19 - SPESIAL
Assalamualaikum teman-teman Pasukan pembaca semua. Bagaimana kabarnya hari ini? Semoga sehat selalu ya.
KAGET NGGAK AKU UPDATE LAGI HARI INI? SUKA NGGAK?
SIAP UNTUK BACA CHAMOMILE PART 19?
Semoga teman-teman semua selalu suka CHAMOMILE, selalu baca CHAMOMILE dan selalu support CHAMOMILE ya. Amin.
Dan, selamat membaca CHAMOMILE ^^
*****
Aldo tiba-tiba memanggil Alan dan Alen untuk segera datang ke Jurnalistik sepulang sekolah. Keduanya pun segera ke ruangan Jurnalistik.
Alen melihat Aldo terlihat panik dan mondar-mandir tak jelas. Alan juga sudah ada di sana, duduk dengan tenang. Ya, lagi-lagi Alen telat datang.
"Maaf gue telat, baru berakhir kelasnya," ucap Alen tidak enak.
Aldo mengangguk dan segera menunjuk ke kursi meminta Alen untuk duduk. Alen menuruti saja.
"Ada apa?" tanya Alan akhirnya buka suara.
Aldo menghela napas panjang, ekspresi gelisahnya tak dapat disembunyikan.
"Kita kurang satu Narasumber lagi, Kak," ucap Aldo.
"Maksud lo?"
"Sori banget, teman kelas gue Fahri, kakeknya meninggal semalam. Jadi, kita tidak bisa mewancarai dia hari ini," jelas Aldo merasa bersalah.
"Nggak apa-apa. Kita juga harus meneghargai dia yang masih berduka," ucap Alan mencoba menenangkan Aldo.
"Terus gimana, Kak? Lo ada teman yang bisa dijadikan narasumber hari ini?" tanya Aldo lagi.
Alan menggeleng, seluruh temannya sudah dia jadikan bahan narasumber. Bahkan, Alfin sekalipun yang awalnya tidak mau akhirnya mau.
Aldo menghela napas berat, semakin pasrah.
"Lo gimana, Len?" tanya Aldo.
Alen terdiam, berpikir keras. Melihat wajah lelah dan sedih Aldo saat ini membuat Alen tidak tega.
"Kalau wawancara Mama gue gimana?" tanya Alen memberanikan diri. Bukannya takut kepada Aldo atau Alan, melainkan takut dengan ucapannya sendiri malah menjadi boomerang untuknya.
Wawancara Mamanya? Sungguh hal paling konyol yang Alen lakukan bulan ini.
Mendengar tawaran Alen, baik Aldo dan Alan langsung menoleh ke Alen.
"Boleh banget Len. Mama lo mau?" Aldo langsung berubah semangat.
Alen menggeleng ragu.
"Gue coba tanya dulu."
Aldo mengangguk cepat.
"Buruan lo telfon sekarang," suruh Aldo.
Alen mengangguk, dengan berat hati Alen mengeluarkan ponselnya bersiap untuk menelfon Mamanya. Alen memandangi ponselnya cukup lama, mempertimbangkan kembali keputusannya. Jujur, Alen tidak yakin Mamanya akan mau.
Sedangkan, Alan sedari tadi diam dan memperhatikan Alen yang tak kalah gelisah dari Aldo. Alan sangat tau bagaimana hubungan Alen dan Mamanya. Saat pacaran dulu, Alen sering mengeluh tentang Mamanya yang terlalu over protectif kepadanya.
"Alen," panggil Alan.
Alen tersentak kaget, ia menoleh ke Alan dengan bingung.
"Iya, Kak?"
"Kalau nggak yakin, nggak usah."
*****
Dengan segala keberaniannya dan keyakinannya, Alen memutuskan untuk tetap menelfon Mamanya. Bagi Alen tidak ada salahnya untuk dicoba. Meskipun Alan sudah mencegahnya.
Sambungan di ponsel Alen berbunyi, tak lama kemudian suara Mama Alen terdengar di sebrang sana.
"Ada apa telfon Mama sore-sore?"
Suara dingin yang khas dari seorang Kanara.
"Ma, sibuk nggak? Mama lagi di mana?" tanya Alen gugup.
"Tentu saja Mama sibuk. Mama lagi di toko bunga."
Alen bergumam pelan.
"Ma, teman-teman jurnalistik mau wawancara Mama boleh? Kita butuh bahan untuk lomba Madding," tanya Alen.
"Wawancara apa maksudnya?"
"Jadi...." Alen menjelaskannya sesingkat mungkin kepada Mamanya yang tak suka ribet.
Setelah Alen menjelaskan, Mamanya hanya diam, tak langsung menjawab.
"Ma, gimana? Mama mau, nggak?"
Terdengar helaan napas panjang dari Kanara.
"Lima belas menit. Gimana?"
Alen langsung tersenyum senang dan mengangguk-angguk semangat. Alen bahkan tanpa sadar sudah berdiri.
"Iya Ma. Wawancaranya nggak akan lebih dari lima belas menit. Alen janji."
"Oke."
"Alen dan teman-teman datang ke toko bunga sekarang ya Ma.
"Iya, hati-hati di jalan."
'"Iya Ma. Makasih Mama."
Alen mengakhiri panggilannya dengan mata berbinar-binar. Alan dan Aldo tersenyum senang, dari ekspresi Alen saja mereka sudah tau jawabannya.
"Mama setuju," ucap Alen memberitahu.
Aldo bersorak senang, saking bahagianya Aldo langsung mendekati Alen dan memeluk Alen.
"Makasih banyak Len, sumpah lo penolong banget sumpah! Gue berhutang budi sama lo! Sampai gue nggak dapat pengganti Fahri gue bisa digantung Kak Vanya!!" heboh Aldo.
Sedangkan Alen masih membeku di tempat, kaget dengan yang dilakukan oleh Aldo. Bukan hanya Alen yang terkejut, Alan pun tak kalah terkejut.
"Do, buruan ambil kamera lo," ucap Alan mengingatkan.
Mendengar suara Alan, Aldo langsung melepaskan pelukannya dan mengangguk cepat.
"Siap Kak. Gue ambil kamera gue sekarang juga!"
Aldo melesat kembali ke kelasnya meninggalkan Alan dan Alen begitu saja di ruang jurnalistik. Keadaan mendadak sunyi dan canggung.
Alen masih tak bisa menghilangkan kagetnya karena pelukan dari Aldo. Dan, entah kenapa Alen merasa tidak enak kejadian tadi dilihat oleh Alan. Padahal, Alan sendiri terlihat tenang-tenang saja.
"Kak Alan, telur omelattenya tadi sudah dimakan?" tanya Alen memberanikan diri, ia berusaha mencairkan kecanggungan mereka.
Alan mengangguk singkat.
"Sudah."
Alen tersenyum tipis.
"Syukurlah. Maaf kalau nggak enak bikinnya agak buru-buru."
"Enak," balas Alan.
Alen tertegun tak menyangka Alan akan memuji masakannya.
"Mau gue buatkan lagi, Kak?" tawar Alen lebih berani.
Kini giliran Alan yang tertegun dan kaget mendengar pertanyaan Alen. Namun, belum juga Alan menjawab, sosok Aldo sudah kembali masuk ruang jurnalistik dengan napas ngos-ngosan.
"AYO BERANGKAT!!!"
*****
Alen, Aldo dan Alan akhirnya tiba di toko bunga milik Kanara. Alen segera memperkenalkan Aldo dan Alan kepada Mamanya.
"Kita lansgung mulai saja wawancaranya nggak apa-apa, kan? Saya lumayan sibuk hari ini," ucap Kanara tanpa basa-basi.
"Mama..." pekik Alen. Ia merasa tidak enak kepada Aldo dan Alan.
"Iya, Tante. Kita mulai sekarang," balas Alan sangat sopan.
Alan menghampiri Alen, memberikan kertas pertanyaan di tangannya kepada Alen. Sedangkan, Alen menerimanya dengan bingung.
"Gue yang wawancara Kak?" tanya Alen.
"Iya," jawab Alan.
"Tapi, Kak..."
Alan tak mempedulikan protesan Alen, ia segera duduk di belakang kamera dan mengatur kameranya.
Alen menghela napas panjang, tidak ada guna menolak. Ia pun segera duduk di kursi sebrang Mamanya.
Alen menatap Mamanya yang saat ini juga sedang melihatnya. Tatapan Mamanya yang cukup mengintimidasi membuat Alen harus mengumpulkan semua keberaniannya.
"Alen mulai ya Ma," ucap Alen melawan gugupnya.
"Oke."
Alen membaca pertanyaan-pertanyaan di kertas. Tak beda jauh dengan pertanyaan yang diajukan kepada Anya, Mama Ara kemarin.
"Apa keinginan Mama pertama kali saat Alen lahir?" tanya Alen.
"Tumbuh menjadi gadis yang cantik," jawab Kanara tanpa beban.
"Hanya itu?" Alen tertegun mendengar jawaban sederhana Mamanya yang berbeda dengan jawaban Mama Ara.
"Iya, apalagi? Dengan kamu cantik kamu akan disukai banyak orang."
Alen terdiam, bingung harus merespon apa. Ia pun hanya bisa menagngguk pasrah, menyetujui saja. Alen mulai melemparkan pertanyaan keduanya.
"Apa yang Mama rasakan ketika Alen hadir pertama kali ditengah-tengah kehidupan Mama?" Alen mulai merasa gelisah.
"Kamu ingin Mama jawab jujur?" tanya Kanara, tatapanya terlihat dingin.
"Ten... Tentu saja," balas Alen.
"Nggak ada."
"Nggak ada?"
"Iya. Mama nggak ingat."
Alen tanpa sadar meremas kertas di tangannya. Seketika menyesali bahwa ia sudah menawari Mamanya sendiri. Sedangkan Alan dan Aldo terdiam di belakang dengan bingung dan canggung, mereka berdua juga kaget mendengar jawaban Kanara.
"Alen lanjut pertanyaan ketiga," ucap Alen masih berusaha menguatkan diri.
"Oke."
"Mama ingin Alen tumbuh seperti apa?"
"Cantik dan sempurna."
"Nggak ada yang sempurna, Ma."
"Makanya Mama ingin kamu jadi sempurna. Kamu nggak bisa?"
"Tentu saja nggak bisa. Alen bukan Tuhan!" Alen tak bisa lagi menahan kesabarannya.
"Mama akan buat bisa," jawab Kanara dengan yakin.
Alen menghela napas panjang, ingin rasanya menyudahi wawancaranya dengan sang Mama. Namun, Alen lagi-lagi menahan diri. Ia merasa tidak enak dengan Aldo dan Alan yang pasti mengasihaninya saat ini.
"Pertanyaan selanjutnya!" ketus Alen.
"Oke," balas Kanara masih dengan ekspresi tak berdosanya.
Alen melihat ke kertas di tangannya, membaca pertanyaan terakhir yang akan dia sampaikan ke Mamanya.
"Harapan Mama Kanara untuk Alen?"
Alen tersenyum miris, tentu saja dia sudah tau jawabannya. Alen menghela napas panjang kemudian kembali menatap Mamanya dengan tatapan setenang dan setegar mungkin.
"Mama bahagia nggak punya Alen?" Alen sengaja mengganti pertanyaannya. Dan, pertanyaan tersebut berhasil membuat semua orang di toko bunga terkejut.
Baik Kanara, Aldo dan Alan. Kini Alen dan Kanara saling bertatapan lekat.
"Kamu ingin dengar jawaban yang bagaimana?" tanya Kanara.
"Jujur. Meskipun menyakitkan." Remasan tangan Alen pada kertas semakin kuat. Bahkan kedua matanya mulai terasa panas.
Kanara tersenyum tipis sembari menghela napas pelan. Tatapan Kanara yang sebelumnya dingin seketika lenyap dalam sekejap.
"Tentu saja bahagia. Kalau tidak ada kamu, mungkin Mama sudah nggak hidup sekarang."
Alen membeku di tempat, tak menyangka jawaban Mamanya akan seperti itu. Alen mengira Mamanya akan menjawab dengan dingin dan menyakitkan. Tanpa sadar, kedua mata Alen berkaca-kaca.
"Ma..."
Kanara segera berdiri, tatapan dinginnya langsung kembali. Kanara melirik jam tangannya.
"Sudah lima belas menit. Wawancara selesai," ucap Kanara dan pergi begitu saja masuk ke dalam ruangan kerjanya tanpa berpamitan dengan Alen bahkan Aldo dan Alan.
Alen tertunduk lemah menatap hampa ke arah lantai. Perasaannya terasa campur aduk. Alen menguatkan hatinya.
"Len, lo nggak apa-apa?" tanya Aldo menepuk bahu Alen.
Alen segera menghapus air matanya yang ingin keluar. Kemudian menggeleng cepat.
"Gue nggak apa-apa, Do."
Alen memaksakan senyumnya, menatap Aldo yang menatapnya dengan iba.
"Kita ke café dekat lampu merah aja buat lihat hasilnya. Mama lo sepertinya sibuk banget," ajak Aldo ingin menghibur Alen.
Alen mengangguk.
"Iya, maaf ya Mama gue langsung pergi gitu aja. Pasti lagi sibuk banget."
"Nggak apa-apa, Len. Mama lo udah bersedia diwawancarai aja gue makasih banget. Salam ya nanti buat Mama lo."
"Pasti gue salamin."
Alen mengalihkan pandangannya ke Alan, cowok itu juga memperhatikannya entah sejak kapan. Dan, tatapan Alan berbeda seperti biasanya. Bukan tatapan dingin dan juga bukan tatapan iba. Alen tidak bisa mengartikannya.
Alen dengan cepat membuang muka, tak ingin Alan berubah mengasihaninya. Alen menyibukkan diri dengan mengemasi tasnya.
"Maaf."
Alen tersentak kaget, ia menoleh dan melihat Alan sudah berdiri di sebelahnya.
"Untuk apa, Kak?" bingung Alen.
"Karena minta lo yang wawancarai Mama lo sendiri."
Alen tersenyum kecil sembari menggeleng.
"Kak Alan nggak perlu minta maaf. Sudah tugas gue juga."
Alan masih terus menatap Alen lekat membuat Alen semakin gugup.
"Lo tau nggak?" ucap Alan tiba-tiba.
"Tau apa Kak?"
"Lo udah tumbuh menjadi gadis cantik."
*****
Alen tak bisa menghentikan detakan jantungnya yang masih berderu cepat karena ucapan Alan saat di toko bunga Mamanya. Alen sama sekali tak menyangka Alan akan berkata seperti itu.
Entah Alan hanya ingin menghiburnya atau Alan benar-benar tulus kepadanya, Alen tidak tau. Tapi, kalimat tersebut membuat Alen seketika melupakan rasa sedihnya.
Kini Alen sedang berada di café tak jauh dari toko bunga Mamanya, bersama Aldo dan Alan. Alen mencuri pandang ke Alan, cowok itu sedang sibuk melihat hasil rekaman tadi bersama Aldo.
"Lo udah tumbuh menjadi gadis cantik."
Ingin sekali Alen berteriak saat ini juga. Alen tak bisa menyembunyikan bahwa dia sangat bahagia mendengar kalimat itu dari Alan.
"Hasilnya udah oke semua," ucap Alan mengakhiri pengecekannya.
Aldo mengangguk, setuju.
"Gue boleh lihat-lihat kamera lo, Kak?" tanya Aldo meminta izin.
"Boleh," ucap Alan menyerahkan kameranya kepada Aldo.
Alan menoleh ke Alen, dua-duanya sama kaget karena tak sengaja saling lempar pandang. Alan dapat melihat Alen yang berubah salah tingkah.
"Kak Alan nggak pesan makan?" tanya Alen berusaha menyembunyikan kegugupannya.
"Gue udah makan di kantin sekolah," jawab Alan seadanya.
"Oke, Kak."
Alen segera menunduk dan berpura-pura memainkan ponselnya. Ia benar-benar sangat malu sekarang karena sudah bertingkah seperti gadis bodoh.
"Kak, lo nggak pernah foto orang?" tanya Aldo setelah melihat-lihat hasil foto di kamera Alan. Tidak ada foto orang sama sekali, bidikan orang pun hanya video Mama Alen tadi. Lainnya, hanya foto pemandangan saja.
"Pernah, tapi nggak di kamera ini."
"Kenapa? Kamera ini spesial banget buat lo?" tanya Aldo makin penasaran.
"Iya, hadiah dari Mama gue."
Aldo mengangguk-angguk takjub. Merasa iri karena Alan punya sesuatu yang spesial.
"Mungkin nggak lo foto objek orang dengan kamera ini suatu hari nanti?" tanya Aldo lagi.
"Sepertinya nggak mungkin."
Aldo mengernyitkan keningnya, tidak puas dengan jawaban Alan.
"Yakin nggak mungkin?"
"Iya."
Aldo mengangguk-angguk, menerima saja.
"Berarti kalau seandainya suatu hari lo foto objek orang di kamera ini, pasti orang itu spesial banget buat lo, Kak." Kali ini bukan pertanyaan yang Aldo lemparkan, melainkan sebuah pernyataan kepada Alan.
Alan terdiam, tak langsung membalas. Ia mencerna baik-baik ucapan Aldo. Jujur, Alan tak sampai kepikiran di sana. Alan perlahan menoleh ke Alen, gadis itu tampaknya juga mendengarkan pembicaraannya dengan Aldo sedari tadi. Alen terlihat penasaran dengan respon Alan.
Alan tersenyum kecil masih dengan mata yang tertuju ke Alen.
"Iya, pasti dia sangat spesial buat gue."
*****
#CuapCuapAuthor
BAGAIMANA CHAMOMILE PART SEMBILAN BELASNYA? SUKA NGGAK? BAPER NGGAK?
SATU KATA UNTUK PART INI ^^
CHAMOMILE PART 20 MAU UPDATE HARI APA NIH? BESOK LAGI ATAU LUSAAAAA?
JANGAN LUPA TINGGALKAN VOTE DAN COMMENT YA. SELALU PALING DITUNGGU DARI TEMAN-TEMAN PASUKAN PEMBACA ^^
Jangan lupa juga untuk pantengin info-info tentang cerita Chamomile di Instagram luluk_hf dan lulukhf_stories yaa ^^
MAKASIH BANYAK PASUKAN PEMBACA SEMUA. SAYANG KALIAN SEMUA. JANGAN LUPA JAGA KESEHATAN YA. SAMPAI JUMPA DI PART SELANJUTNYA ^^
Salam,
Luluk HF
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro