33 - GANTUNGAN KUNCI BERUANG
Assalamualaikum teman-teman Pasukan Pembaca semua. Alhamdulillah, akhirnya aku bisa balik lagi dan update Chamomile buat teman-teman Pasukan Pembaca. Bagaimana kabar kalian semua? Semoga sehat selalu ya.
SIAPA YANG UDAH NGGAK SABAR BACA CHAMOMILE PART 33?
Sebelumnya aku minta maaf sebesar-besarnya, tiga minggu ini aku belum bisa update Chamomile. Beberapa minggu kemarin aku memang lagi rehat sebentar. Dan, Alhamdulillah kondisiku sudah lebih membaik.
Aku juga ucapkan makasih sebesar-besarnya buat perhatian, doa dan support dari teman-teman Pasukan Pembaca yang selalu nanyain kabar aku, kondisi aku bahkan tetap setia menunggu Chamomile Update. Makasih banyaakk. Sayang banget sama kalian semuaaa ^^
Dan, semoga aku bisa kembali bahkan lebih sering update CHAMOMILE lagi ya ^^
Sebagai permintaan maafku juga. Aku kasih dua hadiah buat teman-teman Pasukan pembaca semua.
1. Chamomile part 33 kali ini aku buatnya lebih panjang banget. Bahkan, part yang paling panjang menurutku dibanding part-part sebelumnya.
2. Chamomile part 34 aku usahakan segera langsung aku update besok malam ya. Jadi, teman-teman Pasukan nggak perlu nunggu lama ^^
DAN, BAKALAN BANYAK KEJUTAN LAINNYA UNTUK SEMUA PEMBACA YANG BAKALAN AKU INFOKAN DI INSTAGRAMU luluk_hf
SEMOGA TEMAN-TEMAN PASUKAN PEMBACA SELALU SUKA CHAMOMILE, SELALU BACA CHAMOMILE DAN SELALU SUPPORT CHAMOMILE YA AMINN ^^
DAN, SELAMAT MEMBACA CHAMOMILE ^^
****
"Gue masih suka sama lo."
Alen tak bisa berhenti memikirkan ucapan Alan beberapa menit yang lalu di lorong sekolah. Alen masih tak menyangka Alan bisa secara terang-terangan mengungkapkan perasaanya kepada Alen.
Namun, ucapan Alan juga membuat Alen dilema. Alan hanya sebatas mengucapkan bahwa cowok itu masih ada rasa suka kepadanya, hanya itu. Tidak ada kata-kata lagi yang diutarakan oleh Alan. Karena setelah itu, Alan mengajaknya untuk pulang.
Alen menghela napas panjang, senyumnya seketika sirna. Namun, Alen masih bisa merasakan jelas desiran aneh terus menjalar di sekujur tubuhnya. Terutama detakan jantungnya yang masih belum berpacu normal.
Alen mengedarkan pandangannya, sedari tadi dia masih menunggu Alan di parkiran, cowok itu tengah mengambil jaketnya yang tertinggal dan menyuruh Alen menunggu.
Tak lama kemudian, Alen melihat Alan datang bersama dengan sahabat-sahabatnya, Gesa, Alfin dan Jaka.
Alen mencoba untuk tetap bersikap tenang walau susah.
"Ya ampun anak orang lo buat nunggu Lan. Nggak cowok sejati banget lo." Gesa memulai drama sorenya untuk membuat Alan kesal.
"Menatang-mentang mantan jadi nggak apa-apa dibuat nunggu, Ges," lanjut Jaka ikut mengompor-ngompori.
"Diem lo berdua," tajam Alan membuat Gesa dan Jaka terkekeh puas melihat reaksi Alan.
Alen tersenyum canggung menyambut empat cowok tampan di hadapannya.
"Selamat ya Kak sudah menangin pertandingannya," ucap Alen.
"Kak siapa nih Len yang diucapin? Kak Alan atau siapa?" goda Gesa tak ada hentinya.
"Se... Semuanya," jawab Alen mendadak salah tingkah.
"Yakin semuanya?" Jaka menambahi.
Alen mengangguk cepat, jangan ditanya bagaimana gugupnya Alen saat ini. Bahkan, kedua pipinya terasa lebih panas, sangat malu digoda oleh Gesa dan Jaka.
"Pin, lo diem aja dari tadi. Tambahin, kek," paksa Jaka tak terima.
Semua mata langsung tertuju ke Alfin, cowok itu sedari tadi sibuk memutar-mutar bola basket yang dipegangnya.
"Apa?" tanya Alfin bingung karena sorotan teman-temannya.
"Nggak mau nambahin?" ulang Jaka sembari memberi lirikan ke Alen.
Alfin mau tau mau langsung menatap ke Alen.
"Mau pulang bareng, nggak, Len?"
"Hah?" kaget Alen memberikan tatapan bingung akan pertanyaan Alfin.
Mungkin bukan hanya Alen yang terkejut sekaligus bingung dengan pertanyaan Alfin yang tidak terduga. Alan, Jaka dan Gesa pun tak kalah bingung.
Alfin menoleh ke Alan, senyum Alfin mengembang saat melihat sorot mata resah Alan.
"Cemburu nggak lo? Kalau iya, ajak balikan sana." Setelah itu, Alfin dengan santainya berjalan menuju motornya sendiri.
Gesa dan Jaka tertawa puas melihat yang dilakukan oleh Alfin. Mereka menyenggol lengan Alan.
"Balikan sana," bisik keduanya sengaja dan langsung kabur meninggalkan Alan dan Alen yang terdiam canggung.
Alen meremas-remas jemarinya yang terasa lebih dingin, perlahan Alen menundukkan kepalanya, Alen tidak mau Alan melihat pipinya merona seperti pantat bayi.
"Ayo pulang," ajak Alan memecah keheningan.
Alen mengangguk cepat dan segera mengambil helm di atas motor Alan. Alen tak berani untuk menatap Alan langsung saat ini. Hari ini terlalu banyak kejadian mendebarkan.
*****
Alan tiba-tiba menghentikan motornya di depan gerbang sekolah, membuat Alen bingung.
"Kenapa berhenti Kak? Ada yang ketinggalan lagi?" tanya Alen memberanikan diri.
Alan membuka kaca helmnya, kemudian menoleh ke samping.
"Mau langsung pulang atau makan dulu?" tanya Alan.
Alen bergumam pelan, mempertimbangkan.
"Langsung pulang," jawab Alen. Ia merasa terlalu gugup sekarang, ingin cepat-cepat pulang dan menenangkan tubuhnya dahulu.
Alan mengangguk kecil, menuruti. Ia pun menjalankan motornya kembali menuju rumah Alen.
Sepanjang perjalanan, Alen hanya fokus melihat punggung Alan. Pikirannya tak bisa diam dan terus mengulang-ulang kejadian di lorong tanpa henti.
"Kak Alan beneran masih suka sama gue?"
****
Alen turun dari motor Alan dan segera mengembalikan helm ke Alan. Alen tak langsung masuk, ia terdiam di samping motor Alan seolah menunggu cowok itu untuk memberikan penjelasan lebih akan ucapannya di lorong sekolah.
Namun, Alan sepertinya tidak ada keinginan membahas. Cowok itu masih sibuk mengaitkan helm yang dipakai Alen ke motornya.
Alen menghela napas panjang, berusaha sabar.
"Hati-hati di jalan, Kak. Makasih hari ini sudah ajak nonton basket," ucap Alen.
"Emang lo nonton gue tanding?" sindir Alan terang-terangan.
Alen tersenyum kaku.
"Maaf Kak."
Alan melepaskan helmnya, kemudian menatap Alen yang terlihat merasa bersalah.
"Santai aja nggak perlu minta maaf."
Alen mengangguk kecil.
"Kapan Kak Alan tanding lagi? Gue akan nonton dari awal sampai selesai," tanya Alen berusaha menebus kesalahannya.
"Belum tau," jawab Alan.
"Kalau ada, kasih tau ya," pinta Alen.
"Oke."
"Kalau gitu gue masuk dulu. Kak Alan hati-hati di jalan." Alen memilih menyerah, ia merasa Alan memang tidak ada keinginan membahas kejadian di lorong sekolah.
Alen segera membalikkan badan, berjalan mendekati gerbang rumahnya.
"Alen," panggil Alan tiba-tiba.
Alen pun langsung berbalik dengan detakan jantung kembali berpacu cepat. Padahal Alan hanya memanggil namanya saja sudah seperti penentuan hidup dan mati Alen.
"Ke... Kenapa Kak?" Alen berusaha tidak gugup namun gagal total. Alen sama sekali tak bisa menyembunyikan kegugupannya.
"Makasih sudah mau menemani hari ini."
*****
Alen tak bisa fokus mengerjakan tugas matematikanya. Padahal ia hanya menyalin jawaban dari milik Ara, tapi sejak satu jam yang lalu belum selesai juga. Pikiran Alen masih dilanda dilema dengan sikap Alan hari ini.
Apalagi saat mengantarnya pulang, Alan bersikap seolah tidak ada kejadian apapun diantara mereka. Padahal Alen sangat menunggu penjelasan dari Alan. Namun, Alen sendiri pun tidak berani untuk meminta penjelasan Alan.
"Kak Alan beneran masih suka nggak sih sama gue?"
Alen menghela napasnya pelan, perlahan ia meletakkan bolpoinnya. Alen mulai menyadari bahwa dirinya masih gugup. Bahkan, jantungnya pun masih berdetak cepat hanya karena memikirkan seorang Alan.
Alen meletakkan kedua tangannya di atas dada, mencoba merasakan lebih dekat. Senyum Alen perlahan mengembang tipis.
"Sepertinya gue juga masih suka sama Kak Alan."
*****
Alen keluar dari kamarnya dengan keadaan sudah rapi, siap untuk menerjang pagi yang cerah hari ini. Alen duduk di meja makan, Mamanya sudah menyiapkan Roti gandum dan susu rendah kalori untuknya.
"Pagi Ma," sapa Alen.
Kanara menatap putrinya, sedikit heran. Jarang sekali putrinya begitu semangat di pagi hari.
"Minggu depan ulang tahun kamu. Mau dirayakan apa enggak?" tanya Kanara membuka topik pembicaraan.
Alen sontak berhenti makan dan menatap Mamanya dengan wajah kaget seolah baru menyadari hari ulang tahunnya sangat dekat.
"Dirayain Ma. Alen mau dirayain. Boleh, kan?" jawab Alen dengan semangat.
"Hm. Tapi di rumah aja."
Alen mengangguk cepat, tidak mau menyia-nyiakannya. Alen langsung menjulurkan kedua tangannya dan mendekatkan ke sang Mama.
"Minta uang," pinta Alen.
"Buat?"
"Alen mau beli kertas undangan."
"Habiskan makanan kamu dulu. Nanti Mama kasih."
Alen bersorak senang, tidak biasanya Mamanya mau menuruti semua permintaannya seperti ini. Mungkin karena berat badan Alen dua minggu ini masih tidak naik.
"Makasih Mama Kanara."
*****
Alen tak bisa menghilangkan kebahagiaannya. Ia sangat bersemangat pagi ini. Bahkan, Pak Satpam yang jarang ia sapa, mendadak dia sapa sampai dua kali.
"Lo kenapa? Kesurupan?" tanya Ara begidik ngeri melihat kedatangan Alen.
"Minggu depan gue ulang tahun," jawab Alen.
"Dirayain?"
Alen mengangguk.
"Iya. Mama Kanara setuju."
"Tumben Mama tiri lo berbaik hati."
"Mama Kanara itu Mama kandung gue Ara, bukan Mama tiri!" cibir Alen.
"Kalau lagi baik aja lo mau nyebut Mama Kanara Mama kandung lo. Coba kalau nggak dikasih uang jajan, lo selalu nyebut Mama tiri jahat!"
Alen menaruh jari telunjuknya di bibir Ara sembari menggeleng pelan.
"Gue nggak pernah nyebut Mama Kanara seperti itu Ara. Mama Kanara adalah Mama yang paling baik."
"Cuih!" Ara menepis cepat jari Alen dari bibirnya. "Awas aja kalau lo nggak dapat uang jajan dari Mama tiri lo. Nggak akan mau gue nampung lo lagi."
"Jangan dong! Cuma lo teman yang mau nampung anak seperti gue," mohon Alen.
"Emang lo anak seperti apa?"
Alen mengembangkan senyumnya selebar mungkin berusaha merayu Ara.
"Anak yang cantik, kesayangan Kakak Ara meskipun bodoh."
Ara tersenyum puas mendengarnya. Ia mengelus rambut Alen pelan.
"Kakak Ara selalu siap menampungmu Adik Alen."
Alen bersorak senang, rayuannya berhasil. Alen pun teringat dengan rencananya pagi tadi.
"Sepulang sekolah lo sibuk, nggak?" tanya Alen.
"Nggak, kenapa?"
"Anterin gue ke toko perlengkapan ulang tahun. Gue mau beli undangan biar bisa segera dibagikan."
Ara bergumam pelan, tidak langsung menjawab.
"Kenapa lo ngajak gue? Ajak mantan lo, kalian kan mau balikan," goda Ara.
Ah! Senyum Alen mendadak langsung hilang jika teringat kejadian kemarin. Bukannya Alen tidak bahagia. Namun, ucapan Alan malah membuatnya dilema berat.
"Kita nggak balikan, Ra," ucap Alen lirih. Alen memang sudah menceritakan semuanya ke Ara dan Sanda sepulang dari diantar Alan.
"Sebentar lagi pasti iya, Len. Kak Alan aja sudah kasih kode gitu."
"Gue nggak mau berharap karena Kak Alan masih belum ada hubungi gue lagi sejak antar gue pulang semalam."
Ara menaruh kedua tangannya di bahu Alen, berusaha memberikan semangat.
"Alen, sepulang sekolah lo ajak Kak Alan. Oke?" Ara memberikan ide baiknya.
"Takut, Ra."
"Takut apa?"
"Takut ditolak."
"Enggak! Lo coba dulu. Gue yakin Kak Alan pasti mau. Jangan lemah gitu!"
Alen mengangguk pasrah.
"Iya, nanti gue coba."
"Semangat Alen!!"
*****
Alen merengek ingin kembali ke kelas. Namun, Ara terus saja mendorong tubuhnya untuk masuk ke dalam kantin tempat Alan dan sahabat-sahabatnya sedang makan bakso.
"Ra, gue beneran takut."
"Kak Alan nggak bakalan gigit lo, Len!" gemas Ara.
"Mending digigit Kak Alan, Ra daripada ditolak."
"Lo kira Kak Alan anjing apa gimana main gigit anak orang!"
"Beneran nggak bakalan ditolak, kan?"
"Nggak bakalan!"
"Demi apa?"
"Demi gue anak paling pintar dan paling kaya di sekolah ini."
Alen membalikkan tubuhnya, memberikan wajah memohon.
"Takut, Ra."
"Buruan samperin Alena Chamomile," paksa Ara mulai kehabisan kesabaran.
"Kalau gue ditolak dan gue sedih, lo mau tanggung jawab, kan?"
"Mau. Gue akan tanggung jawab buat hibur lo dua puluh empat jam non stop bahkan gue juga akan kabulin semua permintaan lo sampai lo nggak sedih. Puas?"
Alen mengangguk cepat, ucapan Ara sangat membantu menenangkannya.
"Puas."
"Sekarang samperin Kak Alan."
Alen menghela napas panjang, menyiapkan hati dan mentalnya sejenak. Setelah merasa lebih tenang, Alen perlahan membalikkan badan dan segera masuk ke dalam kantin.
Alen mendekati meja paling ujung, tempat Alan berada. Sedangkan Ara terus memantau dari kejauhan.
****
"Kak Alan."
Baik Alan, Gesa, Alfin, Jaka bahkan beberapa orang yang berada dekat dengan meja Alan langsung menoleh ke Alan. Semuanya nampak terkejut melihat kedatangan Alen dan memanggil Alan secara terang-terangan.
"Kenapa?" balas Alan, meletakkan sendok dan garpunya.
"Bisa ngobrol bentar," pinta Alen berusaha melawan kegugupannya.
"Jangankan ngobrol, Len. Balikan juga bisa," sahut Gesa sengaja.
Alan hanya memberikan lirikan tajam ke Gesa yang ada di hadapannya. Alan segera berdiri, meninggalkan baksonya begitu saja.
"Ayo."
Alen mengikuti di belakang Alan, beberapa pasang mata masih mengamati keduanya seolah penasaran. Bisik-bisik gosip pun mulai panas di daerah kantin setelah kepergian Alen dan Alan.
*****
Alan mengajak Alen ke ruang jurnalistik karena hanya di sana yang sering sepi ketika jam pertama. Apalagi bulan ini tidak ada lomba yang diikuti tim jurnalistik.
"Ngomong apa?" tanya Alan tanpa basa-basi sembari duduk di kursi.
Alen ikut duduk di sebrang Alan.
"Kak Alan sepulang sekolah sibuk, nggak?" tanya Alen memberanikan diri.
"Nggak. Kenapa?"
"Minta anterin ke toko perlengkapan ulang tahun boleh?"
Alan mengerutkan keningnya.
"Siapa yang ulang tahun?"
Deg! Seketika Alen merasakan kekecewaan di hatinya setelah mendengar pertanyaan Alan. Menandakan cowok itu tidak lagi mengingat hari ulang tahunnya.
"Gue, Kak," jawab Alen menyembunyikan kegetirannya.
Kini giliran Alan yang terdiam, seolah terkejut dengan jawaban Alen.
"Oke gue anterin sepulang sekolah."
Alen kembali memaksakan senyumnya untuk mengemang. Setidaknya ia tidak ditolak oleh Alan, meskipun cowok itu lupa dengan hari ulang tahunnya.
"Nggak ngerepotin, kan?"
Alan menggeleng pelan.
"Nggak."
"Makasih Kak."
Alan menatap Alen sejenak.
"Lo cuma mau ngobrol itu aja?" tanya Alan terlihat ada nada memastikan di perkataannya.
Alen mengangguk dengan polosnya.
"Iya."
"Nggak mau ngobrol yang lain?"
"Ngobrol apa?" bingung Alen.
Alan tersenyum kecil, kemudian menggeleng. Alan segera berdiri dan menghampiri Alen. Detik berikutnya, Alan mengacak-acak pelan puncak rambut Alen.
"Sepulang sekolah gue tunggu di parkiran."
Setelah itu, Alan keluar dari ruang jurnalistik. Meninggalkan Alen sendiri dengan tubuh yang masih menegang karena sikap Alan tadi.
Alen segera menyadarkan dirinya dan memeriksa bahwa jantungnya masih baik-baik saja. Kedua tangan Alen berpindah ke puncak rambutnya.
"Rambut gue yang diacak-acak, jantung gue yang berantakan!"
*****
Jam terakhir di kelas Alan kosong, guru Seni budaya-nya sedang ada pelatihan. Sehingga murid-murid XI IPA 2 diminta belajar sendiri. Namun, bukannya belajar sendiri, seisi kelas sibuk dengan aktivitas masing-masing. Ada yang tiduran, ada yang gosip, ada yang tetap belajar sendiri, ada yang main games bahkan ada yang sedang pacaran di bangku pojok belakang.
Alan sedari tadi fokus mengotak-atik ponselnya, tidak mempedulikan ketiga sahabatnya yang tengah asik mabargames ML.
Alan membuka kalender di ponselnya, memeriksa tanggal. Alan memberikan catatan pada tanggal lima belas.
Ulang tahun Alena Chamomile.
Alan terdiam sebentar, memikirkan hadiah apa yang harus dia belikan untuk Alen. Alan berusaha terus berpikir, namun sama sekali tak menemukan satu ide pun.
Alan pun memainkan ponselnya kembali, mencari di mesin pencarian ponselnya.
'10 Hadiah yang paling diinginkan perempuan saat ulang tahun'
Banyak artikel yang muncul. Alan membuka artikel paling atas sendiri dan mulai fokus membacanya.
"Nomer satu, cincin."
Alan melototkan kedua matanya, membacanya sekali lagi karena takut salah baca.
"Cincin?"
Alan geleng-geleng, tidak menyetujui nomer satu.
"Dikira gue mau ngelamar anak orang."
Alan beralih membaca hadiah selanjutnya.
"Nomer dua, kalung."
Alan menghela napas pelan, berusaha sabar.
"Sama aja dengan nomor satu. Dikira gue mau kasih mahar."
Alan melanjutkan membaca.
"Nomer tiga, bunga."
Alan bergumam pelan sembari geleng-geleng kedua kalinya.
"Mama Alen punya toko bunga. Pasti nggak berkesan buat dia."
Alan mencoba untuk tetap optimis dan meneruskan membaca.
"Nomer empat, doa ucapan selamat."
Helaan napas Alan semakin terdengar berat.
"Semua juga suka didoakan dan bisa melakukannya."
Alan menahan kesabarannya, berharap saran hadiah selanjutnya memuaskan dirinya.
"Nomer lima, makan malam romantis."
Alan langsung menjatuhkan ponselnya di meja dengan cukup keras, membuat Gesa langsung menoleh ke arahnya dengan bingung.
"Lo kenapa?" heran Gesa.
"Lagi nyari."
"Nyari apa?"
Alan menoleh ke arah Gesa, mengembangkan senyumnya tipis.
"Beruang yang bisa bertelur."
****
Alen melihat Alan sudah bertenger di motornya sembari memainkan ponselnya. Alen mempercepat langkahnya dan segera mendekati Alan. Kali ini, Alen tidak mempermasalahkan jika dia pulang bersama dengan Alan dan dilihat oleh teman-temannya. Toh, semua warga sekolah sudah tau hubungannya dengan Alan. Jadi, tidak perlu ada yang disembunyikan.
"Kak maaf buat nunggu. Udah lama?"
Alan menatap Alen sembari memasukan ponselnya ke saku.
"Baru aja."
"Ayo, Kak. Berangkat sekarang," ajak Alen.
Alan pun segera memakai helmnya begitu juga dengan Alen. Tak lama kemudian, mereka beranjak keluar dari gerbang sekolah dan menjadi sorotan beberapa siswa dan siswi.
*****
Alan segera memarkirkan motornya, mereka berdua telah sampai di toko perlengkapan ulang tahun yang dekat dengan daerah rumah Alan.
"Masuk dulu aja, nanti gue nyusul," suruh Alan.
Alen mengangguk, ia menyerahkan helmnya ke Alan. Setelah itu meninggalkan Alan untuk masuk duluan ke dalam toko.
Alen langsung menuju ke kartu undangan, banyak motif yang lucu-lucu membuat Alen bingung untuk memilihnya. Alen sudah mendiskusikan tema ulang tahunnya dengan Mamanya siang tadi di telfon. Alen ingin temanya bernuansa putih dan merah mudah. Dan, Mamanya langsung setuju.
Mata Alen tertuju ke sebuah kartu berwarna putih dan di depannya ada motif kepala beruang warna merah muda. Sangat lucu. Alen langsung jatuh cinta. Tanpa ragu-ragu Alen segera mengambil kartu tersebut, membelinya lima bungkus.
"Alen."
Alen terkejut mendengar suara panggilan yang tiba-tiba. Alen menoleh ke samping dan menemukan seorang cowok yang cukup familiar sudah berdiri di sampingnya.
"Kak Dean," sapa Alen, cukup mengenal kakak kelasnya waktu SMP itu, yang merupakan vokalis band SMP-nya dan dulu memang pernah menyukainya.
"Apa kabar? Lama nggak jumpa."
"Baik, Kak. Kak Dean sendiri gimana kabarnya?"
"Baik juga. Lo sekolah di SMA Savana ya?"
"Iya, Kak."
"Sayang banget nggak di SMA Garuda, pasti kisa satu sekolah."
"SMA Savana lebih dekat dengan rumah, Kak."
"Its okay, Len. Lo kesini sama siapa?"
Belum sempat Alen menjawab, sosok Alan sudah datang menghampirinya tanpa menyadari keberadaan Dean.
"Udah beli kartu undangannya?" tanya Alan berdiri di samping Alen.
"Kalian masih pacaran? Bukannya sudah putus?" tanya Dean yang terkejut melihat keberadaan Alan.
Alan langsung menoleh ke arah Dean, baru menyadari sosok Dean. Otak Alan memproses cepat dan langsung teringat tentang Dean. Playboygadungan di SMP-nya dan dulu pernah mengejar Alen pantang menyerah.
Sedangkan Alen merasakan keadaan tiba-tiba canggung. Ia sangat tidak nyaman melihat Alan dan Dean saling berhadapan, mengingat bagaimana hubungan mereka cukup tidak baik saat SMP dan penyebabnya adalah Alen.
"Lo masih hidup?" Alan dengan santainya memberikan sapaan sarkas kepada Dean.
"Jelaslah! Kalau gue nggak hidup yang lo lihat sekarang siapa? Arwah gue?"
Alan tak mempedulikan ucapan Dean, ia kembali menatap Alen.
"Sudah ketemu kartu undangannya?" tanya Alan mengulangi.
"Sudah, Kak," jawab Alen.
"Buruan bayar," suruh Alan.
"Iya, Kak."
Alen berniat beranjak. Namun, baru satu langkah, Dean tiba-tiba mendekat dan mencegah lengan Alen, membuat Alen maupun Alan kaget melihatnya.
"Len, lo ganti nomer ya? Boleh minta nomer lo?" tanya Dean segera mengeluarkan ponselnya dan menyodorkannya ke Alen.
"Gue nggak pernah ganti nomer, Kak."
Dean mengerutkan kening bingung.
"Terus kenapa gue nggak bisa nelfon lo? Gue chat lo juga centang aja."
Alan berjalan mendekat, langsung menepis tangan Dean dari lengan Alen.
"Gue yang blokir," ucap Alan tanpa takut.
Kini giliran Dean dan Alen beralih menatap Alan dengan terkejut. Nyatanya, memang benar. Alen menyaksikan sendiri dua tahun yang lalu saat Alan kesal dengan Dean yang terus mengirim chat ke Alen, Alan langsung memblokir nomer Dean dari ponsel Alen.
Melihat sorot mata elang Alan membuat nyali Dean menciut. Dean tidak ingin cari masalah dengan Alan.
"Kalau gitu gue pamit ya Len. Langgeng kalian berdua."
Setelah itu, Dean langsung pergi begitu saja. Sedangkan, Alen masih menatap kepergian Dean dengan tatapan hampa.
"Apanya yang langgeng? Kita nggak balikan," lirih Alen tanpa sadar.
"Gue denger, Len."
Alen tersadarkan dan buru-buru kabur ke kasir. ia malu sendiri setelah mengatakannya. Alan pun mengikuti Alen dari belakang.
*****
Alen menyerahkan lima bungkus kartu undangannya ke pegawai kasir. Kemudian mengeluarkan dompetnya untuk membayar.
"Kak hari ini kita ada diskon gantungan kuncicouple, kakaknya nggak pengin punya barang yang sama dengan pacarnya?" tanya pegawai kasir sembari menunjuk Alan.
Alen langsung salah tingkah sendiri mendengar ucapan pegawai kasir tersebut.
"Coba lihat, Kak. Lucu kan. Sayang banget kalau nggak dibeli. Mumpung lagi diskon hari ini," pegawai kasir tersebut terus berusaha membujuk Alen.
Alen menatap dua gantungan kunci berbentuk kepala beruang yang sangat lucu. Satunya berwarna cokelat muda dan satunya berwarna cokelat tua.
"Kalau beli satu aja nggak bisa ya Kak?" tanya Alen menawar.
"Maaf Kak nggak bisa. Karena ini satu paket. Kenapa beli satu, Kak? Kan romantis bisa samaan sama pacarnya."
Alen dapat merasakan kedua pipinya semakin merona. Sangat malu.
"Kak berapa semua totalnya?" tanya Alen berusaha mengalihkan topik.
"Totalnya semua Tiga ratus lima puluh ribu, Kak. Gantungan kuncinya nggak diambil juga, Kak?"
Alen menggeleng kecil dan tetap mempertahankan senyumnya.
"Nggak, Kak. Makasih," tolak Alen sopan dan segera menyerahkan uangnya.
Setelah membayar Alen pun mengambil barangnya dan berjalan keluar dari toko. Alen tidak berani menatap Alan. Sedangkan, Alan pun masih tetap diam dan mengikuti Alen.
*****
"Mau kemana lagi?" tanya Alan sembari memakai helmnya.
"Langsung pulang aja, Kak," jawab Alen berusaha melawan rasa malunya.
Alan terdiam sejenak.
"Alen," panggil Alan.
"Iya, Kak?"
"Lo pengin beli gantungan kunci tadi?" tanya Alan.
Alen tertegun mendengar pertanyaan Alan yang tak pernah ia duga. Alen menggeleng cepat, sengaja berbohong. Alen tidak ingin membebani Alan. Alen merasa sudah cukup merepotkan Alan hari ini.
"Nggak Kak."
"Beneran?"
"Iya."
Alan mengangguk, tak ingin memaksa.
"Ayo pulang."
Mereka segera naik motor dan beranjak untuk menuju pulang. Langit sore yang tadinya cerah mendadak berubah mendung. Sepertinya hujan akan segera turun.
****
Benar saja, tak lama kemudian hujan turun cukup deras. Alan meminggirkan motornya di mini market terdekat dan berteduh di sana bersama Alen.
Sembari menunggu hujan redah, Alan membeli dua botol air mineral untuk Alen dan dirinya.
Baik Alan dan Alen fokus menatap ke jalanan dan derasnya air yang tertumpah dari langit. Udara pun terasa lebih dingin.
Alen menoleh ke Alan, mengamati wajah rupawan cowok itu yang tak pernah sirna. Kadang Alen masih tidak menyangka, bagaimana bisa cowok setampan ini dan sepintar ini bisa menyukai dirinya.
"Kak Alan," panggil Alen pelan namun cukup terdengar oleh Alan.
Alan menoleh.
"Apa?"
"Boleh tanya?"
"Boleh."
Alen menghela napas panjang, menyiapkan hatinya sejenak.
"Kak Alan nggak bohong dengan ucapan Kak Alan kemarin?" Entah keberanian dari mana yang di dapat oleh Alen, sehingga ia menekatkan diri untuk bertanya saat ini.
"Ucapan yang mana?" tanya Alan memastikan.
"Kak Alan bilang masih suka sama gue."
"Gue nggak bohong," jujur Alan.
"Terus?" Alen semakin gugup.
"Terus apa?"
Alen terdiam bingung. Lagi-lagi Alan hanya berucap sampai kalimat tersebut tanpa memberi penjelasan lanjutan.
"Nggak apa-apa, Kak." Alen kembali menatap ke depan. Ia lagi-lagi hanya bisa menahan rasa kecewanya. Alen tak ingin bertanya lebih lanjut, ia takut terlihat seperti gadis agresif yang tidak tau diri.
Alan masih terus menatap Alen dengan bingung. Senyum Alan mengembang tipis menyadari raut wajah Alen berubah kesal namun tetap menggemaskan.
"Gue salah ngomong, ya?" tanya Alan.
Alen menggeleng.
"Nggak."
"Terus kenapa wajahnya berubah kesal?"
"Nggak apa-apa."
"Jawabnya juga singkat."
"Gue nggak kesal, Kak."
"Nadanya juga ketus."
Alen berdecak pelan, kembali menatap Alan lebih kesal. Cowok itu hanya ingin menguji kesabarannya atau benar-benar tidak tau alasannya.
"Kak Alan jangan buat tambah kesal. Gue cuma kedinginan dan pengin cepat pulang."
"Kesal kenapa?"
"Coba tebak kenapa!" tantang Alen dengan berani.
Alan berpikir keras.
"Karena gue cegah Dean minta nomer lo?"
Alan menghela napas berat dengan tatapan jengah ke Alan. Ternyata ada cowok yang tidak peka seperti Alan.
"Bukan itu!"
"Terus apa?"
Kali ini Alen bisa menemukan jawaban di kedua mata Alan. Bahwa cowok itu memang tidak mengerti alasan Alen kesal. Alen mengembangkan senyumnya hangat.
"Gue kesal karena nggak bisa beli gantungan kunci beruang tadi."
******
#CuapCuapAuthor
BAGAIMANA CHAMOMILE PART TIGA PULUH TIGA? SUKA NGGAK?
TOLONG SIAPAPUN SADARKAN ALAN KALAU ALEN SUDAH KASIH KODE KERAS!!!
CHAMOMILE PART 34 MAU BACA YANG HAPPY-HAPPY ATAU SEDIH-SEDIH?
SAMPAI JUMPAT HARI SABTU MALAM. CHAMOMILE PART 34 AKU USAHAKAN UPDATE BESOK MALAM ^^
JANGAN LUPA TINGGALKAN VOTE DAN COMMENT YA. SELALU PALING DITUNGGU DARI TEMAN-TEMAN PASUKAN PEMBACA ^^
Jangan lupa juga untuk pantengin info-info tentang cerita Chamomile di Instagram luluk_hf dan lulukhf_stories yaa ^^
MAKASIH BANYAK TEMAN-TEMAN PASUKAN PEMBACA SEMUA. MAKASIH SUDAH SELALU SUPPORT. BENAR-BENAR KANGEN KALIAN SEMUA. JANGAN LUPA JAGA KESEHATAN YAA. SAYANG KALIAN SEMUAA ^^
Salam,
Luluk HF
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro