FF. KAPAN KAWIN? [1]
• Jauh sebelum Reza Rahardian dan Ardinia Wirasti bermain di Critical Eleven, saya sudah lebih dahulu jatuh hati pada chemistry mereka di film Kapan Kawin?
Sehingga, saat ada tantangan dari teman satu grup untuk membuat cerita fanfiction, saya langsung teringat pada Satrio dan Dinda. Dan mencoba menuliskan kisah mereka setelah menikah.
Ciiittt!
Decit ban mobil beradu dengan aspal jalan terdengar cukup keras. Berhenti begitu mendadak demi menghindari seorang pejalan kaki yang hendak menyebrang. Wanita di kursi kemudi tampak terhenyak, terkejut dengan kemungkinan dirinya tadi bisa saja menabrak orang yang tidak memiliki keterkaitan masalah dengannya. Asal muasal penyebab ia bisa melajukan mobil dengan kecepatan tinggi.
Kedua netranya memandang nanar jalanan yang seperti tak berujung di depannya. Bersama dengan seluruh urat syarafnya yang menegang. Menghimpit keleluasaan pikiran jernihnya. Mengedepankan emosi yang sedari tadi mengiringinya membelah malam yang seolah mengejek. Sepi disambut kelam yang menjejaki gelap, tak tentu arah.
Helai rambut yang carut marut bersilangan hampir menutupi wajah cantiknya, melapisi air mata yang terus mengalir. Keningnya ia sandarkan di atas kemudi. Meratapi semuanya dalam hening dan bisu yang tak berkesudahan. Tak ada kata, atau jenis suara lainnya. Hanya suara deru mobil yang melaju sesekali. Disisipi isak kecil tangis tanpa tempat untuk menyandarkan rasa penatnya.
Pikirannya kalut, disesaki hujaman emosi pada setiap inci kejadian yang terpatri dalam bagian memori hidupnya. Merutuki momen yang pernah ia lalui selama hampir dua tahun. Pahit maupun manis, segala sesuatu yang pernah ia lewati dengan lelaki bergelar pendamping hidupnya.
Bolehkah ia sekarang mengeluarkan kata menyesal?
•••
•Enam belas jam sebelumnya ....
"Satrio ...." panggil Dinda sambil mengoleskan foundation pada kulit wajahnya yang terlihat merona setelah mandi dengan air hangat. Memandang pantulan dirinya di depan cermin rias berbentuk persegi, menampilkan sosok cantik yang begitu serasi dengan kemeja putih lengan panjang berkerah tinggi, dipadu celana bahan berwarna cokelat muda. Dan sampai ia selesai menyapukan sentuhan akhir makeup di wajah tirusnya, tak ada sahutan ataupun wujud suaminya itu.
"Satrio," ulang Dinda lalu berjalan keluar kamar. Mengedarkan pandangannya ke penjuru flat apartemennya yang cukup luas dan bernuansa ungu. Warna favoritnya tentu saja.
Tak ada tanda-tanda lelaki yang biasa menyambutnya kala ia selesai mandi pagi. Ia lalu menuju kamar di sebelah kamar utama yang biasa dipakai suaminya itu untuk melakukan apa saja yang menyangkut masalah seni. Namun, sosok belahan hatinya itu pun tak ia temukan di sana.
Sejenak Dinda berpikir kemana perginya Satrio yang saat ia akan mandi masih sibuk menggesek dawai biola kesayangannya. Kemudian ia tak mau berlama-lama ambil pusing. Berspekulasi bila suaminya mungkin tengah keluar sebentar karena ia melihat ponsel Satrio tergeletak manis di atas meja bundar kecil di samping sofa. Menandakan tidak sedang keluar jauh.
Masih pukul enam pagi, tetapi ia harus bergegas berangkat ke tempatnya bekerja sebagai general manager di salah satu hotel bintang empat Jakarta. Hari ini hotelnya akan kedatangan tamu penting. Rombongan pejabat sebuah perusahaan multinasional dari negara Denmark. Kedutaan besar Denmark telah memesan 120 kamar selama satu minggu. Dan Dinda harus turun langsung mengecek semua persiapannya. Ditambah pihak dari kedutaan ingin dilakukan semacam acara penyambutan kecil bagi tamu mereka itu.
Dinda tipe wanita yang memerhatikan detail. Matanya selalu awas pada celah kesalahan sekecil apapun. Sempurna merupakan kata mutlak yang harus dihadirkan pada tiap hasil kerjanya. Sambil membaca surel yang masuk di smartphone miliknya, tangan lainnya yang bebas memasukkan biji kopi ke dalam coffee maker, yang dengan anggun mengeluarkan suara berdengung pelan. Ia mengambil dua buah cangkir bercorak bunga tulip merah dari rak kecil yang khusus untuk menaruh peralatan minum lalu meletakkannya di atas kitchen island.
Jemarinya lincah mengetik balasan untuk beberapa surel yang masuk dan membutuhkan respon cepat. Menelepon asistennya untuk mendengarkan laporan yang menginformasikan sejauh mana persiapan di hotel pagi ini kemudian meraih telinga cangkir yang telah berisi cairan pekat hitam yang menguarkan aroma harum, membawanya menuju teras balkon flat apartemennya.
Ia memang sengaja memilih apartemen di lantai enam. Salah satunya dikarenakan ia takut ketinggian dan juga beberapa alasan praktis lainnya. Dari lantai ini ia bisa memandangi kolam renang apartemen yang terlihat jernih dan biru, masih terlihat sepi. Biasanya akan ramai di kala sore hari oleh anak-anak penghuni apartemen.
Tiba-tiba matanya menangkap sesuatu yang hampir membuatnya tersedak. Sosok yang begitu ia kenal berada di tengah kolam berbentuk setengah lingkaran itu. Tepatnya di atas sebuah batu besar yang menjadi hiasan sekaligus pembatas antara kolam anak dan dewasa. Tanpa perlu pikir panjang lagi, ia langsung setengah berlari keluar. Tak peduli dengan cangkir kopi yang tadi ditaruh sekenanya saja hingga terguling jatuh ke lantai. Meski tidak pecah namun membuat bercak kotor pada karpetnya.
"Satrio!" teriak Dinda pada lelaki yang tengah duduk bersila di atas sebuah batu di tengah kolam renang yang di sekelilingnya terdapat pohon palem imitasi.
Matanya terpejam. Kedua telapak tangan ditangkupkan seperti orang yang memanjatkan doa. Bertelanjang dada, hanya mengenakan celana pendek serta ikat kepala bercorak batik. Satrio tampak khusyuk. Tak menggubris panggilan isterinya yang mulai kelihatan geram.
"Satrio!" Dinda semakin kencang memanggil. Tetap tak ada respon dari Satrio.
Dinda memandang sekeliling area kolam renang. Sepi. Baguslah, ia tidak ingin penghuni apartemen lainnya melihat kelakuan janggal seniman sinting dalam raga suaminya itu. Ia lalu melepas sendal jepit karetnya lalu berjalan pelan-pelan menyusuri keramik pembatas kolam yang melintang di antara dua sisi kolam. Tak seberapa lebar, hanya berukuran 10×10 cm. Licin. Ia pun harus berhati-hati agar tidak berakhir konyol dengan tercebur ke dalam air.
Begitu sampai di depan Satrio, tak ada tanda-tanda lelaki berambut ikal itu membuka mata. Kehadirannya seperti tak dihiraukan. Dinda menepuk punggung Satrio cukup keras yang sontak saja disambut tatapan terkejut Satrio melihat istrinya.
"Kamu kenapa di sini, Sayang?" tanya Satrio heran, melihat wanita berpakaian formal dengan rambut digelung rapi telah berdiri di hadapannya.
"Harusnya aku yang tanya, kamu ngapain di sini?" Dinda balik bertanya dengan nada gemas.
Satrio tersenyum layaknya orang bijak. Matanya terpejam kembali. Kedua tangannya ia rentangkan lebar. "Aku sedang berbaur dengan alam. Memadukan unsur air dan udara pagi yang masih suci. Menyatu serta meresapi kebaikan alam pagi ini."
Dinda memutar kedua bola matanya. "Ya, tapi nggak harus di sini juga, dong, Satrio ...."
"Apa salahnya? Aku memerlukan konsentrasi. Menyatukan diriku dengan alam. Menuruti panggilan Sang Alam, lalu mengkombinasikannya dengan wujud syukur pada Sang Pencipta dunia. Tempat aku dan kamu berpijak sekarang."
"Di flat kita juga banyak air, kamu bisa bermeditasi di kamar mandi. Unsur udara pun bisa kamu dapatkan dari kipas angin. Nggak perlu menjadi aneh diluar, Sat."
"Kurang ada maknanya, Sayang," kilah Satrio.
"Aku nggak ngerti dan nggak akan pernah bisa paham dengan segala hakekat makna yang kamu bilang tadi, atau teori apapun itu," tukas Dinda cepat. "Ayo kita pergi sekarang dari sini."
Namun, Satrio tetap bergeming.
"Nggak bisa, Sayang. Otakku masih perlu INS-PI-RA-SI." Satrio melafalkan kata terakhirnya dengan pemenggalan penuh penekanan.
Ia lalu mengencangkan ikat kepalanya. "Seorang seniman handal sepertiku butuh ide. Sebuah gagasan cemerlang yang bisa aku dapatkan di sini. Juga dapat membantuku menghimpun realita dunia yang semakin rumit. Aktor hebat sepertiku butuh ketenangan batin, pikiran, serta jiwa dari segala hiruk pikuk keajaiban dunia yang semakin aneh ...."
Satrio terus melanjutkan perkataannya sedangkan Dinda semakin pusing karena tak paham dengan apa yang dipaparkan suami nyentriknya itu.
"Aku butuh satu jam lagi di sini," ujar Satrio mengakhiri argumentasinya yang njlimet.
Hal itu malah membuat Dinda semakin tak sabar. Tangannya segera meraih lengan Satrio. Memaksa lelaki itu bangkit dari duduknya. Menariknya agar segera mengikuti langkahnya.
"Kok kamu maksa gini, Sayang," protes Satrio, meski begitu mau tak mau Satrio mengikuti kemauan Dinda demi mendapat pelototan sangar dari istrinya itu.
Dan tanpa ia sadari kakinya terpeleset, tangannya refleks berusaha menggapai tubuh Dinda yang malah membuat mereka berdua jatuh ke dalam kolam renang.
•••
Dinda terus menggerutu sejak sampai di flat apartemen mereka dalam keadaan basah kuyup. Menyalahkan Satrio kenapa harus sampai menarik dirinya hingga menyebabkannya ikut tercebur. Sesuatu yang konyol pagi ini.
Setelah mandi lagi untuk ke dua kalinya lalu bersalin pakaian, Dinda keluar kamar mencari hair dryer yang biasa ia taruh di laci meja riasnya, tetapi tak ia temukan di sana. Sebenarnya kalimat yang ingin ia keluarkan berbentuk pertanyaan mengenai keberadaan alat pengering rambut pada Satrio. Namun, melihat Satrio masih mengenakan celana pendek basah, membuatnya menggelengkan kepala.
“Kamu nggak ganti celana?” Mata Dinda menunjuk pada celana pendek norak bergambar karakter animasi Upin dan Ipin yang dipakai suaminya.
“Nanti aja sekalian mandi. Lagian masih bersih, hanya basah,” ujar Satrio cuek lalu berjalan ke dapur setelah sebelumnya mengedipkan sebelah matanya pada Dinda.
“Kalo basah itu diganti, Satrio ….”
“Hemat deterjen dong, Sayang. Dengan kita menghemat penggunaan bahan kimia produk dari para perusahaan kapitalis itu, kita ikut andil dalam membantu menyelamatkan lingkungan dari pencemaran. Dan sebenarnya ada baiknya bila kita nggak pakai deterjen saat mencuci. Manusia zaman sekarang terlalu bergantung pada bahan penghasil busa tersebut. Makin banyak busa makin bersih pakaian. Itu yang tertanam di otak masyarakat. Padahal makin banyak busa, makin berlimpah pula pundi-pundi kekayaan mengisi bilik perut gendut pengusaha asing yang menjajah negeri tercinta kita ini.”
Dinda melongo. Makin tidak jelas bila membahas sesuatu dengan Satrio.
“Terus baju kita biar bersih dicuci pakai apa?”
“Kembali ke alam.” Satrio menjawab cepat, sambil menyobek satu sachet kopi berlogo hewan luwak dengan gambar salah satu aktor ternama Korea Selatan. Menuangnya ke dalam gelas putih bertuliskan I Love London.
Lalu ia melanjutkan perkataannya. “Orang zaman dulu, sebelum era teknologi serta moderenitas menyentuh tiap sisi kehidupan manusia, mereka nggak kenal deterjen. Mencuci baju di sungai, sambil mendengarkan melodi alam membawa nadanya melalui gemericik air yang mengalir … terdengar menyenangkan, bukan?”
Dinda menggeleng. “Kita nggak sedang hidup di zaman Majapahit, Satrio. Berhenti berpikiran aneh dan nggak jelas. Lagian, nggak terbayang kalo aku harus mencuci di sungai. Oh, sungai manalagi coba? Sungai Ciliwung? Realistis sedikitlah …. Jiwa boleh seniman, tetapi pemikiran tetap harus menapak pada realita,” urai Dinda yang disambut tawa Satrio.
Dinda menyadari sesuatu. “Loh, Sat, aku kan sudah menyediakan kamu kopi. Kok malah buat lagi?”
Satrio melirik ke arah cangkir bermotif mewah di depannya, lalu menggeleng, “Kamu kan tahu, aku nggak suka kopi hasil gilingan mesin itu. Rasanya nggak cocok di lidah jelataku. Aku lebih suka kopi ini.” Satrio mengacungkan gelasnya dan menyesapnya perlahan.
“Kualitas biji kopinya lebih bagus yang aku beli, Satrio. Harga nggak bisa bohong."
“Buat apa beli yang mahal kalo aku suka yang harga warung. Beli sepuluh sachet gratis satu. Lumayan kan, Sayang.” Satrio mengedipkan sebelah matanya.
Dinda teringat dengan tujuan awalnya yang hendak menanyakan pengering rambutnya pada Satrio.
“Lihat hairdryer-ku nggak?”
“Aku taruh di atas rak sepatu.”
“Kok, ditaruh di situ? Habis dipakai untuk apa?”
“Ngeringin sepatu aku, Sayang,” jawab Satrio enteng.
Dinda mengangkat kedua tangannya. Menyerah dengan kelakuan ajaib Satrio. Mengurungkan niatnya menggunakan pengering rambut. Lebih baik mengeringkan rambut dengan bantuan angin. Mengambil tas dari kamarnya, mengecup sekilas pipi Satrio lalu bergegas membuka pintu depan.
•••
Bersambung ....
Hayoo jangan lupa ya VOTE-nya 😊
Colek Mak JuliaRosyad9
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro