Chapter 2
Matahari terbit dan tenggelam dengan cepat di Chicago. Orang-orang disibukkan dengan persiapan perang yang hanya beberapa jam lagi. Pasukan dari Faksi Dauntless hilir-mudik melaksanakan patroli. Alat-alat tempur canggih ciptaan Faksi Erudite bersiaga di belakang benteng yang menjadi pemisah dengan Factionless. Faksi Amity dan Candor bahu membahu melengkapi perlengkapan untuk perang dan juga persediaan di bungker. Orang-orang dari Faksi Abnegation sibuk mengevakuasi warga—mereka yang tidak bisa ikut dalam pertempuran. Begitu padatnya mereka melakukan persiapan hingga tak sadar, hari telah berlalu. Fajar kemerahan dari ufuk Timur telah tampak. Suasana kota mencekam. Sunyi. Semua orang menanti dengan cemas.
Tiba-tiba dinding dan atap bunker yang berada di bawah tanah bergetar. Serpihan-serpihan bangunan yang rontok akibat dahsyatnya pergerakan di atas membuat sebagian besar orang berjingkat. Vania menempelkan telunjuk di depan bibir—isyarat agar mereka tak mencipta suara. Para wanita yang membawa anak segera membungkam mulut dengan telapak tangan, pun buah hatinya, sambil meringkukkan tubuh kecil itu.
Senyap.
Mendadak sebuah suara ledakan besar terdengar.
"Aaaaaakkkkhh!!!" Suara jeritan memantul pada di dinding-dinding bungker. Serpihan bangunan kembali berjatuhan. Tangan-tangan menangkup telinga tanpa disuruh. Suara ledakan muncul-hilang, diiringi bunyi tembak yang bersahutan.
Hawa ketakutan langsung menjangkiti seluruh makhluk di dalam bungker. Vania berlari ke sana-ke mari, berusaha menenangkan anak-anak yang menangis dengan perasaan khawatir. Sebenarnya ia juga resah—seluruh tubuhnya gemetaran. Namun sebagai putri dari pemimpin Faksi, dia harus bisa tegar saat ini. Di luar, suara tembakan masih berpacu, diiringi jerit pilu yang menyayat hati.
“Aku akan keluar,” putus Leo yang duduk pada anak tangga, tepat di jalan masuk bungker. Ia mendorong pintu kuat, sedang tangan yang lain dengan sigap meraih tas kecil berisi peralatan medis. Rencana awal sebenarnya adalah proses evakuasi dilakukan setelah perang selesai, namun dirinya sudah tak sanggup lagi jika harus menunggu korban jatuh lebih banyak.
“Aku ikut!” seru Clarissa di belakangnya. Ia pun menyusul Leo sebelum pintu bungker kembali tertutup. Sedang Vania hanya bisa menatap kepergian dua orang itu dari sudut mata. Pandangannya lalu beradu dengan seorang pria yang memakai rompi antipeluru, serupa Leo dan Clarissa.
“Kalian tolong bantu mereka mengevakuasi korban!” titahnya tegas. Pria itu mengangguk. Ia pun setengah berlari melewati pintu bungker, diikuti beberapa orang di belakang. Tangisan seorang anak kecil membuat Vania mengalihkan pandangan dari deretan anak tangga. Tangan dan bibirnya kembali sibuk melontarkan kata-kata penghibur sebagai pengalih sesaat dari apa yang terjadi di luar.
Kondisi di luar bungker sangat kacau. Darah bercecer di mana-mana. Api membakar alat-alat berat buatan Erudite, pun rumah-rumah yang mereka huni. Tetapi tak ada waktu bagi mereka untuk meratap. Di antara puing bangunan yang berserak, tubuh-tubuh terluka bergelimpangan. Dengan sigap, para petugas evakuasi pun memeriksa satu per satu korban.
Tiba-tiba netra cokelat gelap Leo menangkap sekilas gerakan di bawah dinding bangunan yang roboh. Ia bergerak cepat, melompati reruntuhan untuk mengecek. Bola matanya seketika melebar melihat sosok yang terkapar dengan sekujur tubuh bersimbah darah.
“DALTON!!” Pekikannya sontak mengundang rekan-rekannya mendekat. Lututnya mendadak lemas, melihat orang yang selama ini sudah seperti ayahnya sendiri terluka parah. Sementara itu, tubuh Dalton mulai diangkat ke tandu. Ia masih bernapas, meski frekuensinya bisa dihitung jari.
Dorr! Suara tembakan di belakang telinga membuat Leo sadar bahwa ia masih berada di tengah medan pertempuran. Orang-orang yang menandu Dalton sudah pergi. Beberapa yang tersisa juga sudah membawa korban evakuasi di masing-masing lengan. Namun, Leo tak mendapati sosok Clarissa di sana. Rahang pemuda itu mengeras. Kekalutan tampak jelas di matanya.
Seperti mendapat dorongan baru, sendi-sendi Leo kembali menguat. Ia mengayunkan kaki—setengah berlari—menyisir tempat guna mencari sosok periang itu. Langkahnya yang sempat melambat kembali bergegas tatkala melihat gadis itu hendak melompat dari balik dinding tempatnya bersembunyi. “Apa yang akan kau lakukan?” sergahnya dengan jemari mencengkeram. Clarissa tentu terkejut dengan kemunculan Leo yang mendadak. Namun, secepat kilat ekspresi itu berubah menjadi raut tegas tak terbantah. “Aku akan menolong orang itu,” ucapnya membuat mata Leo beralih, pada sesosok tubuh anak kecil yang tergeletak tak bergerak di tengah lapang. Dari pakaiannya bisa dipastikan bahwa ia berasal dari Factionless.
“Apa kau gila? Dia adalah musuh!” Nada bicara Leo naik satu oktaf. Tetapi bukannya ciut, gadis bernetra oranye itu semakin keras kepala. Ia menyunggingkan senyum asimetris—mengejek. “Sejak kapan memberi pertolongan hidup dan mati itu memandang status?” Clarissa mengibas lengan kencang, membuatnya terbebas dari jeratan tangan Leo. Ia lalu berbalik dan segera berlari meraih tubuh ringkih itu. Menggendongnya.
Seketika saat punggung anak itu terpisah dari tanah, sebuah ledakan hebat terjadi di depan matanya. Melalap tubuh Clarissa dan anak itu dalam kobaran api. Leo bahkan tak mampu berkedip. Menyaksikan kepergian gadis yang mewarnai hidupnya secara mengenaskan. Rasa panas dari jilatan api yang berjarak tak sampai satu meter pun tak dirasakannya.
Dari seberang tempatnya bersembunyi, kepala-kepala manusia mulai bermunculan. Dari balik drum minyak peyok serta bangunan yang masih kuat berdiri, memastikan bahwa mangsa berhasil masuk ke dalam jebakan. Leo tertawa getir. “Ini mimpi kan?! Lagi-lagi aku kehilangan temanku.” Ia mengusap wajah frustasi, dengan tubuh terhuyung ke belakang. Tak sengaja, pangkal tumitnya menyentuh sesuatu. Perhatian Leo teralih. Sebuah senapan serbu tak bertuan teronggok di bawah kakinya. Tanpa berpikir dua kali, Leo langsung meraih senjata itu dan melompat menunjukkan diri di hadapan musuh.
“Kalian … matilah kalian semua!!” Suara desingan tembakan menderu. Leo melontarkan pelurunya ke seluruh arah. Membabi buta.
Sementara itu di dalam bungker, Dalton yang sekarat sedang menghadapi ajal. Di sebelahnya, Vania menangis histeris sambil menggenggam tangan ayahnya yang dingin dan memucat. Hingga satu tarikan napas terakhir keluar dari mulut pria tua itu, kepala Vania terkulai. Jalinan rambutnya yang sudah tidak rapi lagi nampak naik-turun di atas dada ayahnya yang sudah tak bernyawa. Pertahanannya hancur. Ia tak bisa lagi berpura-pura tegar.
Setelah beberapa saat lamanya, Vania mengangkat wajahnya yang basah. Ia menyadari, dua orang tak kembali bersama rombongan. Salah satu adalah orang yang penting baginya. Tak ingin merasakan pedihnya kehilangan untuk yang kedua kali, Vania pun segera bangkit. Susah payah tubuh rapuhnya ia bawa melewati pintu bungker—keluar. Netra biru langitnya menyapu sudut-sudut halaman. Namun hanya rentetan bunyi peluru yang ia dapat.
Vania segera berlari ke sumber suara. Pandangannya berubah nanar saat melihat Leo yang sedang beradu tembak dengan musuh. Posisi pemuda itu berlutut, dengan kedua tungkai penuh darah akibat tembakan. Tak ada satu pun penghalang, kecuali rompi antipeluru yang menempel di badannya. Vania membekap mulutnya sendiri melihat pemandangan yang begitu memilukan. Tanpa sengaja, sudut matanya menangkap moncong senapan yang sedang membidik dari sebelah kiri. Tepat ke kepala Leo.
Vania langsung melompat ke sisi Leo, bersamaan dengan pelatuk yang ditarik. Bunyi tembakan dari sebelah kirinya membuat Leo menoleh. Namun, sosok Vania yang sudah roboh begitu mengejutkannya. Ya, peluru itu tak berhasil menembus tengkorak Leo, melainkan jantung Vania. Putri tunggal pemimpin Faksi Abnegation itu pun tewas seketika.
Suara derap langkah kaki membuat Leo mau tak mau mengalihkan pandangan dari mayat Vania. Sepasang sepatu kulit cokelat berayun teratur seiring gerak pemakainya mendekat, lalu berhenti pada jarak setengah meter dari tempat Leo bersimpuh. Pemuda bersurai hitam itu mengangkat wajah. Menyongsong moncong senapan yang sudah ditodongkan tepat di dahinya. Pria yang memegang pistol itu tmenyeringai, menampakkan deretan gigi kuningnya yang tak terawat. Tato berbentuk abstrak menghias sebagian pipinya yang bopeng. Rambutnya kumal sebahu, dengan warna tak jelas apakah hitam atau cokelat. Matanya sipit, namun tak mengurangi kebengisan dari iris gelapnya. Leo tahu betul siapa pria itu. Sebab, ia sudah beberapa kali melihat wajahnya di layar presentasi saat mengikuti rapat gabungan. Gildon Blorke, pemimpin Factionless.
“Kau yang terakhir.” Suara serak Gildon terdengar percaya diri. Ia bersiap menekan pelatuk. Namun, sudut bibir Leo yang tertarik asimetris, sukses membuat gerakannya terhenti.
“Tidak. Tapi kita.” Bersamaan dengan itu, Leo menarik pengaman granat yang tersembunyi di balik rompi bajunya. Gildon tak sempat mengelak. Serta merta bom itu meledak. Mengubah tubuh mereka menjadi serpihan-serpihan yang terlontar di udara.
Tewasnya pemimpin mereka menjadi pukulan mundur bagi Factionless. Sisa-sisa pemberontak bisa ditangkap dengan mudah oleh pasukan Dauntless. Perang pun berakhir dengan kemenangan di pihak Faksi.
Namun, seperti yang dibenci oleh para Abnegation, perang tetaplah meninggalkan kerusakan dan jatuhnya korban jiwa.
-End-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro