Memoar Duka (Kel 3)
Kelompok 3 :
Judul : Memoar Duka
Karya : Kelompok 3
Yang kerja Ael, Embun, Zara, Nabila-ElHawa
--------------------------------------------
Hidup dalam sebuah keluarga sibuk memang tidak mengenakan. Bagi sebagian orang menganggap itu bukan sebuah kenikmatan. Rumah yang besar, mobil banyak, duit selalu mengalir, sehingga apa yang kita inginkan tercapai dan terkabul. Cinta Hanisa Putri, seorang gadis yang mengalami hal seperti itu. Dia tidak pernah menginginkan hidup dalam rumah mewah seperti ini, yang dia inginkan adalah kasih sayang keluarganya. Semua itu berawal dari Papa dan Mama mulai bekerja sama dengan sebuah perusahan ternama dan sejak saat itu Kakaknya, Davi, mulai mengacuhkannya.
Dimana keluarganya yang dulu?
Yah, dia mulai merindukan keluarganya yang dulu.
***
Paginya enggan berubah. Lantaran semua terasa abstrak. Rumah kosong diselimuti pembantu yang lalu-lalang. Tentu saja membuat Nisa jengah. Bibirnya ingin berteriak keras-keras. Namun yang terlontar hanya isakan tanpa makna. Dia lelah, ingin menyerah dengan keadaan yang mendera. Namun ... rasa sayangnya pada keluarga tetap memaksanya bertahan.
"Papa ... mama ... aku rindu," isak Nisa pilu.
Bukan rahasia lagi bagi dayan di rumah Nisa, bahwa gadis mungil tersebut memiliki hati serapuh kapas. Tempaan secuil pun mampu membuatnya tumbang.
"Sabar ya, Non," bisik Mbak Atik. Pengasuh Nisa sejak kecil. Dia paham betul bagaimana psikis anak asuhnya ini. Ingin rasanya dia menukar kebahagiaan bocah kecil tersebut. Namun apalah daya, tugasnya hanya sekadar menjaga. Tidak lebih dan tidak kurang.
"Aku kangen Papa sama Mama, Mbak," lirih Nisa penuh isak tangis.
Hatinya hancur berkeping-keping. Menatap pemandangan yang terlampau sering dia dapatkan tanpa pamprih.
***
Davi menghampiri Nisa kala malam. Menatap adik semata wayangnya yang sanggup menggetarkan hatinya. Dia tidak ingin membuat Nisa tersiksa. Sayangnya, kejadian kelam masa lalu terpaksa membuat Davi demikian. Dia tidak akan bisa memandang Nisa lebih lama lagi tanpa dendam dalam hati. Semua terlanjur abstrak.
"Kakak ...." lirih Nisa dalam tidurnya.
Sungguh, dia ingin merengkuh gadis mungil ini. Namun ... ah ... Davi mengerang. Hingga erangannya didengar oleh Mbak Atik. Mbak Atik mematung mendengar suara frustasi Davi.
"Den, Non Nisa selalu mencari Aden. Tolonglah luangkan waktu kalian untuk bermain lagi. Nisa kesepian," pinta Mbak Atik lirih dengan nada mengiba.
Ini dia lakukan demi Nisa.
"Bi ... maafkan Davi. Tapi ... semua tidak akan kembali seperti dulu. Ada hal yang membuat Davi begini. Mungkin nanti ... ya ... nanti. Ketika hati dan pikiran Davi tidak sekacau ini lagi," jawab Davi menerawang. Menatap Nisa sekali lagi dan berlalu gontai menuju carport.
Dunianya tlah berubah. Dan kini hanya remang lampu diskotik yang sanggup membuatnya bertahan.
***
Nisa mengerang dalam bangunnya. Suara berisik berhasil membangunkannya. Tidak, bukan. Seseorang tengah berteriak di dalam rumahnya. Teriakan itu semakin keras seriring dia mempertajam pendengarannya. Terdengarlah keributan di luar kamarnya. Nisa tampak biasa saja. Karena dia sudah biasa dengan situasi seperti ini.
Nisa keluar dari kamarnya dan mendapati sang Papa tengah membentak Kakaknya, Davi. Dengan perlahan dia menuruni anak tangga sambil menatap keluarganya yang berada di ruang tengah.
"SUDAH BERAPA KALI PAPA BILANG JANGAN KE DISKOTIK, APALAGI BALAPAN LIAR. KUPING KAMU DIMANA, DAVI?" bentak sang Papa.
Davi menatap Papanya dengan tak kalah tajamnya. Dia mendongakkan kepalanya dan menyeringai sinis. "Jangan urusin kehidupan aku. Urusin aja tuh bisnis alay, Papa, itu. Lagian sejak kapan Papa peduli sama aku? Bukannya Papa lebih peduli sama anak kesayangan Papa itu."
"Davi, jaga ucapan kamu, Nak. Kami tidak pernah membeda-bedakan kamu dengan Nisa," tegur Mama.
"Nggak pernah? Mama bilang nggak pernah? Jelas Davi yang ngerasain, Ma. "
"Tapi bukan seperti yang kamu pikirkan. Semua ada alasannya sayang," bisik mamanya lirih.
"Iya, alasannya AKU BUKAN ANAK KALIAN. Dan kalian nyembunyiin itu dari aku dan Nisa," bentak Davi di depan Papa dan Mamanya. Dia bahkan melupakan status dua orang di depannya kini.
Nisa yang sedari tadi diam mendengarkan pertengkaran di antara mereka, sontak terkejut mendengar ungkapan Davi. Mendadak cairan berwarna merah keluar dari hidungnya. Dia juga merasakan sakit pada kepalanya. Tangannya pun memegang kepalanya dan berteriak keras karena ini terlalu sakit.
Jangan kambuh, please. Jangan kambuh, doanya dalam hati.
Saking sakitnya, dia ambruk dan jatuh ke lantai. Lalu pandangannya mulai menggelap.
****
Beberapa tahun yang lalu...
Davi yang masih bayi menggigil di depan sebuah rumah dengan pagar bercorak hitam. Menampilkan raut pias dan perlu dikasihani.
Pasangan yang baru saja menempati rumah tersebut merasa iba. Tanpa pikir dua kali, mereka mengadopsinya. Meskipun kehidupan mereka belum bisa dikatakan layak.
Dan setelah mereka mengadopsi anak laki-laki itu, kondisi ekonomi mereka mulai menanjak. Kemudian datanglah kebahagiaan yang lengkap lantaran kelahiran Nisa.
Batara Wijaya merasa cukup. Namun dia melupakan sesuatu. Bahwa kedua anaknya memerlukan kasih sayang. Dan sebuah rahasia yang sepatutnya dia jaga agar tidak bocor. Namun ... Inilah akhirnya. Wijaya merasa terpukul. Pun Nania. Tapi semua terlambat. Mereka hanya bisa melakukan hal terbaik untuk memperbaiki semua.
Pada saat itu, Davi tengah berjalan sendiri di sebuah pusat pembelanjaan ternama di kota Jakarta. Sebenarnya dia tidak ingin sendiri, tapi Nisa dan teman-temannya tidak bisa menemaninya karena suatu alasan. Nisa sedang sibuk dengan pekerjaan sekolahnya, sedangkan teman-temannya tengah asyik bersama pacar mereka. Jadilah dia sendiri.
Dengan langkah gontainya yang limbung, Davi bertemu dengan Fariz. Yakni kawan lama Wijaya. Mereka berbincang cukup lama. Hingga mulut Fariz berkicau tanpa sengaja.
"Bagaimana kabar papamu?" tanya Fariz menerawang.
"Baik, om," jawab Davi sopan.
"Ah ... aku rindu padanya. Kehidupannya yang susah dulu waktu baru menemukanmu membuatku iba," ucap Fariz tanpa rasa dosa.
Davi membulatkan matanya. Menemukan? Bukan melahirkan?
"Menemukan? Maksudnya om?" tanya Davi memperjelas.
Fariz dan Davi sama-sama tegang. Fariz menyadari kesalahannya. Pun Davi yang tegang akan pengakuan pria paruh baya di depannya ini.
Sedetik kemudian, Fariz menghela nafas berat. Menyipitkan mata sejenak dan menarik nafasnya lagi.
"Kamu memang anak pungut. Tapi ayahmu pun ibumu tak pernah menganggap kalian beda. Meskipun Nisa selalu mendapat tempat paling utama bagi mereka," bisik Fariz lirih.
Dan semua cerita mengalir. Membuat Davi sesak. Hingga rasanya dia ingin memecahkan segala benda di dekatnya. Termasuk, Fariz.
****
Semua orang berada di depan UGD. Menunggu hasil pemeriksaan dokter akan keadaan Nisa. Mamanya menangis kencang di dalam pelukan Papa. Sedangkan Davi duduk yang tak jauh dari tempat duduk Papa dan Mamanya terdiam sembari memikirkan apa yang telah terjadi pada Nisa, adiknya.
"Kamu sakit, Nis? Sakit apa? Kenapa kamu nggak ngasih tahu kakak?" gumamnya sendiri. Perasaan bersalah muncul dalam dirinya.
Seharusnya dia lebih perhatian pada adiknya itu. Ini salahnya.
Lalu keluar lah seorang wanita dengan berjas putih dan kacamata yang bertengger di hidungnya. Papa dan Mamanya pun langsung berdiri dan menghampiri sang dokter. "Bagaimana keadaan anak kami, Dok?" tanya Papa.
"Keadaannya sangat mengkhawatirkan. Tumor di otaknya membengkak dan sel kankernya sudah menyebar hampir di seluruh bagian kepalanya. Saya sarankan, Nisa, segera di operasi secepatnya sebelum sel kankernya menyebar ke bagian tubuh lainnya dan mengganggu aktivitas kerja tubuh lainnya," jelas sang dokter.
"Nisa mengidap kanker, dok?" tanya sang Mama memastikan.
"Iya, Nisa, mengidap kanker otak. Menurut hasil pemeriksaan saya yang sudah melakukan beberapa kali tes, Nisa positif mengidap penyakit kanker otak. Dan ini sudah stadium 3."
"Astagfirullah, Nisa, anakku," tangis Mama pecah begitu mendengar penjelas dokter selanjutnya.
"Ibu dan Bapak mohon bersabar. Mungkin kemungkinan kecil untuk Nisa sembuh.
Tapi kita berdoa, semoga keajaiban datang pada kita semua. Saya permisi dulu," pamit kemudian sang dokter itu.
Papa berusaha menenangkan Mama yang terus menangis.
****
Dibawah langit malam yang gelap nan dingin, seakan mengerti apa yang Davi rasakan, hujan pun turun dengan derasnya. Tatapannya kosong dengan tangan yang memegangi kepalanya. Dia tak perdulikan tubuhnya yang sudah dingin bak es.
“Ini salah gue,”
“Ini semua gara-gara gue,”
“Seandainya Mama sama Papa nggak mungut gue, nggak bakal seperti ini jadinya.”
Davi terus mengulangi kata-kata itu bagai kaset rusak dibalik tangisnya. Dia bahkan tak menyadari jika Papa menatapnya dari jauh dengan hati yang terluka. Ditempat berbeda, Mama masih menangis dipelukan Mbak Atik yang baru saja datang.
Saat Mama masih histeris menangis, dokter kembali keluar dari ruangan UGD. Dengan cepat, Mama menyuruh Davi dan Papa untuk ikut mendengar penjelasan dari dokter tersebut. “Operasi berhasil dijalankan,” ucap dokter itu kala sudah semuanya sudah berkumpul. Mama yang mendengar, seketika langsung memeluk Papa, “Tetapi, nyawanya sangat disayangkan tidak tertolong,” sambung dokter dengan wajah yang memununduk lemas. Mama yang semula sudah bak menemukan berlian diantara batu setelah mendengar itu kembali menangis histeris dan menerobos untuk melihat Nisa, diikuti oleh Mbak Atik.
Davi ? Dia mematung tak berdaya. Adik yang disayangnya sudah pergi terlebih dahulu di banding dirinya ini. Papa tak jauh berbeda dari Davi. Papa menangis dalam diamnya sambil bersender pada dinding rumah sakit. Semuanya merasakan luka yang teramat dalam karena kehilangan Nisa. Dan juga penyesalan teramat dalam.
***
Beberapa tahun kemudian, Wijaya mengadopsi anak kembali yang mirip dengan Nisa. Davi? Setelah kejadian itu Davi pergi ketempat yang di rasanya jauh dari Mama dan Papa, tentu saja Davi ingin menjadi yang lebih baik seperti Nisa. Sedangkan Mama setelah kejadian itu menggila dan ditempatkan di RSJ.
Davi duduk di bangku sebuah taman yang tak jauh dari kampusnya. Dia menyenderkan badannya sedikit dan menghela nafas lelahnya. Mata kuliah hari ini sangat melelahkan baginya. Ditambah tugas satu persatu menumpuk. Dia mengusap wajahnya dengan pelan dan menghembuskan nafasnya.
Lalu dia teringat sesuatu. Dia mengambil tasnya dan merogoh sesuatu di dalamnya. Sebuah surat dengan amplop pink yang masih rapi belum dia buka sampai sekarang. Padahal surat itu telah dia terima 2 tahun yang lalu. Hatinya seketika mencelos ketika melihat namanya yang tertera pada amplop pink tersebut.
Perlahan dia membuka amplop tersebut dengan gerakan lambat. Sebenarnya dia sangat penasaran dengan isinya tersebut, hanya saja egonya menahannya untuk membuka. Entahlah, setiap melihat surat tersebut, bayangan wajah Nisa muncul dalam otaknya dan perasaan bersalah hadir kembali dalam dirinya.
Dan kini dia menggenggam selembar kertas putih yang terlipat rapi. Dia membuka lipatannya dan mulai membacanya dari awal.
Halo Kak Davi,
Makasih kak untuk detik-detiknya.
Makasih kak untuk hari-harinya.
Makasih karena Kak Davi sudah menjadi kakak bagi Nisa. Walaupun pada akhirnya Nisa tahu kenyataan pahit itu.
Kenapa Kak Davi nggak cerita sama Nisa? Apa Kak Davi nggak sayang lagi sama Nisa?
Dulu, sewaktu semuanya belum berubah, Kak Davi selalu mengutamakan Nisa untuk cerita apapun. Bahkan teman-teman dekat kakak pun, kakak nomor duakan. Tapi semenjak semuanya berubah, kakak mulai mengacuhkan Nisa. Sekedar menyapa aja, kakak nggak lakuin. Kadang Nisa pikir, apa salah Nisa sama kakak? Kenapa kakak cuek sama Nisa?
Ada apa sebenarnya?
Dan semua itu terjawab sudah. Kakak iri dengan Nisa yang penyakitan ini? Kakak iri karena Papa dan Mama lebih sayang sama Nisa dibandingkan Kakak? Kak Davi mereka sayang juga sama kakak.
Nisa minta maaf karena sudah mengambil kasih sayang mereka dari Kakak.
Sekarang, kakak nggak perlu lagi iri sama Nisa. Karena Nisa akan pergi dari kehidupan kalian. Sebenarnya, Nisa tahu penyakit udah lama. Cuma Nisa yang rahasiain dari kalian. Karena Nisa nggak mau kalian khawatir dengan Nisa.
Nisa nggak papa kok, Kak. Nisa baik-baik aja.
Satu pesan, Nisa. Jadi Kak Davi yang Nisa kenal dulu ya. Jangan bandel. Dan sampaikan ‘maaf’ untuk Papa dan Mama karena udah nyembunyiin ini dari mereka.
Nisa sayang mereka.
Nisa sayang kalian.
Nisa sayang Kak Davi
Salam cinta,
Nisa
-TAMAT-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro