Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

24 - HARAPAN

Assalamualaikum teman-teman Pasukan Pembaca semua. Selamat malam. Masih bangun nggak? Siapa yang masih bangun semalam ini? 

Jangan lupa selalu jaga kesehatan ya semuanya. Dan, HAPPY CHAMOMILE'S DAY ^^ 

SENANG NGGAK AKU UPDATE CHAMOMILE LAGI HARI INI? 

DARI ANGKA 1-10 SEBERAPA  SIAP KAMU UNTUK BACA CHAMOMILE PART 24? 

SELAMAT MEMBACA DAN SEMOGA SELALU SUKA CERITA CHAMOMILE ^^

****

Hari Lomba madding se-Nasional akhirnya tiba. Lomba tersebut berjalan selama dua hari. Hari sabtu dan minggu di hallroom Jakarta Art. Setiap sekolah menampilkan hasil karya madding luar biasa mereka di both masing-masing. Orang dari luar pun diizinkan untuk masuk dan melihat-lihat.

Sejak pagi hingga sore, both Madding 2D milik SMA Savana didatangi banyak penunjung, mulai dari siswa-siswi SMA Savana sendiri, hingga SMA lain. Karya Madding 2D SMA Savana memang menarik banyak perhatian, apalagi konsep mereka yang menggambarkan luapan hati seorang orang tua untuk anak, namun dikemas dengan konsep yang trendy.

"Akhirnya....." seru Aldo segera duduk. Setelah berjam-jam berdiri dan menjelaskan kepada pengunjung-pengunjung yang datang, ia bisa istirahat juga.

Aldo merangkak mendekati Alen yang juga tengah memijati kakinya sendiri. Aldo tersenyum lebar.

"Len," panggil Aldo.

Alen menoleh.

"Apa?"

Aldo lebih mendekat sembari mejulurkan kedua lengan tangannya.

"Pijitin gue juga dong. Capek banget," rengek Aldo.

Permintaan Aldo tentu saja membuat Alen kaget, bukan hanya Alen tentunya. Alan yang sedang sibuk memasukan kamera-kemaranya langsung menoleh ke Aldo.

"Bentar aja, nanti gantian gue pijetin leher lo," lanjut Aldo penuh harap.

Jujur, Alen bingung harus merespon bagaimana. Nyatanya, ia tak pernah memijati cowok. Alan dapat melihat kebingungan Alen, ia segera mengeluarkan sesuatu dari saku tasnya, kemudian berjalan mendekati Aldo.

"Pakai ini," ucap Alan melemparkan sebungkus koyo ke Aldo.

Aldo menangkap dengan cepat koyo yan diberikan Alan, senyumnya mengembang lebih lebar.

"Kenapa nggak bilang dari tadi Kak kalau lo punya koyo. Sumpah lo penyelamat banget," seru Aldo dengan tak tau dirinya.

Alan mengangguk singkat. Ia menoleh ke Alen yang terlihat lega. Alan pun kembali ke tempatnya semula, membereskan kemera-kameranya.

Alen menoleh ke Alan yang begitu sibuk, Alen pun segera berdiri dan mendekati Alan.

"Ada yang bisa gue bantu, Kak?" tanya Alen menawari diri.

Alan menoleh, sedikit kaget melihat kedatagan Alen.

"Nggak ada," jawab Alan jujur.

Alen bergumam pelan, terbesit rasa kecewa mendengar jawaban Alan. Cowok itu masih saja bersikap dingin kepadanya, meskipun terkadang peduli juga.

"Sebelum pulang, ayo makan bareng dulu." Suara lantang Aldo menjadi penyelamat bagi Alen memecahkan kecanggungan sesaat antara dia dan Alan.

Alen dan Alan menatap Aldo yang sudah menenteng tasnya dengan tangan kanan kiri dipenuhi koyo.

"Lo pakai semua koyo-nya Do?" tanya Alen tak habis pikir.

"Hm, biar nampol."

"Emang nggak panas?"

Aldo menggeleng.

"Nggak tuh, malah rasanya hangat-hangat sedap!"

Alen bergedik ngeri, baru kali ini melihat sisi aneh seorang Aldo.

"Mau makan di mana?" tanya Alan memotong pembicaraan Alen dan Aldo.

"Kita cari aja di sekitar sini, gimana?" jawab Aldo.

Alen berjalan mendekati Aldo, ia merasa tidak bisa ikut makan malam.

"Lo harus ikut! Nggak ada kata lo udah kenyang!" Belum juga Alen bersuara, Aldo sudah memberikan ultimatum penolakan kepadanya.

Alen menghela napas panjang, tak bisa membantah.

"Baiklah, mari kita makan!"

Alen, Aldo dan Alan pun segera keluar dari hallrom, setelah membereskan barang-barang mereka. Hari pertama lomba Madding yang cukup melelahkan namun menyenangkan bagi mereka bertiga.

Setidaknya malam ini mereka harus mengisi energi terlebih dahulu sebelum besok berperang lagi.

*****

Dinginnya udara malam kota Jakarta menyambut mereka, saking lamanya di dalam hallroom, mereka bertiga sampai tidak sadar jika di luar hujan beberapa jam yang lalu.

Mereka bertiga sepakat untuk naik mobil Aldo, biar bisa berangkat bersama-sama. Ketiganya segera masuk ke dalam mobil Aldo.

"Karena Alen nggak bisa makan seafood, kita lewati restoran seafood," ucap Aldo sembari melirik ke Alan dengan senyum menggoda.

Alan hanya membalas dengan gelengan, ia sangat tau Aldo sedang menggodanya saja. Sedangkan, Alen di kursi belakang hanya diam saja tidak berani merespon. Kejadian kemarin masih saja membuatnya berdebar.

"Alen yang alergi."

Alen tidak menyangka, Alan masih mengingat tentang hal yang tidak disukainya.

"Buruan jalan," suruh Alan.

Aldo mengangguk cepat.

"Siap, Kak. Mari kita meng..." Ucapan Aldo terhenti karena deringan ponselnya. Aldo segera mengeluarkan ponsel dari sakunya. Ada panggilan dari Vanya.

Aldo pun segera mengangkat panggilan tersebut.

"Kenapa Kak?"

Alan dan Alen memandang Aldo, ikut penasaran.

"Oke gue kesana sekarang. Gue masih di parkiran. Tunggu."

Panggilan berakhir, Aldo kembali memasukan ponselnya dengan raut wajah pasrah.

"Kak Vanya kenapa, Do?" tanya Alen ingin tau.

"Dia minta bantuan dokumentasiin untuk both madding 3D," jawab Aldo memelas.

"Terus gimana? Mau kita bantuin, nggak?"

Aldo menggeleng cepat. Ia menoleh ke Alan.

"Kak, lo punya SIM A, kan?" tanya Aldo penuh harap.

"Punya."

"Bisa nyetir mobil, kan?"

Alan mulai was-was sendiri karena pertanyaan Aldo.

"Bisa."

Aldo tersenyum lebar.

"Lo dan Alen duluan aja, nanti gue nyusul. Gue cuma bentar aja dokumentasinya."

"Tapi..."

"Tolong pesankan makanan yang enak buat gue supaya saat gue datang gue langsung makan. Mau, kan, Kak?"

Alan tidak tega mleihat wajah melas dan kelalahan Aldo. Apalagi memandangi koyo-koyo yang menempel disekujur lengan dan leher cowok itu.

"Oke, buruan nyusul."

Aldo bersorak senang.

"Nanti share lokasi restorannya. Gue segera nyusul," teriak Aldo dan segera keluar dari mobilnya meninggalkan Alan dan Alen berdua saja.

*****

Terjadi keheningan sesaat antara Alan dan Alen. Mereka berdua masih diam di mobil seolah bingung harus berbuat apa.

"Lo pindah ke depan," ucap Alan memecahkan keheningan.

Alen mengangguk cepat.

"Iya, Kak." Pikiran Alen pun tak bisa jernih, ia menuruti saja perkataan Alan. Alen berpindah ke kursi yang sebelumnya di duduki Alan, sedangkan Alan pindah ke kursi belakang stir.

Tanpa banyak kata, Alan segera menjalankan mobil Aldo, beranjak dari parkiran Jakarta Art.

****

Tak ada percakapan antara keduanya, Alan sibuk ke jalanan yang cukup macet, sedangkan Alen sibuk mengatur detakan jantungnya yang mulai berdebar cepat. Untuk pertama kali bagi Alen berada di mobil berdua dengan Alan bahkan Alan yang menyetirnya.

"Mau makan di mana?" tanya Alan bersuara lebih dulu.

Alen bergumam pelan, otaknya masih tidak bisa diajar berpikir jernih.

"Terserah, Kak." Hanya jawaban itu yang terlintas di kepala Alen.

"Oke."

Alen meremas-remas jemarinya yang semakin terasa dingin. Kegugupanya berkali-kali lipat saat ini. Beberapa kali Alen mencuri pandang ke samping. Melihat Alan yang begitu serius menyeteir, terlihat sangat keeren di mata Alen.

Alen baru menyadari bahwa mantannya itu semakin menawan.

"Nggak usah lihatin gue terus."

Sial! Alen langsung membuang mukanya menghadap jendela. Ia malu bukan main saat ini. Bisa-bisanya dia tertangkap basah oleh Alan.

"Gue lihat pemandangan di jendela Kak Alan," ucap Alen berdalih.

Alan mengangguk-angguk.

"Bagus nggak pemandangannya?" tanya Alan dengan nada yang cukup tenang sangat berbanding terbalik dengan Alen.

Alen berusaha keras melawan kegugupannya.

"Bagus."

"Kangen nggak sama pemandangannya?"

Alen langsung menoleh ke Alan cepat.

"Hah?" bingung Alen.

Namun, Alan tak merespon lagi, hanya sebuah senyuman kecil yang tergambar di wajah tampannya. Jujur, senyum itu membuat Alen ingin teriak saja saat ini. Namun, Alen mencoba menahannya, ia tak mau terlihat memalukan lagi.

****

Alen melongo ketika melihat spanduk besar di depan restoran dengan tulisan "SELAMAT DATANG DI RESTORAN TERSERAH" dan slogan di bawahnya bertuliskan "Makan di mana? Terserahlah jawabannya!"

Alen tidak menyaka Alan benar-benar membawanya ke restoran 'Terserah'. Alen baru tau ternyata ada restoran bernam Terserah. Alen ingin sekali memberikan standing ovation untuk pemilik restoran ini. Sangat menyelamatkan cowok-cowok jika mendapatkan jawaban terserah dari ceweknya. Seperti Alen tadi.

Alen menoleh ke Alan, cowok itu terlihat masih santai seolah tak ada masalah dengan restoran yang mereka datangi. Alen tau Alan sangatlah pintar, tapi tak menyangka mantannya ini sepintar ini.

"Bukan main lagi otaknya." batin Alen.

****

Pesanan Alen dan Alan akhirnya datang, mereka sepakat memesan steak saja. Karena, Aldo tidak kunjung juga datang dan tak bisa dihubungi, Alen dan Alan kembali sekapakt untuk makan terlebih dahulu.

Alen menggertakkan giginya, pisau yang digunakannya untuk memotong dagingnya begitu tumpul, membuat Alen hampir tidak bisa memotong dagingnya.

"Susah banget," pekik Alen masih terus berusaha.

Namun, tiba-tiba plat steak milik Alen diambil oleh Alan, membuat Alen tersentak beberapa detik.

Alen hanya bisa menatap Alan yang mulai memotong steak miliknya. Alen terkesima sesaat, merasa aneh melihat sikap Alan yang sangat manis hari ini. Dan, jujur sikap Alan beberapa hari ini membuat Alen sering gugup dan salah tingkah.

"Besar apa kecil?"

"Hah?" bingung Alen.

"Dipotong besar apa kecil?" perjelas Alan.

"Kecil aja, Kak."

"Oke."

Setelah memotong menjadi bagian-bagian kecil, Alan mengembalikan lagi plat steak milik Alen, menaruhnya pas di depan Alen.

"Makasih Kak," ucap Alen merasa terbantu.

Alan hanya mengangguk singkat dan kembali memakan steaknya sendiri. Seolah bagi Alan hal tersebut bukanlah suatu yang besar. Namun, tidak dengan Alen. Ia memakan steaknya dengan senyum yang tidak bisa disembunyikan. Entah kenapa, steak yang ia makan sekarang terasa lebih enak daripada steak-steak yang pernah dimakannya.

Alen semakin merasa aneh dengan situasi antara dia dan Alan sekarang. Pikirannya kembali teringat dengan perkataan Alan bahwa cowok itu membencinya. Namun, semua sikap manis Alan beberapa hari ini sangat bertolak belakang dengan arti benci.

Alen menyudahi makannya yang masih tersisa banyak. Alen memang tidak terbiasa makan malam. Kemudian, Alen menatap Alan lekat, memberanikan diri.

"Kak, gue boleh tanya, nggak?"

Alan menatap Alen balik.

"Tanya apa?"

"Lo beneran masih benci sama gue?"

Alan mengangguk tanpa ragu.

"Iya."

Tetap saja sakit mendengar jawaban itu walau sudah kedua kalinya. Alen berusaha menegarkan hatinya.

"Terus kenapa lo selalu peduli sama gue? Sikap lo nggak menunjukan seperti lo benci sama gue." Alen semakin berani mengutarakan isi hatinya.

Alan tak langsung menjawab, ia meletakkan sendok dan pisaunya, tatapanya berubah begitu lekat dan tajam ke Alen.

"Seperti yang gue bilang kemarin."

"Lo hanya ingin bersikap peduli ke orang yang lo benci?" perjelas Alen.

"Iya."

Alen menghela napas pelan, tangannya mulai sedikit bergetar di bawah meja.

"Seberapa besar lo benci sama gue?"

"Menurut lo seberapa besar?" serang Alan balik.

Alen tau pertanyaannya ini seperti menunjukan betapa tidak tau diri dia di mata Alan. Tentu saja Alan pasti sangat membencinya, mengingat apa yang sudah Alen lakukan kepada Alan.

"Maaf, Kak," lirih Alen menyesali pertanyaannya tersebut.

"Maaf untuk apa? Pernah putusin gue tanpa alasan?"

Skakmat! Bibir Alen seketika terkunci rapat, tak bisa membalas. Pandangannya menurun, tak berani lagi menatap Alan. Alen mulai takut.

"Nggak usah berharap apapun. Gue hanya berusaha bersikap baik sebagai kakak kelas. Nggak lebih," lanjut Alan terdengar lebih dingin.

Alen mengangguk lemah, mendengar pengakuan Alan yang terdengar sangat jujur, membuat hatinya mendadak terasa sakit.

"Apa yang lo harapin, Alen!"Berkali-kali pikiran Alen mulai meneriaki hatinya sekencang mungkin. Seolah semua harapan manis di hati Alen sirna begitu saja.

"Iya, Kak."

Alen menahan kedua matanya yang mulai terasa panas, kedua tangannya mengepal kuat, berusaha untuk tidak goyah walau sangat susah. Alen tidak menyangka akan mendapatkan serangan menyakitkan seperti ini dari Alan. Padahal, di mobil tadi Alan masih bersikap manis kepadanya.

Terkadang, sikap Alan membuat Alen bingung sendiri. Dia ingin berharap tapi Alan dengan cepat meruntuhkan harapan itu.

"Lo sendiri gimana?" tanya Alan tiba-tiba.

Alen tertegun sesaat, perlahan ia memberanikan untuk menatap Alan kembali. Tatapan Alan berubah sekejap, tak ada lagi sorot tajam atau dingin.

"Apa, Kak?" bingung Alen.

"Lo pernah menyesal, putusin gue tanpa alasan?"

****

#CuapCuapAuthor

SIAPA YANG GEMAS SAMA ENDING CHAMOMILE PART 24? 

BAGAIMANA CHAMOMILE PART 24? SUKA NGGAK?

SATU KATA UNTUK ALAN DONG!! MENURUT KALIAN ALAN SEBENARNYA MEMANG BENCI ATAU MASIH SUKA TAPI NGGAK MAU NGAKUIN? 

CHAMOMILE PART 25 MAU UPDATE HARI APA NIH? SABTU/MINGGU/SENIN? 

SAMPAI JUMPA DI CHAMOMILE PART 25 PASUKAN PEMBACA SEMUA ^^ 

JANGAN LUPA TINGGALKAN VOTE DAN COMMENT YA. SELALU PALING DITUNGGU DARI TEMAN-TEMAN PASUKAN PEMBACA ^^

Jangan lupa juga untuk pantengin info-info tentang cerita Chamomile di Instagram luluk_hf dan lulukhf_stories yaa ^^

MAKASIH BANYAK SEMUANYA. SEMOGA TEMAN-TEMAN PASUKAN PEMBACA SELALU BACA DAN SUKA CERITA CHAMOMILE YA. SELALU JAGA KESEHATAN SEMUA. SAYANG KALIAN SEMUANYA ^^ 


Salam,


Luluk HF

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro