, "Begitulah pemirsa, informasi tentang penggrebekan terduga anggota teroris TFG."
Kemudian, reporter pria melanjutkan, "Berita selanjutnya, menurunnya nilai mata uang menyebabkan naiknya harga bahan baku pokok."
Aku menghela nafas. Berita tentang penangkapan teroris berganti dengan berita tentang kondisi ekonomi.
"Aku lapar. Makan keripik tidak begitu mengenyangkan," kataku di dalam hati. "Kue di atas meja terlihat enak," sambungku, masih di dalam hati.
Saat aku ingin mengulurkan tangan untuk meraih kue yang berada di atas meja, tiba – tiba ibu berdiri dari duduknya.
"Gen, ganti baju dulu," ibu berkata dan mengagetkanku.
"Iya bu," balasku. Sementara itu, di dalam hati aku berkata, "Saat melihat berita, aku selalu lupa dengan sekitar. Sudah berapa lama aku melihat berita?"
Aku menoleh ke kiri kanan. Adikku tidak terlihat di mana pun. "Dia tidak terlalu suka menonton berita," kataku di dalam hati.
"Pasti sedang bermain di kamar," aku pun menghadapkan badan ke kamar. Kamarku berada di dekat dapur.
Aku melihat kalau adikku sedang mengintip dari kamar. Dia berdiri di belakang pintu kamar yang sedikit terbuka. Aku pun berjalan ke sana, menghampiri adikku yang sedang mengintip.
Saat aku semakin dekat dengannya, adikku berbalik badan dan berlari ke dalam kamar yang gelap.
Aku menghela nafas. "Kamu sudah ketahuan," pikirku.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro