Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

13 - SETIDAKNYA

Assalamualaikum teman-teman Pasukan semua. Bagaimana kabarnya? Semoga sehat selalu ya. 

Aku minta maaf sebesar-besarnya Rabu kemarin belum bisa update. Makanya, aku ganti hari kamis ini ya ^^ 

SUDAH SIAP BACA CHAMOMILE PART 13? 

Sebelumnya aku mau tanya dong ke teman-teman Pasukan pembaca. Semisal kalian bisa kembali ke masa lalu, siapa yang ingin kalian temui? Dan, apa yang ingin kalian katakan ke orang itu? 

DAN, SELAMAT MEMBACA CHAMOMILE. SEMOGA SUKA ^^ 

*****

Alen keluar rumah dengan wajah kusut, timbangannya masih belum juga turun dan sudah mendapatkan ceramah panjang Mamanya. Lagi-lagi Alen tidak dapat uang jajan hari ini bahkan tidak boleh sarapan pagi juga.

Alen memaksakan dirinya untuk tetap tersenyum sembari mengelus dadanya pelan-pelan berusaha untuk kuat.

"Tenang Alen, lo masih punya Kakak Ara yang kaya raya, hidupnya sempurna, suka memberi, tanpa pamrih walaupun mulutnya seperti Api!"

*****

Alen masuk ke dalam kelasnya yang sudah cukup ramai. Alen melihat bangkunya yang masih kosong, belum ada tanda-tanda kedatangan Ara.

"Tumben belum datang?"

Alen kembali berjalan ke bangkunya dan menaruh tasnya. Setelah itu duduk dengan tenang di kursi, memperhatikan teman-temannya yang mulai heboh membahas acara Dies Natalis sekolah padahal masih empat bulan lagi.

"Sial!" umpat Alen pelan, ia jadi diingatkan dengan permintaan Sanda.

Alen mengeluarkan ponselnya, ada pesan dari Sanda.

Sanda

Gue ada ujian akhir bulan. Goodluck buat gue

Alen tersenyum kecil segera membalas pesan Sanda dan memberi dukungan untuk sahabatnya itu. Sanda sejak SD memang sudah masuk seleksi tim atlet renang. Makanya, hidup mati Sanda sampai detik ini hanyalah untuk renang.

"ALEN!!"

Tak usah bertanya siapa pemilik suara cempreng tersebut. Tanpa harus melihat langsung, Alen sangat tau siapa yang memanggilnya.

"Len, kenapa wajah lo kusut banget? Senyum bahagia lo juga nggak kelihatan pagi ini?" tanya Ara dramatis.

Alen menatap Ara dengan tatapan memelas, kemudian menjulurkan kedua telapak tangannya.

"Kasih gue uang," pinta Alen.

Ara geleng-geleng sembari mengelus dada.

"Nggak dapat uang jajan lagi dari Ibu tiri?" tebak Ara.

Alen mengangguk-angguk pedih.

"Iya, bisa nggak lo aja yang jadi ibu tiri gue, Ra?" mohon Alen.

"Gue hanya menolong fakir miskin dan anak terlantar, Len. Bukan anak bodoh kayak lo."

"Gue juga anak terlantar, Ra," lirih Alen ikut-ikut dramatis.

Ara menggeleng lebih cepat.

"Lo bukan terlantar, Len. Lo hanya tidak seberuntung gue yang hidupnya sempurna, bahagia dan kaya raya."

Sial! Alen seperti baru saja di tusuk ujung belati. Meskipun cukup sakit, Alen sudah terbiasa mendengarnya.

"Mulut lo mending sekolahin juga, Ra!" tajam Alen sangat kesal.

Ara tertawa puas mendengar ekspresi kesal Alen. Ara langsung mengambil duduk di kursi sebelah Alen.

"Jadi, gimana? gimana?" tanya Ara kembali heboh.

Alen menatap Ara bingung.

"Apa?"

"Lo udah dekat sama Kak Alan? Keren kan ide gue buat lo dekat lagi sama Kak Alan!!"

Ya, Alen memang sudah tau sejak awal perbuatan siapa yang membuatnya harus terjun lomba madding sekolah.

"Boro-boro deket, dia mau ngomong sama gue aja alhamdulillah," ucap Alen sangat jujur.

Ara langsung mengambil duduk di sebelah Alen.

"Emang dia ngomong apa sama lo?" tanya Ara penasaran.

Alen mengingat kembali kejadian kemarin di ruang osis. Perasaan aneh kembali Alen rasakan. Apalagi saat Alan membantunya membawa koran ke ruang osis, meskipun Alan tetap berdalih tidak membantunya.

"Taruh sini," jawab Alen dengan polosnya.

"Apanya yang di taruh? Hati lo? kebodohan lo atau apa?"

Alen mendesis pelan, Ara selalu bisa mengeluarkan kata-kata pedasnya.

"Bukan, kemarin dia bantuin bawa koran-koran ke ruang osis."

"SUMPAH?" Tentu saja Ara akan langsung heboh.

"Pelanin suara lo!" pekik Alen.

Dengan cepat Ara mengangguk dan membuat gerakan seperti mengunci mulut.

"Kak Alan mau bantuin lo? Kak Alan udah nggak marah lagi sama lo? Kak Alan udah maafin lo."

Alen menggeleng cepat.

"Katanya nggak bantuin. Dia juga mau ke ruang osis."

Ara mendesis kesal, taka puas dengan jawaban Alen.

"Sok dingin dia, pura-pura nggak peduli. Gue yakin Len, Kak Alan masih ada rasa peduli sama lo. Dan, gue yakin juga..."

Ara menepuk pelan bahu Alen dengan tatapan yakin.

"Kak Alan pasti akan maafin lo."

Alen merasa senang mendengarkan semangat Ara di pagi hari ini, melupakan sejenak omelan meneyebalkan Mamanya tadi pagi.

"Beneran, Ra?"

"Hm, gue yakin itu. Lo mau buktiin Kak Alan benar-benar masih peduli sama lo atau, nggak?"

"Buktiin?"

"Iya, buktiin Alen."

Alen bergumam pelan, tatapanya meragu.

"Gimana caranya?"

Ara tersenyum licik, kemudian memberikan kode lambaian tangan ke Alen, meminta sahabatnya itu lebih mendekat. Meskipun was-was, Alen tetap saja mendekati Ara dan mulai mendengarkan cara sok bijak dari seorang Ara.

Alen menatap Ara tidak yakin setelah mendengarkan semua ide dari Ara.

"Seriusan bakalan berhasil?"

"Gue yakin pasti berhasil!"

Alen meneghela napas panjang, berusaha mempercayai Ara lagi untuk kedua kalinya.

"Gue akan coba."

Ara mengangguk senang, Alen mau mengikuti masukannya.

"Tunjukan ke dunia kalau lo nggak bodoh-bodoh amat, Alen."

****

Jam istirahat pertama, Alen langsung ke ruang jurnalistik. Mereka ada rapat singkat pagi ini untuk membahas dan menentukan tema lomba madding mereka. Semalam, Alen sudah memberikan ide temanya kepada Vanya. Dan, Vanya juga mengirimkan semua ide tema milik yang lainnya tanpa memberikan nama pemilik ide tersebut.

Vanya melakukan voting secara anonim, agar proses tema terpilih adil.

"Kalian semua sudah baca tiga tema yang diajukan tiap orang, kan?" tanya Vanya ke Alen, Alan dan Aldo.

Ketiganya mengangguk.

"Semalam, kalian juga sudah memberikan voting tema mana yang menarik buat kalian. Dan, gue sudah pegang hasil tema yang mendapatkan voting terbanyak."

Vanya membuka ponselnya, bersiap untuk mengungumkan tema terpilih.

"Tema lomba madding 2D tahun ini, kita akan menggunakan ide tema dari...." Vanya menatap satu persatu teman-temannya. Dari Alen, Alan dan Aldo. Mendapatkan tatapan seperti itu membuat Alen gugup sendiri, padahal dia tidak berharap apapun. "Tema dari Alen. Tentang harapan orang tua untuk anak tercinta."

Alen membulatakan kedua matanya, sangat terkejut namanya disebut oleh Vanya.

"Punya gue Kak?" tanya Alen sekali lagi memastikan. Tentu saja dia tak menyangka temanya akan terpilih.

"Selamat Alen," ucap Aldo ikut senang.

Alen menatap Aldo, semakin menyadari bahwa memang benar temanya terpilih.

"Makasih," balas Alen.

Alen beralih menatap ke Alan yang juga tengah memandanginya, tatapannya cukup tenang, tidak sedingin biasanya. Alen tersenyum kecil setelah itu langsung beralih. Dia masih tak berani menatap Alan lama-lama.

"Baiklah, karena tema sudah dipilih, kalian bertiga bisa mendiskusikan langkah awal yang akan kalian kerjakan. Sukses dan semangat untuk kalian semua," ucap Vanya mengakhiri rapat mereka.

****

Tema yang Alen ambil adalah tentang harapan terdalam orang tua untuk para anak-anak tercintanya. Biasanya, hanya para siswa dan siswi saja yang akan ditanya 'Apa cita-cita mereka' atau 'Mau jadi apa saat mereka dewasa?'

Tapi, jarang yang menanyakan harapan orang tua untuk anak-anak mereka ketika anak mereka dewasa. Alen mendapatkan ide tema itu, saat memikirkan kedua orang tuannya.

Alen sangat ingin tau apa yang dipikirkan orang tuanya tentang dirinya dari lubuk hati mereka. Andai saja Alen bisa tau pikiran terdalam orang tuanya, mungkin Alen bisa mengerti semua alasan yang dilakukan orang tuanya kepadanya. Ya, karena itu, Alen mencoba untuk mengusulkan ide ini.

Dan, Alen tak menyangka ide sederhananya ini bisa terpilih.

"Persiapan awal yang kita butuhkan adalah list nama-nama siswa dan siswi yang mau kita wawancarai berserta orang tuanya," ucap Aldo memandu diskusi karena Aldo yang paling berpengalaman di bidang jurnalistik.

"Untuk itu menurut gue nggak susah, Kak. Teman-teman kita banyak, mereka pasti banyak yang mau bantu," balas Alen memberanikan diri memberikan suara.

Aldo dan Alan mengangguk, menyetujui ucapan dari Alen.

"Kita bertiga masing-masing cari minimal tiga orang yang mau kita wawancarai, setelah dapat, kita langsung lakukan wawancara ke rumah mereka untuk bertemu orang tua mereka juga. Waktu kita tiga hari untuk mengumpulkan tiga orang itu. Setuju?"

"Setuju," serempak Alan dan Alen.

Aldo memimpin diskusi dengan lancar. Diskusi singkat itu selesai lebih cepat. Setelah itu, Aldo berdiri dari kursinya.

"Gue balik duluan ke kelas, ada ulangan Fisika setelah ini," pamit Aldo terlihat buru-buru.

Belum sempat Alen dan Alan membalas ucapan Aldo, cowok itu sudah pergi bagai kilat, meninggalkan Alan dan Alen berdua di ruang jurnalistik. Hal yang tidak diinginkan Alen saat ini.

Keadaan mendadak sunyi, Alen tak berani menoleh, ia fokus merapikan barang-barangnya. Namun, Alen mendadak teringat dengan ide dari Ara tadi pagi. Haruskah Alen mencoba melakukannya sekarang?

Haruskah Alen membuktikan Alan benar-benar masih peduli kepadanya atau tidak?

Alen perlahan melirik ke arah Alan, cowok itu juga sedang sibuk merapikan buku catatannya dan bersiap berdiri. Alen mengatur napasnya sejenak dan mengumpulkan semua keberaniannya.

"Ka..."

Belum sempat Alen memanggil, sosok Vanya tiba-tiba kembali ke ruang Jurnalistik. Vanya berjalan menghampiri Alan dengan senyum yang tak bisa Alen jelaskan saat ini.

"Lan, boleh minta tolong, nggak?" tanya Vanya tiba-tiba.

Alaan menatap ke Vanya. Sedangkan, Alen mengurungkan niatnya untuk beranjak, entah kenapa dia sedikit penasaran.

Vanya menyodorkan buku yang dibawanya ke Alan.

"Gue ada tugas Matematika dan nggak bisa. Lo kan jago banget Matematika. Bisa bantu ajarin gue?" tanya Vanya penuh harap.

Alan tak langsung menjawab, ia melirik ke deretan soal yang ada di buku Vanya. Kemudian kembali menatap ke Vanya.

"Lo bisa minta jawaban ke anak kelas IPA 3," ucap Alan dengan santainya.

"Hah?" bingung Vanya.

"Mereka dapat soal yang sama seperti lo."

Setelah itu, Alan langsung berjalan keluar begitu saja dari ruang jurnalistik. Sedangkan Vanya terlihat masih mematung mendengar penolakan Alan. Bukan hanya Vanya yang terkejut, Alen juga.

"Lo nggak balik ke kelas?" tanya Vanya menyadarkan Alen.

Alen terperanjak, ia menatap Vanya yang terlihat sebal. Daripada Alen yang kena sasaran lagi, ia segera memilih pamit.

"Gue ke kelas dulu, Kak."

*****

Alen masih bisa merasakan betapa dinginnya sifat Alan kepada Vanya tadi. Namun, Alen jadi teringat ketika Alfin meminta Alan membantunya.

"Kenapa Kak Alan dulu mau bantu gue?"

Alen mengernyitkan kening.

"Kenapa dia nggak nolak?"

Alen menghela napas panjang, kepalanya terasa berat saat ini hanya karena memikirkan Alan dan Alan lagi. Ketenangan hidupnya sudah terganggu hanya karena seorang Alan!

"Siapa yang nolak?"

Tubuh Alen terpelonjat, ia menoleh ke belakang. Alan kaget melihat keberadaan Alfin dan Alan yang berjalan di belakangnya. Kenapa Alan ada di belakangnya? Bukannya cowok itu sudah kembali ke kelasnya dari tadi?

Kalau Alfin mah Alen nggak penasaran, cowok itu kan memang aneh bisa muncul di mana saja.

"Ada yang nolak lo, Len?" tanya Alfin dengan santainya.

Alen menggeleng cepat.

"Nggak ada, Kak," jawab Alen berusaha tetap tenang.

"Oh ya, kan lo yang nolak dia," tambah Alfin tanpa berdosanya sembari menunjuk ke Alan.

Alen langsung melototkan mata ke Alfin, bisa-bisanya cowok itu dengan santainya berbicara seperti itu. Benarkan kata Alen, si Alfin itu aneh! Lebih aneh lagi Ara suka dengan cowok aneh ini!

Alen melirik ke Alan, cowok itu terlihat biasa saja dan tetap tenang, tak seperti dirinya layaknya lele kepanasan!

"Kak Alfin ada yang mau dibicarakan sama gue?" tanya Alen mengalihkan topik.

Alfin menggeleng.

"Nggak ada."

"Terus kenapa manggil gue?"

"Gue nggak manggil lo, gue cuma tanya siapa yang nolak lo dan dia juga kayaknya penasaran." Alfin lagi-lagi menunjuk Alan sebagai sasaran.

"Gue nggak penasaran," elak Alan akhirnya membuka suara.

Alfin menoleh ke Alan.

"Terus kenapa lo ikut berhenti?" tanya Alfin terus menyerang.

"Karena lo juga berhenti."

"Sejak kapan lo setia kawan sampai ikut gue berhenti?"

Dan, berhasil! Alan dibuat terbungkam kali ini, Alfin selalu pandai memojokkan orang. Alan tak mau membalas lagi, lelah jika harus berdebat dengan Alfin.

Sedangkan Alfin mulai bisa merasakan kecanggungan antara Alan dan Alen. Alfin menatap ke Alan dan Alen bergantian.

"Lo berdua..."

Alfin menggantungkan ucapannya membuat Alan dan Alen langsung fokus menatap Alfin, penasaran apa yang akan diucapkan oleh Alfin.

"Kalau nggak bisa balikan, setidaknya bisa baikan."

****

#CuapCuapAuthor

BAGAIMANA PART INI? SUKA NGGAK?

LEBIH GEMES KE ARA APA ALFIN? 

Aku ucapkan makasih banyak ke teman-teman Pasukan Pembaca. Nggak nyangka banget banyak yang antusias dan nungguin CHAMOMILE update. Alhamdulillah seneng baca dm dan komen dari kalian yang suka sama CHAMOMILE. 

Kalau boleh tau, setelah baca CHAMOMILE dari part 1-13 ini, ceritanya bagaimana? Kalian suka nggak? Dan, menghibur nggak? 

Semoga kalian nggak bosan-bosan ya baca CHAMOMILE. Aku pengin banget update tiap hari, tapi karena masih ada beberapa kerjaan, untuk sekarang aku sanggupnya seminggu 2-3 kali. Gppa kan? 

CHAMOMILE PART 14 MAU DIUPDATE HARI APA NIH? JANGAN LUPA BESOK HAPPY'S CHAMOMILE DAYS YAA ^^ 

YUK, TINGGALKAN VOTE DAN COMMENT YA. SELALU PALING DITUNGGU DARI TEMAN-TEMAN PASUKAN PEMBACA ^^

Jangan lupa juga untuk pantengin info-info tentang cerita Chamomile di Instagram luluk_hf dan lulukhf_stories yaa ^^

SELALU BACA CHAMOMILE, SELALU SUKA CHAMOMILE DAN SELALU SUPPORT CHAMOMILE ^^

SHARE DAN AJAK JUGA TEMAN-TEMAN KALIAN UNTUK BACA CHAMOMILE ^^

SEKALI LAGI MAKASIH BANYAK TEMAN-TEMAN PASUKAN PEMBACA. SELALU SAYANG KALIAN SEMUA. JANGAN KEMANA-MANA DAN SEMOGA SELALU SUKA TULISANKU YA. SEHAT SELALU BUAT KITA SEMUA. LOVE YOU ALL ^^ 


Salam,


Luluk HF

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro