26 - CHAMOLATO
Assalamualaikum teman-teman Pasukan semua. Bagaimana kabarnya hari ini? Semoga sehat selalu ya.
SENANG NGGAK AKU BAWA CHAMOMILE PART 26 MALAM INI? SIAPA YANG SUDAH NGGAK SABAR BACA CHAMOMILE PART 26?
JANGAN LUPA SEMANGAT UNTUK KASIH KOMEN KALIAN KALAU SUKA DIALOG ATAU ADEGAN DI CERITA INI YA ^^
DAN, SELAMAT MEMBACA CHAMOMILE. SEMOGA SELALU SUKA ^^
*****
Alen masuk ke dalam kelas yang cukup ramai. Tangannya melambai ke arah Ara yang juga sedang melambaikan tangan kepadanya. Alen segera menuju bangkunya.
"Cie yang juara satu," goda Ara.
"Traktiran jangan lupa!" tambah Sanda ngak mau kalah.
Alen mengangguk cepat.
"Iya! Iya!"
Ara mendekatkan tubuhnya.
"Gimana rasanya jadi juara satu? Lo pasti nggak nyangka otak minimalis lo akhirnya berguna juga, kan?" cerocos Ara pedas.
Alen tak segan memukul kepala Ara menggunakan buku paketnya, membuat gadis itu meringis dan segera menjauhkan tubuhnya.
"Rasanya pasti seneng banget. Ternyata gue bermanfaat juga jadi manusia," ucap Alen tak bisa menyembunyikan kebahagiannya.
"Bener, akhirnya lo ada kontribusinya juga sebagai manusia," tambah Ara.
Alen hanya bisa memberikan lirikan tajam, Ia tak bisa membantah. Toh, ucapan Ara memang benar.
"Oh ya, Len. Lo nggak bawa motor ke sekolah?" tanya Ara lagi.
"Kok lo tau?" kaget Alen.
"Gue tadi lihat lo turun dari ojek online. Jangan-jangan lo punya gebetan baru abang ojek online?" celetuk Ara seenak jidat.
"Nggak, Ra. Gue emang nggak bawa motor tadi."
"Motor lo mogok? Bannya kempes?" Sanda ikut bersuara.
"Jangan-jangan motor lo dijual sama Mama tiri lo karena merasa lo sudah cukup bermanfaat sebagai anaknya?" serobot Ara tak mau kalah.
"BUKAANN!!!"
"Terus kenapa?"
Alen menghela napas pelan, berusaha sabar. Ia menatap sahabatnya satu persatu.
"Hari ini...."
Alen menggantungkan ucapannya membuat Ara dan Sanda semakin penasaran.
"Hari ini apa? Buruan!" seru Ara tak santai.
"Hari ini Kak Alan mau traktir gue."
Kedua mata Ara dan Sanda melebar bersamaan, seolah pernyataan yang dikatakan oleh Alen barusan adalah suatu berita paling luar biasa pagi ini.
"Bisa lo ulangi lagi nggak, Len?" pinta Sanda memastikan.
"Kak Alan ngajak gue keluar, dia mau traktir gue," perjelas Alen.
"Dalam rangka apa? Merayakan akhirnya lo punya kontribusi sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling cantik tapi bodoh?" sahut Ara dengan tak berdosanya.
"Bukan Ara!!" decak Alen.
"Terus?" serempak Sanda dan Ara.
Alen menghela napas kedua kalianya, berusaha sabar.
"Dalam rangka kita menang juara pertama lomba Madding Nasional."
Ara dan Sanda terdiam, tak beraksi selama beberapa detik.
"Yang menang, kan, bukan hanya Kak Alan. Lo juga. Kenapa cuma Kak Alan yang traktir?" selidik Sanda.
Alen mengangkat bahunya.
"Gue juga nggak tau."
"Lo harus ceritakan detailnya dari awal! Buruan! Buruan!" paksa Ara.
Mau tak mau Alen pun menceritakan semuanya dari awal hingga dia diantar oleh Alan. Sepanjang Alen bercerita ekspresi Ara tidak bisa santai, kadang bertepuk tangan dan kadang mulutnya terbuka lebar. Sedangkan Sanda diam mencerna baik-baik.
"Gue semakin yakin, Len! Kak Alan masih ada perasaan sama lo!" pekik Ara setelah mendengar cerita Alen.
"Nggak, Ra. Kak Alan udah tegesin ke gue kalau dia cuma bersikap baik ke gue, nggak lebih," tegas Alen.
Ara lagi-lagi mendekatkan tubuhnya.
"Gundul rambut gue kalau Kak Alan nggak ada rasa sama lo!"
Alen dan Sanda dengan cepat ikut mendekatkan tubuhnya.
"Seriusan? Lo taruhin rambut lo jadi gundul?" tanya Sanda serius.
Perlahan Ara memundurkan tubuhnya sembari mengembangkan senyum canggung.
"Ya, potong pendek deh. Jangan gundul juga. Nanti Kak Alfin sawan ketemu gue!"
Alen berdecak pelan, sudah menduga Ara hanya menggertak saja.
"Menurut lo gimana San?" tanya Alen meminta saran.
"Gue juga yakin Kak Alan masih ada rasa sama lo. Mungkin nggak sebesar dulu karena pasti masih ada rasa benci juga di hati Kak Alan karena masa lalu kalian."
Alen mengangguk lemah, merasa jawaban Sanda paling masuk akal sekarang.
"Tenang Len. Jodoh nggak akan kemana, kok," ucap Ara memberi semangat.
Alen mendesah berat.
"Gue juga nggak berharap apapun. Hanya saja, gue nggak ingin Kak Alan benci lagi sama gue."
"Pelan-pelan aja minta maafnya. Gue yakin suatu saat Kak Alan pasti maafin lo, Len," tambah Sanda.
"Lo belum kasih tau Kak Alan, Len?" tanya Ara dengan nada ragu-ragu.
"Kasih tau apa?"
Ara diam sejenak sebelum kembali bersuara.
"Alasan lo putusin Kak Alan dulu."
Alen menggeleng lemah.
"Belum."
"Kenapa?" gemas Ara.
Alen berdeham kecil, pikirannya tiba-tiba hampa dalam sekejab.
"Gue takut, kalau alasan gue nanti terkesan hanya sebuah pembelaan dan Kak Alan makin benci sama gue. Bagaimana pun alasannya, gue juga tau kalau yang gue lakuin itu salah dan sudah menyakiti Kak Alan."
Ara dan Sanda melongo mendengar Alen yang mendadak sebijak itu.
"Lo bukan Alen, kan? Kembalikan sahabat gue! Cepat ngaku! Lo siapa?!!" teriak Ara tak santai sembari menggoyang-goyangkan lengan Alen.
Alen menepis cepat tangan Ara.
"Gue Alen!"
"Buktiin kalau lo Alen!" tantang Ara tak puas.
"Gue punya Mama kandung yang seperti Mama tiri, gue punya otak yang minimalis dan gue juga punya dua sahabat yang akhlaknya nggak kalah minimalis dari gue!" jawab Alen mau saja menuruti permintaan Ara.
Ara tersenyum lebar, kali ini sangat puas.
"Lo beneran Alen sahabat gue!"
Sanda geleng-geleng melihat pertikaian Alen dan Ara yang seperti bocah TK. Sanda menepuk pelan bahu Alen, memberikan semangat kepada sahabatnya itu.
"Take your time, Len. Kalau lo udah siap kasih tau Kak Alan. Apapun alasannya dan apapun hasilnya, suatu saat lo harus kasih tau Kak Alan," ucap Sanda memberikan saran terbaiknya.
Alen mengangguk kecil, ucapan Sanda memang yang paling menenangkannya.
"Gue akan pertimbangkan kalau gue siap."
Ara mengetuk-ketuk meja untuk mencairkan suasana yang mendadak jadi mellow.
"Minggu ini kita harus adakan pesta untuk merayakan kemenangan pertama seorang Alen!"
****
Alan sedari tadi berkutat dengan ponselnya, tak mendengarkan ketiga sahabatnya yang asik mengobrol tentang pertandingan sepak bola semalam.
"Lo lagi lihat apa sih Lan, dari tadi sibuk banget sama ponsel lo?" tanya Jaka menyadari Alan tak mendengarkan obrolan mereka.
Alan mendongakkan kepala, menatap teman-temannya.
"Apa?" balasnya singkat.
"Lo lagi lihat apa?"
Alan tak menjawab, membuat Gesa gemas dan langsung merampas ponsel Alan saat itu juga membuat Alan terkejut. Sebelum Alan merampas ponselnya, Gesa segera melihat layar ponsel Alan.
"Rekomendasi café rendah kalori daerah Jakarta Selatan."
Semua mata langsung tertuju kepada Alan setelah Gesa membacakan apa yang dilihatnya di ponsel Alan.
"Lo ngapain cari café rendah kalori?" selidik Alfin.
Alan masih tak menjawab, ia segera merebut ponselnya dari Gesa.
"Lo lagi diet?" tambah Gesa.
Alan menggeleng.
"Nggak."
"Terus?" serempak Gesa dan Jaka tak sabar.
Alan menghela napas panjang, percuma menyembunyikan dari teman-temannya. Mereka pasti akan terus mendesaknya.
"Gue mau traktir Alen," jawab Alan akhirnya memilih jujur.
Hening. Tak ada yang membuka suara beberapa detik. Baik Alfin, Gesa maupun Jaka. Mereka bertiga terlihat sangat terkejut mendengar jawaban Alan. Tak kalah beda seperti reaksi Sanda dan Ara.
"Lo nggak lagi kesambet, kan?" tanya Gesa tak percaya.
"Nggak."
"Lagi sakit? Demam? Mengigil? Meriang?"
"Nggak, Ges!"
"Terus kenapa lo mau traktir Alen?"
"Emang gue nggak boleh traktir Alen?" tanya Alan balik, merasa yang dilakukannya bukan suatu yang salah atau pun tabu.
"Nggak boleh," serempak Jaka, Alfin dan Gesa bersamaan.
"Kenapa?"
"Lo harus traktir kita dulu, baru traktir Alen. Enak aja main loncatin antrian!" sembur Jaka tak terima.
Alan mendecak pelan.
"Besok gue traktir."
Jaka, Alfin dan Gesa bersorak senang dan saling bertos.
"Traktir MCD, paket panas 3 ditambahburger double cheese untuk per orang. Satu lagi, harus dibolehin bungkus happy meal," ucap Gesa menyebutkan semua pesanannya.
"Lo mau minta traktir apa ngerampok?" sinis Alan.
"Dua-duanya!" jawab Gesa bangga.
Alan mengangguk saja, mengiyakan dengan cepat. Ia paling malas berdebat panjang dengan ketiga sahabatnya.
"Balik lagi, ke topik utama Lan. Lo ngapain traktir Alen?" tanya Jaka membuat semuanya kembali fokus.
"Hadiah juara satu Lomba Madding Nasional," jawab Alan enteng.
"Lo kan juga menang. Kenapa cuma lo yang traktir?" sahut Alfin. Pertanyaan yang tidak ada bedanya dengan yang diajukan oleh Sanda.
"Pengin aja."
Jaka, Gesa dan Alfin memberikan tatapan selidik, tak puas dengan jawaban Alan.
"Lo masih ada rasa sama Alen?" tanya Gesa yakin.
"Nggak ada," jawab Alan cepat.
"Nggak mungkin. Kalau lo nggak ada rasa, lo pas..."
"Gue udah nggak ada rasa Ges. Gue cuma ingin tau alasan dia dulu putusin gue kenapa. Makanya gue traktir dia hari ini," perjelas Alan tak mau membuat teman-temannya salah paham.
Gesa manggut-manggut, tak berani membantah lagi apalagi melihat sorot mata Alan yang begitu serius.
"Lebih hati-hati sama sikap lo. Jangan sampai lo buat anak orang baper dan salah paham sama sikap lo," peringat Gesa. Jujur, Gesa tau bagaimana sikap Alan ke Alen akhir-akhir ini karena Aldo sering bercerita ke Gesa mengenai hubungan Alan dan Alen. Aldo sendiri merupakan sepupu Gesa.
"Dia juga pasti masih punya malu untuk suka lagi sama gue setelah putusin gue tanpa alasan dulu," tajam Alan merasa tak terima dengan ucapan Gesa.
Suasana seketika berubah tegang antara Alan dan Gesa, membuat Jaka segera menyenggol lengan Alfin meminta bantuan.
"Emang kenapa dulu Alen putusin lo, Lan?" suara Alfin langsung memecah ketengangan dalam sekejap.
Semua mata berganti tertuju ke Alfin. Cowok itu memberikan muka tak berdosanya. Bukannya membantu, Alfin malah membuat ketiga temannya bertambah kesal.
"Pin, Alan tadi udah bilang, dia mau traktir Alen hari ini karena Alan mau tanya ke Alen, alasan kenapa Alen putusin Alan tanpa alasan dulu. Jadi, kita nggak ada yang tau alasan Alen putusin Alan apa. Begitu juga dengan Alan," gemas Jaka menjelaskan ke Alfin dengan penuh kesabaran. Jaka menyesal meminta bantuan ke Alfin.
"Oh, kirain tau," balas Alfin enteng.
"Kalau Alan tau, nggak mungkin Alan traktir Alen hari ini Pin," tambah Gesa.
"Gue sepertinya tau alasannya," ucap Alfin dengan wajah berubah serius.
Gesa dan Jaka melototkan matanya tak santai, terkejut dengan ucapan Alfin. Alan pun seketika ikut penasaran.
"Apa?" serempak Jaka, Alan dan Gesa.
Alfin menunjuk Alan, masih dengan wajah tak berdosanya.
"Karena lo terlalu pintar buat dia. Alen pasti minder."
Tangan Alan, Jaka dan Gesa ingin sekali memukul kepala Alfin. Sahabat mereka satu ini memang terlalu pintar!
"Lo kira Alen sebodoh itu sampai minder sama Alan?" cibir Jaka.
"Iya, Alen sebodoh itu. Tanya aja sama Alan."
Jaka dan Gesa langsung mematung, tak berani membalas atau membuka suara. Bahkan, untuk memastikan ke Alan saja mereka tak berani. Ketengangan kini berubah antara Alfin dan Alan.
Dalam hati Jaka dan Gesa saat ini sedang mengumpati Alfin yang tak bisa lihat situasi.
"Dia nggak bodoh, Fin," ucap Alan dengan sorot tenangnya.
Alfin tersenyum kecil mendengar pembelaan Alan. Alfin segera berdiri dari kursinya sembari geleng-geleng. Tangan Alfin menunjuk ke arah Alan.
"Gundul rambut gue kalau lo beneran udah nggak ada rasa sama Alen."
****
Alen mengatur napasnya berulang kali, bukan hanya napasnya saja. Alen juga sedang berusaha mengatur debaran jantungnya yang terus berdetak cepat. Alen sangat gugup menunggu Alan di gerbang belakang sekolah.
Sore ini, Alan akan mentraktirnya untuk pertama kali setelah dua tahun lamanya. Alen sengaja meminta Alan untuk memboncengnya di gerbang belakang sekolah saja, Alen tidak ingin jadi bahan pembicaraan teman-temannya bahkan kakak kelasnya. Sangat bahaya.
Tak lama kemudian, Alan datang dengan motor ninja hitamnya. Alan berhenti tepat di samping Alen, lalu melepaskan helmnya.
"Maaf Kak harus jemput di sini. Gue nggak mau jadi bahan pembicaraan teman-teman atau kakak kelas," ucap Alen sedikit merasa bersalah.
"Nggak apa-apa," balas Alan singkat, memberikan helm satunya lagi untuk Alen.
Alen menerima helm tersebut dengan tatapan tertegun. Dia sangat ingat helm ini. Helm yang di pegangnya saat ini adalah helm yang dihadiahkan Alan kepadanya dua tahun yang lalu, namun Alen kembalikan setelah mereka putus.
Alen tidak menyangka, Alan masih menyimpan helm tersebut.
"Nggak naik?" tanya Alan.
"Lo masih simpan helm ini, Kak?" tanya Alen memberanikan diri.
Alan menatap singkat helm di tangan Alen, kemudian kembali menatap Alan.
"Iya."
"Gue kira udah lo buang."
"Kenapa harus gue buang? Gue bencinya sama lo, bukan helm ini."
Alen merasakan dadanya seperti mendapat tusukan yang cukup tajam. Bukannya jawaban manis yang dia dapat, malah kenyataan yang cukup pahit.
"Maaf, Kak."
"Lo nggak mau pakai helmnya?" tanya Alan.
"Mau, Kak," jawab Alen dan segera mengenakannya.
Alan pun juga mengenakan kembali helmnya. Setelah itu, Alen naik ke motor Alan dan mereka beranjak dari sana menuju tempat Alan mentraktir Alen.
*****
Alen meremas-remas jemarinya, menahan rasa gugup. Sepanjang perjalanan ia tak bisa duduk dengan tenang. Alen tak berani memegang jaket Alan sebagai pegangan. Alen takut Alan akan marah. Mau tak mau, Alen hanya bisa memegangi roknya sendiri.
Namun tiba-tiba motor Alan memelan dan minggir ke trotoar.
"Kenapa, Kak?" tanya Alen.
Alan membuka helmnya, menoleh ke samping.
"Lo mau gue dikira bunuh anak orang?" dingin Alan.
"Maksudnya, Kak?"
"Lo nggak pegangan? Mau jatuh kena aspal?"
"Maaf, Kak. Gue bingung pegangan di mana," jawab Alen jujur. Nyatanya belakang motor Alan pun tidak ada tempat berpegangan seperti motornya atau motor lainnya.
Alan menghela napas panjang, terlihat berusaha sabar.
"Pegang jaket gue," suruh Alan.
"Hah?"
"Pegang jaket gue, Len."
Alen menatap Alan ragu-ragu.
"Kak Alan nggak akan marah gue pegang jaketnya?" tanya Alen.
"Kenapa gue marah?" bingung Alan.
"Kak Alan kan benci sama gue."
Alan tertegun sesaat, kemudian geleng-geleng takjub mendengar jawaban Alen.
"Buruan pegang jaket gue. Gue nggak akan marah."
"Tapi masih benci?"
"Buruan Alen!"
Alen langsung menutup rapat mulutnya dan menjulurkan kedua tangannya. Alen memegangi sisi kanan-kiri jaket Alan seperti yang diperintahkan oleh Alan. Dan, motor Alan kembali melaju, lebih kencang.
Alen tertunduk pelan, merasakan sepoi angin sore menerbangkan rambutnya begitu juga dengan harapannya.
"Semoga rasa bencinya segera hilang ya, Kak," lirih Alen, berbicara ke dirinya sendiri.
"Gue denger, Len."
****
Alen segera turun dari motor Alan saat mereka sudah sampai di lokasi. Alen terdiam lama menatap café yang dituju oleh Alan. Bukan hanya helm yang membuatnya terkejut sore ini, namun café yang ada di hadapannya juga.
Chamolato. Kedai es krim langganan Alan dan Alen saat masih SMP dulu. Alan sangat sering mengajak Alen kesini setelah pulang sekolah ketika mereka masih pacaran.
"Nggak masuk?" tanya Alan menyadarkan Alen.
Alen segera melepaskan helmnya, melihat Alan sudah berjalan duluan.
"Kak Alan," panggil Alen membuat Alan berhenti. Alan membalikkan badannya.
"Apa?"
"Kenapa Kak Alan ngajak ke café Chamolato?" tanya Alen lagi-lagi memberanikan dirinya untuk bertanya.
Alan diam sejenak, kemudian membuka suaranya dengan sangat tenang.
"Menurut lo kenapa?"
****
#CuapCuapAuthor
BAGAIMANA CHAMOMILE PART DUA PULUH ENAM?
SUKA NGGAK? PENASARAN NGGAK SAMA PART BERIKUTNYA?
Kira-kira Alen bakalan kasih tau nggak alasan dia putusin Alan?
CHAMOMILE PART 27 MAU UPDATE HARI APA? KAMIS ATAU JUMAT?
JANGAN LUPA TINGGALKAN VOTE DAN COMMENT YA. SELALU PALING DITUNGGU DARI TEMAN-TEMAN PASUKAN PEMBACA ^^
Jangan lupa juga untuk pantengin info-info tentang cerita Chamomile di Instagram luluk_hf dan lulukhf_stories yaa ^^
MAKASIH BANYAK TEMAN-TEMAN PASUKAN PEMBACA. SEMOGA SELALU SUKA DENGAN CHAMOMILE DAN SELLAU BACA CHAMOMILE YA. SAYANG KALIAN SEMUA. JANGAN LUPA SELALU JAGA KESEHATAN ^^
Salam,
Luluk HF
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro