Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

30 - TWO YEARS AGO

Assalamualaikum teman-teman Pasukan Pembaca semua. Bagaimana kabarnya hari ini? Semoga sehat selalu ya ^^ 

HAPPY CHAMOMILE'S DAY EVERYONE ^^ 

Nggak nyangka banget, Alhamdulillah CHAMOMILE sudah sampai di part 30 aja. Makasih banyak buat teman-teman Pasukan Pembaca yang setia buat baca dan support CHAMOMILE. Sayang kalian semuaanyaa ^^

BTW, HARI INI DI RUMAH KALIAN HUJAN, NGGAK? 

SIAP UNTUK BACA CHAMOMILE PART 30? 

Sebelumnya mau tanya dong, ada yang tau atau ada yang jual aplikasi Fake chat whatsApp dan fake twitter buat android, nggak? 

DAN, SELAMAT MEMBACA CHAMOMILE. SEMOGA SUKA ^^ 

*****

Seperti yang dikhawatirkan oleh Alen, kabar mengenai dirinya dan Alan yang pernah pacaran menyebar begitu cepat di penjuru SMA Savana. Alen sudah menyiapkan mentalnya sejak semalam, berusaha untuk tidak terlalu takut. Toh, itu bukan sebuah aib. Alen membiarkan saja semua orang bergosip asal tidak sampai berspekulasi yang jelek-jelek tentangnya.

Alen terkejut tiba-tiba Aldo langsung menariknya di parkiran.

"Do, mau kemana?" bingugn Alen kesulitan menyeimbangi langkah Aldo yang cepat.

Aldo tak menjawab dan terus saja menggiringnya hingga mereka berhenti dekat gudang belakang sekolah.

"Lo khianatin gue!" tegas Aldo dengan sorot tak terima.

Alen menghela napas panjang, untuk yang satu ini Alen tidak mengira dan belum menyiapkan apapun.

"Gue nggak bermaksud, Do."

Aldo menggeleng-geleng.

"Selama sebulan kita bertiga terus bersama. Selama sebulan juga lo berdua bersikap seolah nggak ada apapun. Gue seperti orang bodoh di antara lo berdua!"

"Do, gue hanya nggak ingin..."

"Gue sebenarnya sudah duga lo dan Kak Alan pasti ada hubungan entah apa itu. Melihat bagaimana Kak Alan selalu perhatian ke lo dan belain lo. Tapi, gue nggak nyangka kalau kalian adalah mantan pacar."

"Hubungan gue dan Kak Alan nggak sebaik yang lo kira, Do," ungkap Alen jujur.

"Apanya yang nggak baik? Jelas-jelas Kak Alan selalu perhatian ke lo!" terang Aldo.

Alen bergumam pelan, merasa ragu untuk mengiyakan ucapan Aldo.

"Intinya gue minta maaf nggak bisa jujur. Sumpah gue nggak bermaksud khianatin lo," lirih Alen merasa bersalah.

Aldo mendesah berat, sebenarnya ia juga tidak sepenuhnya marah hanya sedikit kecewa saja.

"Jadi, lo dan Kak Alan beneran pernah pacaran dulu?"

"Iya, bener."

"Sekarang masih pacaran?"

"Nggak, Do. Kita udah lama putus."

"Kenapa? Siapa yang putusin?"

"Gue. Makanya, Kak Alan masih benci sama gue."

Aldo mengernyitkan keningnya.

"Kak Alan benci sama lo?"

"Iya, dia yang bilang sendiri."

"Nggak mungkin. Mana ada orang benci tapi setiap hari kasih perhatian."

Alen mencerna baik-baik ucapan Aldo, sejujurnya dia juga terkadang bingung dengan sikap dan ucapan Alan yang tak pernah singkron.

"Menurut lo, Kak Alan perhatian sama gue? Nggak benci sama gue?"

"Iya, menurut gue dia perhatian sama lo."

"Ya mungkin Kak Alan hanya perhatian sebagai kakak kelas aja."

"Tapi dia nggak pernah perhatian sama gue, Len."

Alen menepuk-penuk Aldo, prihatin dengan nasib cowok itu.

"Lo terlalu menyebalkan untuk diberi perhatian!"

****

Alen tak bisa fokus sepanjang pelajaran Bahasa Indonesia kesukaannya. Bukan lagi memikirkan karena gosip di sekolah yang semakin panas. Tapi, Alen memikirkan bagaimana hari ini dia akan menjelaskan ke Alan, alasan dulu dia putusin Alan tanpa penjelasan.

"Gimana?" bisik Sanda.

Alen menoleh ke Sanda dengan bingung.

"Apa?" tanya Alen.

"Sudah siapin jawaban?"

Alen mengangguk pasrah. Semalam Alen memang sudah bercerita ke Sanda dan Ara tentang janjinya ke Alan.

"Sudah, tapi gue gugup banget."

Ara tiba-tiba membalikkan badan dari mejanya, seolah mendapatkan insting untuk tidak melewatkan pembicaraan dengan sahabat-sahabatnya.

"Nggak usah takut Alen. Gue yakin Kak Alan bakalan maafin lo," tambah Ara memberikan semangat.

"Kalau ternyata Kak Alan nggak bisa nerima alasan gue, gimana?" gusar Alen.

"Alen, lo ingat kan perkataan gue?" tajam Ara.

"Perkataan yang mana?"

"Cukup otak lo aja yang pesimis, semangat lo jangan juga ikutan pesimis."

Alen mendecak kesal, harusnya dia sudah menduga Ara akan mengatai dirinya.

"Iya, gue ingat!"

"Jadi, hilangin pikiran jelek lo. Lo harus yakin!"

Sanda menepuk pelan bahu Alen.

"Bener kata Ara, Len," tambah Sanda.

Alen langsung menoleh ke Sanda dengan bibir merucut.

"Kata yang mana? Otak gue pesimis?"

"Bukan itu. Hilangin pikiran jelek lo! Kak Alan pasti maafin lo," gemas Sanda.

Alen lagi-lagi hanya bisa mengangguk pasrah. Ia menarik napas panjang dan menghembuskan napasnya, Alen mencoba mengumpulkan semua kekuatan dari dua sahabatnya.

"Gue nggak boleh pesimis. Gue pasti bisa."

Alen mengalihkan pandangannya ke luar jendela, mengamati langit pagi ini yang begitu cerah dan sinar matahari yang cukup terik. Tidak seperti hati Alen yang gugup setengah mati.

"Sepertinya hujan nggak akan turun hari ini."

****

Alen segera ke perpustakaan, ia ingin menemu Alan. Alen sempat bertanya ke Gesa keberadaan Alan, Gesa memberitahu Alan sedang mengerjakan tugas di perpustakaan.

Alen masuk ke dalam perpustakaan, menemukan sosok Alan di meja paling ujung. Dengan langkah gugup, Alen mendekati Alan.

"Kak Alan," panggil Alen.

Alan mendongakkan kepala, sedikit kaget melihat keberadaan Alen.

"Kenapa?"

"Gue ganggu, nggak?"

"Nggak juga. Ada apa?"

"Habis pulang sekolah bisa ke café Chamolato?" pinta Alen.

"Lo mau traktir gue?"

"I.. Iya, sekaligus..."

Alan menunggu lanjutan ucapan Alen yang menggantung.

"Sekaligus?"

"Mau kasih jawaban."

Alan mengangguk-angguk kecil.

"Oke, sepulang sekolah gue kesana."

"Iya, Kak. Gue tunggu."

Setelah itu, Alen langsung kabur dari pandangan Alan, hatinya terlalu was-was jika lama-lama berhadapan dengan Alan.

Sedangkan Alan kembali menatap buku-bukunya, tatapanya mendadak kosong. Pikirannya mulai banyak menduga-duga sejak semalam. Jujur, Alan sendiri sangat penasaran dengan alasan sebenarnya Alen dulu memutuskannya.

Alan menoleh ke jendela perpustakaan, memeriksa cuaca hari ini.

"Semoga hujan nggak turun."

****

Alen memainkan kedua kakinya di bawah meja, ia sudah sampai lebih dulu di café Chamolato dan Alen sangat gugup. Sedari tadi jantungnya berdetak begitu cepat. Rasanya seperti saat Alen akan memutuskan Alan.

Dan, di café Chamolato pula dulu Alen memutuskan Alan.

Alen mengintip jendela café, belum ada tanda-tanda kedatangan Alan membuat Alen mulai khawatir.

"Kak Alan mana, ya?"

Alen melirik ke jam tangannya, harusnya Alan sudah datang sekarang. Tak lama sebuah motor ninja hitam muncul dan berhenti di parkiran café Chamolato. Alen tersenyum canggung, antara lega dan gugup.

"Akhirnya Kak Alan datang."

Alen segera merapikan rambut dan sweater yang dikenakannya. Setidaknya dia tidak boleh terlihat menyedihkan sore ini. Alen mencoba menyiapkan mental dan keberaniannya. Apapun yang terjadi hari ini, Alen berusaha untuk menerima.

Alen melambaikan tangan ketika Alan melihatnya dari pintu café, meminta Alan untuk segera duduk.

"Maaf lama, gue dan Alfin dipanggil Pak Selamet dulu," ucap Alan.

"Kenapa Kak? Disuruh ikut lomba madding lagi sama Pak selamet?" sahut Alen cepat.

"Bukan, hanya minta saran untuk club olimpiade sains."

Alen mengangguk-angguk saja, niatnya untuk mengurangi kegugupan malah menambahnya.

"Lo udah pesan minum?"

Alen menggeleng.

"Belum, Kak."

"Mau minum apa?"

"Gue aja Kak yang pesenin."

"Gue aja. Lo mau apa?"

"Air putih."

"Nggak mau es krim?"

"Berat badan gue nggak boleh naik lagi minggu ini."

Alan menghela napas panjang, sedang tak ingin berdebat. Dia ingat tujuan awalnya menemui Alen sore ini untuk mendapatkan jawaban dari gadis itu.

"Gue pesan dulu."

Alan pun segera memesan minuman dan es krim untuk mereka berdua.

*****

Alen tak berani mengangkat kepalanya, sedari tadi ia hanya menunduk memainkan sedotan di botol air minum. Sedangkan Alan terus saja menatap Alen menunggu gadis itu bersuara.

"Alen, sampai kapan lo diem?"

"Hah? Apa Kak?"

Alan menarik napasnya dan menghembuskannya pelan.

"Kasih jawaban lo sekarang."

Tubuh Alen seketika menegang mendengar suara peringatan Alan. Sepertinya tak ada waktu lagi bagi Alen untuk kabur ataupun setidaknya mengulur waktu. Alen menoleh ke samping, berharap kepada langit yang masih saja terlihat sangat cerah.

"Hujan kamu nggak mau turun sekarang?" batin Alen meronta.

"Alen."

Alen memejamkan matanya erat, sepertinya tak ada lagi harapan untuknya. Perlahan, Alen mengatur napasnya terlebih dahulu, kemudian memberanikan diri untuk menatap Alan.

"Gue akan kasih jawabannya, Kak."

"Oke."

Alen meremas jemarinya yang terasa sangat dingin, menata semua kalimat-kalimat yang sudah ia latih sejak semalam. Alen tidak ingin salah menjelaskan. Setelah merasa sudah siap, Alen akhirnya membuka suaranya, mulai menceritakan.

"Dua tahun yang lalu, gue sangat bahagia bisa jadi pacar seorang Alan Dhana Wistana. Meskipun kelihatanya hanya cinta monyet karena kita masih SMP. Tapi, gue bener-bener bahagia."

Alen mulai menungkapkan perasaannya yang sesungguhnya.

"Minggu pagi, sebelum gue nemuin Kak Alan di sini dua tahun yang lalu. Mama tiba-tiba pulang lebih awal dari toko bunga sambil nangis. Mama luapin semua amarahnya ke gue, bahkan Mama paksa gue harus putus sama Kak Alan. Kata Mama, semua cowok nggak ada yang bisa dipercaya dan gue nggak boleh pacaran agar nggak berakhir terluka seperti Mama."

Alan mendengarkan baik-baik, tak memotong cerita Alen sedikit pun. Ia mencerna setiap kata yang keluar dari bibir Alen.

"Gue akhirnya tau apa yang buat Mama nangis saat itu, Papa yang ninggalin gue dan Mama dari kecil tiba-tiba datang nemuin Mama. Hanya sebentar, setelah itu dia ngilang lagi."

Alen mengepalkan kedua tangannya, dadanya mendadak terasa sakit jika harus mengingat kembali bagaimana hancurnya dan tangis sang Mama dua tahun yang lalu.

"Awalnya gue nolak perintah Mama, gue nggak mau putus sama Kak Alan, tapi Mama semakin nggak kendali dan ancam mau pindahin gue kalau nggak nurut. Gue tau Mama nggak pernah bercanda dengan ancamannya. Akhirnya gue nggak ada pilihan lain selain putusin Kak Alan."

Alen tertunduk dalam, kedua matanya terasa panas. Tidak mudah baginya mengingat kejadian dua tahun yang lalu.

"Kenapa lo nggak jujur sejak awal?" tanya Alan akhirnya membuka suara.

Alen menggeleng lemah.

"Gue takut lo benci sama Mama gue, Kak. Lebih baik seperti ini, lo benci sama gue. Mama gue sudah terlalu banyak luka." Alen menghembuskan napasnya sejenak. "Maafin gue, Kak. Gue tau gue sudah sangat egois dan nyakitin lo."

Hening, tak ada yang bersuara lagi antara Alen dan Alan. Keduanya mulai sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Makasih lo akhirnya mau cerita."

Alen memberanikan diri untuk menatap Alan, sorot mata cowok itu cukup tenang, membuat Alen bertambah gelisah.

"Gue bener-bener minta maaf, Kak. Lo berhak benci sama gue dan gue terima itu."

"Gue udah maafin lo."

Alen terkejut mendengarnya.

"Kak Alan udah maafin gue?"

"Hm, sejak lama."

"Kenapa? Kak Alan nggak sakit hati karena gue?"

Alan bergumam pelan.

"Tentu saja sakit hati. Lo putusin gue gitu aja. Tapi, gue yakin lo sebenarnya punya alasan melakukannya."

"Tapi, Kak Alan pernah bilang kalau Kak Alan benci sama gue."

"Kalau lo jadi gue gimana? Benci nggak sama mantan lo?"

Alen mengangguk lemah, tak bisa mengelak.

"Pasti sakit hati banget dan benci, Kak," lirih Alen pasrah.

Alan menatap Alen yang kembali tertunduk. Jujur, Alan tak bisa menjabarkan bagaimana perasaanya sekarang setelah mendengar jawaban jujur dari Alen. Lega, sakit, prihatin dan kecewa, semua masih bercampur menjadi satu.

"Alen," panggil Alan.

Alen mengangkat kepalanya lemah.

"Iya, Kak?"

"Berhenti merasa bersalah."

"Nggak bisa, Kak. Dua tahun pasti berat buat Kak Alan karena gue."

"Gue beneran udah maafin lo."

Alen tersenyum tipis, kedua matanya kembali memanas. Entah kenapa, kata maaf dari Alan bukannya melegakan hatinya melainkan membuatnya semakin berat.

"Harusnya Kak Alan nggak semudah itu maafin gue. Kalau respon Kak Alan seperti ini, gue semakin terlihat jahat." Alen mengigit bibir bawahnya, menahan kedua matanya yang mulai memburam.

Alan terkejut melihat kedua mata Alen yang sudah berkaca-kaca.

"Lo ingin gue gimana? Marah sama lo? Semakin benci sama lo?"

Alen menggeleng lemah.

"Nggak, Kak. Gue nggak mau Kak Alan semakin benci ke gue."

Alan menghela napas panjang, cukup memahami dilema dan kerisauan seorang Alen. Pasti berat juga menjadi Alen yang diselimuti rasa bersalah.

"Lo mau kita baikan?"

Alen membeku dalam sekejap, suara Alan tiba-tiba berubah begitu lembut hingga membuat Alen semakin gugup.

"Mau, Kak." Tentu saja ini yang diinginkan oleh Alen sejak lama.

"Ya udah."

"Ya udah apa?" bingugn Alen.

Alan mengembangkan bibirnya, membentuk sebuah senyuman kecil. Senyuman hangat yang sudah lama tidak pernah dilihat Alen.

"Kita baikan."

Alen merasakan pasokan oksigen di tubuhnya mendadak hilang dalam sekejap, ia tanpa sadar menahan napasnya beberapa detik. Alen tidak bisa berpikir jernih detik ini.

"Kita beneran baikan, Kak?"

"Iya."

"Baikan?"

"Iya, Alen."

Alen tak bisa lagi menahan senyumnya yang sedari tadi ingin ikut mengembang. Rasa khawatirnya dan gugupnya sekejab berubah menjadi kelegaan.

"Makasih banyak Kak Alan."

Alan mengangguk pelan, sorot matanya tak bisa lepas dari paras cantik Alen. Pikiran Alan tiba-tiba kembali ke kenangan dua tahun yang lalu bersama dengan Alen.

Alan mengalihkan pandangannya ke luar jendela, langit yang semula cerah mendadak gelap.

"Ayo pulang," ajak Alan, ia bergegas mengambil tasnya.

"Iya, Kak. Gue bayar dulu."

"Udah gue bayar."

Alen tertegun sesaat, dengan cepat ia mengeluarkan selembar uang lima puluh ribu.

"Habis berapa, Kak? Gue ganti uangnya. Gue udah janji mau traktir Kak Alan."

Alan tak langsung menjawab, ia segera berdiri dari kursinya.

"Nggak perlu. Lain kali traktir gue yang lain."

"Yang lain apa, Kak?"

"Gue belum kepikiran."

"Kapan kepikirannya? Biar gue siapin uang buat traktir Kak Alan," jawab Alen dengan polosnya.

Alan menahan untuk tidak tertawa. Alen memang tidak pernah berubah dengan sikap polosnya.

"Gue kabari segera."

Alen mengangguk pasrah.

"Iya, Kak. Gue tunggu."

Alan bersiap untuk beranjak. Namun, bukannya berjalan berbalik ke arah pintu, Alan malah berjalan mendekati Alen, berdiri di dekat gadis itu.

"Lo tau nggak, Len?" ucap Alan menggantung.

Alen mendongakkan kepala, menatap Alan yang berdiri di depannya.

"Apa, Kak?"

"Dua tahun yang lalu, gue juga bahagia bisa jadi pacar lo."

****

#CuapCuapAuthor

BAGAIMANA CHAMOMILE PART TIGA PULUH? SUKA NGGAK?

SIAPA YANG PENGIN TERIAK MALAM-MALAM KARENA ALAN!!!! 

Oh ya, kalian setuju nggak kalau aku buat Spesial Part khusus kejadian Dua tahun yang lalu saat Alen putusin Alan? 

CHAMOMILE PART 31 MAU UPDATE HARI APA NIH? 

JANGAN LUPA TINGGALKAN VOTE DAN COMMENT YA. SELALU PALING DITUNGGU DARI TEMAN-TEMAN PASUKAN PEMBACA ^^

Jangan lupa juga untuk pantengin info-info tentang cerita Chamomile di Instagram luluk_hf dan lulukhf_stories yaa ^^

AKU NGGAK PERNAH BOSAN BILANG MAKASIH BANYAK BUAT TEMAN-TEMAN PASUKAN  PEMBACA. SAYANG BANGET SAMA KALIAN SEMUA. SEMOGA SELALU SUKA DAN SELALU SUPPORT KARYA-KARYAKU YAA. SELALU JAGA KESEHATAN JUGA SEMUA ^^ 


Salam,


Luluk HF

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro