Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Fri-END (Kel 1)

Judul = Fri-END
Pengawas = Li
Kelompok = 1
Anggota =
- Devina
- Minda
- Susan
- Aisyah

-----------------------------------------
Aku mempunyai banyak teman, mereka sangat baik kepadaku. Dan pada suatu hari, aku menyukai seorang cowok namanya Reza, dia juga temanku. Aku menyukainya sejak pertama kali kita bertemu dan berkenalan, teman-temanku juga mengetahui itu, kecuali Reza tentunya. Aku terkadang juga curhat ke mereka tentang Reza.

"Diva," panggil seseorang di belakangku.

"Apa?" jawabku seraya menenggelamkan kepalaku di lipatan tangan. Gak tau kenapa akhir-akhir ini moodku sedang tidak baik.

"Gimana kamu sama si Reza, ada perkembangan nggak?" tanya Azka kepo. Dia adalah salah satu temanku.

Aku mengangkat kepalaku dan menatap Azka dengan tatapan berbinar. "Kita chatting-an, terus jalan bareng, nonton, yah pokoknya gitu lah," ucapku dengan semangat.

"Wihh, makin nempel aja nih," jawabnya sambil memberikan tatapan menggoda.

"Iya dong."

Awalnya semua terasa biasa saja. Hari-hari ku lewati dengan ceria dan semua itu bersama Reza. Tapi ada saat dimana Reza menghancurkan hatiku hanya dengan kata-katanya.

"Div, aku pengen curhat nih," ujar Reza.

"Curhat tentang apa nih?" tanyaku.

"Aku lagi suka sama cewe."

Aku berpikir bahwa itu adalah aku, karena aku sudah menganggapnya seperti pacarku sendiri dan juga karena kedekatan kita selama ini. Aku pun serasa terbang ke awan, ditemani burung-burung yang cantik dan aku tak bisa menahan senyumanku.

Namun semua itu ternyata tak sama.

"Siapa?" Aku memasang ekspresi penasaran.

"Temen kamu, Raina," jawabnya dengan senang.

Mataku membelalak, napasku tercekat, dan dadaku terasa sesak. Aku menundukan kepalaku agar Reza tak melihat air mataku yang mendesak ingin keluar ke permukaan.

"Apa?" lirihku dengan suara yang parau.

"Loh kenapa emangnya?" tanyanya bingung.

"Nggak apa-apa," jawabku setengah kesal sambil menghapus air mataku dengan kasar. Sepertinya, Reza tak menyadarinya.

"Dia itu cantik, lucu, pinter lagi." Semua kata-kata yang di ucapkan Reza terdengar panas di telingaku. Terasa benda tajam yang menusuk hatiku,  dan itu sangat sakit. Aku tidak habis pikir, apa yang dilakukan Reza saat ini adalah salah.

Sangat salah.

Hatiku sudah memilihnya,  menganggap bahwa ia adalah tempat berlabuhku. Ku pikir ia menyukaiku. Tapi tidak, Reza hanya menganggapku teman, tak lebih.

Lalu, selama ini kedekatan kami disebut apa? Semua perhatian, kasih sayang, dan sikapnya itu kepadaku?  Apa?

Pantaskah semua itu hanya disebut teman?

Kurasa tidak.

Aku tau, dari bibirnya tak pernah terucap kata, "apa kamu mau menjadi pacarku, Dev?" Tapi, apa perlu, suatu hubungan spesial itu akan terjalin setelah seseorang bertanya seperti itu?

Ku tahu, cinta yang aku rasakan ini hanya cinta anak kecil, bocah ingusan, dan masih labil. Bahkan sebutannya masih "CINTA MONYET" cinta remaja yang beranjak dewasa. Tapi perasaan ini sudah mulai tumbuh dengan sempurna, dan itu hanya untuk Reza.

Hari ini sekolah ramai, banyak aparat disana. Kulihat ada garis polisi yang membentang di kusen pintu toilet perempuan lantai bawah, menandakan bahwa kawasan itu dilarang keras untuk dimasuki. Seluruh siswa di liburkan.

Ku mendengar banyak orang yang menangis. Entah, apa arti tangisan itu. Ratusan, bahkan ribuan tetes air mata keluar dari kelopak mata yang sendu.

Aku melewati lorong yang dipenuhi murid ber-rok abu-abu. "Diva! " panggil seseorang. Aku menengok ke sumber suara. Laki-laki yang selalu membuatku tersenyum.

"Ayo ikut nyelawat Raina," ajak Reza sambil menarik pergelangan tangaku. Aku mengikutinya.

Raina.

Temanku.

Ia meninggal dengan tragis, jasadnya ditemukan sudah pucat di dalam toilet sekolah dalam keadaan meringkuk ketakutan. Tak habis pikir, siapa yang tega melakukan ini semua.

Aku mengenal baik siapa dia. Raina sosok perempuan periang dan juga pintar, ia pula yang telah mencuri simpati Reza. Reza terlihat begitu terpukul dengan semua ini, aku pun begitu.

-----

Sudah sebulan setelah kejadian itu. Aku dan Reza masih menyandang status sebagai teman, tak tau sampai kapan aku memendam rasa ini sendirian. Merasakan rasa yang tumbuh dengan liar di hati ini.

"Innaalillaahi wainnaailaihi roji'uun, telah berpulang ke Rahmatullah, teman kita, anak didik kita, saudari Felly Putri Izwa, dikarenakan sakit." Toa sekolah berbunyi membawa duka.

"Izwa!" pekik Reza yang tersentak kaget mendengar itu. Tubuhnya menegang, sama sepertiku. Pipi, mata, dan telingaku seketika memanas.

"Izwa," lirihku yang dilanjutkan isakan yang mengiris hati, Reza yang mendengar isakanku langsung menarikku kedekapannya yang hangat.

Pulang sekolah, aku, Reza dan Azka nyekar ke makam Izwa. Reza menatap batu nisan yang memampangkan nama lengkap Izwa. Kami mengenang kembali masa-masa saat kita kerja kelompok dan bermain bersama. Izwa anak yang lincah, mungil dan terkadang sangat konyol, tapi kami semua sangat menyukainya. Terlebih lagi Reza, Izwa lah yang berhasil membangkitkan semangat Reza setelah kematian Raina.

"Div, udah dong. Jangan nangis lagi, Pliss." Azka menarik napas panjang. "Izwa udah tenang di sisi-Nya." Azka terus menenangkanku yang semakin terisak.

Aku menyeka air mata yang menetes di pipiku. "Azka … beberapa hari yang lalu, untuk terakhir kalinya, Izwa minta bikinin nasi goreng ke aku," ucapku sambil sesenggukan.

Masih teringat jelas, beberapa waktu lalu, Izwa mengirimkan pesan untukku. Dalam pesannya itu, ia minta dibuatkan nasi goreng spesial. Saat itu ia sudah dirawat di rumah sakit. Akupun memenuhinya. Mana mungkin aku melupakannya, ia satu-satunya temanku yang sangat menyukai nasi goreng buatanku, selain Reza.

*Dua bulan berlalu*

Misteri kematian Raina masih belum terpecahkan hingga kini. Ada yang bilang, Raina meninggal karena depresi, ada juga yang bilang bahwa Raina dibunuh, dan sampai saat ini pembunuhnya belum diketahui.

"Div." panggilan lembut itu membuyarkan lamunanku, "kamu udah makan?" Aku menggeleng.

"Nih, aku bawa nasi kuning," ucap Reza dengan riang, ia duduk dihadapanku, "loh, kamu kenapa?"

"Enggak."

"Kamu lagi mikirin sesuatu?" tanyanya.

"Ya gitu deh"

"Kenapa? Coba cerita sama aku. Siapa tau aku bisa bantu."

Aku menyunggingkan senyuman tipis. "Gak kok, mending kita makan."

"Oke."

Kemudian kami makan nasi kuning itu bersama. Itulah yang membuat hatiku bertahan, sikapnya yang selalu manis kepadaku.

Sampai kapan kamu peka, Rez?

"Oh iya, Div." Reza berusaha menelan nasi kuning yang masih memenuhi mulutnya. "Aku mau mau ngasih sesuatu ke Siska, kira-kira apa ya?" lanjutnya.

Uhuk uhuk.

Seketika nasi kuning yang sudah ku kunyah halus terasa sangat serat, aku meraih botol mineral lalu menenggaknya. "Emang Siska kenapa? Ulang tahun?"

Reza menggeleng kuat. "Aku mau nembak dia." Aku mengatur napasku yang terasa tersendat dengan susah payah. "Dia perpaduan Raina dan Izwa. Dia juga yang udah mewarnai hari-hariku setelah kepergian mereka," lanjutnya sambil menatap kosong ke arah tembok di belakang ku.

"Secepat itu kamu move on?" tanyaku dengan hati-hati.

"Iya, bukannya itu yang harus aku lakuin? Kamu juga kan yang selalu ingetin aku untuk tidak terlalu hanyut dalam kesedihan?"

Seketika pandanganku kosong. Hatiku benar-benar  terasa hancur. Ya, benar. Aku yang bilang begitu.

TAPI BUKAN BEGINI TUJUANKU!

Kapan kamu akan sadar, Rez? Tapi apa boleh buat, kalau itu memang membuatmu bahagia.

"Hehe, ya udah. Gimana kalau nanti aku buatin kue aja buat dia," kataku sambil tersenyum lebar, yang palsu tentunya.

"Hah, yang benar? Wah kamu memang sahabatku yang paling pengertian ya, Div!" teriak Reza dengan polosnya padaku.

Asal kamu bahagia, Rez.

Ya.

Asal kamu bahagia.

Walau hanya sesaat.

Aku tau dia akan ditolak.

"Nanti kuenya kamu kasih aku ya, Div?" tanyanya memecahkan lamunanku

"Ah, tidak. Aku ada cara, gimana kalo nanti aku yang buat, terus suruh aja si Siska buat ke rumah aku, nanti aku kasih. Tapi aku bilangnya 'ini Reza yang buat, dia takut kalo dia yang ngasih nanti kamunya gak terima,' gimana?"

"Hmm ... boleh juga. Ya udah, nanti kabarin aku ya!"

"Ehee, okee!"

3 hari telah berlalu. Hari ini Siska akan mampir ke rumah ku untuk mengambil kue. Aku pun mengabari Reza bahwa Siska sudah sampai. Aku pun memberikan kue itu padanya dan kukatakan seperti yang pernah kukatakan pada Reza. Aku juga sudah memberi tau Reza bahwa Siska akan berterima kasih padanya.

Keesokan hari nya. Siska tidak masuk sekolah. Aku bilang pada Reza bahwa semua akan baik-baik saja.

Argh, kemana Siska saat Reza-ku membutuhkannya?

Sekolah sudah berakhir. Saat aku pulang, aku mencium bau tak sedap di setiap penjuru rumahku dan aku bisa mencium bau yg sangat menyengat dari kamarku. Saat aku masuk, aku sudah di suguhi dengan pemandangan yang sangat menyenangkan.

Di seluruh kamarku terdapat potongan-potongan tubuh manusia. Di kedua pot bungaku terdapat masing-masing satu potong tangan. Di rak sepatuku ada potongan kaki. Di dinding kamarku terdapat bercak darah dan potongan badannya seakan itu adalah hiasan dinding. Dan di langit-langit atap terdapat kepalanya. Bagaikan lampu. Dan terlihat jelas, itu adalah Siska.

Kakiku bergetar hebat dan gigiku saling beradu di dalam mulut. Aku berusaha menjaga keseimbangan dan mulai berjalan ke tempat potongan-potongan tersebut. Di sebelah kiriku,  terdapat beberapa barang yang bisa kugunakan untuk membereskan ini semua. Aku mengambilnya dan mulai membereskannya.

Ya, harus beres.

Keesokan harinya, aku berjalan ke arah kantin di sekolah dan menemukan Reza yang sangat berantakan. Rambutnya acak-acakan, terdapat lingkaran hitam di sekitar matanya, matanya yang memerah, dan bibirnya yang memucat.

"Kamu kenapa, Rez?" Reza menatapku dengan tatapan yang sulit di artikan, lalu menggelengkan kepalanya.

"Siska," ia menggantung ucapannya sambil menghembuskan napas lelah, "dia udah nggak ada," lanjutnya.

Ia menidurkan kepalanya di meja. "Kamu nggak liat di mading?"

Mendengar itu, aku berjalan menuju mading dan melihat kerumunan orang yang sedang membaca mading, aku berusaha mendorong dan menerobos untuk melihat berita yang terpampang disana.

Deg.
Disana terdapat tulisan yang sangat besar dengan foto yang sama seperti apa yang kulihat kemarin,  potongan-potongan tubuh Siska yang sudah diikat tali yang menggantung.

'SISKA ANGELA DHARMA DIBUNUH OLEH PSIKOPAT DENGAN CARA YANG SANGAT SADIS, DAN PSIKOPAT TERSEBUT BELUM DIKETAHUI.'

Aku mengepalkan kedua telapak tanganku sampai kuku jariku memutih. Reza-ku kembali ditinggal oleh orang yang ia cintai. Sudah berkali-kali aku melihatnya menangis, dan aku tak suka melihatnya.

Saat sudah berada di kantin lagi, aku duduk di sebelah Reza yang masih menatap kosong ke depan. Aku mengusap bahunya lembut dan memikirkan sesuatu agar Reza tak sedih lagi.

"Sudahlah, biar kamu gak sedih lagi gimana,"--aku mengetuk daguku dengan jari dan melihat kesekeliling kantin untuk berpikir--"lusa aku ke rumah kamu,  aku bakal bawain boneka yang bagus buat kamu. Biar kamu inget terus sama Siska. Gimana?"

"Beneran?" Reza menatapku dengan pandangan yang berbinar, dan aku hanya tersenyum kecut.

Ternyata memang sudah gak ada harapan lagi ya?

Aku menganggukan kepalaku. "Ya."

-----

Hari yang ditunggu pun tiba, Reza sudah seringkali menanyakan boneka apa yang akan ku bawa untuk hadiahnya, dan seringkali pun aku menjawab, "boneka yang berbentuk manusia, dan itu mirip banget sama Siska."

Di perjalanan, aku menyiapkan barang-barang yang ingin ku berikan ke Reza. Setelah sampai, aku menggendong boneka yang besarnya lumayan besar dan beratnya hampir seberat setengah badanku,  gak tau kenapa boneka ini sangat berat.

Tok tok tok

Suara pintu terbuka dan menampilkan wajah orang yang masih menjadi trending topik di pikiranku selama ini, ia memasang wajah ceria dan matanya berbinar saat melihat boneka di gendonganku.

"Maaf ya rumahku berantakan, duduk aja dulu." Ia mengajakku duduk di ruang tamu dan aku mendudukan boneka itu di sofa.

"Nggak apa-apa kok,  malahan kalau aku disini bisa lebih berantakan rumahnya," balasku sambil menyengir.

"Div, itu bonekanya mirip banget sama Siska. Kamu bikin sendiri ya? Makasih banget."

Aku menganggukan kepala dengan kaku, kemudian aku tersadar dan melihat ke arah dapur, kemudian berdiri dan Reza mengikutiku berdiri. "Kamu liat-liat aja dulu bonekanya, aku mau ngambil minum. Sebentar doang kok." Ia menganggukan kepalanya kemudian berjalan ke arah boneka itu dan melihat-lihat.

Di dapur, aku memegang benda yang sedari tadi berada di saku celanaku. Aku memantapkan hatiku sambil menarik dan membuang napas secara berlahan, kemudian aku mulai mengarahkan benda yang ku pegang ke arah pintu dapur.

Sesuai dengan perkiraanku, Reza muncul dengan wajah yang sangat pucat, lalu menatapku dengan tatapan ketakutan,  "te-ternyata,  ka-kamu yang ngebunuh me-merek--"

DOR

"Goodbye, fri-end."

-Tamat-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro