47 - HALTE
Assalamualaikum Pasukan Pembaca semua. Apa kabar? Semoga sehat selalu ya ^^
HAPPY CHAMOMILE'S DAY SEMUANYA ^^
SUDAH SIAP BACA CHAMOMILE PART 47 ^^
PART KALI INI LEBIH PANJANG LOOOHHH ^^
DAN, SELAMAT MEMBACA. SEMOGA SUKA ^^
****
Alen menatap gantungan kunci beruang yang ada di tasnya. Seketika kejadian saat acara ulang tahunnya terulang kembali. Momen yang terasa begitu membahagiakan bagi Alen. Alen mengingat jelas saat Alan memberikan hadiah gantungan kunci beruang tersebut kepadanya.
Namun semua kebahagiaan itu langsung lebur begitu saja ketika Alen mendengar pengakuan Alan sesungguhnya.
"Alen."
Alen tersadarkan, ia menoleh dan mendapati Jeris sudah duduk di sampingnya. Alen memaksakan senyumnya mengembang, berusaha untuk menyamankan dirinya walau cukup sulit.
Ya, hari ini Alen dan Jeris janjian di perpustakaan. Alen meminta bantuan kepada Jeris untuk mengajarinya Matematika sebelum ulangan tiga hari lagi.
"Sori baru datang. Udah nunggu lama?" tanya Jeris.
Alen menggeleng kecil.
"Belum, Kak."
"Mau langsung mulai aja?"
"Iya."
"Oke. Mana tugasnya? Lo mau minta jelasin nomer berapa?"
Alen mendekatkan buku paket Matematika yang sudah ia buka sedari tadi ke hadapan Jeris.
"Semua Kak," jawab Alen jujur.
Jeris menatap Alen dengan kening mengerut, terlihat kaget mendengar jawaban Alen.
"Semua?" ulang Jeris memastikan.
"Iya, Kak."
"Lo nggak paham semuanya?"
Alen tersenyum kaku.
"Iya, Kak."
Jeris tertawa pelan melihat ekspresi Alen.
"Oke, gue akan jelasin satu persatu."
*****
Alen memukul-mukul pelan belakang lehernya yang mulai terasa lelah. Satu jam lebih Jeris mengajari Alen dengan sebar. Menurut Alen, cara Jeris menerangkan rumus kepadanya cukup mudah. Alen bisa memahaminya. Namun, butuh waktu sedikit lama bagi Alen untuk paham. Tidak seperti saat Alfin yang mengajarinya, sangat beda.
"Dari sini paham, Len?" tanya Jeris memastikan.
Alen mengangguk saja. Jujur dia mulai lelah.
"Iya, Kak."
Jeris menoleh ke Alen, menatap kedua mata Alen yang telah berubah lelah.
"Capek, ya?" tanya Jeris pelan.
"Maaf, Kak. Gue kelihatan nggak fokus, ya?" balas Alen merasa bersalah.
Jeris tersenyum kecil.
"Nggak apa-apa, Len. Nggak usah minta maaf."
"Gue ser..."
Blak! Kedua mata Alen terbuka lebar, sedikit kaget melihat Jeris yang tiba-tiba menutup semua bukunya. Alen menatap Jeris bingung.
"Kenapa ditutup, Kak? Kan, belum selesai?" tanya Alen.
"Lo udah capek, Len. Nggak usah dipaksa."
"Tapi, Kak..."
Jeris mengarahkan tubuhnya sepenuhnya menghadap ke Alen dan menatap Alen lekat.
"Lo mau kemana setelah ini?" tanya Jeris mengalihkan topik.
Alen mengerutkan kening, bertambah bingung.
"Pulang, Kak."
"Sebelum pulang, mau nggak makan dulu bareng gue?"
"Ma... Makan, Kak?"
"Iya, makan. Lo pasti belum makan siang, kan? Lo mau makan apa?"
Alen menggeleng canggung.
"Maaf Kak, gue udah kenyang." Tentu saja Alen berbohong.
Senyum di wajah Jeris menghilang, terlihat kecewa mendengar jawaban Alen.
"Nggak ada rasa lapar sedikit pun, Len?"
"Maaf, Kak."
"Kalau nemenin gue makan mau nggak?"
Alen terdiam sejenak, tak langsung menjawab.
"Emangnya Kak Jeris mau makan di mana?"
Jeris bergumam pelan, mencoba mengamati ekspresi Alen yang terlihat sedikit tidak nyaman.
"Gue makan di kantin sekolah. Mau nemenin, kan?"
Alen tidak enak jika menolak dua kali. Dengan terpaksa Alen akhirnya mengangguk setuju.
"Iya, Kak. Gue temenin."
Jeris bersorak senang mendengar jawaban Alen. Jeris segera berdiri dan membantu membereskan buku-buku Alen.
"Ayo kita ke kantin, Len."
*****
Alen merasa sedikit canggung, dia benar-benar hanya menemani Jeris makan. Alen beberapa kali mengamati sekitar, untung saja sekolah sudah lumayan sepi dan tidak ada orang di kantin selain dirinya dan Jeris.
"Kenapa, Len?" tanya Jeris.
"Nggak, Kak," jawab Alen seadanya.
"Nggak nyaman, ya?" tebak Jeris dari gelagat Alen.
Alen tersenyum kaku.
"Iya, Kak. Maaf."
Jeris membalas senyum Alen sembari mengangguk. Ia menghentikan aktivitas makannya sejenak.
"Gue yang harusnya minta maaf karena udah paksa lo. Kalau lo mau pulang duluan nggak apa-apa," ucap Jeris ramah.
Alen tertegun mendengar perkataan Jeris, pasalnya sejak awal Jeris mendekatinya, Alen belum menemukan sisi menyebalkan seorang Jeris. Cowok itu selalu bersikap baik kepadanya dan menghargainya.
"Nggak apa-apa, Kak?" tanya Alen memastikan.
Jeris mengangguk kedua kalinya.
"Nggak apa-apa. Lo bawa motor ke sekolah?"
"Biasanya bawa Kak. Tapi hari ini motornya lagi masuk bengkel. Gue naik ojek online."
Jeris bergumam sebentar.
"Kalau gue tawarin antar pulang, lo pasti nggak mau, kan?" tanya Jeris hati-hati.
Alen lagi-lagi tersenyum kaku.
"Maaf, Kak." Entah sudah keberapa kalinya Alen meminta maaf ke Jeris.
Jeris tiba-tiba berdiri dari kursinya.
"Tunggu sebentar, jangan kemana-mana," ucap Jeris dan langsung beranjak begitu saja meninggalkan Alen yang kebingungan.
Alen dilema haruskah pergi atau tidak. Namun, jika Alen langsung pergi begitu saja, ia akan semakin tidak enak dengan Jeris. Alen pun memiluh tetap menunggu.
Tak lama kemudian, Jeris kembali dengan napas sedikti terengah-engah.
"Len, sudah," ucap Jeris tiba-tiba.
Alen menatap Jeris semakin bingung.
"Apanya Kak yang udah?"
"Gue pesenin ojek online buat lo."
"Hah?" kaget Alen.
"Gue tadi ke kelas ambil ponsel gue yang tertinggal. Terus pesenin lo ojek online," jelas Jeris panjang lebar.
Alen mengerjapkan kedua matanya, masih berusaha mencerna semua ucapan Jeris.
"Kak Jeris tau alamat rumah gue?"
Jeris memberikan cengiran lebar.
"Tau, gue tanya ke teman-teman kemarin."
Alen menghela napas pelan, takjub dengan yang dilakukan oleh Jeris. Alen semakin bingung dengan sikap Jeris saat ini.
"Gue mohon jangan tolak lagi yang ini, ya. Ojek onlinenya sudah nunggu di depan," pinta Jeris.
Alen mengangguk kecil, tidak tega melihat raut wajah Jeris.
"Iya, Kak. Makasih banyak," balas Alen, ia pun segera berdiri.
"Gue anter sampai depan gerbang Len."
Alen berniat menolak, namun melihat Jeris terlihat bersemangat membuat Alen iba lagi. Alen menyetujui saja. Mereka berdua segera berjalan beriringan menuju gerbang sekolah.
Beberapa siswa dan siswi yang masih di sekolah pun melihat keduanya dengan tatapan penasaran. Alen berusaha bersikap tidak peduli dan tetap terus berjalan.
"Len," panggil Jeris menyadarkan Alen.
Alen menoleh.
"Kenapa Kak?"
"Hari minggu kelas gue ada tanding basket. Mau nonton, nggak?"
"Hari minggu?"
"Iya. Gue janji pasti akan menang kalau lo datang," ucap Jeris sangat yakin.
Alen mempertimbangkan sebentar ajakan Jeris.
"Cuma nonton aja, kan?" tanya Alen memastikan.
"Iya Len cuma nonton. Emang lo mau gue ajak main juga?" canda Jeris.
Alen terkekeh tanpa sadar kemudian menggeleng.
"Nggak, Kak. Gue nggak jago main basket."
"Jadi, mau kan nonton pertandingan kelas gue hari Minggu?" ulang Jeris.
Alen mengangguk tanpa ragu.
"Oke, gue nonton Kak."
Jeris tersenyum senang. Mereka pun sudah sampai di depan gerbang dan sudah ada satu ojek online menunggu di dekat gerbang.
"Atas nama Jeris, kan, Bang?" tanya Jeris ke abang ojeknya.
"Iya, Mas."
"Helmnya, Bang," minta Jeris.
Abang ojek tersebut memberikan satu lagi helmnya. Kemudian, Jeris mendekat kembali ke Alen dan menyerahkan helm ditangannya.
"Mau pakai sendiri atau dipakein?" canda Jeris.
"Pakai sendiri, Kak," balas Alen sembari geleng-geleng melihat sikap Jeris yang selalu mengambil kesempatan dalam kesempitan.
Alen segera memakai helm tersebut.
"Bang, hati-hati, ya. Awas aja kalau sampai ada lecet sedikit, Abangnya gue cari sampai ujung dunia," ucap Jeris sungguh-sungguh.
"Kak Jeris!" pekik Alen merasa malu karena ucapan Jeris.
Sedangkan, Abang ojeknya hanya tertawa mendengar ucapan Jeris.
"Tenang aja, pacarnya akan saya antar sampai selamat, Mas," ucap Abang ojek sembari mengangkat jempol.
Alen dengan cepat naik ke atas motor dan menutup kaca helm, semakin malu mendengar balasan dari Abang gojeknya.
"Ayo berangkat, Bang," pinta Alen.
"Hati-hati, Len. Hari minggu jangan lupa datang," seru Jeris sembari melambaikan tangan.
Alen hanya mengangguk singkat, kemudian motor yang ditumpanginya melaju pergi meninggalkan Jeris yang masih terus melambaikan tangan.
*****
Motor ojek yang ditumpangi Alen, mendadak tiba-tiba berhenti berjalan. Alen terkejut saat Abang ojek meminggirkan motornya.
"Kenapa, Bang?" tanya Alen khawatir.
Abang ojek turun dari motornya, mau tak mau Alen juga ikut turun.
"Maaf, Non. Ban saya bocor," ucap Abangnya dengan berat hati.
Alen menghela napas berat.
"Terus gimana Bang? Mau cari tambal ban dulu?" tanya Alen.
Abang ojek tersebut menatap Alen dengan tatapan merasa bersalah.
"Tambal ban lumayan jauh, Non. Jadi, Non pesan ojek online lagi saja nggak apa-apa. Kalau ikut Abang kasihan Non-nya."
Alen terdiam sejenak untuk berpikir.
"Abangnya nggak apa-apa saya tinggal?" Kini Alen yang merasa bersalah.
"Nggak apa-apa Non. Saya sekali lagi minta maaf, ya. Uangnya saya kembalikan kalau git...."
"Nggak usah dikembalikan, Bang. Nggak apa-apa. Namanya juga musibah."
"Beneran Non?"
"Iya Abang. Saya minta maaf ya harus ninggal Abangnya."
"Iya Non. Sama-sama maaf," jawab Abangnya masih sempatnya bercanda.
Alen terkekeh mendengar jawaban Abang ojeknya. Setelah berpamitan, Alen berjalan ke arah halte untuk berteduh. Namun, saat Alen ingin memesan ojek online di ponselnya, tiga motor berhenti di hadapan Alen.
"Alen."
Alen tersentak kaget. Ia mendongakkan kepalanya dan terkejut melihat Alan, Alfin di motor masing-masing, dimotor satunya ada Gesa dan Jaka yang berboncengan.
"Kak Alan, Kak Alfin, Kak Gesa, Kak Jaka," lirih Alen masih terkejut. Bagaimana bisa mereka berempat di hadapannya?
Gesa dan Jaka melambaikan tangannya ke Alen.
"Hai, Len," serempak Gesa dan Jaka.
"Kalian ngapain di sini?" tanya Alen bingung.
"Kita tadi lihat lo keluar gerbang sekolah. Lo naik ojek, terus Alan khawatir sama lo, terus Alan ngajak kita ngikutin ojek lo dari belakang. Ternyata, ke khawatiran Alan benar terjadi," ucap Jaka dengan tak berdosanya.
Alen mengerutkan kening, kedua kalinya kaget.
"Kalian ngikutin gue?" tanya Alen memastikan.
"Jaka ngarang Len. Kita nggak sengaja lihat lo dan motor ojek yang lo tumpangi bocor. Alfin malah yang tau duluan kalau itu lo. Dan, Alan yang minta kita buat nyamperin lo," timpal Gesa meluruskan.
Alen menatap ke Alfin, yang menurutnya paling bisa dipercaya.
"Gesa jawab jujur, Len," sahut Alfin seolah paham tatapan Alen.
Alen menghela napas pelan, lega.
"Ayo gue anter pulang," tawar Alan akhirnya membuka suara.
"Nggak usah, Kak. Ini gue mau pesan ojek online lagi," tolak Alen halus.
"Cari ojek online di daerah sini susah Len. Bareng Alan aja," suruh Jaka.
"Emang, iya?" balas Alen tak percaya.
"Nggak sih. Gue ngarang aja," balas Jaka tak tau diri.
Alen mendesis kecil, hampir saja percaya. Mata Alen menyorot ke Alan yang tiba-tiba melepas helmnya dan berjalan mendekatinya.
"Kak Alan mau ngapain?" tanya Alen was-was.
"Gue tungguin sampai lo drivernya datang," jawab Alan enteng.
"Nggak perlu, Kak."
"Menurut gue perlu," kekuh Alan.
Alen menghela napas berat, ia sudah lelah hari ini dan sedang malas berdebat panjang dengan Alan seperti kemarin-kemarin. Alen pun membiarkan Alan berdiri di sampingnya.
"Lan, kita ikut nungguin apa ditinggal, nih?" goda Gesa.
Namun, belum juga Alan menjawab, motor Alfin sudah beranjak pergi dengan tak berdosanya.
"Lah, Si Alpin sudah main cabut aja. Otaknya emang ada tapi akhlaknya diragukan tuh anak," gidik Jaka takjub.
Gesa dan Alan melihat kepergian Alfin sembari geleng-geleng.
"Duluan aja," suruh Alan.
Gesa dan Jaka mengangkat jempol mereka bersamaan.
"Duluan, Lan. Hati-hati hatinya," teriak Gesa sengaja. Kemudian langsung kabur bersama Jaka dengan tawa puas mereka.
Alen mendengar semua pembicaraan Alan dan teman-temannya. Namun, Alen pura-pura saja tak tau dan sok fokus mengotak-atik ponselnya. Sedangkan, Alan menunggu dengan sabar di samping Alen, seperti patung.
"Sudah dapat, Kak. Tujuh menit lagi drivernya sampai," ucap Alen setelah memesan dan menghubungi ojek drivernya.
Alan mengangguk.
"Iya."
*****
Alen merasa kecanggungan antara dia dan Alan. Mereka sedari tadi saling diam. Alen memberanikan diri menoleh ke Alan. Benar saja, cowok itu hanya menatap ke depan tanpa mengajaknya berbicara.
"Kak Alan kenapa diam aja?" tanya Alen memberanikan diri.
Alan menoleh dengan tatapan tenang.
"Nggak ingin buat lo nggak nyaman," jawab Alan jujur.
Alen mendadak gugup mendengar jawaban Alan. Apalagi suara lembut cowok itu dan tatapanya yang menggambarkan sebesar apa kepedulian Alan kepadanya.
"Gimana tadi?" tanya Alan membuka suara lagi.
"Apa?" bingung Alen.
"Jeris ngajarin lo dengan baik?"
Kedua tangan Alen langsung terkepal tanpa sadar, tak menduga Alan akan menanyakan hal itu. Alen langsung mengangguk saja.
"Baik, Kak. Kak Jeris ngajarin dengan sabar," jawab Alen jujur.
"Baguslah."
Alen tak tau harus membalas apa lagi, ia segera mengalihkan pandangan ke depan, membuat keheningan terjadi lagi diantara mereka. Alen hanya berharap driver ojek pesanannya segera datang.
"Alena," panggil Alan.
Alen menguatkan hatinya.
"Hm?" balas Alen singkat, tanpa mengalihkan pandangannya.
"Gue minta maaf, boleh?"
Alen meremas kedua tangannya lebih kuat, suara Alan terdengar begitu lembut sampai di gendang telinganya, membuat hatinya selalu melemah.
"Minta maaf untuk apa lagi, Kak?" balas Alen berusaha cuek.
Tak ada balasan dari Alan, membuat Alen sangat penasaran. Mau tak mau, Alen akhirnya menurunkan ego-nya. Ia menoleh ke samping dan mendapati Alan yang menatapnya dengan sorot mata yang sangat lekat.
"Kak Alan," panggil Alen karena Alan masih saja diam.
"Apa?" balas Alan tenang.
"Kak Alan mau minta maaf untuk apa?" ulang Alen.
Alan tersenyum kecil, matanya kini tertuju ke gantungan kunci beruang yang ada di tas Alen. Dan, itu adalah pemberiannya.
Kemudian, Alan kembali menatap Alen, lebih lekat.
"Maaf karena gue nggak bisa berhenti suka sama lo."
****
#CuapCuapAuthor
BAGAIMANA CHAMOMILE PART EMPAT PULUH TUJUH? SUKA NGGAK?
SATU KATA DONG BUAT ALAN!!!!
CHAMOMILE PART 48 MAU UPDATE HARI APA? MINGGU ATAU SENIN??
JANGAN LUPA TINGGALKAN VOTE DAN COMMENT YA. SELALU PALING DITUNGGU DARI TEMAN-TEMAN PASUKAN PEMBACA ^^
Jangan lupa juga untuk pantengin info-info tentang cerita Chamomile di Instagram luluk_hf dan lulukhf_stories yaa ^^
MAKASIH BANYAK PASUKAN PEMBACA SEMUA UNTUK SEMUA SUPPORTNYA. SELALU SAYANG KALIAN SEMUA. SEMOGA SELALU SUKA CHAMOMILE YA. DAN, JANGAN LUPA JAGA KESEHATAN ^^
Salam,
Luluk HF
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro