Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

60 - REASON

Assalamualaikum semuanya. Selamat tahun baru. Dan, semoga sehat selalu untuk semuanya. 

HAPPY CHAMOMILE'S DAY 🌼

Maaf ya baru bisa update lagi sekarang. Sebenarnya mau update minggu lalu tapi file Chamomile part 60 tiba-tiba hilang. Makanya aku butuh waktu untuk nulis ulang part 60-nya. 

Semoga teman-teman Pasukan Pembaca semua sealu suka Chamomile. 

Dan, aku juga ada info mengenai Pre Order Chamomile ^^

Pre Order Novel Chamomile diundur bulan Januari 🌼

Aku dan tim penerbit @loveable.redaksi bakalan siapin banyak kejutan untuk kalian di Novel Chamomile. Jadi, ditunggu dengan sabar ya ❤️

Bagi yang udah ikut tim nabung juga jangan khawatir. Tabungan kalian bakalan tetap aman dan Novel kalian juga bakal dikirim setelah pre order Chamomile nantinya ❤️

Jadi, siap nabung dari sekarang ya. Masih ada waktu ❤️

SELAMAT MEMBACA CHAMOMILE ^^

****

"Alen."

Baik Alen, Alan dan Alfin langsung membalikan badan mereka, melihat sang pemilik suara. Ketiganya nampak terkejut saat menemukan Jeris dan Felis sedang berjalan ke arah mereka. Ya, Jerislah yang memanggil Alen.

"Males banget ketemu lo semua," sinis Felis menyambut ketiganya.

Alan mendekatkan tubuhnya ke Alen, seolah kehadiran Felista sedikit berbahaya bagi Alen.

"Ha... Hai, Kak." Alen berusaha untuk tetap bersikap ramah, membalas sapaan Jeris.

Tatapan sinis Felis semakin kentara. Dia melirik ke Alen sekilas kemudian berpindah menatap Alan dengan senyum meremehkan.

"Lo masih aja pacaran sama cewek bodoh, Lan?" ucap Felis tanpa ada takutnya.

Alan menahan amarahnya. Tentu saja Alan tidak terima dengan ucapan Felis.

"Alen nggak bodoh, Fel," balas Alan tajam.

Felis tersenyum miring.

"Tapi goblok? Gitu maksud lo? Rendah banget selera lo."

"Fel jaga ucapan lo," peringat Alan.

"Kenapa? Lo mulai marah? Gue suka banget buat lo marah," tantang Felis dengan berani.

Kedua tangan Alan perlahan terkepal, menahan semua emosi yang mulai meluap.

"Urusan lo sama gue Fel. Jangan ganggu Alen."

"Ya karena urusan lo sama gue buat gue lebih suka gangu pacar bodoh lo. Karena dengan gue ganggu pacar lo, gue bisa lihat kehancuran emosi lo. Itu tujuan gue!"

Alan mendekat satu langkah, menunjukan ketidak takutannya.

"Gue nggak akan pernah biarin lo ganggu Alen," peringat Alan sungguh-sungguh.

"Dan, gue nggak akan segan terus ganggu pacar lo biar lo lebih hancur!" balas Felis tanpa takut.

Felis memberikan sorotan penuh kebencian ke Alan. Dan, Alan sendiri bisa merasakan itu. Keadaan tiba-tiba terasa lebih tegang. Alen yang sedari tadi berada di belakang Alan hanya bisa diam, menahan rasa takutnya.

"Fel udah." Jeris mengambil inisiatif duluan untuk menghentikan pertikaian mereka. Jeris sedikit menyesal karena menyapa Alen, membuat Felis dan Alan bertengkar.

"Apanya yang udah? Buat gue ini belum apa-apa Jer," elak Felis tak mau mengalah.

"Kita di tempat umum Fel," tambah Jeris.

Felis menatap Jeris dengan jengah.

"Terus kenapa kalau tempat umum?" pekik Felis sedikit kesal dengan Jeris.

Jeris menyerah, berdebat dengan Felis malah akan menambah kekeruhan. Felis terlihat tidak peduli dengan orang-orang yang berlalu-lalang di sekitarnya.

Felis kembali menatap ke Alan kemudian berjalan mendekat.

"Gue benci sama lo dan akan selalu benci sama lo! Lo harus bayar semua perbuatan lo dan gue nggak akan berhenti sampai lihat lo hancur, Lan!" ucap Felis mengeluarkan perasaanya.

Alan ingin membalas Felis. Namun tiba-tiba Alfin mencegahnya. Alfin menduluinya dan mendekat tepat di depan Felis dengan tatapan yang cukup tenang.

"Redahin emosi lo," pinta Alfin baik-baik.

"Nggak bisa dan nggak akan pernah.

"Felista."

"Nggak usah panggil gue dengan nada seperti itu!"

"Cukup Fel."

Felis membuang muka sejenak, mengambil napas panjang. Emosinya bukannya meredah malah semakin memuncak karena Alfin.

Felis kembali menatap Alfin, lebih tajam.

"Bela aja terus teman lo. Gue mulai terbiasa dengan sikap abai lo!"

"Gue ngg..."

"Lo nggak usah sok peduli lagi! Gue juga benci sama lo Alfin!" Felis memotong ucapan Alfin begitu saja, kemudian pergi dari hadapan Alfin, Alan dan Alen. Melihat Felis yang pergi dengan langkah cepat, membuat Jeris segera menyusul Felis.

Kejadian terjadi begitu cepat. Baik Alan, Alen dan Alfin nampak sedikit kaget dengan sikap dan tindakan Felis.

"Ayo kita pulang," ajak Alfin masih berusaha bersikap tenang.

Alan membalikan badan, ia menatap Alen yang masih mematung kaku.

"Masuk ke mobil dulu," pinta Alan hangat.

Alen mengangguk menurut. Dengan langkah berat, Alen segera masuk ke dalam mobil. Setelah itu, Alan berjalan mendekati Alfin.

"Lo nggak apa-apa?" tanya Alan.

Alfin mengerutkan kening bingung.

"Harusnya gue yang tanya ke lo seperti itu," balas Alfin.

Alan mendecak pelan.

"Maaf Fin," ucap Alan sungguh-sungguh.

"Berhenti minta maaf."

"Gue ha..."

"Gue bosen dengernya," potong Alfin cepat.

Alan terkekeh pelan.

"Ayo pulang," ajak Alan.

Alfin menggeleng.

"Lo pulang aja duluan sama Alen."

Kini giliran Alan yang menatao Alfin dengan bingung.

"Lo nggak ikut pulang?"

"Hibur Alen. Dia kelihatan takut dan sedih."

Alan terdiam sejenak, tak menyangka Alfin sampai berpikiran seperti itu. Detik berikutnya, Alan tersenyum kecil.

"Beneran nggak apa-apa gue tinggal dulu?"

"Gue bukan bayi."

Alan tertawa.

"Gue duluan kalau gitu. Salam ke Felis," goda Alan.

"Gue nggak nemuin Felis," elak Alfin cepat.

Alan mencibir pelan. Ia menepuk pelan bahu Alfin.

"Gue yakin setelah ini lo akan nyamperin dia."

"Buruan pergi!" usir Alfin, menepis kasar tangan Alan dari bahunya.

Alan tertawa kembali, puas melihat ekspresi Alfin yang terpojokan. Alan kemudian mengangguk dan bersiap beranjak.

"Lo hati-hati pulangnya."

Alfin mengangguk balik. Ia melihat Alan masuk ke mobilnya. Dan, tak lama kemudian mobil Alan beranjak dari hadapan Alfin.

Sepeninggal Alan, Alfin segera mengeluarkan ponselnya. Ia mencari sebuah nama di kontak ponselnya. Kemudian menelfon nomer tersebut, menunggu sampai sambungan diterima.

Namun, panggilan Alfin ditolak dalam hitungan detik. Alfin menatap layar ponselnya dengan helaan napas panjang.

"Sepertinya dia beneran benci gue."

*****

Sepanjang perjalanan tidak ada suara Alen yang terdengar. Alan beberapa kali melirik ke samping, memperhatikan Alen yang diam saja dengan tatapan kosong ke depan.

Alan merasa bersalah sekaligus khawatir dengan sang pacar. Alan pun berpikir keras, mencari solusi untuk menghibur Alen.

Setelah menemukan ide terbaik di kepalanya, Alan langsung memutar balik mobilnya.

"Kak kenapa putar balik? Kita nggak jadi pulang?" Untuk pertama kalinya Alen membuka suara.

Alan menggeleng pelan.

"Nggak jadi."

Alen menoleh ke Alan, menatap cowok itu dengan bingung.

"Terus kita mau kemana?"

"Toko es krim," jawab Alan.

"Toko es krim? Kak Alan mau beli es krim buat siapa?"

Alan tersenyum kecil.

"Buat pacar aku biar nggak sedih lagi."

*****

Alan dan Alen menikmati es krim mereka di taman belakang yang ada di toko es krim Chamolato. Toko es krim langganan mereka berdua sejak SMP.

Alan tak ada hentinya mengamati Alen, gadis itu terlihat lebih membaik dan menikmati es krimnya.

"Alen," panggil Alan.

Alen menoleh.

"Iya, Kak?"

"Maaf."

"Untuk?"

"Gara-gara gue Felis terus ganggu lo dan benci sama lo."

Alen menggeleng kecil.

"Bukan salah Kak Alan. Gue yakin, tanpa karena Kak Alan pun, Kak Felis pasti nggak suka sama gue."

Alan meletakkan cup es krimnya, kemudian meraih tangan kanan Alen dan mengenggamnya erat.

"Jangan takut ya. Gue akan selalu di samping lo."

Alen tersenyum kecil, kemudian mengangguk.

"Iya, Kak. Makasih."

"Gue akan selalu jaga lo," tambah Alen sungguh-sungguh.

Alen mengangguk-angguk seperti anak kecil. Hatinya terasa lebih lega saat ini. Jujur, keberadaan Felis memang cukup mengganggunya. Namun, Alen berusaha untuk tidak takut dan selalu percaya Alan akan ada untuknya.

"Kak Alan gue boleh tanya?"

"Boleh. Tanya apa?"

Alen bergumam pelan, berhati-hati untuk mengutarakan pertanyaannya.

"Sebenarnya ada masalah apa antara Kak Felis, Kak Jeris dan Kak Alan? Kenapa mereka berdua benci sama Kak Alan?"

Alan langsung terdiam setelah mendengar pertanyaan Alen. Nampak sedikit terkejut Alen menanyakan kembali pertanyaan itu. Dan, Alen bisa merasakan kebimbangan di tatapan Alan.

"Kalau Kak Alan belum siap cerita nggak apa-apa. Jangan dipaksa."

Alan menggeleng kecil.

"Gue akan cerita, Len."

*****

Alan mengembuskan napasnya pelan-pelan, bersiap untuk cerita. Alan mengingat kembali awal kejadian yang membuat pertemanannya dengan Felis dan Jeris rusak.

"Kejadian itu terjadi, satu hari sebelum ujian akhir semester. Waktu gue dan mereka kelas satu SMA. Gue nggak sengaja lihat Jeris dan Felis curi lembar soal ujian." Alan memulai ceritanya yang mengejutkan Alen saat itu juga.

"Kak Jeris dan Kak Felis curi kertas soal ujian? Bukananya Kak Jeris pintar ya orangnya?" heran Alen karena dari pengalamannya saat Jeris mengajarinya, Alen bisa tau bahwa Jeris termasuk siswa yang cerdas.

Alan mengangguk.

"Mereka memang pintar. Sangat pintar malah. Gue juga awalnya kaget lihat mereka curi kertas ujian itu. Saat itu juga Mereka mohon sama gue agar gue nggak laporin mereka."

"Kak Alan tetap laporin mereka?" tebak Alen.

"Iya, gue tetap laporin mereka ke kepala sekolah dan buat mereka dapat skros."

"Wah, nggak nyangka banget," seru Alen masih tak bisa percaya.

"Gue akhirnya tau alasan mereka sampai berani mencuri kertas soal ujian."

"Apa Kak Alasannya?" Alen semakin penasaran.

"Tekanan orang tua mereka yang cukup keras, ingin mereka dapat peringat satu."

Alen mengerutkan keningnya.

"E... Emang sesusah itu Kak dapat peringat satu?"

"Sangat susah. Alfin nggak pernah bisa dikalahin."

"Ka... Kak Alfin?"

"Iya. Alfin selalu di peringat pertama, gue kedua, Jeris dan Felis saling balapan diurutan ke tiga dan keempat."

Mulut Alen tanpa sadar terbuka sempurna, tak menyangka dengan fakta tersebut.

"Kak Alfin beneran sepintar itu Kak?" tanya Alen memastikan lagi.

Alan tertawa kecil melihat ekspresi lucu Alen.

"Lo nggak percaya?"

"Sedikit susah dipercaya. Apalagi lihat sikap Kak Alfin yang menyebalkan dan tak bisa ditebak," ungkap Alen jujur.

"Dia memang gila dan jenius. Gue pun nggak bisa kalahin kepintaran dia."

"Baru kali ini gue takjub dengan Kak Alfin."

"Ya karena Alfin susah dikalahkan. Buat Felis dan Jeris nekat curi soal jawaban ujian. Orang tua mereka yang merupakan donatur utama SMA kita, tidak mau semakin malu. Akhirnya memilih mengirim Felis dan Jeris untuk pertukaran pelajar di new york selama tiga bulan."

"Pantesan awal masuk SMA gue nggak pernah bertemu mereka."

"Iya, mereka pergi dan balik lagi dengan kebencian sangat besar ke gue."

Alen menatap Alan lekat, Alen dapat merasakan kegusaran pada kedua mata Alan.

"Kak Alan nyesel udah laporin mereka?"

Alan menggeleng.

"Nggak. Gue yakin keputusan gue udah benar. Hanya saja, gue nggak pernah ingin pertemanan kita rusak."

"Kalian deket banget ya dulu?"

Alen mengangguk lemah.

"Sangat. Gue, Alfin, Jaka, Gesa, Felis dan Jeris berteman sangat dekat sejak kelas 1 SMA. Gue sangat bahagia punya mereka. Tapi, karena tindakan gue semuanya berantakan. Bahkan, Alfin, Jaka dan Gesa yang pilih bela gue pun harus ikut dibenci Felis dan Jeris juga."

"Kak Alan nggak nyesel tapi merasa bersalah?"

Alan mengangguk tanpa ragu.

"Merasa bersalah ke Alfin, Gesa, Jaka. Dan, sekarang..."

Alan menggantungkan ucapannya. Ia menatap Alen dengan sorot lemah.

"Gue merasa bersalah ke lo."

Alen menghela napas panjang, tak menyangka seorang Alan pun memiliki kekhawatiran yang cukup besar. Kini giliran Alen yang mengenggam erat tangan Alan, mencoba memberi kekuatan.

"Kak Alan nggak perlu merasa bersalah karena yang Kak Alan lakukan lebih dari benar. Dan, gue yakin suatu saat Kak Felis dan Kak Jeris akan mengerti dan berhenti benci Kak Alan."

Alan tersenyum kecil, ucapan Alen terdengar cukup menghiburnya.

"Mereka bisa berhenti benci gue?"

"Pasti bisa. Gue yakin."

Alan langsung menarik tubuh Alen dalam pelukannya, merasa sangat bersyukur memiliki Alen di sampingnya.

"Makasih Alen. Harusnya gue yang hibur lo, malah lo yang harus hibur gue."

Alen membalas pelukan Alan, menepuk-nepuk pelan punggung sang pacar.

"Gue udah baik-baik aja, Kak. Dan, sekarang Kak Alan yang harus berusaha hilangin rasa bersalah Kak Alan."

"Iya, gue akan coba."

Keduanya saling merasakan kehangatan pelukan masing-masing. Hari ini benar-benar banyak hal yang tak terduga terjadi kepada Alen. Mulai dari keberadaan Jeris dan Felis dan Alen akhirnya bisa mendengar cerita permasalahan dari Alan, Jeris dan Felis.

"Semuanya akan baik-baik aja, Kak Alan. Bukan hanya Kak Alan aja yang akan selalu ada di samping gue. Tapi, gue juga akan selalu di samping Kak Alan."

Alan menjauhkan pelukannya, menatap Alen dengan lekat. Tangan Alan menyentuh pipi Alen, membelainya lembut.

"Aku sayang kamu, Alena."

******

#CuapCuapAuthor

BAGAIMANA CHAMOMILE PART ENAM PULUH? 

SEMOGA SUKA YA ^^

CHAMOMILE PART-PART BERIKUTNYA BAKALAN LEBIH SERU. WAJIB BANGET BUAT DITUNGGU YA ^^

Aku akan usahain untuk update segera. Dan, jangan lupa untuk nabung biar bisa peluk Novel Chamomile ^^

BTW, ADA YANG MAU LIHAT COVER-COVER CANTIK NOVEL CHAMOMILE NGGAK? ^^ 

SAMPAI JUMPA DI CHAMOMILE PART 61 SEMUANYA ^^

JANGAN LUPA TINGGALKAN VOTE DAN COMMENT YA. SELALU PALING DITUNGGU DARI TEMAN-TEMAN PASUKAN PEMBACA ^^

Jangan lupa juga untuk pantengin info-info tentang cerita Chamomile di Instagram luluk_hf dan lulukhf_stories yaa ^^

MAKASIH BANYAK TEMAN-TEMAN SEMUA YANG SUDAH SABAR MENUNGGU CHAMOMILE UPDATE. SELALU SAYANG KALIAN SEMUA. DAN, JANGAN LUPA JAGA KESEHATAN YAA ^^ 


Salam,


Luluk HF

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro