Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

59 - LARI PAGI

Assalamualaikum teman-teman pasukan pembaca semua. Apa kabar? Semoga sehat selalu ya. 

Alhamdulillah aku bisa update Chamomile part 59. Maaf ya updatenya belum bisa sering-sering. Dan, semoga teman-teman pasukan pembaca semua selalu suka Chamomile. Amin. 

DAN, SELAMAT MEMBACA CHAMOMILE

*****

Alan membuka kedua matanya saat mendengarsuara pintu terbuka. Alan mengedarkan pandangannya dengan kesadaran belum penuh dan menemukan Alfin baru keluar dari kamar mandinya.

Alan mencoba menegakkan tubuhnya dengan kening mengerut.

"Lo mau kemana?" tanya Alan bingung.

"Jogging," jawab Alfin dengan enteng.

Pandangan Alan beralih ke jam dinding kamarnya, masih pukuk setengah lima pagi. Bahkan adzan subuh saja baru berkumandang lima belas menit yang lalu.

"Serius lo jogging jam segini? Masih setengah lima Fin," ucap Alan dengan suara serak.

Alfin mengangguk tanpa beban.

"Hm, gue serius."

"Kita janjian jogging jam tujuh pagi bukan jam lima pagi!" kesal Alan.

"Gue akan ikut jam tujuh pagi. Sekarang gue mau jogging sendiri."

Alan menghela napas berat, ia mengangguk pasrah. Toh, dia juga tidak akan mencegah Alfin.

"Terserah lo," ucap Alan dan langsung merubuhkan tubuhnya kembali ke kasur. Alan memilih untuk tidak sebentar lagi.

Alfin terkekeh melihat wajah kesal Alan. Alfin segera mengganti bajunya. Dia memang sudah terbiasa bangun sepagi ini untuk jogging dan terkadang ia juga membantu Mamanya di dapur jika sedang di rumah.

Namun, sekeras apapun Alan ingin memejamkan matanya lagi, dia tidak bisa. Entah kenapa dia terusik dengan Alfin yang sudah bangun.

Akhirnya Alan hanya membuka matanya dan mengamati Alfin yang sedang sia-siap. Benar saja, cowok itu keluar dari kamarnya dengan kaos pendek dan celana pendek tanpa beban.

Alan geleng-geleng tanpa kata.

"Orang aneh!"

*****

Alarm Alen berbunyi nyaring tepat pukul lima pagi. Alen segera mematikan alarm ponselnya dan bangun. Alen memeriksa ponselnya, kedua matanya melebar saat melihat ada sepuluh panggilan dari Ara dan dua pesan dari Ara.

Cewek itu memang sudah gila!

Dari : Aira Flo Lily

Len seriusan lo bakalan jogging sama Kak Alfin besok?

Len serius?

Sumpah Len besok banget?

Nggak bisa diganti ya Len harinya?

Len gue nggak bisa besok pagi.

Len kenapa lo nggak baca chat gue!!

Len ganti dong harinya!

Len gue juga pengin jogging bareng Kak Alfin

Alen!!! Gue udah ngerengek ke Mama tetep gak boleh!!

Alen tolong gue!!

Alen lo udah tidur?

ALEEENAA!!!!

HM.... GUE PASRAH LEN MUNGKIN BUKAN REJEKI

Alen menghela napas panjang, ia masih tercengang dengan deretan pesan dari Ara. Semalam Alen memang langsung menelfon Ara memberitahu kabar bahagia tersebut. Namun, kabar bahagia itu tidak bisa disambut bahagia oleh Ara karena gadis itu ada acara keluarga di Bandung. Hari ulang tahun nenek Ara.

Alen masih ingat jelas bagaimana Ara teriak-teriak tidak jelas di telfon karena jadwalnya yang tabrakan. Dan, Alen sangat tau jika Ara sangat ingin ikut.

Alen menatap ponselnya dengan getir.

"Kasihan Ara."

Alen segera membalas pesan dari Ara, mencoba menenangkan sang sahabat. Setelah itu, Alen bergegas untuk mandi dan siap-siap.

****

Alen keluar rumah, melihat sebuah mobil BMW hitam terparkir. Alen dapat menduga itu adalah mobil Alan. Alen segera masuk ke dalam mobil.

"Pagi." Alen tak bisa menyembunyikan senyumnya saat Alan menyambutnya penuh senyum yang hangat.

"Pa..."

"Pagi, Len."

Alen tersentak kaget saat ingin membalas sapaan Alan, seseorang menyapanya terlebih dulu. Alen langsung menoleh ke kursi belakang, dan baru sadar ada sosok Alfin di sana.

"Kak Alfin sejak kapan duduk di sana?" tanya Alen refleks.

"Sejak dari rumah Alan," jawab Alfin santai.

"Ngapain di mobil Kak Alan?"

"Jadi nyamuk diantara kalian."

"Emang ada nyamuk sebesar Kak Alfin?"

"Buktinya ada di depan lo."

"Gue tetap ajak Alfin joggingjuga. Kasihan dia di rumah sendiri," jelas Alan. Semalam Alen sudah bercerita ke Alan kalau Ara tidak bisa ikut karena acara keluarga. Alen mengira Alan tidak jadi mengajak Alfin karena hal itu.

"Padahal gue nggak apa-apa di rumah sendiri," balas Alfin dengan wajah tak berdosanya.

Alan mendesis kecil mendengar balasan Alfin yang tak tau diri.

"Ayo berangkat Kak," ajak Alen menengahi percekcokan Alan dan Alfin.

Alan mengangguk, ia membantu Alen memasangkan sabuk pengaman Alen, kemudian segera beranjak menuju stadiun GBK.

*****

Jalanan hari minggu tidak terlalu ramai dan tidak macet. Alan bersyukur akan hal itu. Setidaknya mereka bisa segera sampai di lokasi. Alan beberapa kali melirik ke Alen, gadis itu sedang asik bermain ponselnya.

"Siapa yang chat?" tanya Alan ingin tau.

Alen tersentak sedikit kaget, ia menoleh ke Alan.

"Ara," jawab Alen lirih berusaha agar Alfin tidak tau.

Alan langsung mengangguk-angguk mengerti saat mendengar nama Ara disebut. Alan yakin gadis itu pasti masih meluapkan rasa frustasinya karena tidak bisa ikut.

"Habis jogging mau makan apa?" tanya Alan mengalihkan topik.

Alen bergumam pelan, berpikir keras.

"Gue mau makan bubur ayam," jawab Alfin dari belakang.

"Gue tanya Alen bukan lo," ketus Alan.

"Gue jawab buat diri sendiri," balas Alfin lebih ketus.

"Kita makan sesuai keinginan Alen," peringat Alan.

"Jadi nyamuk ternyata nggak terlalu asik," seru Alfin sengaja.

Alen terkekeh mendengar pertengkaran Alan dan Alfin seperti anak kecil. Namun, Alen juga sangat senang, Alan terang-terangan menunjukan rasa sayangnya bahkan di depan sahabatnya.

"Gue juga pengin makan bubur ayam, Kak," ucap Alen memberitahu Alan.

Alan terdiam sejenak, tak langusng menjawab. Alan menatap Alen sejenak.

"Lo pengin bubur ayam bukan karena nggak enak sama Alfin, kan?"

"Apa gue berubah jadi capung aja ya?" ucap Alfin mulai bermonolog sendiri.

"Fin, Diem!" peringat Alan tanpa menoleh ke belakang.

"Gue lagi ngomong sendiri."

Alen menggeleng.

"Enggak Kak. Bukan karena nggak enak sama Kak Alfin. Gue emang pengin makan bubur ayam."

"Bubur ayam dekat sekolah enak," tambah Alfin tak tau diri.

"Fin, lo lama-lama gue turunin di pinggir jalan!" ancam Alan.

Alfin tak menjawab, ia memilih langsung menutup rapat bibirnya. Bukan karena dia tak bisa melawan, hanya saja saat ini mereka sedang melaju di flyover tidak lucu jika Alfin harus turun di pinggir flyoverpagi-pagi seperti ini. Alfin mengalah saja.

Alan fokus ke Alen lagi setelah memastikan Alfin tidak mengganggunya.

"Beneran bubur ayam?" tanya Alan memastikan terakhir kali.

Alen mengangguk tanpa ragu.

"Iya Kak Alan."

"Oke, kita makan bubur ayam."

*****

Akhirnya mereka bertiga sampai di stadiun GBK yang lumayan ramai. Hari minggu memang biasa digunakan orang-orang untuk bersantai dan menghabiskan waktu libur mereka.

Alan menghampiri Alen, mengambil botol air yang sedari tadi dibawa oleh Alen.

"Gue bawain," ucap Alan penuh perhatian.

"Makasih Kak."

Alfin yang berada di samping Alan hanya bisa mendesis sambil geleng-geleng. Bagi Alfin ini pemandangan menakjubkannya untuk pertama kali, melihat Alan bersikap manis kepada pacarnya.

"Lan," panggil Alfin.

"Apa?"

"Katanya lo ajak satu orang lagi."

Ah! Alan dan Alen langsung saling bertatapan, tidak menyangka Alfin masih ingat hal itu dan menanyakan hal itu.

"Dia nggak jadi ikut," ucap Alan berusaha tetap tenang.

"Emang siapa?" tanya Alfin sedikit penasaran.

"Bukan siapa-siapa. Lo nggak kenal."

"Teman Alen?" tebak Alfin tak menyerah.

Alen dan Alan kembali terdiam, mereka sedikit panik karena serangan tak terdua dari Alfin.

"Iya Kak temen gue. Kak Alfin nggak kenal sama orangnya," ucap Alen berbohong.

Alfin tak merespon lagi, ia hanya mengangguk singkat setelah mendengar jawaban dari Alfin.

"Len, ayo lari pelan-pelan," ajak Alan dan langsung mengandeng tangan Alen. Mereka berdua segera menjauh dari Alfin, tidak ingin membiarkan Alfin bertanya lagi.

Sedangkan Alfin hanya bisa mendecak lebih kesal karena ditanggalkan. Alfin mengembuskan napas panjang.

"Apa fungsinya gue di sini?"

****

Keringat Alen berkucur dari ujung rambut hingga ujung kaki. Alen tidak menyangka Alan benar-benar mengajaknya jogging. Alen mengira Alan dan Alfin hanya akan berjalan santai atau pun menikmati udara pagi. Seperti kebanyakan orang.

Namun, Alan dan Alfin benar-benar lari dan olahraga dengan giat. Alen yang tidak enak, terpaksa mengikuti mereka tanpa bisa mengeluh.

"Kak gue nggak kuat," serah Alen menyerah untuk lari lagi.

Alan segera mendekati Alen ketika melihat gadis itu kesusahan mengatur napasnya. Alan langsung memegangi lengan Alen dan menyerahkan botol minuman Alen.

"Minum dulu, Len," suruh Alan.

Alen mengangguk, ia meneguk setengah air di dalam botol, mencoba menyegarkan tenggorokannya.

"Mau duduk dulu?" tanya Alan lagi.

Alen langsung mengangguk cepat. Kakinya terasa sangat lemah.

"Iya, Kak."

Alan mengedarkan pandangnya, ia langsung menunjuk ke kursi panjang yang kosong di dekat mereka. Alan membantu Alen berjalan dan segera duduk di sana.

"Lo nggak apa-apa?" tanya Alan kesekian kalinya, semakin khawatir karena Alen masih ngos-ngosan.

Alen menggeleng pelan.

"Nggak apa-apa, Kak."

Jawaban Alen tak memuaskan Alan, ia masih sangat khawatir. Alan mengulurkan tangannya, mengelap keringat di wajah Alen. Alan merasa bersalah.

"Kenapa nggak bilang kalau udah nggak kuat lari?"

"Nggak enak berhentiin Kak Alan dan Kak Alfin," jawab Alen jujur.

"Lain kali nggak usah nggak enak," peringat Alan.

Alen sedikit takut mendengar nada suara Alan yang berubah tegas. Mau tak mau Alen hanya bisa mengangguk pasrah, mengiyakan.

"Napas masih berat?"

Alen menghela napas lebih panjang kali ini, ia memberanikan diri menoleh ke Alan yang nampak khawatir kepadanya. Alen mengembangkan senyumnya.

"Udah nggak, Kak. Makasih," ucap Alen tulus.

Alan akhirnya bisa bernapas lega ketika melihat Alen tersenyum. Alan merapikan sedikit rambut Alen yang sedikit berantakan.

"Alena," panggil Alan pelan dengan tangan yang masih sibuk bergerak menata rambut Alen.

"Iya, Kak?"

"Jangan buat gue khawatir lagi."

Alen merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Alen juga yakin pipinya pasti berubah merona. Alen mengangguk malu-malu.

"Iya, Kak Alan."

Alan tersenyum senang mendengar jawaban Alen. Suara gadis itu terdengar lebih menggemaskan saat menjawab dengan malu-malu.

"Kak Alfin mana, Kak?" tanya Alen yang baru sadar tidak ada Alfin di dekat mereka.

"Masih lari kayaknya," jawab Alan tenang. Seolah tidak terganggu dengan hilangnya sosok Alfin.

"Kalau Kak Alfin hilang gimana Kak? Kak Alan nggak khawatir?"

Alan menggeleng cepat.

"Gue lebih khawatirin lo," jawab Alan tanpa ragu.

Lagi-lagi jawaban Alan berhasil membuat Alen terharu sekaligus bahagia mendengarnya.

"Kalau disuruh pilih gue atau Kak Alfin. Kak Alan pilih siapa?" tanya Alen iseng.

Tangan Alan langsung turun, tatapanya berubah sangat lekat menyorot Alen.

"Ngapain gue harus pilih Alfin?" heran Alan.

"Ya kan pilihanya pacar atau sahabat. Biasanya kan itu pertanyaan yang sulit, Kak."

"Buat gue nggak sulit."

"Beneran nggak sulit?" kaget Alen.

"Iya, gue pasti pilih lo.

Alen tertegun sesaat, tak menyangka dengan jawaban Alan meskipun Alen juga senang mendengarnya.

"Wah, Kak Alan nggak setia kawan banget."

"Nggak ada hubungannya, Len."

Alen mengerutkan kening, ia mendadak penasaran.

"Emang sahabat-sahabat Kak Alan nggak masalah kalau Kak Alan lebih sering keluar sama pacar Kak Alan? Waktu main sama mereka juga bisa berkurang."

"Nggak masalah."

"Kak Alfin, Kak Gesa dan Kak Jaka nggak pernah protes?" takjub Alen.

"Protes untuk?" bingung Alan.

"Protes karena Kak Alan jadi jarang main sama mereka karena sering habisin waktu sama gue."

Alan terdiam sejenak, butuh waktu untuk menjelaskan ke Alen.

"Mereka nggak tau diri, Len."

Kini giliran Alen yang dibuat bingung.

"Maksudnya Kak?"

"Gue nggak di rumah, mereka tetap main di rumah gue. Jadi, nggak usah khawatirin mereka."

Ah! Alen mengangguk-angguk mengerti. Pantas saja, Alan jarang buru-buru pulang ketika bersama dirinya. Padahal, Alen terkadang memiliki rasa tidak enak jika setiap hari mengajak Alan keluar sepulang sekolah.

"Gue baru tau fakta itu, Kak."

Alan terkekeh melihat Alen yang terlihat malu.

"Lo khawatir mereka marah?"

Alen mengangguk kecil.

"Iya, gue takut mereka jadi benci sama gue karena Kak Alan sering main sama gue," jujur Alen.

Alan menarik tangan Alen kemudian menggenggamya erat.

"Mereka bukan orang seperti itu Len."

"Emang mereka seperti apa?"

"Orang baik dan gila."

Pandangan Alen langsung terhenti disatu titik. Perlahan tangannya ia lepaskan dari genggaman Alan dan menunjuk ke satu titik tersebut.

"Gilanya seperti itu?" tanya Alen memastikan.

Alan mengikuti arah jari telunjuk Alen. Mereka berdua akhirnya melihat lebih jelas sosok Alfin yang sedang sibuk duduk di samping orang jualan kaki lima dan membongkar dua mainan robot yang ada di sana dengan wajah antusias.

"Iya, gilanya seperti itu."

****

Matahari mulai tersa lebih terik. Baik Alan, Alen dan Alfin akhirnya memutuskan untuk segera pulang. Mereka berjalan bersampingan menuju parkiran.

"Mau gue yang nyetir, Lan?" tanya Alfin.

"Emang lo mau?"

"Nggak mau," jawab Alfin dengan menyebalkannya.

"Terus kenapa lo nawarin?"

"Basa basi aja."

Alan mendecak pelan, tidak kaget mendengar balasan dingin dan gila seorang Alfin. Mereka sampai di depan mobil dan berniat beranjak. Namun, panggilan seseorang dari belakang berhasil menghentikan langkah mereka bertiga.

"Alen." 

****

#CuapCuapAuthor

BAGAIMANA CHAMOMILE PART LIMA PULUH SEMBILAN?

KIRA-KIRA SIAPA YANG MANGGIL? TULIS TEBAKAN KALIAN

SAMPAI JUMPA DI CHAMOMILE PART 60 ^^

JANGAN LUPA TINGGALKAN VOTE DAN COMMENT YA. SELALU PALING DITUNGGU DARI TEMAN-TEMAN PASUKAN PEMBACA ^^

Jangan lupa juga untuk pantengin info-info tentang cerita Chamomile di Instagram luluk_hf dan lulukhf_stories yaa ^^

MAKASIH BANYAK TEMAN-TEMAN PASUKAN PEMBACA SEMUA SUDAH SUKA SAMA CHAMOMILE. SELALU SAYANG KALIAN SEMUA DAN JANGAN LUPA SELALU JAGA KESEHATAN YA ^^


Salam,


Luluk HF

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro