Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

6

Di antara kilasan halusinasi yang dimainkan alam bawah sadarnya, wajah Valena muncul ke permukaan, memberikan senyuman manis yang selalu menyapanya setiap kali memimpin pelatihan ketangkasan prajurit Amity. Sudut-sudut bibir Brian spontan membalas senyuman itu.

      “Bangun, Brian!” Valena yang dilihatnya mengulurkan tangan. “Bangunlah! Bukankah kamu masih mempunyai janji padaku?”

      Susah payah Brian mencoba menyingkirkan rasa sakit yang merajam dirinya. Ia mencoba menggapai uluran tangan itu, namun yang menyambutnya justru ranting pohon yang semakin kehilangan nutrisi. Pohon itu sangat rapuh. Memegang pohon tersebut, Brian merasa seperti dialiri sengatan listrik yang luar biasa sampai kewarasannya hadir kembali. Ia tatap pohon itu, tapi pikirannya tidak menemukan satu buah pohon pun, melainkan sosok Sang Putri yang kian melemah. 

      “Putri ….”

      Entah bagaimana, rasa sakit akibat serum itu menghilang, ia bisa berlari kencang menuju ke tempat yang mungkin Sang Putri berada. Di sebuah tepian danau. Satu-satunya tempat yang aman, yang selalu dijadikannya pelarian kala Raja Valeen mulai memaksakan ambisinya pada putri semata wayangnya. 

      Di sana, di tengah padang rumput yang menghitam, sedangkan sekelilingnya mulai menguning, bahkan sudah ada yang coklat dan menjadi abu, gadis itu tergeletak sekarat. Brian berlari tertatih, ia sempat terjatuh menggelinding saat menuruni perbukitan kecil, ia merangkak menggapai Valena yang masih bernapas meski tersengal-sengal. 

      “Bertahanlah, kumohon. Amity masih membutuhkanmu. Tidak, aku yang membutuhkanmu. Kumohon bertahan!” Lirih Brian seraya menggenggam tangan dingin Sang Putri.

      “Wajahmu....” Valena kesulitan mengucapkan sepatah kata. “Ada apa?” 

      “Aku terluka, karena melihatmu seperti ini. Hei, kita pernah berjanji akan selalu bersama, kamu ingat, kan?” Brian mulai meneteskan bening-bening kristal dari matanya. “Nona harus menepatinya, Nona harus bertahan.” 

      “Tugasku ....” Valena menarik napasnya, “berakhir.” Gadis itu ikut menangis. “Aku ... gagal!” 

      “Tidak, Nona tidak ....” Rasa sakit itu kembali mendera tubuhnya. 

      “Kau ... terkena racun.” Brian tidak pernah bisa berbohong di depan Valena. 

      Tangan gadis itu merogoh saku tersembunyi yang dijahit khusus pada gaunnya. Menusukan ujung tabung kecil pada lengan Brian. Ia tersenyum. Setidaknya cairan yang ia masukan ke dalam tubuh pemuda itu akan melahap habis racun-racun yang menyebar dalam tubuhnya. 

      Senyuman itu terlihat sangat  manis di mata Brian. Ia pandangi terus senyuman gadis itu hingga hilang ditelan ketidaksadaran. Pemuda itu panik, ia cek denyut nadinya. Tidak ada. Bahkan rambut Valens perlahan memudar menghilangkan warna keperakan. Brian menundukan kepala, entah rasa sakit mana yang memaksanya menangis, tubuhnya atau dadanya yang baru saja kehilangan teman masa kecil yang diam-diam menjelma menjadi seseorang yang spesial. 

      Tiga anak petinggi klan Amity muncul dari berbagai arah. Mereka mengelilingi Valena bersama para penjaganya. Tidak ada suara di antara mereka. Houttu, satu-satunya perempuan perwakilan klan Archer yang sangat dekat dengan Valena tidak kuasa hanya berdiri di sampingnya, ia meletakan busur dan anak panahnya di tanah, lalu mendekati gadis yang terbujur kaku, memeluknya dan meraung pedih. 

      “Forst! Terkutuklah kau!” Teriakan Houttu menggelegar mengundang para warga untuk mendekat. 

      “Putriku!” Valeen memecah kepungan para klan dan penjaganya. Menjatuhkan diri di samping putrinya, mencium tangan dan kening putrinya. 

      Brian masih bergeming. Memori di kepalanya mengaduk-aduk seluruh perasaan, menghapus kosakata di dalam mulutnya. Tak peduli seberapa keras tamparan Valeen pada dirinya karena telah gagal menjaga putrinya, ia tidak hiraukan tinjuan-tinjuan Valeen yang mengenai setiap inci tubunya. Hatinya lebih sakit dibandingkan fisiknya. 

      “Brian.” Suara itu muncul di kepalanya. Suara ayahnya. “Jagalah Valena dengan segenap jiwa dan ragamu, jangan sampai kamu hancurkan kepercayaan keluarga mereka padamu. Sejak Ayah masih kecil, Ayah sudah bersahabat dengan Ayah Valena, kami sangat akrab dan tak terpisahkan, tidak pernah mempedulikan pangkat dan derajat. Kami bahkan berniat menjodohkan kalian bila kalian sudah cukup umur nanti untuk mempererat tali persahabatan. Kamu mau ‘kan, Nak?”  Memorinya sewaktu masih kecil hidup kembali. 

      “Nggak mau, Yah. Valena aneh, masa di dalam dadanya ada metal? Emang dia robot?” Ia ingat betul ayahnya tergelak mendengar ucapan polos itu. 

      “Itu bukan metal biasa, Nak. Metal itu adalah jantung kehidupan hutan ini. Kehilangan metal itu sama saja membuat gersang tempat tinggal kita. Pepohonan masih tetap akan tumbuh, namun mereka kehilangan fungsinya. Tidak ada khasiat sama sekali, hanya sebatang pohon yang berdiri menghalau panas bagi manusia yang berteduh di bawahnya. Tapi, tidak ada buah atau bunga, tidak ada apapun selain daun.” 

      “Terus, kalau Valena kenapa-kenapa, kita tidak akan punya tempat tinggal lagi? Baiklah! Brian berjanji akan menjaga Valena bahkan dengan nyawa Brian sendiri.” 

“Bila saat itu tiba, hanya ada satu cara, Nak. Kunci dari bangkitnya seluruh alam ini, hanya saja setelah itu Valena akan kehilangan seluruh kemampuan sihirnya.” 

      “Cara? Cara seperti apa, yah?” 

      “Bandul yang ada pada kalungmu, Nak.” 

      Ia genggam kalung yang selama ini menjadi penunjang kehidupannya. Ia lemah sejak lahir, namun berkat mantra yang tersimpan di dalam kalung tersebut, ia menjadi sosok yang tangguh. Dan sekarang ia harus memilih antara hidupnya atau hidup gadis yang ia cintai. Pemuda itu menengadahkan kepala, melihat banyak kepala tertunduk atas kematian gadis yang sangat murah hati dan ramah itu. Houttu masih tidak melepaskan pelukannya dari sahabat karibnya. Brian mantap memutuskan melepaskan kalungnya dan meletakannya di atas kening gadis itu. 

      “Brian!” Tubuhnya melemas, limbung ke tanah dan untung berhasil ditangkap Corda, anak dari petinggi klan Poise, sang pembuat racun. 

      “Brian, apa yang kamu lakukan, Nak?” Valeen tidak menyangka atas tindakan berani Brian. “Kita masih bisa menghidupkan Valena dengan cara lain, kenapa kamu mengorbankan dirimu sendiri?” Brian tidak menjawab. Ia hanya tersenyum. Mengedipkan mata berkali-kali, setiap kedipan, mata itu melemah, kemudian tertutup. 

      “Brian! Nak, sadarlah!” Valeen menyesal telah memukul anak dari sahabatnya. Saat Brian menutup matanya dengan sempurna, Valena tersadar. 

      Matanya masih menatap ke langit, belum menoleh ke mana pun. Cukup lama ia memandang langit, sebelum akhirnya ia berteriak keras, sangat keras hingga orang-orang yang ada di sekitarnya mesti menutup telinga. 

      Teriakan itu bagai gempa bumi di tanah Amity. Para warga yang masih berada di garda depan atau yang sedang melakukan perlawanan, membanting tubuhnya sendiri ke tanah, mereka tiarap. Menghindari serangan yang sudah sering diceritakan dari mulut ke mulut sesama faksi Amity. Serangan yang tidak pernah terlihat, namun jelas adanya, hanya terjadi sekali seumur hidup. Sebuah serangan dari jiwa yang kesakitan. Mereka menyebutnya Sword Er. Udara yang mampu menebas para pengganggu yang berusaha menghancurkan Amity. Serangan yang bisa memilih lawannya sendiri. 

      Di depan para warga Amity, mitos itu berwujud nyata. Sword Er benar-benar ada. Bukan sekedar isapan jempol belaka. Udara yang mampu memotong nadi para musuh. Banyak anggota Factionless berjatuhan setelah nadinya dipotong udara, beberapa berhasil melarikan diri keluar dari tanah Amity entah bagaimana mereka menghindarinya. Termasuk Mort Griven. Teriakan itu terjadi tidak sebentar. Setelah itu menghilang, bersamaan dengan hilangnya kesadaran Valena.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro