Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

32 - BAIKAN BUKAN BALIKAN

Assalamualaikum teman-teman Pasukan Pembaca semua. Bagaimana kabarnya? Semoga sehat selalu ya. 

SIAPA YANG SUDAH KANGEN BACA CHAMOMILE? 

Aku minta maaf beberapa hari yang lalu belum bisa update. Semoga part ini bisa menebus kerinduan teman-teman pasukan pembaca yaa ^^ 

SUDAH SIAP BACA CHAMOMILE PART 32? 

JANTUNGNYA HARUS AMAN YA BACA PART INI. OKE? 

DAN, SELAMAT MEMBACA CHAMOMILE. SEMOGA SUKA ^^ 

*****

Ponsel Alen berdering, satu pesan masuk. Alen segera membukanya. Senyum Alen mengembang saat membaca pesan tersebut.

Alan Dhana Wistana

Gue sudah di depan rumah lo

Alen segera mengambil tasnya dan keluar dari rumahnya. Jujur sejak semalam Alen tidak bisa tidur tenang karena memikirkan hari ini. Alen tidak menduga hubungannya dengan Alan akan membaik seperti ini.

Padahal, dua tahun yang lalu, ia mengira bahwa Alan tidak akan pernah memaafkannya. Alen sangat bersyukur Alan bisa menerima alasannya dan mau memaafkannya.

*****

Alen melambaikan tangan dengan sedikit canggung saat melihat Alan yang sudah bertenger di motornya. Alen berjalan mendekat.

"Hai, Kak," sapa Alan.

Alan menatap Alen sebentar.

"Nggak pakai jaket?" tanya Alan mengamati Alen yang memakai kaos lengan pendek.

Alen menunjuk ke langit.

"Panas, takut keringetan," jawab Alen.

"Nggak takut kulit lo gosong?"

"Emang kalau gosong Kak Alan nggak suka?"

Alan tertegun sesaat.

"Maksudnya?"

Alen merutuki ucapannya sendiri yang keluar tanpa dipikir dua kali. Jujur Alen setengah sadar mengatakannya tadi. Efek terlalu deg-degan.

"Maksudnya kalau kulit gue gosong bakalan bikin orang-orang jadi nggak suka sama gue?" ralat Alen cepat.

Alan hanya menjawab dengan gelengan singkat, masih tak paham dengan pertanyaan Alen. Alan segera menyerahkan helm ke Alen.

"Buruan pakai," suruh Alan.

Alen mengangguk dan menerimanya. Sebelum memakai helm tersebut, Alen mengembangkan senyumnya, helm kenangan dua tahun yang lalu dan masih disimpan baik-baik oleh Alan.

"Ayo, Kak," ucap Alen setelah naik di motor Alan.

Alan menoleh.

"Lo beneran nggak mau ambil jaket?"

"Nggak Kak. Gue dari pagi gerah banget."

Alan meneghela napas panjang, tak ingin berdebat. Padahal matahari cukup terik siang ini.

"Aneh."

"Siapa yang aneh? Gue?" tanya Alen tak terima.

"Iya."

Alen mendesis kecil, baru pertama kali ini dibilang aneh oleh Alan.

"Aneh juga Kak Alan pernah suka," gerutu Alen pelan.

"Gue denger, Len."

"Maaf, Kak."

Alan pun memilih segera menyalakan motornya, tak ingin telat untuk pemanasan dengan teman-temannya.

****

Alan sudah dapat mengkap tatapan nakal dari teman-temannya. Bahkan beberapa orang yang menjadi penonton pun menatapnya dengan Alen, mereka mulai bisik-bisik dan bergosip ria.

Alen pun bisa merasakan bahwa dia sedang menjadi perbincangan di setiap sudut lapangan. Alen berusaha untuk tidak peduli dan tetap mengikuti Alan dari belakang.

"Oh jadi ini depannya M belakangnya N," Gesa menyambut Alan dengan godaan.

"Diem," tajam Alan.

"Gue kira si Mimin, eh ternyata si Mantan," tambah Jaka tak ingin ketinggalan.

Alan menempelkan jari telunjuknya di bibir, memberikan peringatan terakhir kepada sahabat-sahabatnya. Sedangkan, Alen hanya bisa tersenyum canggung dan malu.

"Udah baikan?" tanya Alfin dengan suara berbisik ke Alan.

"Hm," balas Alan seadanya.

"Setelah ini balikan?"

"Diem Pin," ancam Alan.

Alfin terkekeh puas mendengar Alan yang mulai frustasi. Alfin berpindah ke Alen yang terlihat tidak nyaman.

"Gimana rasanya, Len?" tanya Alfin tanpa basa-basi.

"Apa, Kak?" bingung Alen.

"Diajak baikan?"

"Jangan sampai salah loh Pin, baikan bukan balikan!" seru Gesa dan Jaka tak ada habisnya.

Alan bersiap akan melempar Jaka dan Gesa dengan handuknya, namun dua bocah itu sudah kabur duluan untuk pemanasan di tengah lapangan, meninggalkan Alan, Alfin dan Alen di pinggir lapangan.

Alfin menepuk pelan lengan Alen.

"Hati-hati, Len," ucap Alfin gantung.

"Hati-hati apa, Kak?" Alen semakin tidak mengerti jalan pikiran Alfin.

Alfin tak langsung menjawab, ia melirik ke Alan yang sedari tadi menatapnya dengan sorot elangnya, namun yang namanya Alfin tidak akan pernah ada takutnya.

Bukannya langsung kabur, Alfin malah menggeser tubuhnya agar lebih dekat dengan Alen.

"Hati-hati setelah baikan, diajak balikan."

Dengan langkah secepat kilat Alfin berhasil kabur tanpa tertangkap oleh Alan. Kini hanya tinggal Alan dan Alen berdiri berdampingan dengan keadaan canggung karena ucapan Alfin.

"Sori," ucap Alan memecah keheningan mereka.

"Untuk apa, Kak?" Alen pun berusaha untuk tetap bersikap tenang walau sulit.

"Ucapan temen-temen gue buat lo nggak nyaman."

"Nggak apa-apa, Kak."

Alen mengedarkan pandangannya, mencoba mencari sosok Ara di tengah tribun penonton. Setidaknya Alen bisa ada temannya.

"Lo duduk dulu di kursi pemain," suruh Alan.

Alen mengangguk pelan.

"Gue ke toilet dulu ya, Kak."

"Oke."

Alen pun segera meninggalkan Alan untuk menuju toilet. Alen perlu mengambil oksigen sebanyak-banyaknya setelah di-roasting dadakan oleh ketiga sahabat Alan yang cukup menyebalkan.

*****

Alen mengurungkan niatnya untuk masuk ke dalam toilet, ia tak sengaja mendengar namanya mulai disebut oleh para cewek di dalam sana.

"Alan tadi berangkat sama cewek."

"Itu mantannya. Namanya Alen."

"Balikan mereka?"

"Sepertinya iya. Kalau nggak balikan mana mungkin diajak."

"Nggak kaget sih mantannya cantik gitu."

"Tapi, gue denger gosip anak kelas satu, si Alen itu cuma cantik doang, otaknya bodoh banget."

"Hah? Bodoh?"

"Dia peringat paling bawah di kelasnya."

"Kok Alan bisa mau sih? Kan Alan pinter banget."

"Jaman sekarang kan yang dicari cowok pasti cantiknya, nggak peduli pinter atau bodoh."

"Enak ya jadi cewek cantik. Gue juga mau."

Langkah Alen semakin memundur, entah kenapa hatinya terasa seperti tertusuk sesuatu yang menyakitkan. Kenyataan yang bahkan tak bisa Alen elak, karena hampir semua ucapan cewek-cewek di toilet sana benar adanya.

Alen membalikan tubuhnya, berjalan menjauhi toilet. Kepala Alen tertunduk.

"Kenapa Kak Alan dulu suka sama gue?"

Ya, kini Alen mulai mempertanyakan hal itu. Dia memang tidak punya kelebihan apapun kecuali kecantikan wajahnya yang selalu dikagumi orang-orang. Apakah Alan juga sama seperti orang-orang lainnya? Hanya mengagumi wajah cantiknya?"

****

Mood Alen langsung hancur dalam sekejap, wajahnya yang cerah seketika meredup dipenuhi kesedihan hanya karena mendengar ucapan pahit beberapa menit yang lalu.

Alen memilih tak kembali ke lapangan, dia ingin menenangkan hatinya sejenak. Alen menikmati sepoi angin di taman belakang sekolah.

Beberapa menit kemudian, ponsel Alen berdering, ada panggilan dari Ara.

"Lo dimana, Ra?"

"Suara lo kenapa lemas gitu? Siapa yang nyakitin lo? Bilang ke gue!"

"Emang lo mau lawan mereka semua yang nyakitin gue?"

"Mau-lah! Semua orang yang nyakitin lo akan gue lawan kecuali Mama tiri lo!"

Alen tertawa tanpa sadar.

"Kenapa nggak berani lawan Mama gue? Takut?"

"Takutlah! Nyawa gue cuma satu kagak seperti nyawa kucing, Len!"

Lagi-lagi Ara berhasil membuatnya tertawa. Alen merasa bersyukur gadis itu menelfonnya di waktu yang tepat.

"Lo dimana?" ulang Alen.

"Lo kenapa dulu? Ada apa?"

Lagi-lagi Alen harus bersyukur memiliki Ara dan Sanda yang sangat mengerti tentang dirinya. Saat Alen bahagia maupun sedih, tanpa Alen cerita baik Ara dan Sanda pasti langsung bisa menebak, seperti sekarang.

"Tadi ada yang ngomongin gue di toilet setelah gue dan Kak Alan datang bareng." Alen memberanikan diri untuk bercerita, setidaknya dengan cerita bisa membuat Alen lebih lega.

"Terus?"

"Mereka bilang gue bodoh dan mempertanyakan kenapa Kak Alan dulu bisa suka sama gue. Kata mereka karena gue cantik. Dan, menurut mereka Kak Alan sama seperti cowok-cowok di luar sana yang hanya menyukai gadis cantik tanpa peduli pinter apa enggaknya."

Terdengar helaan berat dari sebrang sana, menandakan Ara sudah mulai emosi.

"LO LIHAT NGGAK WAJAH CEWEK-CEWEK ITU? BURUAN FOTO ATAU TANDAIN! GUE HABISIN MEREKA! BERANI BANGET NGATAIN SAHABAT GUE BODOH! CUMA GUE YANG BOLEH NGATAIN LO SEPERTI ITU!! YANG LAIN NGGAK BOLEH!"

Alen menjauhkan telfon dari telinganya dengan cepat, suara teriakan Ara sudah sepert nuklir yang meletup-letup, sangat mematikan.

"Tapi, gue ngerasa ucapan mereka bener, Ra. Gue kan emang bodoh dan cuma cantik aja. Makanya gue nggak bisa lawan."

"Alena Chamomile,"panggil Ara terdengar menahan kesabaran.

"Iya, Ra?"

"Lo emang bodoh, tapi bukannya bodoh banget dan lo punya banyak keahlian, Len."

"Beneran Ra, gue nggak bodoh-bodoh banget?"

"Bener. Mau gue uji?"

"Iya, mau," balas Alen dengan polosnya.

"Pancasila sila ke tiga apa?"

"Hah?" kaget Alen mendapat pertanyaan mendadak dari Ara.

"Lambangnya deh."

Alen mengerutkan kening, semakin bingung.

"Burung garuda?"

Hening! Tak ada sahutan apapun dari Ara. Entah gadis itu sedang mengumpati Alen atau sedang berteriak dalam hati menahan frustasi karena jawaban Alen.

"Alen,"panggil Ara, nada suaranya berubah pasrah.

"I... Iya, Ra?"

"Setelah pertandingan, lo samperin Kak Alan ya."

"Emang kenapa, Ra?"

"Lebih baik lo tanya langsung. Kak Alan dulu kenapa bisa suka sama gadis bodoh seperti lo!!!"

Bip! Panggilan diputus begitu saja oleh Ara. Alen menatap layar ponselnya dengan tatapan hampa dan pasrah.

"Gue beneran memang bodoh."

Alen mendapatkan satu pesan dari Ara, dengan tubuh yang makin tak ada energi, Alen terpaksa membukanya.

Aira Flo Lily

Gue nggak jadi datang lihat pertandingan. Mama dan Papa tiba-tiba ajak gue ke rumah temannya. Fotoin Kak Alfin yang banyak!!!!

Dan... Lo nggak bodoh. Lo hanya lemah di beberapa pelajaran. Lo punya kelebihan lainnya yang belum tentu orang lain punya seperti menulis dan mengarang. Lo juga bisa belajar untuk merubah kelemahan lo itu mulai dari sekarang.

Terakhir, lambang sila ke tiga pohon beringin! Bukan Burung Garuda!!!!

Alen tak bisa menahan tawanya. Membaca pesan Ara membuatnya sangat terharu sekaligus terhibur. Ara memang gadis paling jujur yang pernah dikenalnya dan karena kejujuran Ara juga Alen selalu merasa lebih berani untuk menghadapi hari kedepannya.

Alen menghela napas panjang, menguatkan dirinya.

"Benar, gue bisa merubah kebodohan gue."

Alen bangkit dari duduknya, ia melirik jam tangannya dan terkejut saat mengetahui sudah pukul setengah empat. Alen tak sadar dia sudah duduk di taman belakang sekolah lebih dari sejam.

Alen segera berlari menuju lapangan, dia sudah ketinggalan hampir setengah pertandingan. Alen mempercepat laju larinya, hingga tak menyadari ada beberapa lantai yang basah.

"Huaaa....." teriak Alen ketika tubuhnya tak seimbang.

Bruk!!!

Alen langsung terjatuh di lantai yang sedikit basah, Alen merasakan pingganya nyeri bukan main. Ia merutuki kecerobohannya sendiri.

Alen tak berani berdiri, ia mencoba meredakan nyeri pingganya dulu. Untung saja tidak ada siapapun di lorong kelas sehingga tidak ada yang melihat adegan memalukannya.

"Lo nggak apa-apa?"

Alen langsugn mendongakkan kepala, kaget melihat Alan yang berdiri di depannya dengan masih mengenakan baju basketnya dengan keringan yang juga masih memenuhi wajah, leher bahkan lengannya.

"Kak Alan kok bisa di sini?" heran Alen.

Alan tak langsung menjawab, ia berjongok di hadapan Alen.

"Lo dari mana?" tanya Alan tanpa menjawab pertanyaan Alen.

"Taman belakang. Maaf Kak, gue ngelamun di sana tanpa sadar sudah setengah empat."

Alan menghela napas panjang, terlihat ada raut lega di wajah cowok itu.

"Gue kira lo pingsan di toilet."

Alen tertunduk bersalah. Ia merepotkan Alan kembali.

"Maaf, Kak."

Alan menggeleng pelan, ia lebih mendekatkan tubuhnya.

"Bisa berdiri?" tanya Alan.

Alen mengangguk dan mencoba berdiri. Alan pun membantu memapah tubuh Alen, untung saja rasa nyeri pinggang Alen tidak terlalu parah dan mulai meredah.

"Kak Alan nggak tanding?" tanya Alen masih bingung melihat Alan di sampingnya.

"Gue nyari lo."

"Terus nggak ikut tanding?" nyaring Alen masih tak puas dengan jawaban Alan.

"Sudah di kuartel pertama dan kedua."

Alen menghela napas lega, mengira Alan tidak ikut bertanding.

"Maaf Kak gue ngerepotin lo."

"Berhenti minta maaf, Len."

Alan melepaskan tangannya dari bahu dan lengan Alen, pandangan Alan beralih ke tali sepatu kanan Alen yang terlepas. Tanpa banyak kata, Alan kembali berjongkong dan berniat menyentuh sepatu Alen.

"Kak Alan mau apa?" kaget Alen refleks menjauhkan kakinya dari Alan.

Alan mendongakkan kepalanya.

"Ikat tali sepatu lo."

"Untuka apa? Gue bisa sendiri," tolak Alen. Mau tak mau Alen segera berjongkok kembali dan mengikat tali sepatunya dengan cepat. Beberapa kali Alen meringis karena masih terasa nyeri di pingganya.

Alan pun hanya bisa diam dan memperhatikan Alen yang terlihat menahan sakit di pinggangnya.

"Sudah!" seru Alen langsung berdiri tegak.

Alan ikut berdiri setelah memeriksa tali sepatu Alen sudah terikat dua-duanya. Alan menatap Alen yang melebarkan senyumnya, seolah ingin menyembunyikan kesakitannya.

"Kenapa lo tiba-tiba ke taman belakang sekolah?" tanya Alan ingin tau.

Alen terdiam sesaat, tak bisa menjawab. Ia berusaha mencari jawaban yang aman di kepalanya yang minimalis.

"Gue niatnya cuma pengin cari angin sejuk, malah keterusan dan nggak lihat jam," jawab Alan tak sepenuhnya bohong.

"Lo nggak ada keinginan lihat gue tanding tadi?"

"Ada, Kak. Tapi..." Alen tak bisa menemukan kalimat yang pas saat ini. Otaknya tak bisa diajak berpikir lagi. Perlahan Alen pun tertunduk lemah. "Maaf, Kak."

Alan tersenyum tipis. Tangan Alan terulur menyentuh rambut Alen dan mengacak-acak pelan puncak rambut Alen. Sentuhan tangan Alan berhasil membuat tubuh Alen membeku sekejap. Alen menatap Alan dengan kedua mata lebar, terkejut sekaligus bingung dengan sikap Alan saat ini.

Beberapa detik keduanya masih saling menatap.

"Gue nggak akan mengelak salah satu hal yang buat gue dulu suka sama lo karena lo cantik. Tapi, nggak hanya itu Len."

"Ka.. Kak Alan denger pembciaraan gue dan Ara di telfon?" tebak Alen.

Alan mengangguk.

"Iya, sori. Gue nggak sengaja dengar."

Alen mengigit bibirnya, ia sangat gugup sekaligus malu.

"Sikap lo yang apa adanya dan selalu tulus berbuat apapun juga yang buat gue dulu suka sama lo." tambah Alan mengungkapkannya dengan jujur. 

Alen merasakan jantungnya berdetak lebih cepat, ia tersipu mendengar jawaban Alan yang begitu menenangkannya. Alen memberanikan diri untuk menatap Alan lagi.

"Kalau sekarang gimana?" tanya Alen.

"Apa?" bingung Alan.

"Kak Alan masih suka sama gue?" Entah keberanian dari mana yang Alen dapat hingga bisa nekat bertanya.

Tangan Alan perlahan turun dari rambut Alen tanpa mengalihkan pandangannya sedetik pun dari Alen.

"Iya."

"Iya Apa?" Alen meminta lebih jelas.

"Gue masih suka sama lo."

*****

#CuapCuapAuthor

BAGAIMANA CHAMOMILE PART TIGA PULUH DUA? SUKA NGGAK???

MALAM INI JANGAN HARAP BISA TIDUR YAA!! SELAMAT SENYUM-SENYUM DAN BAPER SAMPAI BESOK PAGIII!!

SIAPA YANG NAHAN TERIAK MALAM-MALAM KARENA PART INI ANGKAT TANGANNYA!!!

CHAMOMILE PART 33 MAU DIUPDATE HARI APAAAAA? 

JANGAN LUPA TINGGALKAN VOTE DAN COMMENT YA. SELALU PALING DITUNGGU DARI TEMAN-TEMAN PASUKAN PEMBACA ^^

Jangan lupa juga untuk pantengin info-info tentang cerita Chamomile di Instagram luluk_hf dan lulukhf_stories yaa ^^

AKU BAKALAN KASIH SPOILER PART 32 DI INSTAGRAMKU YA. SIAP-SIAP PANTENGIN INSTAGRAMKU luluk_hf ^^

TEMAN-TEMAN PASUKAN PEMBACA AKU BENER-BENER MAKASIH BANYAK UNTUK SEMUA SUPPORTNYA. AKU TERHARU DAN SENENG BANGET TEMAN-TEMAN SEMUA NANYAIN KAPAN CHAMOMILE UPDATE BEBERAPA HARI INI. AKU SELALU BAHAGIA BACA SUPPORT DARI KALIAN SEMUA. SAYANG BANGET SAMA KALIAN SEMUA. JANGAN LUPA JAGA KESEHATAN YAA ^^


Salam,


Luluk HF

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro