04
Bangun pagi berat banget, sumpah. Berangkat sekolah pun aku terus menguap.
Sesuai hasil akhir ujian kemarin, ketua kelas telah ditentukan. Perwakilan putra ialah Ice, sedangkan perwakilan dari putri- yang sudah kuduga dari awal -ialah Cahaya. Mereka dikenalkan kembali di depan oleh wali kelas kami. Sebagai tanda pengenal ketua kelas, mereka harus mengambil pin perak di kantor.
Sementara itu, aku meratapi nilai ujianku yang anjlok. Semuanya merah?!
"Cahaya hebat banget."
Walau sok gaul, tapi otaknya encer juga.
Aku merasa ada aura membunuh yang begitu pekat dari sampingku, saat menoleh ternyata- "Ha ... li?"
Kenapa dia kelihatan kesal begitu?
Aku langsung teringat perkataan Cahaya kemarin, "Tapi ... sayangnya tahun ini harus sekelas sama peringkat satu sekolah, Ice. Makanya, dia mana bisa bolos. Yang ada malah makin semangat."
Oh, jadi karena dia tidak dapat peringkat satu, ya.
"Sayang banget ya, Hali," celetuk Cahaya begitu duduk di bangkunya.
Kenapa malah sulut api, sih? Baca situasinya dong, Cahaya!
"Tapi, kemarin kau masuk angin, sih. Jadi semoga selanjutnya pakai kekuatan penuh, ya," kata Cahaya bermaksud memberi semangat Halilintar.
"Tidak juga. Kondisi badanku ini tanggung jawabku sendiri. Jadi, aku tidak mau cari-cari alasan sakit. Kenyataannya peringkatku memang di bawahnya. Cuma itu saja."
"Datar banget, enggak ada ramah-ramahnya, ah."
Cahaya, sudah hentikan, dong.
"Iya, aku memang tidak ramah! Untung ya, bukan aku yang jadi ketua kelas bareng kamu!"
"Eh? Aku sama sekali tidak bermaksud begitu, kok ... Kenapa pikiranmu jelek begitu?" Cahaya memandang tak suka kepada Halilintar.
"Su-sudah, tidak usah dibahas lagi!" elak Halilintar, membuang mukanya acuh.
Tidak terima diacuhkan, Cahaya dengan cepat membela diri, "Dih, kenapa coba? Aku kan cuma mau menghiburmu!"
"Aku semakin tidak suka kalau dipandang rendah begitu!"
"Kenapa malah ngotot begitu, sih?"
Oh, jangan-jangan ini ...
"Diam!" kesal Halilintar.
Di tengah pertengkaran Halilintar dan Cahaya, wali kelas kami menginterupsi, "Oh, tentang ujian kemarin ... Seperti biasa, satu nilai merah saja. Kalian harus ikut remedial, ya. Sebelum bisa dapat nilai minimal 50, kalian wajib mengulanginya terus."
HUWAAAA! Seketika aku jatuh dalam pusaran yang tidak mendasar.
"Supaya tidak mengulang terus, belajarlah lebih giat lagi," lanjut wali kelas.
Se-Semuanya harus minimal 50? Penderitaan tiada akhir?
"Kenapa? Kau dapat nilai merah?" tanya Halilintar.
Menoleh patah-patah dan menyahutinya, "Bu-bukan dapat lagi, tapi semuanya ..."
"Ternyata ada juga orang sepertimu di dunia, ya," sindir Halilintar, lalu memalingkan mukanya ke samping.
"Ngomong-ngomong, pelajaran apa yang paling jelek?" tanya Cahaya.
"Matematika, nilai 4." Mereka berdua malah menatapku tak percaya. "Maaf saja kalau nilaiku cuma 4! Jangan anggap semua orang bisa sepintar kalian, dong!"
Seketika aku jadi pusat perhatian semua orang. Guru pun menyamangatiku agar terus berusaha tingkatkan nilaiku.
"Kalau mau, aku bisa mengajarimu, kok," tawar Cahaya lembut. "Aku memang terkesan ikut campur masalahmu, tapi dengan nilai segitu, bisa-bisa pengulanganmu tiada akhir, 'kan?"
Peng-penghinaan sama rasa malu jadi campur aduk ...!
"Maaf!" Sebuah suara lantang menginterupsi. Rupanya Taufan-lah yang menyela percakapan kami. "Apa aku juga boleh ikut?"
Kami berdua langsung terdiam seketika, suara Taufan itu mengagetkan, tau!
"Eng ..., Taufan, ya? Apa kamu juga dapat nilai merah?" tanya Cahaya keheranan
"Iya, semuanya~" Pemuda bertopi miring tersebut hanya menyengir malu.
Di sini juga ada teman babak belur?!
"Parahnya lagi ..." Taufan menunjukkan nilai matematikanya yang ternyata lebih parah dariku, yaitu 2?! Woi! Yang benar saja!
**********
Bel istirahat baru saja berbunyi, segera aku merapikan meja yang sedikit berantakan.
"(Name) ...," panggil Taufan menghampiriku. "Apa kamu mau ke kantin? Mau makan siang bareng?" Ia sudah menenteng bekal makan yang dibawanya dari rumah.
"Eh? Eng ..."
Aku harus berpikir keras dulu. Dalam situasi begini sih, aku senang karena tidak perlu makan sendiri. Tapi, kalau berduaan makan bareng pemuda SMA ... apa jangan-jangan Taufan cuma menggodaku saja?
"Apa aku juga boleh ikut makan bareng? Mumpung ada waktu, sekalian kita buat rencana belajarnya," ujar Cahaya mendekati kami selepas menghapus papan tulis.
"Oh, ide bagus! Terima kasih!" kata Taufan dengan senyuman khasnya.
"Oh, apa kau juga mau ikut, Hali?" ajak Cahaya melihat Halilintar bangkit dari bangkunya.
"Aku bareng yang lain," tolak Halilintar cepat, wajah bagian atasnya menggelap. Sepertinya dia masih ngambek dengan Cahaya.
"Sayang banget, deh." Cahaya tersenyum maklum, seakan sudah biasa dengan sikap Halilintar yang judes dan sedikit ketus.
Entah perasaanku saja atau bukan, begitu kami melewati Ying; dia duduk di barisan belakang dekat dengan pintu keluar bagian belakang- sepasang mata biru terasa mengawasi kami. Namun, aku memilih pura-pura tidak tahu dan terus mengobrol dengan Taufan.
Begitu sampai di kantin kami langsung memesan makanan dan mencari tempat yang kosong.
"Cahaya, kamu kelihatan akrab dengan Halilintar. Apa jangan-jangan dia itu pacarmu, ya ~ ?" tanya Taufan dengan senyuman jahilnya, berusaha menggoda Cahaya dengan perkataannya.
"Eh?"
Gila, pertanyaannya blakblakan banget. Tapi ... "Sebenarnya, aku juga menebak-nebak tentang hubungan kalian."
"Eh?"
"Terus, bagaimana aslinya~ ?" tanyaku dan Taufan berbarengan.
Cahaya langsung gelagapan. "Bu-bukan, kok. Kenapa kalian sok tahu banget?"
"Heeee- Jadi bukan, toh?"
"Padahal aku PD sama kemampuanku menilai hubungan orang lain," ungkap Taufan sambil memainkan sendoknya. "Ah, ada satu pertanyaan lagi. Kalau dia bukan pacarmu, terus kenapa tindikan kalian sama?"
Cahaya tampak terkejut dengan kelugasan Ying. "Wah, hebat juga bisa sadar hal sekecil itu. Sebenarnya pas kelas 1 dulu..."
.
.
Sinar senja menerobos melalui kaca ke ruang kelas, pertanda waktunya untuk pulang. Tersisa Cahaya dan Halilintar yang masih belum beranjak dari kursi mereka.
Cahaya mengawali percakapan, "... aku dipaksa mbakku buat pasang ini." Dia menyentuh anting yang terpasang di telinga kirinya. "Karena sakit, jadi aku cuma kuat di satu kuping saja. Jadi, yang sebelahnya belum kupasang... Mau?"
"Berani banget kamu kasih barang sisa ke orang lain." Halilintar mendengkus pelan lalu memalingkan mukanya.
"Hehehe~ Iya juga ..."
Namun, belum juga Cahaya menyimpan alat tindik serta sisa antingnya, Halilintar mengulurkan tangannya bermaksud meminta. "Sini. Kalau kamu kasih, aku terima."
"Tapi, kau kan ikut ekskul-"
"Apaan, sih?! Coba yang jelas, dong! Mau kasih atau nggak?!" Wajah Halilintar berubah jadi garang.
"I-iya, silakan ambil."
"Dasar kamu ini ... Aku terima, ya."
.
.
"Nah, ternyata besoknya langsung dia pasang. Kocak banget, kan? Yah... kira-kira gitu deh. Jadi kalau dibilang pacaran, bisa-bisa Hali ngamuk, lho." Cahaya tersenyum kikuk.
"Haaahhh..."
"Lah, kenapa?"
Dan acara bisik-bisik pun dimulai ...
"Walau dia itu anak pintar, tapi otaknya sebagai anak SMA jalan atau tidak, sih?" bisik Taufan mengawali sindiran kami berdua.
"Asli, tampang cantiknya jadi mubazir," sahutku memanas-manasi Cahaya yang tidak peka sama sekali dengan perasaan lebih dari orang terdekatnya.
"Hali kasihan banget."
"Banget."
"Kenapa?!" protes Cahaya.
"Mendingan sering-sering belajar sastra modern, deh," saranku pada Cahaya agar dia bisa mengurangi porsi ketidakpekaannya.
Taufan menambahkan, "Iya, kamu harus lebih banyak lagi mempelajari karakteristik seseorang."
"Loh? Kenapa malah aku yang harus belajar? Terus remedial kalian bagaimana?"
Sayangnya kami berdua memilih tak mengindahkan ucapan Cahaya dan meneruskan makan, meski diiringi tatapan sebal dari si gadis peringkat satu. Itu lebih baik daripada meneruskan perdebatan kami bertiga yang tak menemukan titik terang.
Kemudian terdengar keributan kecil di meja tempat pelayanan. Kulihat pemuda yang memakai syal yang sewarna dengan iris matanya- aquamarine; sedang berbincang dengan ibu kantin. "Dia pemuda yang dapat pin perak sepertimu. Kenapa dia?"
Cahaya ikut menoleh. "Sepertinya lagi ada masalah."
Aku bangkit, "Biar aku cek dulu."
"Ice, ada apa?" panggilku pada pemilik tatapan datar yang senantiasa menghiasi netranya.
"Oh... Gadis dengan nilai 4."
JLEB! Rasanya ada panah imajiner menusuk dadaku mendengar sebutan frontal dari Ice untukku. "Jangan bawa-bawa nilai, dong. Caramu mengingat sakit banget."
"Maaf. Saking hebohnya, jadi lebih mudah diingat," ucapnya datar.
Menghela napas pelan kemudian bertanya, "Ngomong-ngomong, apa lagi ada masalah?"
"Karena sudah jadi kebiasaan, jadi aku tidak membawa uang." Kami lihat poster di atas tentang keringanan bergambar pin perak secara sekilas, aku belum sempat baca tulisan di poster itu. "Aku sudah bilang untuk tunggu dulu selagi mengambil pin peraknya, tapi ibu kantin bingung kalau makanannya sudah terlanjur dibuat."
Apa ada yang bisa menerjemahkan? Aku nggak ngerti dia ngomong apaan.
"Eng, jadi intinya, sekarang kau kebingungan karena lupa membawa uang, jadi tidak bisa makan?" tanyaku kembali untuk memastikan permasalahan intinya.
Dia menatapku jengah. "Bukan lupa, tapi aku memang sengaja tidak membawanya."
"Sama saja, 'kan?" gumamku pelan. "Ice! Ini, aku pinjamkan. Kau boleh mengembalikannya kapan-kapan."
"Aku tidak bisa menerimanya. Dengan uang 10 yen saja, aku bisa makan banyak menu di sini. Dan menurutku, uang 100 yen itu terbilang cukup banyak untuk ukuran pelajar SMA. Tapi, kamu bisa mudah meminjamkannya. Apa sebutannya, ya?" Dia tampak berpikir, tentu dengan muka datar andalannya. "Dewasa sekali, ya."
Dia ini mau membunuhku, ya? Perkataannya itu loh, sangat menohok hati.
"Ti-tidak apa-apa, kok! Kebetulan saja hari ini aku bawa uang banyak!" Dengan cepat aku menarik satu tangannya dan mengepalkan selembar uang padanya- memaksanya untuk menerima. "Terima saja!"
Tatapan kami bertemu, Ice menatapku bingung. Begitu sadar atas kelancanganku, aku melepas genggaman tangan kami. Wah! Mau disengaja atau tidak, aku menggenggam erat tangan pemuda SMA!
"Kalau begitu, maaf, akan kuterima uang ini. Terima kasih banyak." Dia tersenyum manis, membuatku terhenyak sebentar. "Besok pasti akan kukembalikan."
Deg! Deg! Deg!
Senyumannya benar-benar manis. Sial! Wajahku terasa menghangat. Apaan, sih? Kenapa aku malah berdebar?! Dia itu anak SMA, tahu! Jadi, jangan mimpi!
***
Aku kembali ke tempatku makan, tapi baru saja aku duduk Taufan dan Cahaya malah meledekku.
Dengan cepat berkilah, "Aku cuma pinjamkan uang, karena dia lupa bawa. Padahal dia peringkat satu di sekolah, tapi tidak disangka ceroboh juga, ya."
"Oh, bukannya itu karena dia masih belum pakai pin peraknya?" tanya Cahaya.
"Eh? Memang apa hubungannya?" tanyaku heran dengan makanan yang masih di mulut.
"Kalau pakai ini, kita bisa makan gratis di kantin, loh!" jelas Cahaya antusias sembari menyentuh pin perak yang terpasang di kerah bajunya.
"Serius?"
Cahaya mengangguk. "Keuntungan lain, bisa dapat tunjangan pendidikan dan ongkos ke sekolah, loh."
"Gila, hemat biaya banget, dong."
"Tapi, itu tidak ada hubungannya dengan kita berdua ya, (Name)," ujar Taufan lesu.
"I-iya."
Kami berdua sadar jika nilai kami sangat mencengangkan- dalam artian sangat rendah.
Cahaya menepuk satu kepalan tangannya pada tangan lain yang terbuka, melakukan gestur seolah dapat pecahkan masalah. "Oh, aku paham sekarang! Hali berjuang keras karena dia ingin dapat pin perak--"
"Jelas bukan," ucapku dan Taufan kompak.
"(Name), judes banget kayak ibu tiri," celetuk Cahaya.
Taufan hanya tertawa kecil menanggapinya lalu mengeluarkan ponsel pintarnya dari saku. Spontan aku berdiri dan menggebrak meja. "A-apa yang kaulakukan?! Berani banget pakai HP di sekolah! Nanti disita!"
Pemuda bertopi miring itu seketika kicep. "Eh? Aku sudah baca peraturan sekolah ... dan memang tidak dilarang, kok."
"Kalau di kelas sih, kita jelas harus jaga tata krama dengan pakai mode getar," jelas Cahaya.
"Eh? Begitu, ya?" Dan benar saja, saat kulihat sekeliling, memang banyak murid yang bermain gawai di sela acara makan mereka.
"Boleh aku minta nomor HP-mu?" tanya Taufan pada Cahaya.
"Boleh," balas Cahaya dengan senang hati.
Padahal pas zamanku dulu masih dilarang dan kalau disita bisa sampai sebulan penuh! Tapi, sekarang dimarahi pun tidak?! Dan lagi-lagi Ying memperhatikan tempatku dengan lurus di meja paling pojok.
To be continued~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro