11 - PARTICIPATION
Assalamualaikum teman-teman Pasukan. Bagaimana kabarnya? Semoga sehat selalu yaa ^^
HAPPY CHAMOMILE'S DAY PASUKAN SEMUA ^^
SUDAH SIAP BACA CHAMOMILE PART 11 MALAM INI?
Semoga teman-teman Pasukan pembaca selalu suka, support dan baca CHAMOMILE ^^
Aku juga ada kabar buat teman-teman Pasukan Pembaca. Finally Film 12 Cerita Glen Anggara bakalan tayang pada tanggal 18 Agustus 2022.
Scene apa yang paling teman-teman tunggu di Film 12 Cerita Glen Anggara?
SAMPAI JUMPA DI BULAN AGUSTUS YAA SEMUANYA ^^
DAN, SELAMAT MEMBACA CHAMOMILE ^^
*****
Ara sudah sampai di sekolah pagi-pagi. Ia berangkat lima belas menit lebih awal dari biasanya. Ara langsung melesat ke ruang jurnalistik alih-alih ke kelasnya. Ara teringat beberapa hari yang lalu, tim jurnalistik sedang mendiskusikan tentang lomba Madding Nasional tahun ini.
Ara masuk ke dalam ruangan Jurnalistik yang sangat sepi, sepertinya belum ada yang datang.
"Ra, ngapain?"
Ara tersentak kaget, ia membalikkan badan dan menemukan sosok Vanya sang kakak kelas sekaligus ketua dari ekstrakulikuler Jurnalistik. Ara melebarkan senyumnya.
"Kak, ada yang mau gue diskusiin," ucap Ara serius.
"Apa?" Vanya terlihat mulai penasaran.
Ara mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan pamflet tentang lomba Madding Nasional.
"Sekolah kita tahun ini ikut lomba Madding lagi kan, Kak?" tanya Ara memastikan. Ara tau jelas record Jurnalistik SMA Savana selalu mendapatkan juara di lomba Madding Nasional setiap tahunnya.
Vanya mengangguk.
"Tentu saja. Tapi, kita masih belum menemukan tema untuk tahun ini. Kenapa?"
Ara mengembangkan senyumnya semakin lebar.
"Gue ada saran untuk tema tahun ini, Kak."
Vanya mengerutkan kening, terkejut untuk kedua kalinya.
"Tema apa?"
"Bagaimana kalau tahun ini kita kombinasikan poem dan fotografi? Daily life poem beserta foto-foto yang eksentrik sebagai pendaming. Sepertinya keren."
Vanya mengangguk-angguk kecil, tertarik dengan ide yang diajukan oleh Ara.
"Masalahnya tim jurnalistik kita sepertinya tidak ada yang jago buat puisi," ucap Vanya.
Ara menggeleng.
"Kak Vanya salah. Kita punya pawang yang jago buat puisi di Tim Jurnalistik."
"Siapa?"
"Alen, Kak. Dia jago banget buat puisi. Alen sudah hobi buat puisi sejak SMP."
Ah! Vanya teringat sekarang. Dulu saat Alen mendaftar menjadi tim jurnalistik, gadis itu melampirkan berbagai portofolio puisi-puisi ciptaannya. Dan memang benar, puisi buatan Alen sangatlah bagus, realistis dan menyentuh.
"Oke, sepertinya menarik. Nanti gue coba diskusikan sama anggota inti jurnalistik dan ajukan ke pembina juga."
Ara teriak dalam hati sangat senang, satu langkah rencananya nampak berjalan mulus.
"Siap Kak. Gue juga akan siap bantu," ucap Ara.
Vanya terdiam sejenak, teringat sesuatu yang penting.
"Tapi Ra..."
"Kenapa Kak?"
Vanya mendesis pelan.
"Untuk tim fotografinya sepertinya kita perlu tambahan satu orang lagi. Aldo nggak bakalan mau kalau sendirian, sedangkan Damar lagi sibuk lomba paskibranya."
Ara sudah menduga hal ini akan terjadi dan Ara tak ingin menyia-nyiakan kesempatan emas tersebut.
"Tenang saja Kak. Gue punya rekomendasi juga untuk tambahan tim fotografinya," ucap Ara dengan yakin.
"Siapa Ra?"
"Kak Alan!"
Vanya tertegun dengan kedua mata melebar, cukup kaget mendengar nama Alan disebut.
"Alan anak IPA 2?"
"Iya. Kak Alan anak 11 IPA 2."
"Emang dia mau? Setahu gue Alan nggak seramah itu mau bantuin kita untuk lomba madding."
Ara menggeleng-geleng kecil.
"Gue tau caranya biar Kak Alan mau, Kak."
"Gimana? Gimana?" tanya Vanaya ikut heboh. Pasalnya hampir semua siswa dan siswi SMA Savana tau bagaimana jagonya Alan di bidang fotografi.
"Kak Vanya minta bantuan Pak Rudi atau langsung Pak Selamet untuk bujuk Kak Alan. Gue yakin Kak Alan nggak akan bisa nolak kalau sudah guru yang bertindak."
"Se... Seriusan bakalan mau?"
Ara mengangguk sangat yakin.
"Bakalan mau. Gue kenal Kak Alan sejak SMP, Kak."
Vanya menghela napas pelan, merasa harus mencobanya. Jika Alan bisa bergabung untuk lomba madding tim jurnalistik tahun ini, Vanya yakin peluang SMA Savana untuk menang lagi sangat besar.
"Oke, Ra. Gue akan coba diskusikan sama Pak Selamet. Makasih banyak untuk ide kerennya."
Ara tersenyum lebar. Nyatanya tujuan utamanya melakukan hal ini bukan hanya untuk tim Jurnalistik. Tapi, untuk sahabatnya, Si Alen.
"Sama-sama, Kak."
****
Ara berjalan menuju kelas dengan bersenandung bahagia, rencananya berjalan begitu mulus. Langkah Ara memelan saat mendapati sosok Alen baru keluar dari ruang guru. Ara segera menghampiri Alen.
"Selamat pagi Tuan Puteri Alen," sapa Ara langsung merangkul bahu Alen.
Alen menoleh ke Ara dengan wajah lesu, tak semangat seperti biasanya.
"Pagi, Ra," balas Alen seadanya.
Ara mengerutkan kening.
"Kenapa lo? Nggak dapat uang jajan lagi?" tebak Ara.
"Bukan. Gue habis nyerahin tugas Matematika ke Pak Rudi."
"Terus? Terus gimana? Lancar semua, kan?"
Alen mengangguk lemah.
"Lancar sih. Tapi gue dikasih tugas lagi sama Pak Rudi," lirih Alen.
"Tugas apa? Hafalan perkalian 7 kali 9?" sindir Ara.
"Bukan!!!"
"Terus apa?"
"Nilai UAS Matematika semester ini minimal gue harus dapat 70," jawab Alen makin lemah.
Ara sontak menghentikan langkahnya, membuat Alen mau tak mau ikut berhenti.
"Alen," panggil Ara dengan dramatis.
"Apa?"
Ara menangkupkan kedua tangannya ke pipi Alen dengan sorot mata prihatin.
"Lo pakai dukun sakti dari anyer sampai panarukan pun nggak akan bisa dapat nilai tujuh puluh. Gue yakin."
*****
Alan mengambil ponselnya di kolong meja kemudian bergegas pergi ke ruangan wakil kepala sekolah. Pagi tadi Alan diminta oleh Pak Selamet selaku wakil kepala sekolah untuk ke ruangannya saat jam istirahat pertama.
"Kantin, nggak?" tanya Gesa mencegah Alan.
"Absen."
"Diet?" tanya Gesa iseng.
"Puasa biar nggak bodoh kayak lo."
Gesa berdecak sinis dan hanya bisa pasrah tanpa membalas ucapan Alan karena cowok itu sudah bergegas keluar kelas duluan.
****
Alan masuk ke dalam ruang wakil kepala sekolah, saat kakinya sudah menyentuh ambang pintu, Alan langsung terhenti. Alan kaget sekaligus bingung melihat keberadaan Alen yang juga berada di ruangan wakil kepala sekolah.
Ada apa gerangan? Alan mulai was-was.
"Alan duduk," suruh Pak Selamet yang baru datang.
Alan mau tak mau segera masuk, mengambil kursi yang ada di sebelah Alen. Tidak hanya Alan yang terkejut, Alen pun sama bingung dan kagetnya seperti Alan sekarang.
Pak Selamet berdiri dengan senyum ramahnya.
"Maaf saya mendadak panggil kalian berdua. Saya akan langsung saja, tujuan saya memanggil kalian berdua adalah saya ingin baik Alen dan Alan ikut berpartisipasi di lomba Madding tahun ini," ucap Pak Selamet tanpa basa-basi.
"Lomba Madding, Pak?" tanya Alan memastikan, takut dia salah dengar.
"Kalian tau bukan, lomba Madding adalah salah satu lomba yang wajib diikuti sekolah kita. Sudah lima tahun ini sekolah kita mendapatkan juara pertama dan tahun ini pun bapak berharap kita menyabet juara pertama untuk ke enam kalinya."
Baik Alan dan Alen mendengarkan dengan seksama walaupun kegundahan semakin membuncah keduanya.
"Vanya, ketua jurnalistik merekomendasikan kalian berdua untuk bisa membantu lomba Madding tahun ini. Vanya memberikan saran tema kombinasi dari puisi dan fotografi. Menurut Vanya juga Alen sangat jago membuat puisi dan Alan pandai di dunia fotografi. Maka dari itu, bapak sangat berharap kalian berdua bisa berpartisipasi dan membantu mempertahankan juara jurnalistik SMA kita."
Tak ada yang menjawab, Alan dan Alen terlihat masih bimbang sekaligus bingung. Semuanya terasa mendadak dan tidak terduga.
"Bagaimana Alen dan Alan? Kalian bersedia berpartisipasi? Saya sangat berharap sekali kepada kalian berdua. Saya juga sudah melihat hasil karya kalian, sangat luar biasa."
Alan menghela napas pelan, memberanikan diri untuk bersuara.
"Pak maaf sebelumnya. Saya sekarang sedang fokus mengerjakan video VCR untuk ulang tahun se..."
"Jika kalian berdua berhasil mendapatkan juara pertama untuk SMA Savana, selain mendapatkan hadiah uang tunai, kalian akan saya bebaskan dari Ujian Akhir Semester olahraga pelajaran saya. Saya berjanji akan langsung memberi kalian berdua nilai 90."
Alan dan Alen terkejut untuk kedua kalinya. Sebuah tawaran yang cukup luar biasa. Bagi Alan, mendapatkan nilai 90 di mata pelajaran Pak Selamet bisa menambah nilai rata-ratanya dan mungkin saja semester ini dia bisa mengalahkan peringkat Alfin.
Dan, buat Alen tentu saja dia sangat senang tidak perlu susah-susah ujian olahraga yang sangat melelahkan.
"Bagaimana? Kalian tidak tertarik dengan tawaran Bapak? Kapan lagi kalian bisa mendapatkan nilai 90 tanpa ujian di mata pelajaran saya?"
Alan dan Alen mulai berpikir keras dan mempertimbangkan semuanya baik-baik. Mereka harus siap untuk saling bertemu setiap harinya demi mendapatkan juara satu tersebut.
"Lombanya kapan Pak?" tanya Alan.
Pak Selamet tersenyum senang melihat Alan mulai goyah dengan tawarannya.
"Bulan depan. Waktu kalian hanya satu bulan untuk mempersiapkan lomba Madding ini. Sangat cukup bukan?"
Alan mengangguk kecil, baginya lebih dari cukup. Dan, satu bulan bukan waktu yang lama bukan?
"Saya bersedia Pak," ucap Alan akhirnya.
Alen refleks langsung menoleh ke Alan, tak menyangka cowok itu akan menyetujuinya, tak menyangka pula Alan akan mau berurusan dengannya.
"Bagaimana dengan kamu Alen?" tanya Pak Selamet semakin semangat.
Alen kembali menatap Pak Selamet, sebenarnya tidak ada rugi bagi dirinya untuk menerima tawaran Pak Selamet. Selain mendapatkan benefit jika mendapatkan juara pertama, dia bisa pelan-pelan dekat kembali dengan Alan.
"Saya juga bersedia Pak."
*****
Alen tak berani menatap Alan sama sekali, setelah keluar dari ruang Pak Selamet Alen berjalan di belakang Alan dan memberikan sedikit jarak agar tidak terlalu dekat. Banyak pertanyaan di kepala Alen saat ini, ia masih tak menyangka Alan akan menyetujuinya dengan mudah.
Alan sendiri sama sekali tidak mengajak Alan berbicara dari awal mereka bertemu di ruang Pak Selamet hingga sekarang mereka sudah keluar dan menuju kelas masing-masing.
Alen bimbang, haruskah dia yang memulai mengajak Alan berbicara?
Alen mengumpulkan semua keberaniannya, kemudian berjalan lebih cepat agar sedikit dekat dengan Alan.
"Kak Alan," panggil Alan dengan segala keberaniannya.
Alan menghentikan langkahnya dan berbalik. Alen kaget hingga memundurkan sedikit langkahnya, tak menyangka Alan mau berhenti.
Alan tak membalas, tatapan dinginnya seperti menunggu tujuan Alen memanggilnya.
"Gu.. Gue baru pertama kali ikut partisipasi lomba seperti ini. Untuk persiapannya butuh apa aja?" tanya Alen melawan kegugupannya.
"Vanya akan jelaskan sepulang sekolah di ruang jurnalistik," jawab Alan sangat tenang.
Ah! Alen mengangguk-angguk.
"Makasih Kak. Sampai berjumpa sepulang sekolah."
Alen tak bisa lagi berlama-lama menatap kedua mata dingin Alan, cukup menakutkan dan membuatnya gugup. Alen berniat untuk beranjak.
"Kalau lo merasa nggak nyaman, lo bisa mengundurkan diri."
Langkah Alen tertunda karena ucapan menusuk Alan. Alen memaksakan senyumnya untuk mengembang dan lagi-lagi memberanikan diri untuk menatap Alan.
"Gue nggak akan mengundurkan diri dari lomba ini, Kak," ucap Alen yakin.
"Kenapa?" tanya Alan, suaranya terdengar lebih dingin.
Alen bergumam pelan.
"Karena gue nggak merasa rugi dengan mengikuti lomba ini," jawab Alen jujur.
Alan terdiam sebentar, sedikit kaget dengan jawaban Alen yang terdengar santai, seolah gadis itu tak mempermasalahkan untuk bekerja sama dengannya lagi.
"Kita akan lebih sering bertemu setelah ini, bukannya sejak masuk SMA ini lo selalu hindarin gue?" sindir Alan.
Alen hanya bisa tersenyum lagi, kali ini terlihat lebih masam.
"Bukan hanya gue Kak. Kita sama-sama saling menghindar."
"Terus kenapa lo tetap ikut?" Alan terus memojokkan Alen.
"Kak Alan nggak nyaman gue berpartisipasi di lomba ini?"
"Iya, sangat nggak nyaman."
Alen refleks meremas kedua tangannya erat, jawaban jujur Alan terasa cukup menyakitkan. Namun, Alen berusaha tetap tenang.
"Sayang banget Kak. Sepertinya Kak Alan harus tahan rasa nggak nyaman itu. Karena, gue akan tetap ikut berpartisipasi. Gue juga butuh nilai sembilan puluh dari Pak Selamet."
Setelah itu Alen memilih beranjak duluan, dia tak kuasa lagi untuk mendapatkan seragan dingin dari Alan.
Alen melangkah lebih cepat dengan kepala sedikit tertunduk, ada sesuatu yang semakin tak nyaman dirasakannya.
"Apa sebegitu besar rasa benci Kak Alan ke gue?"
Suatu kebencian bisa berubah menjadi cinta. Namun suatu yang patah tidak akan bisa kembali sempurna.
****
#CuapCuapAuthor
BAGAIMANA PART INI SUKA NGGAK? FEELNYA KERASA NGGAK?
NGGAK KERASA ALHAMDULILLAH SUDAH PART 11 AJA. MAKIN NGGAK SABAR BUAT UPDATE PART-PART YANG BIKIN BAPER ^^
TEMAN-TEMAN PASUKAN PEMBACA MASIH BETAH KAN BACA CHAMOMILE? SEMOGA MASIH SUKA DAN SELALU BACA YAA ^^
APA HARAPAN KALIAN UNTUK PART 12-NYA NANTI? ^^
CHAMOMILE PART 12 MAU DI UPDATE HARI MINGGU ATAU SENIN?
SAMPAI JUMPA DI CHAMOMILE PART 12 ^^
JANGAN LUPA TINGGALKAN VOTE DAN COMMENT YA. SELALU PALING DITUNGGU DARI TEMAN-TEMAN PASUKAN PEMBACA ^^
Jangan lupa juga untuk pantengin info-info tentang cerita Chamomile di Instagram luluk_hf dan lulukhf_stories yaa ^^
SELALU BACA CHAMOMILE, SELALU SUKA CHAMOMILE DAN SELALU SUPPORT CHAMOMILE ^^
SHARE DAN AJAK JUGA TEMAN-TEMAN KALIAN UNTUK BACA CHAMOMILE ^^
MAKASIHH BANYAAK TEMAN-TEMAN PASUKAN SEMUA. SELALU JAGA KESEHATAN DAN SAYANG KALIAN SEMUANYAA ^^
Salam,
Luluk HF
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro