21 - TANGGUNG JAWAB
Assalamualaikum teman-teman Pasukan semua. Bagaimana kabarnya? Semoga sehat selalu.
Siapa yang kangen baca CHAMOMILE?
Maaf banget ya, aku lama banget updatenya. Karena aku mendadak ada banyak kerjaan dan lumayan sibuk minggu kemarin. Maaf ya. Aku usahain minggu ini bisa lebih sering lagi update CHAMOMILE untuk kalian ^^
Sebelumnya aku juga ada info. HARI SABTU, 28 MEI 2022, JAM 13:00 WIB - 14:30 WIB, AKU BAKALAN ADA MEET AND GREET DI GRAMEDIA MARGONDA DEPOK. ACARANYA GRATIS YA ^^
AYO DATANG BESOK YA. DAN, RAMAIKAN GRAMEDIA MARGONDA DEPOK. KITA SHARING-SHARING SANTAI DAN SERU-SERUAN BARENG DI SANA. PENGIN BANGET KETEMU KALIAN SEMUA. SEMOGA BANYAK YANG BISA DATANG YA. AMIN.
DAN, SELAMAT MEMBACA CHAMOMILE. SEMOGA SUKA ^^^
*****
Hari senin yang terasa berat bagi Alen. Sejak dimarahi Mamanya karena berat badan naik, Alen tidak diperbolehkan untuk makan nasi. Bahkan, sejak hari minggu Alen hanya diizinkan Mamanya makan satu buah pisang.
Dan, Alen belum makan apapaun lagi sampai pagi ini.
Alen berjalan menuju lapangan dengan langkah lemas. Ia harus mengikuti upacara bendera.
"Len, lo nggak apa-apa?" tanya Ara entah sudah keberapa kalinya. Ara khawatir melihat Alen yang lesu dan sedikit pucat.
Alen menggeleng kecil.
"Nggak apa-apa, Ra."
"Lo nggak sarapan lagi?" tebak Ara.
"Iya."
"Mau ke UKS aja? Gue temenin."
"Nggak Ra, pasti ramai banget UKS."
"Tapi, Len..."
Alen memegangi lengan Ara, memotong ucapan gadis itu.
"Kalau nanti gue nggak kuat, gue bilang, Ra."
Ara menghela napas pelan, tak berani memaksa Alen lagi.
"Janji ya, kalau nggak kuat bilang, jangan dipaksakan."
"Iya Aira."
Ara mengembangkan senyum paksa, berusaha percaya dengan Alen. Ara mengandeng tangan Alen, mereka berdua masuk ke barisan kelas mereka.
"Sanda belum datang?" tanya Alen belum melihat batang hidung Sanda.
"Gue datang!! Gue datang!!"
Ara dan Alen menoleh, melihat Sanda yang berlari ngos-ngosan ke arah mereka. Ara geleng-geleng melihat keadaan Sanda yang memprihatinkan. Dasi yang belum terpakai, baju belum dimasukan dan rambut acak-acakan.
"Maaf, gelandangan dari mana ya?" tanya Ara skiptis.
"Lo mending diem, bawa minum nggak?" tanya Sanda.
Ara sudah tau Sanda pasti akan telat seperti ini. Sehingga setiap senin ia pasti akan membawa botol minum demi sahabatnya. Ara segera menyerahkan botol minumnya, membiarkan Sanda meneguknya sampai habis.
"San," panggil Ara.
"Hm?" sahut Sanda acuh tak acuh, ia masih sibuk menghabiskan minumnya.
"Seengaknya kalau nggak bisa jadi siswi pintar, lo bisa kan jadi siswi rajin dan tepat waktu masuk sekolah?"
"Nggak bisa!" tolak Sanda cepat tanpa pertimbangan.
"Emang lo mau jadi siswi apa?" tanya Ara kesal.
Sanda mengembangkan senyumnya lebar.
"Siswi yang tidak ambis seperti lo dan tidak bodoh banget seperti Alen."
Alen dan Ara bersiap menjambak rambut Sanda, namun gadis itu sudah kabur duluan ke barisan paling depan dengan tawa puasnya.
*****
Upacara hampir selesai, keringat dingin semakin bercucuran di kening, pelipis bahkan leher Alen. Beberapa kali Alen sempoyongan dan hampir tidak kuat berdiri, namun Alen tetap saja memaksakan.
"Len, ke UKS ya," pinta Ara tak tega. Alen sangat pucat, bahakan lebih para dari tadi.
Alen menggeleng, tetap kekuh menolak.
"Gue masih kuat Ra."
"Kalau sampai lo pingsan, nggak akan gue gotong. Gue seret lo sampai UKS!" ancam Ara kesal.
Alen menoleh ke Ara, senyum tipis.
"Gue nggak akan pingsan."
****
Alen membuktikan ucapannya, ia tidak pingsan saat upacara bahkan masih bisa bertahan sampai jam istirahat pertama datang.
Alen berdiri, bersiap membawa laptopnya untuk ke ruang jurnalistik. Hari ini, dia harus menyerahkan preview puisi-puisinya yang sudah ia kerjakan kemarin. Apalagi Vanya juga akan ikut rapat untuk memeriksa hasil pekerjaan mereka.
"Mau kemana?" tanya Ara dan Sanda bersamaan saat melihat Alen berdiri.
"Ruang Jurnalistik," jawab Alen.
"Lo pucet banget Len," ucap Sanda prihatin.
"Habis dari ruang jurnalistik, gue istirahat di UKS," ucap Alen berusaha tidak membuat sahabatnya khawatir.
"Beneran ke UKS?" selidik Ara tak percaya karena dari dulu Alen membenci bau obat-batan.
"Iya."
Sanda dan Ara akhirnya membiarkan Alen pergi, tidak ingin memaksa. Sanda dan Ara sangat tau bagaimana Alen sangat serius untuk lomba madding tahun ini. Alen begitu ingin memberikan hasil yang terbaik, seolah ingin menunjukkan ke semua orang bahwa dia juga bisa memiliki hal untuk dibanggakan.
"Semangat Len."
*****
Alen masuk ke dalam ruang jurnalisti, belum ada siapapun yang datang. Ia memilih segera duduk sembari menunggu. Alen memegangi perutnya, terasa nyeri. Perlahan kepalanya tertunduk, menahan agar tidak mengeluarkan ringisan.
"Lo kenapa Len?"
Alen langsung mengangkat kepala dan berusaha bersikap biasa saja. Alen memaksakan senymumnya sembari menggeleng saat melihat Aldo dan Alan yang tiba-tiba masuk bersamaan.
"Gue nggak apa-apa, Do," jawab Alen.
Aldo berjalan mendekati Alen, memeriksa lebih dekat.
"Lo sakit? Wajah lo pucet banget," khawatir Aldo, tangannya memegangi kening Alen.
Alen menepis pelan tangan Aldo.
"Gue cuma kecapean karena upacara tadi," bohong Alen.
Aldo segera mengeluarkan sebungkus roti dari sakunya yang sempat ia bawa dari kelas, menyerahkannya ke Alen.
"Makan, biar lo nggak makin pucet."
"Gue udah kenyang."
"Mana ada kenyang sampai pucet gitu!"
"Gue baik-baik aja, Aldo."
Aldo menghela napas panjang, merasa percuma memaksa Alen pasti dia akan ditolak lagi.
"Seriusan lo nggak apa-apa kan Len?" tanya Aldo memastikan terakhir kalinya.
Lagi-lagi Alen mengeluarkan senyum palsunya. Alen mengalihkan pandangan ke Alan yang sedari tadi masih berdiri di dekat pintu dan menatapnya begitu lekat. Alen sedikit kaget melihatnya, senyumpa perlahan memudar dengan canggung.
"Lan, nggak masuk?" tanya Vanya yang baru saja datang.
"Iya," jawab Alan seadanya dan segera mengambil duduk di sebelah Alen.
Vanya pun segera memulai rapatnya pagi ini. Dia terlihat begitu semangat, bahkan pandanganya sedari tadi terus tertuju ke Alan, sedangkan Alan tak mempedulikannya, pikirannya sudah fokus ke yang lain.
"Baiklah, hari ini kita akan diskusi bersama mengenai preview hasil madding teman-teman, jika ada masukan jangan sungkan ya."
Alan tak mendengarkan suara Vanya yang begitu ceria dan lantang, pandangan Alan tertuju ke tangan Alen yang terus meremas gelisah ditambah keringat yang tak kunjung hilang.
"Sebelum gue lihat hasilnya untuk pertama kali, ada yang mau kalian sampaikan terlebih dahulu, nggak?"
Alan langsung menatap Vanya dan mengangkat tangannya. Semua mata pun tertuju kepada Alan dengan ekspresi kaget. Nyatanya, Alan jarang memberikan suara ataupun pendapatnya di awal rapat.
"Iya, Lan. Lo mau sampaikan apa?" tanya Vanya terlihat tak sabar.
"Rapat hari ini bisa kita tunda besok, nggak?"
Seketika semuanya diam, saling berpandangan bingung mendengar permintaan Alan.
"Emang kenapa Lan? Lo ada kegiatan yang nggak bisa ditinggal atau ada ulangan habis ini?" tanya Vanya kebingungan.
Alan mengangguk tanpa ragu.
"Iya, gue baru ingat ada ulangan Matematika setelah ini."
Vanya bergumam pelan, mempertimbangkan.
"Kita tunda besok aja diskusinya, Kak Vanya. Untuk preview hasilnya nanti gue kirim ke email lo, biar lo bisa baca dulu. Kalau cuma kita bertiga yang diskusi tanpa Kak Alan, takutnya ada miskomunikasi dan itu pasti nggak baik buat hasil lomba ini." Aldo memberanikan diri memberikan suaranya. Aldo sendiri sepertinya tau tujuan Alan menunda rapat hari ini.
Vanya pun akhirnya mengangguk setuju karena mayoritas suara mendukung permintaan Alan.
"Oke, kalau gitu kita tunda besok diskusinya," ucap Vanya tak bisa berbuat apa-apa.
Aldo dan Alan bernapas lega mendengar Vanya menyetujuinya tanpa banyak drama.
"Ini beneran ditunda besok Do rapatnya?" tanya Alen yang masih kaget. Tentu saja dia sangat senang mendengarnya, setidaknya hari ini otaknya tidak semakin panas dan ia bisa istirahat juga.
"Iya. Lo balik kelas sana," suruh Aldo.
Alen tersenyum semangat, ia pun segera berdiri.
"Kalau gitu, gue kembali ke kelas dulu semuanya." Alen buru-buru pamit duluan. Sedari tadi ia mulai merasa pusing dan hampir mual. Perutnya terasa semakin tak enak. Alen ingin secepatnya mengistirahatkan tubuhnya.
Aldo dan Alan memandangi kepergian Alen, membiarkan gadis itu beranjak duluan.
"Lan, nanti sepulang sekolah lo sibuk nggak?" tanya Vanya ke Alan.
Alen menoleh singkat ke Vanya.
"Sibuk."
Tanpa mendengarkan balasan dari Vanya, Alan langsung keluar dari ruang jurnalistik dengan langkah cepat.
Aldo menoleh ke Vanya yang terlihat terkejut dengan balasan Alan yang sangat singkat dan cepat, merasa prihatin dengan nasib Vanya.
Aldo menepuk pelan bahu Vanya.
"Sabar ya Kak."
Vanya memaksakan senyumnya.
"Gue balik dulu."
Aldo menghela napas panjang, kini hanya dia sendiri di ruang jurnalistik. Sejenak, Aldo berusaha menyimpulkan situasi yang baru saja terjadi. Aldo yakin dengan firasatnya.
"Sepertinya perang cinta segita akan segera dimulai."
****
Bukannya ke UKS seperti yang ia janjikan ke Sanda dan Ara, Alen malah duduk di rak perpustakaan paling ujung. Alen menyenderkan tubuhnya di dinding dan memejamkan matanya. Tangan Alen masih sibuk memegangi perutnya yang semakin terasa nyeri.
"Lo ngapain di sini?"
Alen terkejut mendengar suara yang sangat familiar baginya. Alen segera membuka kedua matanya dan lebih terkejeut ketika mendapati Alan sudah berdiri di hadapannya.
"Kak Alan sendiri ngapain di sini?" tanya Alen balik tanpa menjawab pertanyaan Alan.
Alan tak langsung menjawab, ia duduk di hadapan Alen, menatap gadis itu dengan tatapan yang tak bisa Alen jabarkan.
"Tanggung jawab," jawab Alan singkat.
Alen mengerutkan kening, tidak paham.
"Tanggung jawab ke siapa?"
"Ke lo."
Alen menunjuk dirinya sendiri, masih tak mengerti.
"Ke gue? Untuk?"
"Gue udah bilang kan kemarin."
"Apa?"
"Gue akan tanggung jawab kalau lo dimarahi Mama lo."
Alen terdiam, ia baru mengingat ucapan tersebut. Alen mengira Alan tidak serius mengatakannya. Alen merasakan jantungnya mulai berdebar karena perkataan Alan.
"Kemarin Mama lo marah?" tanya Alan tanpa basa-basi.
"Nggak," bohong Alen.
"Lo nggak bisa bohong."
Alen tersudutkan, nyatanya dia memang tidak jago berbohong apalagi kalau sudah di depan Alan.
"Mama beneran nggak marah, hanya diceramahi aja," jawab Alen tak mau membuat Alan salah paham.
"Sampai nggak boleh makan?"
Alen terdiam lagi, Alan terus saja menyudutkannya.
"Gue makan tadi pagi," jawab Alen lirih, pandanganya tidak lagi berani membalas tatapan Alan.
Alan mengeluarkan sebungkus roti dan teh hangat dari paper bag yang dibawanya. Kemudian, menyerahkan ke Alen.
"Makan," suruh Alan.
Alen menatap roti dan teh tersebut bergantian.
"Gue kenyang Kak," tolak Alen. Jujur, mengingat kejadian Mamanya marah besar kepadanya membuat Alen enggan untuk makan.
"Wajah lo pucat."
"Gue cuma butuh istirahat sebentar."
"Lo butuh makan," tajam Alan tak mau mengalah.
Alen menghela napas panjang, ia memberanikan diri untuk menatap Alan lagi.
"Kak Alan nggak perlu tanggung jawab. Gue nggak apa-apa dan Mama juga nggak marah sama gue. Jadi, Kak Alan nggak usah repot-repot nyuruh gue makan lagi," ucap Alen sungguh-sungguh.
Alan tertegun mendengar penolakan Alen. Ia memperhatikan kedua mata Alen yang semakin sayu, wajah pucat gadis itu tak bisa disembunyikan.
"Kalau lo nggak mau makan, lo mau kan ke UKS?"
"Gue ada pelajaran pak Rudi habis ini. Gue nggak mau lagi da..."
"Gue yang izinin," potong Alan cepat.
Alen menatap Alan dengan bingung, tak mengerti dengan sikap Alan saat ini. Beberapa detik, keduanya hanaya diam dan saling memandang.
"Kak Alan," panggil Alen lirih.
"Hm?"
"Gue boleh tanya?"
"Apa?"
"Lo nggak benci sama gue?"
"Tentu saja benci."
Alen tersenyum miris, jawaban yang sudah bisa ia duga dari dulu.
"Kalau benci, kenapa Kak Alan masih peduli sama gue dari kemarin?"
Kini giliran Alan yang memberikan sebuah senyum sangat tidak ramah ke Alen.
"Memangnya gue nggak boleh peduli sama orang yang gue benci?"
Alen menghela napas panjang, kepalanya bertambah memberat karena bedebat dengan Alan. Alen kembali menyenderkan tubuhnya, tenaganya semakin melemah.
"Aneh," gerutu Alen.
Alan mengangguk-angguk kecil, mengiyakan saja ucapan Alen yang menyebutnya aneh. Alan menyerahkan segelas teh hangat ke Alen.
"Kalau nggak mau makan, minum aja tehnya," suruh Alan.
Alen menatap teh tersebut dengan bimbang, otaknya menghitung cepat berapa kalori yang ada di dalam teh tersebut.
"Minum Len!" Alan yang tak sabar langsung memasukan sedotan teh ke dalam mulut Alen, membuat gadis itu kaget.
Alen pun segera mengambil teh yang masih di pegang oleh Alan, dan menyeruputnya cepat tanpa sadar. Ia terlalu kaget dengan sikap Alan barusan.
Alan lega melihat Alen mau minum teh yang dia bawakan. Meskipun masih tidak mau makan.
"Lo tau nggak..." Alan menggantungkan ucapannya.
"Apa?" balas Alen gugup.
"Sifat keras kepala lo nggak pernah berubah."
"Kapan gue keras kepala? Gue nggak pernah keras kepala!" elak Alen.
"Pernah."
"Kapan? Coba sebutin."
Satu sudut bibir Alan terangkat kecil dengan tatapan hampa.
"Saat lo putusin gue tanpa alasan."
****
#CuapCuapAuthor
BAGAIMANA CHAMOMILE PART DUA PULUH SATU? SUKA NGGAK?
KALIAN TIM BAIKAN ATAU BALIKAN NIH?
CHAMOMILE PART 22 MAU UPDATE HARI APA?
SAMPAI JUMPA DI PART BERIKUTNYA YAA ^^
JANGAN LUPA TINGGALKAN VOTE DAN COMMENT YA. SELALU PALING DITUNGGU DARI TEMAN-TEMAN PASUKAN PEMBACA ^^
Semoga teman-teman Pasukan Pembaca selalu suka CHAMOMILE, selalu baca CHAMOMILE dan selalu support CHAMOMILE ya.
Jangan lupa juga untuk pantengin info-info tentang cerita Chamomile di Instagram luluk_hf dan lulukhf_stories yaa ^^
MAKASIH BANYAK TEMAN-TEMAN PASUKAN SEMUA. SELALU SAYANG KALIAN SEMUA. JANGAN LUPA SELALU JAGA KESEHATAN YA ^^
Salam,
Luluk HF
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro