03
Mengingatkan kembali kalau Cahaya di sini perempuan, ya ... Fem!Cahaya
.
.
Hangat matahari merambat masuk ke dalam kamar mengusikku yang masih ingin berbetah di atas kasur. Walau enggan, tapi aku harus bangun. Gosok gigi kemudian mencuci muka merupakan rutinitasku setiap bangun tidur meski masih setengah sadar. Selesai mengeringkan muka, aku menatap cermin. Kok rasanya ada yang aneh? Entah kenapa, aku kelihatan lebih muda.
Lalu, aku ingat perkataan Ying semalam bahwa obat itu berefek mengembalikanku jadi muda kembali.
Seketika aku berteriak, "GYAAAAAAAAAA!" Kemudian kelabakan mencari obat pemberian Ying semalam. Mataku terbuka lebar menemukan obat itu telah raib dari tempat seharusnya dan di sampingnya--- botol minum yang tersisa sedikit.
Kakiku langsung lemas. "Kenapa malah aku minum, sih?! Mana ada yang mau meminumnya, coba?! Mencurigakan benget, kali!" cercaku.
Ayo berpikirlah bagaimana bisa hanya karena sebutir obat, aku bisa kembali menjadi seorang gadis berumur 17 tahun. Sampai akhirnya bunyi bel menghentikan aksi panikku.
Mengintip dari celah pintu siapakah gerangan yang datang pagi-pagi seperti ini.
"Selamat pagi, Nona (Name)~" sapa Ying dengan melambaikan tangannya. Untuk apa orang itu datang kemari?
Kubuka pintu dengan lebar. "Kamu langsung meminumnya, ya?"
Aku menutupi sebagian wajah dengan satu tangan. "Entah karena melindur atau apa, aku sama sekali tidak ingat meminumnya."
Dia tertawa kecil. Tangannya mengangkat dua kardus berukuran besar yang terletak di sampingnya--- biar aku tebak, isinya pasti berat. Bagaimana bisa Ying mengangkatnya sendirian?
Seolah mengerti aku yang masih linglung, dia kembali membuka mulut. "Saya hanya ingin memastikan kamu meminum obat yang saya berikan dan sudah saya duga Nona akan meminumnya, meski dalam keadaan tidak sadar~"
"Astaga, bagaimana kau bisa tahu?"
"Karena saya selalu mengawasimu. Sebagai pengawas subjek ReLIFE, saya harus memastikan Nona (Name) tidak membuang obatnya." Ying kemudian mengangkat kardus yang dibawa bersamanya. "Bisakah saya masuk? Tak baik loh berbicara di depan pintu~"
"O-oh, silakan ...," ujarku dengan kaku, sadar bahwa sudah berperilaku tak sopan pada tamu.
Singkat cerita, Ying menjelaskan kepadaku tentang sekolah yang akan aku masuki dengan panjang lebar, sangat detail, sampai-sampai aku terus menguap di tengah ocehan Ying. Sungguh tak bisa dipercaya, aku harus masuk sekolah kembali.
Setelah selesai dengan penjelasan yang begitu panjang, Ying menyodorkan secarik kertas di atas meja (dalam artian kepadaku). "Kalau kamu menerimanya, silakan langsung tanda tangani kontraknya." Kemudian menyerahkan sebuah pulpen.
Rasanya ... ini jauh di luar logika ... Tapi, kalau sudah sejauh ini, apa yang terjadi, terjadilah! Kalau aku bisa menjalaninya dengan baik selama satu tahun, maka aku bisa dapat kerjaan!
Dengan mantap aku serahkan kertas kontrak tersebut. "Aku terima tantanganmu, ReLIFE!"
Ying tersenyum lebar, sampai matanya tampak menyipit. "Baik, semoga kamu dapat mengulangi hidup lebih baik lagi."
Kami langsung berjabat tangan. "Mohon kerja samanya."
*****
Namun, dari sekian banyaknya penjelasan, ada yang harus kudengar baik-baik; "Setelah satu tahun masa eksperimen ReLIFE berakhir. Segala hal tentangku akan sepenuhnya dihapus dari ingatan teman sekelas, guru, dan semua orang yang berhubungan denganku. Semua demi memastikan (Full name) berumur 17 tahun, tidak ada di masa ini. Tapi, ingatanku tidak akan ada yang dihapus. Karena kalau dihapus, maka program ini tidak ada gunanya. Hanya saja... seandainya aku membocorkan tentang rehabilitasi ReLIFE ini, maka eksperimen akan dihentikan dan ingatanku selama menjalaninya akan dihapus."
* * * * *
Sekarang aku sudah ada di depan sekolah yang dimaksud oleh Ying. Terlihat luas dan beberapa pohon rindang tampak mengelilingi area sekolah. Bunga sakura tampak berguguran sebagai ciri khas musim semi. Rasanya aku bernostalgia kembali dengan memakai seragam sekolah dan membawa tas.
Oke, kini aku harus mencari kelasku. Sepanjang lorong banyak murid yang berkeliaran dengan sesekali melirik ke atas pintu, melihat nama kelas yang tercantum di pintu. Setelah keliling hampir satu sekolah— aku jadi seperti anak hilang, sungguh memalukan —akhirnya ada yang berbaik hati menunjukkan arahnya. Aku masuk di kelas 3-3, masih belum penuh. Ingin aku sapa mereka, tapi aku jadi kikuk sendiri, secara umurku berbeda sepuluh tahun dari mereka.
Dengan acak, aku duduk di bagian belakang. "Sip! Bangku paling belakang berhasil aku amankan!" ujarku senang.
Sampai ada seorang pemuda yang menepuk pundakku pelan. "Maaf ... di situ tempat dudukku."
"Eh?"
Pemuda ini bermanik aquamarine yang menyejukkan. Syal yang lumayan panjang melilit longgar lehernya, dia juga memakai topi yang menurutku arah topinya terlalu ke bawah, malah hampir menutupi arah pandangnya.
Di tengah keterpakuanku, dia berujar dengan suara yang datar, "Di papan tulis depan sudah diumumkan kalau tempat duduknya berdasarkan absen." Ia menggerakkan telunjuknya ke depan kelas.
Masa, sih? Aku tadi enggak lihat, lho.
... atau jangan-jangan karena terlalu gugup, aku jadi tidak sadar.
"Eh? Be-begitu, ya?" Dengan muka memerah, aku segera bangkit. "Te-terima kasih banyak. Saya permisi dulu ...."
Gila. Langsung bikin malu! Mana bahasaku formal banget!
Dari arah samping kanan terdengar suara cekikikan. Rupanya Ying tengah menertawakanku. Jadi ... dari tadi dia lihat, dong?! Awas saja, kau!
Setelah memeriksa kembali pengumuman di depan, ternyata tempat dudukku ada di dekat jendela, keempat dari depan.
Ya Tuhan, kuatkan aku. Ini baru hari pertama sekolah, tapi aku malah mempermalukan diri sendiri.
***
Seperti sekolah lainnya. Sesi perkenalan sebagai keharusan awal masuk sekolah, meski sudah kelas 3, tapi kami harus kenalkan diri terlebih dahulu. Karena di kelas 3-3 ini sudah pasti berasal dari kelas yang berbeda saat kelas 2, memang ada sih beberapa orang yang dulu sekelas bareng.
Giliran pertama adalah Ying. Yang mengagetkannya, "Sebelumnya kelas 2-3"? Jadi, tahun lalu juga bersekolah di sini?! Apa maksudnya?! Eh? Jangan-jangan dia itu bukan orang dewasa, ya?! Aslinya bocah SMA?! Enggak, enggak, mana mungkin!
Seterusnya ... pemuda yang tadi. "Namaku Ice, sebelumnya dari kelas 2-3. Aku tidak mengikuti eksul apa pun. Salam kenal semuanya." Suaranya begitu datar dan tanpa senyuman sama sekali. Benar-benar lempeng tanpa celah.
Dingin-dingin ternyata ramah, ya.
"Ice itu peringkat satu di sekolah kita, 'kan?" suara bisikan berupa tanggapan untuknya.
Oh, pasti selalu ada ya tipe murid teladan begitu. Berada di dalam kumpulan bocah SMA yang muda dan menyilaukan selama setahun ... Haaah.. Apa aku pantas berada di sini? Beda generasi, beda otak pula.
"(Name)!"
"Selanjutnya, (Name)!"
Karena keasyikan melamun, aku jadi tak sadar sedari tadi dipanggil guru. Oke! Sekarang sesi perkenalan diri, harus berkesan!
Aku langsung berdiri tegap dan dengan lantang aku berujar, "Nama saya (Full name), dan baru pindah tahun ini. Maka dari itu, saya tidak mengikuti eksul. Ada banyak hal yang tidak saya mengerti dan membuat cemas. Jadi mohon bimbingannya!"
"Murid baru? Kaku, pakai bahasa formal pula," komentar semua yang di kelas.
Perkenalan diri sih tinggal kedip, beres. Aku hanya tinggal menopang dagu sambil menunggu giliran yang lainnya.
"Uhuk ... uhuk! Namaku Halilintar ... uhuk! Maaf, aku sedikit masuk angin. Uhuk! Aku anggota tim sepak bola. Salam kenal semuanya. Uhuk ..."
Setidaknya, aku harus ingat nama tetangga sebelah. Halilintar, pemuda yang batuk-batuk. Halilintar, Si Batuk.
Giliran siswi di depanku untuk perkenalan. Sedikit tomboi, tapi manis. Apalagi dengan hiasan jepit bersimbol matahari di rambut semi panjangnya. "Namaku Cahaya dari "klub langsung pulang". Salam kenal semuanya."
Cahaya, cewek gaul.
Berikutnya pemuda bertopi miring ...? Kenapa di sekolah ini tidak dilarang memakai topi, sih?! Dia duduk di samping Cahaya dan belakangnya itu tempat duduk Halilintar. Kulihat dia berdiri dan memperkenalkan diri. "Namaku Taufan, dan aku pun pindah tahun ini. Tadi pagi aku langsung kesasar dan terlambat. Salam kenal semuanya." Ceria dan penuh senyuman. Sepertinya dia anak yang supel.
Ternyata ada murid baru selain aku, ya.
Taufan menoleh padaku dan berbisik, "Sebagai sesama murid baru, kita saling bantu ya, (Name)?"
"Oh ... iya, sama-sama," balasku pelan.
"Nah, karena semua sudah memperkenalkan diri ..." Guru di depan kemudian menuliskan sesuatu di papan tulis. "Kita langsung ujiannya."
"HAAAAH?!!!" Sontak aku berdiri dan berteriak. Alhasil terjadilah kegegeran karenaku dan dijadikan bahan tontonan, spontan saja kututup mulut dan kwmbali duduk.
Ujian?! Enggak ada yang kasih tahu! Menoleh ke barisan belakang, tempat duduk Ying, lekas mendelik padanya dengan tatapan minta penjelasan. Tatapan kami bertemu, dia hanya mengendikkan bahu acuh. Heh?! Jangan pura-pura tidak tahu, ya?!
Menetralkan kembali rasa kesal yang sempat muncul, aku menghela napas pelan kemudian mencoba duduk dengan tenang. Tapi, begini-begini aku sudah lulus kuliah, sih. Sudah dewasa, sih. Bisa jadi mengerjakannya tinggal merem, beres. Dengan entengnya, aku berpikir demikian. Tapi ... saat aku mengubek-ubek isi tas, kok ada yang kurang ya ...? Hm.. begitu kuperiksa ke dalam tas, ternyata- TIDAK ADA TEMPAT PENSIL!!
Baru hari pertama saja sudah separah ini.
Padahal yang namanya anak sekolah, sudah jadi kebiasaan memasukkan tempat pensil ke tas. Terus, kenapa kebiasaan itu hilang setelah dewasa, ya?
"Baiklah, ujian dimulai!"
Gimana ini ...? Aku mana bisa jawab soal ujian kalau satu pensil pun tidak aku bawa. Kalau suasana sudah begini, apa harus kupanggil guru? Apa yang harus kulakukan?! Tiba-tiba dari tetangga (baca: samping), ada yang mengulurkan pensil serta penghapus.
Hali ... lin ... tar?
Meski malu, terpaksa aku terima jika tidak ingin ditegur guru. Aku ambil alat tulis darurat itu dari tangan Halilintar dengan semburat merah di muka.
"Makasih ..."
.
.
.
Begitu bel tanda istirahat berdentang, segera aku berterima kasih pada Halilintar atas bantuannya tadi. Karena setelah istirahat, masih ada dua pelajaran lagi yang akan diujiankan, takut tidak keburu mengucapkannya.
"Anu, Halilintar ... Makasih, tadinya aku bingung harus apa," ujarku seraya menggaruk tengkuk yang tidak gatal. Kalau tidak ada dia, mungkin aku sudah mampus karena tidak bisa mengerjakan ujian barusan.
"Gak apa-apa. Pakai aja dulu sampai ujian sele- uhuk ... uhuk ...!" ucapannya terpotong karena terbatuk kembali.
"Kau baik-baik saja?" tanyaku khawatir.
Dia berusaha menghentikan batuk. "Ga- uhuk ... uhuk ...! apa-apa ..."
"Padahal izin dulu sehari. Jangan dipaksakan masuk." Aku menatapnya kasihan. Memang selama ujian tadi berlangsung Halilintar hanya beberapa kali batuk, tapi saat mulai berbicara, batuknya mulai tidak terkontrol.
"Jangan bodoh deh, masa baru hari pertama langsung bolos?" Rasa khawatirku malah dibalasnya dengan ketus. Hei, aku peduli tau!
"Bo-"
"Lagian ... khusus ujian ini, aku harus habis-habisan," gumam Halilintar. Kendati suaranya kecil, aku masih mampu mendengarnya.
Cahaya memutar badannya ke belakang dan ikut alur percakapan antara aku dan Halilintar. "Soalnya, Hali benci banget kalah, sih."
"Hah? Apa maksudmu?!" Halilintar langsung mengelak dengan cepat.
"Ujian ini menentukan siapa yang akan jadi ketua kelas semester satu. Tahun kemarin, Hali jadi ketua kelas tiga semester berturut-turut. Soalnya, kau selalu dapat peringkat satu di kelas, 'kan?" Cahaya membeberkan semuanya.
"Eh? Hebat ..." pujiku.
"Tapi ... sayangnya tahun ini harus sekelas sama peringkat satu sekolah, Ice. Makanya, dia mana bisa bolos. Yang ada malah makin semangat," jelas Cahaya seraya melirik tempat duduk Ice di belakang.
Seketika Halilintar meledak mendengar penuturan Cahaya. "Jangan seenaknya ember ini-itu, deh!" Sepertinya tidak salah lagi kalau dia risih dengan eksistensi Ice di kelas ini.
"Maaf ...," ucapku dan Cahaya bersamaan.
"Eh? Kenapa aku juga?" tanyaku bercanda.
"Diam!"
"Lah ..."
Pertengkaran kami ternyata diperhatikan Taufan sedari tadi. Coba lihatlah, dia menahan tawa dengan sebelah tangannya.
***
Jam sekolah telah usai beberapa menit yang lalu. Aku tidak langsung pulang, karena mengistirahatkan otak dulu. Meletakkan kepala di atas meja barang sebentar. Sumpah, kepalaku pusing. Melihat satu nomor saja, nyatanya aku ingin pingsan. Walau sudah berusaha menghitungnya dengan kemampuan maksimal, tapi ya ... sepertinya gagal, percuma. Apalagi kalau bukan matematika.
Berakhir sudah ... Entah mau yang mana, pokoknya sudah berakhir ... Tidak ada satu pun jawaban yang keluar. Memangnya dulu aku pernah mengerti yang begituan, ya?
Pulang, ah.
Berjalan lunglai dan terseok-seok. "Ah, memalukan-"
"Memang memalukan sekali, ya." Ying memotong keluhanku, dia bersender di dekat pintu gerbang, mungkin dia sejak awal sudah berniat mencegatku pulang.
"Kau ...!"
"Baru hari pertama langsung diterjang badai, ya," komentar Ying lalu melangkah duluan.
"Memangnya salah siapa, coba?!"
Dia menatapku sekilas. "Bukannya itu jelas-jelas karena kesalahanmu sendiri, (Name)?"
Kami berjalan beriringan ditemani langit sore yang sudah berubah menjadi jingga.
"Sebenarnya mana yang benar? Kau ini anak SMA atau orang dewasa?" tanyaku sangsi.
Gadis berkucir dua itu tersenyum jahil. "Entahlah, kira-kira yang mana~ ?"
"Jangan sok imut dengan berlagak, 'Coba tebak berapa umur aku?!'"
"Hihihi~ Aku sudah dewasa, kok. Pekerjaanku adalah mencatat kegiatanmu selama satu tahun dan melaporkannya. Kami, pengawas, memang diwajibkan supaya bisa membantu subjek di lapangan."
"Kenapa dirahasiakan segala?" tanyaku dengan kesal.
"Jelas karena aku tidak sabar ingin melihat wajahmu yang terkejut~ ♪" ucapnya dengan nada sing a song - aura bunga-bunga kembali menguar dari Ying.
"Dasar sadis!" sambarku. "Berarti, sebelumnya di kelas 2-3 itu benar? Terus, buat apa tahun lalu juga sekolah?"
"Untuk studi lapangan," ucapnya singkat.
"Studi?"
"Soalnya, seorang pengawas harus bisa membantu subjek di segala aspek kehidupan remaja."
"Masuk akal."
"Lalu, bagaimana rasanya kembali menjalani kehidupan SMA?" tanya Ying mengalihkan topik.
Aku sudah hafal dengan gelagatnya. Pasti Ying tengah menyindirku mengenai peristiwa 'kelupaan bawa tempat pensil' tadi pagi.
Mendengkus pelan lalu menyahuti pertanyaannya, "Bagaimana apanya? Kacau balau begitu."
"Ahaha~ Terlihat jelas memang," timpalnya lalu tertawa renyah.
Teringat dengan kegelisahanku sejak masuk kelas, aku mulai menggerundel, "Kenapa harus langsung kelas 3? Selain sudah punya geng masing-masing, semua juga keteteran karena dekat UN. Kelas 3 itu masa-masa paling merepotkan, tahu."
Aku tidak langsung dapat sahutan dari Ying, dia menghentikan langkahnya, sehingga aku yang memimpin di depan. Saat kutengok ke belakang, sorotan matanya begitu lurus dan wajah bagian atas tampak menggelap.
"Jelas harus seperti itu." Suara yang dingin, begitu juga dengan tatapannya. "ReLIFE adalah suatu program yang dikhusukan untuk merehabilitasi NEET. Lalu, apa gunanya kalau terlalu mudah?"
Aku jadi merasa bersalah. "Oh ... Benar juga, ya."
Ying kembali tersenyum. "Terima kasih atas pengertianmu." Kemudian tangannya dilipat ke belakang. "... Selanjutnya, tolong jangan terlalu bergantung kepadaku terus, ya. Tidak ada gunanya orang dewasa saling bekerja sama menghadapi dunia remaja SMA."
Alur percakapan kami berubah menjadi serius.
"Iya, aku tahu. Aku juga mengincar jaminan hidup selama setahun, dan pekerjaan setelah ini. Aku tinggal lewati satu tahun ini tanpa mencolok bagai bayangan dalam gelap."
Aku sudah bilang pada Emak untuk tidak mencemaskanku, dengan mengatakan bahwa aku mendapat kontrak kerja setahun- tidak bilang bahwa sebenarnya aku menjadi subjek ReLIFE. Beliau memang ibu yang terkadang galak padaku, tetapi sebagai anaknya, aku tahu dia takut jika hidupku nanti akan sengsara bila berjauhan dengannya.
"Begitu, ya? Bisa juga dengan menikmati waktu dan menghabiskannya perlahan. Sebenarnya, kami ingin kamu menghabiskan masa ReLIFE ini dengan sebaik mungkin." Angin berembus lembut mengiringi ucapan Ying. Ia menghentikan kakinya dan menghadap padaku seraya tersenyum ceria. "Oh, iya. Di sekolah tidak usah pakai formalitas, jadi cobalah senatural mungkin. Aku juga tidak keberatan kalau kamu menyapaku dengan santai."
"I-iya."
"Oh, dari awal juga memang sudah santai, ya?" Ia menepuk jidatnya. "Dasar tidak punya sopan santun. Kalau begitu ... Sampai jumpa besok, (Name) ~ ♪"
...
14 April, hari pertama sekolah.
Karena tidak memeriksa jadwal pelajaran, ia pun jadi kewalahan menghadapi ujian. Walau begitu, apa yang terjadi dalam satu tahun ke depan masih belum dapat ditebak.
Berbeda dengan Subjek No. 001 yang gagal ... (delete)
Subjek No. 002, (Full name). Ke depannya ia pasti sanggup memberi warna baru dalam kesempatannya mengulangi hidup.
To be continued——
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro