Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 7 Part 2: LUKA TUSUKAN yang Dalam*

Anak aneh itu berdiri di depanku. Dia masih mengenakan jaket hitamnya yang kebesaran. Apakah dia tidak kepanasan? Ruangan ini panas sekali. Aku saja sampai berkeringat.

Di tangan kanan anak aneh itu terdapat samurai—bukan, nama senjata tajam itu adalah katana. Entah kenapa orang-orang selalu menyebutnya dengan "samurai", nama pemegang pedang itu. Katana adalah senjata tradisional dari Jepang.

Ujung mata pedang samurai—maksudnya katana—itu dilumuri dengan cairan berwarna merah cerah yang kental.

Itu kan darahku?!

Tiba – tiba, aku merasakan rasa nyeri dari suatu tempat di tubuh bagian kananku. Aku pun menoleh ke kanan untuk mencari tahu asal rasa neyri itu. Ya! Setelah dilepaskannya penutup mata itu, kepalaku bisa bergerak dengan leluasa.

Di bahu kananku terdapat luka sabetan yang dalam. Darah tak henti – hentinya mengalir dari dalam sana. Aku mencoba mengikuti arah aliran darah. Darah itu seperti sungai yang mengalir dari luka di bahuku, menuju ujung jari telunjuk kananku. Darah itu menetes dari jari itu dan berakhir di genangan kolam merah di lantai.

Jadi ini asal sensasi panas yang kurasakan beberapa saat yang lalu itu?

Di titik ini, aku mulai paham dengan apa yang barusan terjadi. Aku pingsan saat anak aneh itu menjebakku dengan kartu – kartu raksasanya. Kemudian, dia menculikku ke ruangan yang pengap ini. Setelah itu, dia menusukkan katana itu ke bahuku untuk menyiksaku. Entah kenapa aku merasa déjà vu.

Aneh sekali. Untuk apa susah – susah sampai harus menyiksaku seperti ini? Padahal, kalau dia ingin membunuhku, aku pasti akan senang. Dipikir – pikir, lumayan untuk mengurangi beban hidup.

Tidak! Apa kata orang tuaku kalau aku mati? Apakah mereka akan sedih? Apakah aku akan dikuburkan dengan layak? Apakah mereka akan mengingat jasa – jasaku—ah, kau berkata seolah orang – orang mempedulikanmu, Clone.

Kemudian, terdengar seruan anak aneh di depanku. Kelihatannya, dia sedang memanggilku. Seruannya kencang sekali sampai – sampai membuat telingaku nyeri.

"Kenapa Clone?! Kau takut melihat samurai ini?!" kata anak aneh itu.

Dia adalah salah satu dari segelintir orang yang menyebut katana dengan nama "samurai". Membuatku kesal saja.

"Itu katana, bukan samurai," balasku.

"Dasar otaku!" anak aneh itu kembali berteriak.

Aku pun kembali menghadapkan kepala ke depan daripada membuat anak aneh itu terus – terusan mengejekku.

"Nah, gitu dong," anak aneh itu berkata lagi.

Apa salahku? Saat aku melihat ke kanan, kau protes. Saat aku melihat ke depan, kau juga protes. Apa yang sebenarnya kau inginkan? Tolong kasih tahu aku secara perlahan – lahan sampai aku paham.

Ya – ya. Ejek aku sesukamu. Bully aku sampai kau puas. Kau tidak ada apa – apanya dibandingkan dengan—baiklah, aku tidak mau membahasnya lebih lanjut.

"Apa yang kau inginkan dariku?" tanyaku, sebisa mungkin berusaha mengabaikan ejekan anak aneh itu.

Anah aneh itu mengayunkan tangan kanannya ke kiri dan ke kanan secara bergantian. Katana yang dipegangnya ikut mengayun mengikuti irama ayunan tangan kanannya. Sepertinya dia sedang main – main.

"Namaku Joey Trame," anak aneh itu malah memperkenalkan diri.

Lalu, dia mengarahkan ujung katananya ke wajahku, sambil berkata, "Mari kita bermain game, Clone."

Baiklah kalau itu maumu, anak aneh. Mulai saat ini dan seterusnya, kau akan kupanggil Joey Trame. Bagaimana? Apa kau senang? Jangan protes setelah cerita ini diterbitkan, ya. Aku malas merevisi puluhan hingga ratusan kata hanya untuk mengganti nama "anak aneh" dengan "Joey Trame."

Sekarang, apa game yang kau inginkan? Sepertinya, tidak mungkin game jalan – jalan di kota yang berjudul auto auto apa itu yang suka dimainkan anak – anak sekolah seusiaku. Aku tidak melihat satu pun kotak konsol di seisi ruangan.

Ruangan ini suram. Tidak terdapat jendela maupun ventilasi di dindingnya. Ruangan ini berbau seperti jamur, membuatku ingin bersin dan muntah secara bersamaan.

Di sisi kiri kanan ruangan terdapat kursi kayu panjang. Sela – sela persendian kursi kayu itu menjadi tempat tumbuh tanaman yang tidak kuketahui. Tanaman itu seperti rumput dengan dedaunan yang berjari melengkung.

Di pojok di belakang tempat Joey berdiri terdapat sebuah meja kayu yang entah bagaimana caranya, meja itu dapat berdiri meski tersisa dua kaki—satu kaki di sisi kiri dan satu kaki di sisi kanannya. Di atas meja itu terlipat sebuah jaket yang awalnya tidak terlihat dengan jelas, karena ruangan ini gelap sekali.

Aku memusatkan perhatianku pada jaket itu. Samar – samar terlihat kalau jaket itu berwarna hijau.

Aku baru menyadari sesuatu. Jaket itu adalah Clothes of Chaosku.

Aku memperhatikan sekeliling. Saat ini, pakaian yang kukenakan adalah celana panjang hitam yang compang camping—ibuku pasti marah kalau melihatnya—dan kemeja biru gelap bergaris – garis hitam. Aku tidak mengenakan jaket.

Pantas saja rasanya ada yang kurang. Seperti sudah memakai kacamata, namun pandangan masih buram—entahlah, aku hanya mengarang perumpamaan saja. Aku tidak berkacamata. Aku tidak tahu bagaimana rasanya memakai kacamata.

Kembali ke perkataan Joey beberapa saat yang lalu—aku lagi tidak suka menghitung jumlah paragraf, karena ada pembaca yang protes—satu – satunya game yang kupikirkan adalah permainan pembullyan dengan pemenangnya adalah siapa yang bertahan lebih lama saat dibully.

Kalau begitu, permainan ini akan mudah.

"Game? Mungkin maksudmu adalah permainan," aku berkata.

Joey menyipitkan mata. Sepertinya sarkasku tepat sasaran.

"Game lah, permainan lah, terserahmu," kata Joey kemudian.

"Apa permainannya?" tanyaku, harap – harap permainan yang dimaksud Joey sesuai dengan dugaanku.

"Permainannya adalah penyiksaan!" tiba – tiba Joey berteriak sambil mengayunkan tangan kanannya yang memegang katana.

Bilah katana itu menancap di luka yang sama—luka di bahu kananku. Waktu terasa berhenti. Jantungku berdegup kencang.

Sedetik kemudian, darah memancar dari luka itu seperti air mancur.

"AAAAAAAAAHHHHHHHHHHH!!!" rasa sakit yang kurasakan tak tertahankan lagi.

Cepatlah akhiri penderitaanku ini!

Baiklah, aku akan menarik kata – kataku berusan. Permainan ini tak semudah kenyataaannya. Kalau permainan pembullyan, permainan itu sudah menjadi makanan sehari – hari. Namun, aku tak pernah bermain permainan penyiksaan sebelumnya.

"HAHAHAHAHAHAHAHAHAHA!!!" berbanding terbalik denganku, Joey sedang tertawa terbahak – bahak.

"Hei," kataku dengan suara serak.

Joey menghentikan tawanya sejenak. Agaknya perkataanku menarik perhatiannya.

"Kau tidak perlu repot – repot," sambungku.

Aku mendongak. Lampu yang tergantung di langit – langit ruangan sudah reyot. Kacanya pecah, namun lampu itu masih memancarkan cahaya yang redup.

"Silahkan bunuh aku," kataku kemudian.

"Hei, bukan begitu cara bermainnya!" Joey berteriak.

Aku pura – pura tak mendengar. Aku sudah menutup kedua mata. Tempat yang gelap menyambutku. Titik – titik merah muncul di tempat gelap itu. Lama kelamaan, titik – titik itu semakin banyak.

Satu, dua, tiga, empat, lima.

Aku berusaha menghitung satu per satu titik – titik yang muncul itu. Semakin lama, semakin cepat titik – titik itu muncul. Aku sudah kehilangan perhitungan saat hitunganku mencapai angka enam puluh sembilan. Mau kulupakan, namun rasanya nanggung. Padahal sedikit lagi mencapai tujuh puluh.

Saat rasanya sudah ratusan—bahkan ribuan—titik – titik merah yang muncul hingga tempat hitam itu kini berwarna kemerahan, tubuhku terasa dingin, seperti menyelam di lautan es. Anehnya, rasa dingin itu tak membuatku menggigil.

Rasa dingin itu terasa nyaman. Seperti berselimut di atas tempat tidur sambil menyeruput minuman hangat ketika turun hujan.

Jadi ini rasanya mati?

***

1 Desember 2013

9.00 AM

Aku duduk di bangku panjang yang berjejer di atas trotoar. Di jalan raya di depanku, kendaraan berlalu lalang.

Sebuah truk lewat di jalan raya. Suaranya kencang sekali, membuat jalanan terasa bergetar. Truk itu beroda enam. Baknya yang besar tertutup oleh terpal.

Knalpotnya mengeluarkan asap hitam. Mataku sontak terasa perih. Aku pun menutup kedua mata, sebelum rasa perihnya semakin menjadi – jadi.

"Akh, asapnya bau sekali! Kota ini sudah terkena polusi. Apa truk itu tidak menyalahi aturan jalan raya?" protesku di dalam hati.

Beruntung, truk itu cepat sekali jalannya. Dalam waktu singkat, truk itu telah menghilang dari pandanganku, begitu juga asap yang dikeluarkannya.

Aku pun bisa membuka kedua mata dengan aman. "Akhirnya ...," aku menghela nafas lega.

Aku menoleh ke samping. Di sampingku, seorang ibu – ibu sedang duduk di bangku panjang yang sama. Dia tidak terganggu dengan truk yang barusan lewat itu.

Ibu – ibu itu memakai baju batik berwarna coklat dan rok panjang berwarna hitam.

Kedua tangannya berada di depan dada sambil memegang tali dari sebuah tas tangan kulit berwarna coklat.

Aku kembali menatap ke depan, melihat koran yang sedang kupegang dengan kedua tangan. Koran itu terbuka ke halaman yang berjudul, "Anak Hilang."

Di halaman itu terdapat gambar poster berwarna hitam putih. Itu adalah foto anak – anak yang hilang. Di bawah foto itu terdapat tulisan yang menjelaskan identitas anak – anak itu.

Melihatnya, membuatku berpikir, "Banyak sekali berita anak hilang akhir – akhir ini." Dilihat sekilas, ada sepuluh poster anak hilang di halaman koran yang kulihat.

Kutunjuk salah satu poster anak hilang dengan jari telunjuk. "Wajahnya seperti tidak asing," pikirku.

Kemudian, jari itu kugeser ke bagian bawah poster anak hilang untuk membaca identitas anak itu. Di sana, juga ada penyebab hilangnya dan sejak kapan dia menghilang.

"Blade Spiral. Kabur dari rumah," aku membaca tulisan itu.

Sementara itu, di dalam hati aku berseru, "Dia kan ... adiknya Clone! Pantas saja aku merasa pernah mengenalnya."

"Sebenarnya, aku tidak terlalu mengenal adiknya Clone. Aku hanya pernah bertemu dengannya sesekali saat masih di SD dulu," sambungku.

Adiknya Clone juga masuk ke SD yang sama denganku dan Clone. Clone pernah memperkenalkan adiknya padaku. Selain itu, aku sering melihat adiknya Clone saat main ke rumahnya Clone.

Aku pun memfokuskan tatapanku ke poster yang terdapat foto adiknya Clone. Di bawah nama Blade terdapat tulisan, "Hilang sejak tanggal 2 September. Jam dua siang."

Dilihat dari tanggalnya kabur dari rumah, dia sudah menghilang saat kami masih berada di akademi. "Kenapa poster anak hilangnya baru dibuat sekarang?" tanyaku di dalam hati.

Di bawah tanggal menghilangnya Blade, terdapat poin – poin yang berisi ciri – ciri Blade. Aku menyipitkan mata, karena tulisan itu kecil sekali.

"Rambutnya berwarna pirang. Rambutnya yang berada di kedua sisi samping kepalanya dipotong pendek. Sementara itu, rambutnya yang berada di sisi atas kepala dibiarkan tumbuh panjang," itulah ciri – ciri yang tertulis di sana.

"Pasti Clone yang membuat poster ini," kataku di dalam hati sambil menghela nafas.

Aku tahu bagaimana cara Clone mendeskripsikan sesuatu. Dia suka membuat deskripsi yang terlalu detail.

Bahkan, kebiasaannya itu tidak hilang saat dia sedang menulis cerita. "Apa malah kebiasaannya itu lahir dari hobinya yang menulis?" aku malah semakin kepikiran.

"Ah, lupakan. Hari ini aku harus mencari Clone," aku mencoba menghapus pertanyaan itu dari pikiranku.

Saat ini, aku sedang mencari informasi hilangnya Clone dari koran yang kubaca. Namun, yang kutemukan hanya menghilangnya Blade, adiknya Clone.

Di bagian bawah dari halaman "anak hilang" di koran yang sedang kubaca terdapat sebuah area persegi panjang.

Di dalam area persegi panjang itu terdapat petunjuk tentang bagaimana cara melapor jika seseorang telah menemukan salah satu dari anak yang hilang itu.

Seseorang itu harus membawa anak yang ditemukannya dan poster anak hilang ke kantor desa sebagai barang bukti.

Setelah itu, barulah pengurus desa akan menyerahkan anak itu ke pada walinya. Terkadang, seseorang yang menemukan akan mendapat imbalan.

"Kenapa sistem di negara ini selalu merepotkan?" tanyaku di dalam hati.

Selain itu, juga terdapat cara melaporkan anak hilang. Yang perlu dilakukan adalah pergi ke kantor desa terdekat. Lalu, pengurus desa akan membuatkan poster anak hilang untuk diterbitkan di koran edisi selanjutnya.

Pengurus desa juga memberikan poster yang berbentuk fisik untuk ditempel di pinggir jalan.

"Belum ada yang melaporkan hilangnya Clone. Jadi, aku harus membuat laporanku sendiri, ya," pikirku.

Sebelumnya, aku tidak pernah melaporkan anak hilang ke kantor desa.

Aku menutup koran yang sedang kupegang. "Ini bukan koran milikku. Aku harus mengembalikan koran ini ke tempatnya semula," kataku di dalam hati.

Di samping bangku panjang yang kududuki terdapat sebuah rak kayu.

Koran tergantung di dalam rak dengan tongkat kayu yang kedua ujungnya menempel di dinding rak sebagai penyangga koran itu.

Tangan kiriku mengambil sebuah tongkat kayu yang sedang tidak menyangga koran.

Kemudian, aku melipat sisi tengah dari koran yang kupegang. Lipatan koran itu lalu kuletakkan ke atas tongkat kayu itu.

Gabungan dari koran dan tongkat kayu itu kuletakkan di atas rak dengan mengaitkan ujung tongkat pada dinding rak yang berbentuk cekung ke bawah.

Aku menghela nafas setelah meletakkan koran itu.

"Baiklah, apa yang akan kulakukan setelah ini?" tanyaku di dalam hati. Mencari informasi tentang hilangnya Clone sudah selesai. Yah, meski hasilnya tidak begitu memuaskan.

Sekarang, aku harus pergi ke kantor desa.

Aku berdiri dari bangku panjang yang kududuki. Kepalaku menoleh ke kanan, melihat jalan raya yang ramai dengan kendaraan berlalu – lalang.

Dari kejauhan, tampak sebuah kendaraan angkutan kota berwarna biru. Di kaca depan angkutan kota itu terdapat tulisan "ADL". "Jurusan itu akan membawaku ke kantor desa," kataku di dalam hati.

Sesaat, ku menoleh ke samping. Ibu – ibu itu masih duduk di atas bangku panjang. Sejak tadi, kepalanya menunduk.

"Duluan ya, bu," kataku sambil membungkukkan badan. Tiba – tiba, ibu – ibu itu pun mendongakkan kepalanya, setelah mendengar perkataanku.

Wajahnya terlihat mengantuk. "Dia sedang tidur? Gawat, aku tidak sengaja membangunkannya," kataku di dalam hati.

Ibu – ibu itu menoleh ke kanan kiri, sebelum menatap tas kulit di pangkuannya. Terakhir, dia kembali menatapku sambil berkata, "Ya-ya, baiklah, nak."

Aku menghela nafas dan memalingkan pandangan dari ibu – ibu itu.

Angkutan kota itu sudah dekat. Kulambaikan tangan kanan ke atas untuk memanggilnya, membuatnya agar berhenti di depanku.

Dari kaca depannya, terlihat kalau kondisi angkutan kota itu sedang lenggang. Sekarang masih jam sembilan pagi. Anak – anak masih bersekolah dan orang – orang dewasa masih bekerja.

Hanya ada seorang bapak – bapak kurus yang duduk persis di belakang kursi supir. Dia memakai kaos putih dan celana pendek berwarna hitam.

Bapak – bapak itu mengatakan sesuatu yang tidak terdengar olehku, saat gerakan angkutan kota semakin melambat.

Kedua lampu depan angkutan kota itu berkedip, menandakan kalau dia melihat isyaratku—yang melambaikan tangan itu.

Lampu sennya menyala kuning. Angkutan kota itu pun menepi ke pinggir jalan, ke tempatku berdiri saat ini.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro