Senja (Kel 2)
-Senja-
Karya : Kelompok 2
****
Sahabat, adalah orang yang selalu menemaniku dalam suka maupun duka. Selalu membagi cerita yang menyedihkan ataupun menyenangkan. Orang-orang yang selalu ada disaat aku membutuhkan. Dan yang paling utama adalah, mereka akan selalu melindungiku disaat semua orang membenciku. Perkenalkan namaku Amira Nathalie, biasa dipanggil Mira. Aku mempunyai 3 orang sahabat, dari kecil kita selalu bersama, mereka bernama Risa, Laura, dan Ajeng.
Risa, memiliki sifat yang keras kepala, tidak sabaran, tetapi dia sangat baik pada kita semua.
Lalu ada si cantik Laura, dia ramah kepada setiap orang yang baru ia temui, polos dan lugu.
Terakhir adalah Ajeng, dia paling sabar diantara kami ber-empat, bahasa Jawa yang sangat medok menjadi ciri khasnya, serta rambut sepunggung yang selalu dikepang. Kami selalu menjahili Ajeng tetapi dia tidak pernah marah, dan malah membalas perbuatan kami dengan senyum manisnya. Kami heran kenapa dia selalu sabar dan betah dengan tingkah kami.
Karena kecocokan kami ini, kami membuat grup dan memberi
nama “ARLA” sesuai dengan huruf depan nama kami. Nah, menurut mereka sifatku itu selalu ceria, bawel, kreatif dan atraktif. Ide kreatifku selalu muncul jika ingin menjahili Ajeng, dan naasnya ideku muncul tanpa tahu situasi dan kondisi di mana dan sedang apa. Terakhir yang atraktif, kalian pasti tahu apa maksudnya.
Kini kami berempat masuk ke Sekolah Menengah Atas “CENDRAWASI” di Ibu Kota Jakarta. Kami merasa senang karena diterima di sekolah itu. Dan yang paling menyenangkan lagi, ternyata kami ditempatkan di kelas yang sama, yaitu kelas X IPA 1. Kelas yang bisa dibilang paling sulit untuk dimasuki, memiliki persaingan yang ketat,
sering ulangan tiba-tiba, memiliki guru yang galak seperti singa, hanya saja mereka tidak membunuh tetapi bisa membuat anak orang pingsan dengan hanya melihat soal-soal yang diberikan. Peraturan yang banyak, dan hukuman yang siap menanti jika ada siswa atau siswi yang melanggarnya.
Hari sekolah pun tiba, dari tadi malam aku terus memikirkannya karena tidak sabar untuk bertemu sahabatku dan teman-teman baru. Aku juga telah menyiapkan seragam putih abu-abu dan barang-barang yang akan ku bawa. Tidak terasa aku sudah SMA.
Aku memiliki cita-cita yaitu, menjadi seorang dokter. Bagiku, dokter adalah malaikat yang dikirim Tuhan untuk ribuan pasien, dia dapat membantu menyembuhkan orang yang terkena penyakit, mengurangi rasa takut orang akan masa depannya, dan membantu mengurangi rasa sakit yang mereka derita.
Aku terinspirasi dari Ayahku. Ayahku, berprofesi sebagai dokter anak. Sedangkan aku masih bingung mau menjadi dokter apa. Lalu ada malaikat terbaik di dunia yang ku miliki saat ini. Ibuku, wanita hebat yang mengurus rumah tangga dan merawat adik perempuanku yang bernama Adelyn Nathalie.
Ibuku sangat menyayangi kami dan yang paling istimewa adalah masakan Ibuku yang sangat sedap. Hingga aku yakin siapapun yang memakannya bisa menambah porsi makan sampai berapa kali. Aku sangat bersyukur masih bisa hidup lebih lama lagi bersama mereka semua. Walau aku tidak tahu sampai kapan aku akan menghembuskan napas terakhirku.
Setelah siap-siap aku berangkat ke sekolah bersama om Dani. Om Dani menjadi supirku semenjak aku SD sampai sekarang karena Ayahku selalu berangkat lebih pagi dariku untuk bekerja. Tidak sampai 30 menit, aku melihat gerbang sekolah dari jendela mobil. Aku turun dan berjalan menuju kelasku dengan perasaan bahagia dan tak henti-hentinya tersenyum kagum dengan bangunan sekolah baruku ini. Sudah jam enam lewat dua puluh menit kelas masih saja sepi. Hanya ada 3 orang disini.
Aku mencari tempat duduk. Seperti biasa, aku lebih senang duduk di depan dari pada di belakang. Tak lama kemudian, ada 3 orang yang memasuki kelas ini. Mereka adalah Risa, Laura, dan Ajeng. Mereka menyapaku secara bersamaan. Aku membalas mereka dengan senyuman. Aku mengajak Laura untuk sebangku denganku. Ya, yang paling dekat denganku itu adalah Laura karena dia sangat ramah. Risa dan Ajeng duduk dibelakang kami. Bel masuk masih 10 menit lagi. Kami pun bercerita tentang liburan kemarin.
Tak terasa bel tanda masuk pun berbunyi, semua murid masuk ke kelas masing-masing. Kami tidak sabar untuk melihat wajah wali kelas kami. Ternyata wali kelas kami adalah perempuan yang bernama Ibu Mawar. Kata kakak kelas, Ibu ini paling baik dan sabar dari semua guru yang mengajar di kelas IPA, ditambah Ibunya juga cantik.
Kami sangat beruntung hari ini, karena hari pertama kami masih belum memulai kgiatan belajar-mengajar. Tetapi hanya berkenalan, menghafal denah sekolah, memilih pengurus kelas, dan lain-lain. Ibu itu memperkenalkan diri di depan semua murid dengan senyum ramah. Kami membalas dengan tersenyum juga.
Setelah selesai beerkenalan, Ibu Mawar menyuruh kami semua untuk bersalaman dengan teman sebelah agar saling mengenal. Kemudian, Ibu Mawar membagikan selembar kertas kepada setiap murid dan menyuruh mereka menuliskan nama salah satu dari teman mereka yang pantas dipilih menjadi pengurus kelas.
Ibu Mawar menyuruh salah satu murid untuk mengambil kertas mereka dan mengumpulkannya, serta murid yang akan membacakan nama yang ditulis pada kertas tersebut. Ibu Mawar menulis nama yang disebutkan. Setelah selesai, Ibu Mawar melakukan penyisihan menurut nama yang paling banyak ditulis. Nama mereka adalah Amira sebagai ketua kelas, Vivian sebagai sekretaris, Alvan sebagai bendahara, dan Celine sebagai ketua seksi 9K.
Bel tanda istirahat yang kami tunggu-tunggupun akhirnya berbunyi. Serentak semua warga kelas berbondong-bondong pergi ke kantin untuk mengisi perut yang sudah berdemo sejak tadi, tak terkecuali aku dan para sahabatku.
"Cie... yang jadi ketua kelas." celetuk Risa sambil menoel daguku
"Ish! Apaan sih!" gerutuku sebal.
"Traktiran dong Ra!" sahut Laura cengengesan
“Gak! Badmood tahu gak!" sahutku sebal dan berjalan mendahului mereka bertiga.
"Eh Ra, tunggu!" teriak Ajeng mengejarku.
"kamu kenapa kesal gitu? Bukannya jadi ketua kelas itu membanggakan?" tanya Ajeng polos.
"Tapi aku gak suka Jeng! Aku capek harus ngurusin anak-anak satu kelas!" ucapku dengan mata berkaca-kaca.
"Stt... udah jangan nangis, ya sudah nanti kita bicara pada Ibu Mawar saja," ucap Ajeng sambil mengelus punggungku dan menyuruhku untuk duduk.
"Kamu tunggu di sini ya, biar aku yang pesan untuk kalian," ucap Ajeng menenangkan
Tak berapa lama setelah Ajeng pergi, Risa dan Laura datang dengan langsung duduk di sebelah kanan dan kiriku.
"Ra kita minta maaf ya," ucap Laura sambil menggenggam tanganku.
"Kita tahu kamu gak suka jadi ketua kelas, ada beban apa sih? Cerita dong." Lanjut Risa menepuk-nepuk punggungku.
"Udah, mungkin Mira butuh privasi." Suara ajeng mengintrupsi.
ia membawa nampan berisi 4 mangkuk bakso dan 4 gelas es teh manis.
"Yay, pesanan datang. Tahu aja sih kamu Jeng kalau kita lapar," Celetuk Risa.
"Da bes Mommy," ucap Laura menambahkan.
Kita semua tertawa dan memakan bakso dengan lahap, melupakan sejenak masalah tentang ketidakmauanku menjadi ketua kelas. Aku tahu bahwa itu adalah jabatan membanggakan di kelas, tapi aku punya alasan kenapa begitu berat menjalankan tugas menjadi ketua kelas.
"Jadi? Kita bantu Mira buat ngomong ke Bu Mawar?" tanya Laura saat kita berjalan menuju kelas.
"Gimana Ra? Berubah pikiran gak? Kalau saran aku nih ya, mending kamu terima deh. Sayangkan udah dapat amanah dan kepercayaan dari teman-teman satu kelas, terus kamu kecewain," Balas Ajeng memberi saran
"Hmm... tahu deh, aku jalanin aja dulu jawabku pasrah." kemudian merekapun memelukku hangat dan kita melanjutkan berjalan menuju kelas kita yang berada di sebelah ruang guru.
Hari terus berjalan, aku semakin disibukkan dengan tugas menjadi ketua kelas. Banyak lomba-lomba yang harus aku urusi, belum lagi aku mengikuti ekstrakurikuler marching band yang tingkat kejuaraannya sudah nasional itu.
Sangat amat sibuk, bahkan sekarang ini sakitku sering kambuh. Aku tidak ingin membebani sahabat-sahabatku dengan keluh kesahku tentang penyakitku ini. 6 tahun kita bersama tapi tak pernah sekalipun aku mengatakan tentang rasa sakitku ini.
Hari ini aku pergi jalan-jalan dengan mereka, sepanjang jalan aku selalu membuat lelucon-lelucon receh. Tapi tetap saja mereka tertawa dengan terpingkal.
"Eh Ra, kok mukamu pucat sih!" celetuk Risa tiba-tiba saat kita sedang mengantre beli ice cream.
"Ah enggak. Gak apa-apa kok, palingan cuma capek gara-gara mendengar suara tawa kalian saat menanggapi ucapanku." Ucapku sok sebal, padahal memang aku merasakan sakit waktu itu.
"Itu karena kamu yang ngebanyol Ra." balas Laura sambil geleng-geleng kepala.
"Kamu yakin Ra? Kita pulang aja ya, kasihan kamu udah pucat gitu." Saran Ajeng pengertian. Ya Tuhan aku bahagia banget punya sahabat sepengertian Ajeng.
"Yaudah, kita pulang aja. Biar aku yang nganter dia." Perintah Ajeng pada Laura dan Risa yang tak terbantahkan.
"Gak! Pokoknya aku mau ikut nganter Mira sampai rumah titik!" balas Risa keras kepala.
"Stt... udah-udah aku gak apa-apa kok. Biar Ajeng aja yang nganter aku, kalian balik aja dulu. Udah mau malem juga kan, kasian mama papa kalian nungguin." sahutku lirih.
"Hmm... yaudah kita balik dulu Ra, Jeng. Kalian hati-hati ya." Kata Laura dan Risa barengan.
Ajeng mengantarku pulang, sepanjang jalan aku hanya bisa menahan pusing pada kepalaku yang sangat hebat. Ingin rasanya aku berteriak, tapi ada Ajeng di depanku. Aku hanya bisa bersandar pada bahu Ajeng sambil menunggu kita sampai di rumahku.
"Ra bangun, kita udah sampai," Ajeng menggoyang-goyangkan bahuku.
"Nghh..." lenguhku terbangun dengan mata sayu.
"Hmm... thanks ya Jeng udah nganter aku," ucapku berterima kasih padanya.
"Iya, udah kamu masuk gih, keburu makin pucat kena angin malam. Jangan lupa makan sama istirahat ya Ra, kita sayang kamu." kata Ajeng mengingatkan.
"Siap Mom!" balasku dengan tangan hormat di atas pelipis.
Setelah Ajeng pulang aku masuk menuju rumah dan naik ke atas lantai dua, tempat dimana kamarku berada. Belum sempat aku memijak anak tangga pertama, kepalaku pusing begitu hebatnya, pandanganku kabur dan berputar-putar, akhirnya...
BRUK!
Badanku jatuh ke atas lantai dingin. Gelap. Aku memaksa kelopak mataku agar terbuka, perlahan aku bisa melihat cahaya putih. Kornea mataku terasa perih waktu aku baru membuka mata, ku kerjabkan berkali-kali mataku. Dan aku bisa melihat ruangan serba putih dengan selang infus dan pendeteksi detak jantung melekat pada tubuhku.
"Ngh..." lenguhku serak, tenggorokanku sangat perih dan kering.
"Mira! Kamu sudah bangun nak? Ini minumlah," sahut mama mendekatiku dengan tergopoh-gopoh sambil membawa segelas air bening.
Aku meneguknya seperti orang yang baru melihat air seumur hidup,
"Mira kenapa ma?" tanyaku saat mama sudah kembali duduk di sebelahku.
"Kamu drop lagi sayang, kamu kan tahu tubuh kamu gak bisa buat di pakai kerja lembur terus. Papa tadi sudah bicara dengan dokter spesialis kamu, beliau menyarankan agar kamu berhenti sebagai ketua kelas dan keluar dari ekstrakurikuler itu. Mama tahu kamu gak akan suka, tapi ini demi kesehatan kamu nak," lirih mama sambil mengelus kepalaku.
Setetes air bening meluncur di pipiku, pikiranku kosong tidak tahu harus berbuat apa lagi. Sahabat, kesehatan, aku tidak bisa memilih diantara semuanya. Ingin rasanya aku berteriak di depan Tuhan agar mengangkat penyakitku ini, kenapa harus aku yang terkena penyakit ini dari sekian juta penduduk bumi ini? Kenapa harus aku? Kenapa aku tidak bisa hidup normal? Kenapa aku tidak bisa menjadi remaja seperti pada umumnya?
Lelah harus menjalani ini semua, terlebih harus berbohong dari ketiga sahabatku bahwa aku baik-baik saja.
"Stt... sudah, istirahatlah. Jangan pikirkan itu semua," mama mengelus punggungku sambil memelukku hangat, aku terlelap dipelukan mama dengan air mata tetap berlinang.
Hyper thyroid. Sudah dari kecil aku mengidap penyakit itu. tak banyak yang bisa ku perbuat jika pemyakit ku itu sudah kambuh.
Aku sebisa mungkin untuk tak membuat orang disekitar ku khawatir. Melihat mereka sedih saja membuat ku merasa sangat berslah. Bersalah karena seharusnya wajah mereka tersenyum selalu. Terlebih lagi ayah dan ibuku. Mereka segalanya.
Aroma rumah sakit. Bukan berarti aku membenci aroma ini. Tapi sat ku mencium aroma obat-obatan aku selalu teringat dengan sakit ini. Bahkan sampai aku kembali di rawat.
“Ma, jangan sedih ok! Amira kuat kok. Pasti Amira bakalan sembuh.” Aku menenangkan mama yang terlihat sedih sekali.
“Mama gak sedih kok.” ucap mama memaksakan senyumannya.
Aku hanya tersenyum getir membalas senyuman mama yang terlihat menyakitkan. Aku tak mau jika senyum itu juga terlontar dari sahabat-sahabat ku.
“Ma? boleh Amira meminta sesuatu?” tanyaku.
“iya, boleh sayang. Apapun akan mama kabulkan permintaan mu.” jawab Mama.
“jangan beritahu sahabat-sahabat ku tentang sakit ku ini ya ma. jika mereka kemari untuk menjengukku, bilang saja jika aku kecapean.” Pintaku dengan suara yang lirih.
Entahlah saat aku memohon sesuatu kepada mama membuatku terasa enggan. Aku tahu itu pasti berat untuk mama. Tapi kurasa ini yang terbaik untuk saat ini.
Mama menganggukkan kepalanya pelan sambil tersenyum hangat kepadaku. Aku membalas senyumannya. Sayang, aku tidak bisa tersenyum lebar seperti biasanya. Senyuman yang bisa ku berikan hanya sekedar senyum kecil. Mama maafkan aku.
Mama membelai rambutku pelan. Aku memejamkan mata merasakan belaian mama yang lembut dan penuh kasih sayang. Aku berharap bisa seperti ini terus sampai nanti.
Tak lama dari itu, terdengar suara pintu yang di buka dengan pelan. Aku tetap memejamkan mataku. Aku tahu pasti di saat seperti ini yang datang dokter dan suster yang mengekorinya.
“bagaimana keadaan Amira bu?” tanya dokter itu sambil mulai memeriksa ku.
“dia sudah siuman dok.” Jawab Mama pelan.
“baiklah, Amira waktunya minum obat sekaran dan dia butuh istirahat total,” ucap dokter itu membuat mama menghela nafas pelan.
“Dann setelah ini ibu tolong untuk keruangan saya.” aku membuka mata ku sedikit, mengintip apa yang terjadi dengan ekspresi mama. Dan aku menyesal karena telah mengintip. Aku melihat mata mama berkca-kaca.
Aku membuka mataku saat suster yang tadi bersama dokter itu menyuruh ku meminum obat. Aku menurutinya. Mama tersenyum lagi sebelum aku menutup mata ku lagi karena pegaruh obat.
Hangat. Tangan ku terasa hangat. Aku mendengar tangisan mama. Sebenarnya apa yang terjadi? Apa yang dokter itu katakan kepada mama? Aku ingin sekali membuka mata ku dan menenangkan mama tapi aku tak bisa.
Sayup-sayup ku dengar papa sedang menenangkan mama yang menangis di punggung tangan ku.
“ma.. sudahlah ini mungkin yang terbaik. Doa kan saja yang terbaik untuk Amira.” ucap Papa dengan nada cukup tenang.
“pa! Amira tidak bolehh pergi pa!” sahut Mama dengan histeris.
“Amira belum pergi ma! jangan berkata apapun tentang Amira lagi. bagaimana jika Amira mendengarkan perkataan mama ini?” tanya Papa.
“paa..” mama merengek layaknya anak kecil.
Aku mengerti apa yang mama dan papa bicarakan. Aku paham apa yang sedang terjadi. Aku memang sudah menyusahkan mama dan papa sejak kecil karena sakit ini. Jadi yang bisa ku lakukan di saat terakhir nanti membuatnya tersenyum.
Suara pintu kamar terdengar seperti decitan decitan kecil yang lucu di pendengaranku. Bersamaan dengan decitan pintu itu aku mendengar suara Ajeng, Laura dan Risa.
Aku memaksa membuka mataku. Aku langsung melemparkan pandanganku ke arah sahabat-sahabat ku yang menatap ku sendu.
Ingin rasanya aku memberitahu mereka jika aku tidak ingin mereka menatap ku dengan tatapan seperti itu. sayangnya aku tidak bisa memberitahu mereka. Untuk mengucapkan satu kata pun susah rasanya. Tidak ada kata-kata yang cocok untuk ku sampaikan saat keadaan ku seperti ini.
Ajeng menghampiri ku lalu di ikuti dengan Laura dan Risa. Aku mencoba senyum untuk menyambut sahabat-sahabat ku yang sangat sedih melihat keadaan ku.
“Amira? Kamu gak apa-apa, kan? Kita khawatir sama kamu.” Ucap Ajeng pelan.
“iya mir kita khawatir tau.” sambung Laura.
Aku hanya tersenyum kecil. Sungguh aku tidak ingin membuat khawatir siapapun. Aku menggelengkan kepala ku pelan. Ku harap mereka mengerti maksud bahasa tubuh ku.
Ku lihat Ajeng tersenyum lembut kepada ku. Ku rasa ia mengerti apa yang ku maksudkan.
“Amira jangan menutupi apapun dari kita, ok. Ceritakan apa yang kau rasakan.” Giliran Risa yang menatap ku sendu. Biasanya dia adalah orang yang paling kuat di antara kami, karena sifatnya yang keras kepala.
Tapi, kali ini aku bisa melihatnya berkaca-kaca. Ayolah! Kumohon jangan sedih karena ku. Ingin sekali aku mengadu ketidakadilan yang ku alami.
Di saat aku di penuhi cinta kenapa aku harus tumbang seperti ini. Aku harus apa untuk mengembalikan senyum kalian. Kalian adalah satu-satunya kekuatan ku untuk tetap bertahan.
Tak terasa air mata sudah membanjiri pipi ku. Bahkan aku bisa merasakan jika bantal ku mulai basah. Aku jadi teringat beberapa lalu sebelum ku sibuk dengan marchingband dan tugas ku menjadi ketua yang mulai menghantui ku.
Aku sempat bertemu dengan dokter yang selama ini menangani ku. Karena memang ku merasakan sakit yang teramat sangat. Aku sengaja tidak memberitahukan mama dan papa jika aku mulai merasa sakit kembali.
Jika ku mengingat pernyataan yang mengejutkan dari dokter yang selama ini merawat ku dari kecil. Sangat menyedihkan. Rasanya ku harus melakukan sesuatu walau itu sangat mustahil.
“Kumohon kalian jangan sedih. Nanti aku sedih juga loh.” Walau pelan ku yakin sekali mereka mendengarkan ku karena memang keadaan yang cukup hening.
Seketika mereka berpandangan. Dan menghapus jejak-jejak air mata yang belum sempat jatuh.
“ahh , enggak kok! Kita gak sedih. Kita bakalan temenin kamu sampe sembuh Ra.” Celetuk Laura semangat.
Aku tersenyum lega.
Walau kutahu ini hanya alibi mereka. Setidaknya aku tidak melihat wajah mereka yang sedih dan sendu lagi.
Ajeng mulai mengibaskan rambutnya yang terkepang rapih. Kibasannya hampir mengenai Risa yang berdiri dibelakangnya. Tanpa aba-aba Risa sudah membuat eskpresi seperti marah yang di buat-buat. Dan ajeng hanya menatapnya dengan cengirannya yang menyebalkan.
Laura tertawa melihat aksi Ajeng dan Risa yang mencoba menghiburku. Karena Laura juga suka bercanda walau tidak seketerlaluan Risa, ia mulai menjahili Ajeng dengan menarik rambutnya.
Ajeng yang merasa di tarik rambutnya pun hanya mengibaskan rambutnya lagi dan menaruh rambutnya ke depan.
“pasti Laura yang jahilin aku kan? Maaf hari ini gak bisa.” Ucap Ajeng dengan sedikit sinis.
Laura hanya tertawa menanggapinya.
Sedangkan Risa hanya menahan tawanya. Risa terlalu anggun untuk tertawa terpingkal-pingkal. Jadi dia akan tertawa seperlunya saja.
Aku tetap mempertahankan senyuman ku. Terasa kaku. Mungkin karena aku dalam keadaan lemah. Aku sangat berharap bisa melihat kekonyolan kalian lebih lama lagi.
*****
Hari ini adalah hari yang menurutku paling sempurna, tepat dimana aku bisa terbebas dari sebuah kebohongan, mungkin ini kebohongan yang terakhir untuk ketiga sahabatku.
Aku bilang pada mereka akan menetap di kota lain, awalnya mereka kekeuh mau ikut, namun aku mati-matian mencari alasan yang tepat agar tidak ada sanggahan lagi dari mereka.
"Gimana, Ra? Kamu besok beneran bakal pergi?" tanya Risa saat kami berada di kantin.
"Iya jadi, Ris." jawabku dengan senyuman.
"Yah, kita bakalan sepi dong enggak ada kamu," ucap Ajeng dengan tatapan sedihnya.
"Gak usah sok sedih gitu deh, kapan-kapan gua balik kok!" decakku.
"Hahahaha intinya jangan lupain kita ya, Ra. Sekalipun kamu perginya jauh, kita akan selalu ingat saat dimana kita tertawa bersama, dan aku, Ajeng, dan Risa bakal kangen banget sama kamu." ucap Laura.
Kenapa sesulit ini, Tuhan. Aku ingin menangis, namun itu bukanlah hal yang menyenangkan.
Air mata yang mulai berdesakan di pelupuk mata membuatku sesak dan ingin berlari sejauh mungkin.
Sepulang sekolah aku langsung kembali kerumah sakit, dimana aku akan kembali memakai berbagai alat untuk memperpanjang masa hidupku.
Aku sungguh menderita memakai ini semua, namun hanya cara inilah yang dapat membantuku tetap bisa melihat senyum kedua orang tuaku hingga saat ini.
"Selamat pagi, Amira." sapa beberapa dokter yang selama ini menanganiku.
"Pagi juga dok," balasku dengan senyuman.
Aku kembali menatap dinding putih dengan tatapan kosong, semakin lama aku semakin merasa badanku melemah.
Beberapa dokter tadi duduk mengelilingiku, mengajakku bicara ringan dan tertawa renyah.
Aku menanggapi lelucon mereka dengan sangat antusias. Aku tertawa di buatnya, walau kadang tatapanku kembali kosong saat mengingat betapa sakitnya melihat mereka tertawa dengan terpaksa. Berpura-pura bahagia tanpa memperlihatkan kesedihan mendalam.
"Baiklah, Mira. Sekarang sudah siang, kamu istirahat ya, kami juga harus kembali bekerja." ucap dokter yang paling ganteng, menurutku.
Beberapa dokter lainnya hanya tersenyum lalu pamit.
Clek
"Mama...." cicitku.
Mama tersenyum menatapku. Untuk pertama kalinya aku sangat bahagia melihat orangtua ku wajanya berseri, bahkan aku lupa kapan terakhir mereka tersenyum lebar.
"Cepet sembuh sayang, tadi Mama dengar kamu sudah tertawa lepas sama dokter-dokter ganteng," ledek Mama.
Aku tersipu dan hanya melempar senyum terbaik ku untuk Mama.
"Besok adalah hari ulang tahunmu, Nak. Kamu mau apa?" tanya Mama.
"Aku mau duduk di pantai, melihat senja bersama kalian, sama Mama, Papa, Ajeng, Risa, dan Laura." ucapku.
Mama terdiam sejenak.
"Aku akan berkata yang sebenarnya kepada mereka, setidaknya aku tidak akan meninggalkan mereka tanpa alasan, aku akan memberikan mereka kenangan paling indah sebelum semuanya hilang." lirihku.
******
Pasir putih, batu karang, ombak, dan beberapa pohon membuatku seperti hidup kembali.
Aku memakai baju pasien, dan duduk di hamparan pasir putih, tak jauh dari tempatku duduk ada Mama dan Papa yang sedang tertawa.
Mereka terlihat bahagia.
"Amira!" teriak seseorang yang sangat ku kenal. Dia Ajeng.
Ketiga sahabatku berhamburan ke pelukanku. Aku yang belum siap hampir saja terjatuh.
"Jadi kapan kamu mau cerita?!" desak Risa.
Mereka duduk di sebelahku, menunggu aku membuka suara. Akhirnya aku memutuskan untum bercerita dari awal sampai akhir kepada mereka.
Ku lihat perubahan ekspresi daei ketiga sahabatku. Tanpa ku duga, aku menangis sambil memeluk ketiga sahabatku.
Sakit rasanya melihat orang yang ku sayang menangis karena kondisiku.
"Maafkan aku yang tidak jujur pada kalian," ucapku setelah puas menangis.
"Kamu pikir dengan kamu gak bilang kita gak sedih? Kita emang ngerasa ada yang aneh sama kamu, cuma kita pura-pura gak tau, kita pengen kamu yang cerita sama kita." omel Risa.
Aku hanya diam sambil menangis, aku tau aku salah dan sepantasnya mereka memarahiku.
"Arrghhh!"
"Ra, kamu kenapa?!" ucap Ajeng yang terlihat panik.
Aku tidak menjawab, aku berfokus pada kepala ku yang sangat sakit, dan tubuhku mulai melemah.
Apa ini saatnya?
Penglihatanku mulai kabur, dan ini sungguh menyakitkan. Aku mendengar suara Mama yang histeris, Papa yang mecoba menenangkan, dan ketiga sahanatku yang terus memanggil namaku.
"Aku, Amira Nathalie menyerah atas segalanya." batinku berkata.
Lalu semuanya gelap.
Hari ini adalah hari dimana pertama kali aku melihat dunia, dan hari ini juga hari dimana aku melihat dunia untuk yang terakhir kalinya.
Menutup kisah, dan menghembuskan nafas terakhir saat senja mulai turun dan malam mulai menunggu pagi.
Langit, maafkan aku yang tak pernah bisa melihat rotasimu, dan senja maafkan aku yang tidak bisa menyaksikan keindahanmu di langit sore.
Sahabat, maafkan aku yang tak pernah bisa berkata, menyerah tanpa alasan, dan mengumpat dibalik senyuman, aku tak akan melupakan kisah klasik kita, atau tawa yang tak pernah bisa terbayar oleh apapun. Maafkan aku yang harus memberhentikan waktu.
Jika nanti aku terlahir kembali, aku akan meminta tetap bersama kalian, dengan situasi yang berbeda.
Selamat tinggal, sahabat.
-The End-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro