Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

05

Sebelum pulang, aku harus menemui wali kelas terlebih dulu menyerahkan surat penyesalan karena tidur di dalam kelas. Jangan salahkan aku, aku belum terbiasa untuk bangun pagi, jadi yaah... begitu, deh. Surat pernyataan menyesalnya sudah kutulis, tapi apa benar begini saja sudah cukup? Kalau soal kerjaan sih, aku masih sanggup menulis sebanyak apa pun.

Namun, baru saja kuingin mengetuk pintu kantor, Ice keluar dengan sebuah buku dan megejutkanku. "Oh ... Gadis 100 yen. Gadis dengan nilai 4."

"Tolong diingatnya jangan pakai cara itu!" Jujur, perkataannya sangat menyinggung.

"Maaf, itu karena aku tidak ingat namamu."

"Walau kau pintar?" tanyaku dengan sarkasme.

"Menurutku, itu berbeda persoalan."

"Namaku (Name). (Full Name)," ujarku singkat.

"(Full Name) ... Baik, sudah kuingat. Namaku Ice ... Oh iya, kenapa kamu bisa tahu namaku? Karena sewaktu makan siang di kantin tadi, aku serasa dipanggil."

"Kemarin kita sudah saling memperkenalkan diri. Dan tadi pagi juga dikenalkan lagi pas pelajaran."

"Hanya dari kejadian itu? Walau kamu bodoh?" tanya pemuda tersebut tanpa rasa bersalah.

"Woi! Kelewatan banget! Kau terlalu blakblakan mengatakan isi pikiranmu!"

"Maaf." Ice membungkuk pelan. "Aku tidak akan mengatakan isi pikiranku lagi."

"Bukan begitu juga ..." Aku mengurut alis sebentar. "Ngomong-ngomong, ada perlu apa kau ke ruang guru? Oh, jangan-jangan kau dipanggil karena bikin masalah juga, ya?"

"Kamu serius berpikiran begitu?"

"Maaf, aku cuma bercanda," ucapku cepat. Dia ini apa bisanya berperasangka buruk terus kepada orang lain, rasanya menyakitkan.

Dengan tangan yang sibuk merapikan tasnya, dia menyambung ucapannya. "Aku ke sini untuk mengambil pin perak. Lalu, karena ada salah satu soal ujian yang tidak kumengerti, jadi aku menanyakannya."

"Wah, rajin banget, ya," ejekku padanya.

"Apa aku ini pemuda rajin yang membosankan?" tanya Ice tiba-tiba. Entah kenapa atmosfer di sekitar kami jadi sedikit dingin, ditambah dengan Ice menatapku lurus.

"Tidak juga, kok. Aku betulan kagum waktu dengar kau ini peringkat satu di sekolah. Maaf, kalau kau tersinggung," ucapku tulus diiringi sebuah senyuman teduh.

"Tidak apa-apa, aku juga minta maaf."

"O-oh iya, kenapa bahasamu terkesan formal padaku, ya?"

Soalnya, aku bisa jantungan kalau dia blakblakan menganggapku dewasa. Apalagi, tadi saat di kantin dia bilang begitu, sih.

"Tidak juga. Jangan dipikirkan, karena aku selalu bersikap begini kepada siapapun."

"Be-begitu, ya."

"Apa sikapku itu terlalu menjaga jarak?"

"Eh?"

"Dari dulu, banyak orang yang bilang seperti itu. Terlebih, umurku sudah hampir dewasa, tapi belum punya satu pun teman. Menurutku, cara hidup seperti itu bukanlah suatu masalah. Tapi, dunia ini dipenuhi hal yang berbeda dari pandanganku." Netra aquamarine-nya sedikit meredup dan tampak sendu. "Walau sudah berniat untuk berubah, tapi aku sama sekali tidak mengerti apa yang harus kulakukan. Apa kamu bisa memberiku contoh? Atau mungkin, aku ini tipe yang terlalu menjaga jarak?"

"Jujur saja, iya." Dapat kulihat Ice langsung tertohok dengan pengakuanku. "Tapi, aku juga menganggapmu cukup seru kalau diajak mengobrol. Bagaimana kalau kau lebih sering tersenyum lagi?"

"Tersenyum? Seperti ini?"

"Serius, tuh?"

Bagaimana ya untuk mendeskripsikan senyumannya itu. Senyuman yang seperti seorang yang sok- kuyakin orang yang melihatnya akan tersinggung dan ingin menampolnya.

"Barusan kamu merasa jijik, ya?"

"Eh? Maaf, soalnya kenyataan agak berbeda dari apa yang kuharapkan. Jangan pakai rencana tersenyum! Yang ada bukan tambah teman, tapi musuh!"

Aku nggak bohong. Senyuman Ice tadi bisa menimbulkan kesalahpahaman.

"Tersenyum ramah saja tidak sanggup ... Aku pasti akan langsung bermasalah sekalinya terjun ke masyarakat luas, ya?" katanya dengan lesu seraya menunduk.

"Yah, tidak usah terburu-buru. Teman itu bisa bertambah sering berjalannya waktu," hiburku padanya. Setidaknya dia ada kemauan untuk menambah teman.

"Dulu, aku juga pernah berpikir kalau itu cara yang terbaik."

Ah~ tapi aku juga sama saja. Masa depan yang kuanggap akan datang seiring waktu, ternyata semakin menjauh. Memundurkan diri dari perusahaan yang menurutku karyawannya saling merendahkan, alasanku keluar dari pekerjaan itu karena karyawan di sana berusaha menjatuhkan salah satu seniorku yang menjadi pembimbingku yang baru kerja. Senior dituduh melakukan kesalahan pada laporan keuangan perusahaan karena dialah yang mengurus divisi keuangan, tapi aku tahu bukan Senior yang salah, ada yang keliru di divisi lain saat menyerahkan laporan tersebut kepada Senior. Kemudian dia dipecat, dengan senyuman dia mengatakan tidak mengapa. Namun, hal yang tidak diinginkan terjadi. Senior bunuh diri di apartemennya dengan gantung diri. Tentu dengan senang hati aku memilih keluar dari perusahaan brengsek itu.

Entah sudah berapa kali aku melamar kerja, tapi ujungnya pasti ditolak hanya karena aku memundurkan diri dari pekerjaan sebelumnya, padahal baru tiga bulan kerja. Aku muak dengan alasan mereka.

"Aku dituntut buru-buru. Karena ini adalah tahun terakhirku." Lamunanku langsung buyar seketika. Ice terlihat putus asa di balik suara datarnya.

"Benar juga, soalnya udah kelas 3, ya." ujarku lalu mengecek jam dari gawai- yang menunjukkan pukul 5 sore. "Eh, maaf ya. Malah kelamaan di sini, padahal sudah jam pulang."

"Sebentar!" Aku tertahan di tempat karena Ice menggenggam tanganku menghentikan niatku yang ingin berlalu pergi dari hadapannya.

"Bisa tolong berikan HP-mu?" Dengan frontal Ice mengatakannya.

"Minta apa barusan?" Takut-takut aku mundur perlahan menjauhi Ice. "A-Aku betulan bingung karena mendadak dipalak olehmu ..."

"Bukan begitu ..." Ice menghela napas pelan. "Harusnya kamu bisa paham walau kalimatnya kurang."

"Apa?!"

"Jadi, maksudku ..." Dia menurunkan lidah topinya. "...aku ingin meminta nomor HP-mu."

Tangan Ice meremas syalnya. "A-aku ingin menjadi temanmu. Aku, pemuda penyendiri yang tidak punya teman, ingin berusaha maju selangkah lebih baik lagi. Harusnya kalau sebatas itu, kamu bisa memahaminya. Kamu ini benar-benar bodoh, ya."

"Kalau begitu, aku minta maaf karena sudah tidak peka. Tapi, kalau kau bisa mengutarakannya lewat kata-kata seperti barusan. Aku yakin orang-orang bisa mengerti dan tidak lagi menjaga jarak denganmu," ujarku lalu menggenggam kedua tangannya. "Usahamu luar biasa."

Dengan sedikit kasar, Ice melepaskan begitu saja. "Orang bodoh jangan membodoh-bodohiku."

"Sudah kubilang, jangan bawa-bawa bodoh terus! Aku mohon, jangan diungkit-ungkit lagi!"

Mendengar penuturanku, dia mendengkus geli seraya tertawa kecil. "Ternyata kamu ini orang yang seru diajak mengobrol ya, (Name)."

"Tuh, kau bisa tersenyum manis, 'kan? Bahkan kau sekarang tertawa meskipun pelan."

Oh, begitu ya. Entah itu termasuk hal baik atau buruk, tapi dia pemuda polos dan jujur.

"Kau juga tersenyum manis waktu aku pinjamkan uang."

"Benarkah?"

Kemudian melakukan senyuman mencurigakan seperti tadi.

"Sudah kubilang juga, kau jangan tersenyum memaksakan diri buat tersenyum!"

.
.

Malamnya dengan penuh kepaksaan aku mempelajari kembali soal ujiannya. Aku melakukan ini karena aku tidak mau sepanjang tahun ini harus mengerjakan remedial terus menerus. Sudah kuduga, aku memang belum mengerti materinya.

Menghela napas pelan lalu merebahkan kepala di meja. "Ternyata masalah utamanya ada di matematika ..."

Untuk mengistirahatkan otakku sejenak, aku memutuskan untuk menelepon Ying. Kebetulan ada beberapa hal yang harus aku tanyakan. Tapi Ying tetap Ying, dia sempat-sempatnya kembali meledekku.

"Bagaimana tadi ngobrolnya sama Ice? Sepertinya sangat seru, ya?" godanya sambil tertawa menyebalkan.

"Lah? Jadi, kau melihatnya?!"

Berarti firasatku benar kalau ada seseorang yang diam-diam mengintip di balik tembok.

"Apa lelaki seperti dia itu tipemu?"

"Kau ini bilang apa, sih?!"

"Tolong berteman baik dengannya, ya. Tahun lalu aku sekelas dengannya... dan dia terlihat selalu menyendiri."


To be continued~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro