
Under The Rain
Penyesalan memang datangnya selalu terlambat. Apa yang bisa dilakukan jika penyesalan itu datang?
–Luna–
💜
Attention!
Ini adalah cerita fiksi di mana reader diharapkan bisa lebih bijak. Ambil baiknya, buang buruknya. Cerita ini diharapkan bisa menjadi hiburan sekaligus reader bisa menangkap pesan-pesan moral di dalamnya.
Thank you.
Oh, ya, dengerin lagu melow biar lebih merasuk.
SUARA gemericik terdengar. Hawa dingin mulai membelenggu tengkuk gadis itu. Bola mata hitam memandang luar di balik jendela yang memburam. Gerimis hujan.
"Datang," desis gadis dengan surai gelombang.
Kakinya melangkah keluar, membiarkan tubuhnya diguyur hujan yang kian deras.
Jantung gadis itu berkedut nyeri. Memorinya hadir tanpa diundang, yang selalu datang tiap hujan turun.
Bulir bening menetes beriringan dengan air dari langit. Bibirnya bergetar, hidungnya memerah. Ingatan makin jelas setiap adegannya. Luka pun terbuka lebar kembali.
"Setya," lirihnya, "aku rindu."
Tubuh gadis itu kian menggigil. Kakinya melemas, tetapi terus bertahan dalam posisinya.
"Luna!" pekik seseorang, "please, Luna!"
Seorang gadis lainnya dalam balutan kemeja kotak merah muda berlari menghampiri sambil membawa payung.
"Ayo, masuk!"
Luna menoleh. Seulas senyum tipis pun terbit. "Biarkan aku, Tyas."
"Sampai kapan kamu kayak gini?"
"Sakit, Yas."
"Aku tau, kamu harus rela, Lun. Aku selalu dukung kamu."
Luna menggigit bibir. Rasanya enggan mengikuti sahabat kembali memasuki gedung kampus. Lelah. Sungguh lelah. Luna telah menghadapi banyak hal selama ini.
Penyesalan memang datangnya selalu terlambat. Apa yang bisa dilakukan jika penyesalan itu datang?
***
Empat tahun yang lalu, Luna masih baru memasuki dunia kampusnya. Dirinya bertemu dengan sahabat semasa SMA, Tyas dan Setya. Luna dan Setya sudah saling suka sejak remaja, tetapi tidak ada yang mau memulai.
Sampai akhirnya Tyas yang peka, geram dengan keduanya. Gadis itu membantu kisah asmara Luna dan Setya dengan berbagai cara. Mulai mempertemukan mereka di kafe, sengaja bertukar kelompok tugas, sering mengajak hangout bersama, tetapi selalu menghilang di tengah jalan.
Hal itu membuahkan hasil. Luna dan Setya mulai jujur dengan perasaan masing-masing. Keduanya berpacaran dan sangat bahagia. Bahkan tidak jarang membuat Tyas cemburu karena dirinya masih jomlo.
Lima bulan lamanya, hubungan Luna dan Setya berjalan lancar. Kemudian di akhir tahun, kelas Luna mengadakan perjalanan ke sebuah vila setelah ujian semester.
"Dingin banget! Kenapa harus ke gunung, sih?" gerutu Luna sambil memeluk diri yang sudah memakai jaket tebal.
Tidak ada salju memang, tetapi hawanya sangat dingin. Lebih-lebih hujan yang setiap hari mengguyur bumi membuat jalanan becek dan licin. Benar-benar liburan yang menyusahkan!
Setya merangkul kekasihnya seraya menunjuk vila putih yang megah.
"Nikmati aja yang ada. Bagus, 'kan?"
Luna masih cemberut, walau tak ia pungkiri pemandangan vila maupun gunung terlihat elegan.
"Mau gimana lagi, Lun? Anggaran kelas udah abis duluan gegara fotocopy dobel sama keperluan lain. Ini aja udah untung bisa nyewa vila gratis punya Refa," celetuk Tyas.
Gadis itu juga sama kesalnya dengan perjalanan yang sulit ini. Namun, ia berusaha menerimanya.
"Ya, udah. Ayo masuk, keburu dikutuk Elsa Frozen nanti!"
Mereka segera memasuki vila, dan menikmati segala fasilitasnya. Luna masih sedih tatkala melihat kolam renang. Ingin sekali menceburkan diri, tetapi suhu udara telah membuatnya beku. Tidak mungkin!
"Bakar jagung aja gimana?" Setya berdiri di samping Luna. Ia menunjuk alat panggangan di dekat kolam.
"Ini masih siang. Ogah, ah," gerutu Luna yang masih saja mood-nya belum membaik.
"Nonton film, deh. Kayaknya si Refa punya beberapa DVD, deh," saran Setya.
"Mau nonton?" celetuk si gadis rambut panjang pemilik vila.
Kedua sejoli tertegun.
"Kalau mau ada di bawah TV, aku mau dating dulu sama Axel," pamit Refa sambil memberi kode, jika kesulitan bisa minta bantuan teman-teman yang lain.
Setya dan Luna hanya menyengguk. Lantas, Setya kembali menoleh, menagih jawaban sang kekasih.
"Enakan malem-malem nanti nontonnya."
Setya menggaruk tengkuk. "Oh, main truth or dare sama anak-anak. Kayaknya seru."
"Lebih seru entar malem," desah Luna, "udahlah, aku lagi suntuk. Mending jalan keluar."
"Siap," kata Setya menyetujui.
"Dih, jadi cowok penurut banget, sih, Setya?" celetuk Tyas yang baru datang.
"Biarin, sih," ketus Luna, "mau ikut juga, nggak?"
"Enggaklah. Males jadi nyamuk," sindir Tyas.
Luna mencebik, lalu meraih lengan kekasihnya. Keduanya pun beranjak menuju luar.
"Ati-ati, bawa payung, nggak?" tanya Tyas yang mengekori hingga ke teras.
"Enggak usah," tolak Luna.
"Kalau ujan, licin, loh. Jangan jauh-jauh," tutur Tyas.
"Iya tau, Bawel!"
Setya terkekeh melihat dua sahabat perempuan yang menggemaskan. Saling peduli dan perhatian.
"Ngapain ketawa?" ketus Luna.
"Enggak," sanggah Setya, "mau ke mana aja ini?"
"Pokoknya jalan."
Dua sejoli pun keluar vila dan berjalan menuju puncak. Mereka menikmati perjalanan, memandang pohon rindang, mendengarkan cuitan burung yang merdu. Mereka juga duduk di bawah pohon saat kaki mereka mulai lelah, lalu saling berbincang bahkan dalam kemesraan.
Langit pun makin gelap, tanda hujan akan turun. Setya mengajak Luna untuk kembali ke vila, tetapi gadis itu menolak.
Sebenarnya Luna juga tidak ingin merasa basah dan dingin. Entah mengapa, tiba-tiba saja ia ingin hujan-hujanan! Memang sudah sangat lama sekali dirinya tidak bermain di bawah rinai hujan. Sebentar saja.
Sayangnya, Setya pun menolak. Ia tidak mau Luna sakit. Di saat suhu sangat dingin seperti ini akan rawan sakit.
Perdebatan pun mulai terjadi, bahkan Luna mengungkit kejelekan dan kesalahan Setya di masa lalu.
"Cuma mau balik ke vila, kok, repot gini. Kenapa harus dikaitkan sama masa lalu?" kesal Setya.
"Emang itu faktanya, aku 'kan nggak ngada-ngada."
"Terus apa artinya saat kamu maafin aku? Kamu nggak tulus?"
Luna berdecak.
"Udahlah, ayo balik aja," kata Setya berusaha mengalah sambil menarik tangan Luna.
Luna menepisnya. "Udah aku bilang aku mau ujan-ujanan. Sakit tinggal diobatin. Kamu tuh yang repot!"
"Daritadi, kok, nyolot terus kamu? Aku kayak gini karena khawatir sama kamu. Kita jauh dari rumah, bisa repot kalau ada apa-apa!"
"Ya udah. Kamu sendiri aja yang pulang!"
Keduanya terus beradu mulut sampai gerimis pun datang. Luna yang tetap tidak mau kembali ke vila, memilih kabur dari Setya. Lelaki dengan potongan rambut layer itu segera mengejar kekasihnya. Keduanya terus berlari lebih menjauh dari vila.
Bahkan memasuki hutan dan terpisah.
"Luna! Luna! Kamu di mana?"
Luna dapat mendengar suara Setya yang mencarinya. Sebenarnya ia takut terpisah seperti ini di dalam hutan. Tersesat. Tidak tahu jalan pulang. Namun, rasa gengsinya masih menyelimuti hati.
Tubuhnya mulai menggigil. Hujan makin deras. Luna merasakan tubuh yang sangat basah.
Suara Setya pun mulai menghilang. Jantungnya berpacu cepat. Ia mulai resah.
Cukup Luna!
Luna harus kembali.
"Se-Setya! Kamu di mana?"
Kini giliran Luna yang mencari sang pacar. Ia berjalan ke sana kemari sambil berteriak menggigil. Wajahnya makin memucat, jemarinya sudah putih semua. Bulir bening pun meluncur bebas dari sudut mata. Penyesalan mulai menyusup dalam hatinya.
Sifat kekanak-kanakannya membuat Luna muak. Sudahlah. Gadis itu harus mencari Setya lalu pulang ke vila. Ia bahkan membayangkan akan segera mandi air hangat.
Ah, tentunya, minta maaf terlebih dulu pada Setya.
Luna terus mencari, tetapi tak kunjung ketemu. Namun, ia berhasil menemukan jalan raya. Luna mengenalinya. Ia memilih berlari ke vila, berharap Setya sudah di sana. Ataupun jika tidak, ia akan meminta teman-teman mencari kekasihnya.
Luna berhasil ke vila. Setya belum pulang. Akhirnya, gadis itu menjalankan rencananya tadi.
"Kamu di sini aja, hangatkan badanmu."
Refa melarang Luna ikut pergi. Hanya para cowok yang diizinkan mencari Setya. Luna pun menurut dan merawat dirinya.
Satu jam pun berlalu.
Teman-teman akhirnya datang. Mereka menggendong Setya yang luka parah. Mereka menangis.
Luna segera mendekatinya.
"Ke-kenapa ini?"
Tak ada yang menyahut. Luna menggoyangkan tubuh Setya. Pikirannya kacau, membayangkan hal-hal buruk.
"Setya, ini aku Luna. Bangun, Sayang."
Tubuh Setya sangat dingin. Tidak ada respons pula.
Tangan Luna mulai tremor. Matanya memburam. Ia mendongak, menatap teman-teman cowok.
"Dia kenapa? Eh, ba-bawakan handuk hangat. Mi-minum teh."
Mereka bergeming.
Luna menoleh ke arah teman-teman lain. "Kok, pada diem, sih? Kalian nggak liat Setya sakit?"
Tyas yang merasakan keanehan ini segera ikut mendekat. "Bentar, Lun."
Tyas mengecek nadi Setya di tangan dan leher. Lalu beralih ke bawah hidung Setya. Bulir bening lolos setelah gadis itu memastikan.
Luna menatap bingung. "A-apa, Yas?"
Tyas tak menjawab, malah sesenggukan.
"Tyas!"
Tyas menatap sahabatnya, lalu memeluknya erat.
"Kenapa? Kenapa nggak ada yang jawab, sih?"
Tak satu pun berani bersuara. Dalam rintik hujan, bulir bening pun lolos pada setiap insan di vila itu. Tanpa memberitahu apa pun, mereka tahu maksudnya. Firasat mereka yang berkata dengan jelas.
Setya sudah tidak ada.
Luna histeris.
***
Setiap tahunnya, Luna menyalahkan diri. Selalu mengingat memori kelam di akhir tahun. Bahkan orang tua Setya sudah merelakan dan menasihati Luna.
"Relakan, Nak. Setya nggak akan bahagia melihat kamu seperti ini."
Namun, perkataan orang tua Setya hanya masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri. Bukan hanya mereka, tetapi perkataan sahabat, teman, keluarga, tak ada yang digubris.
Luna menyesal tak sempat minta maaf. Terlebih hanya karena keegoisan kecil yang dibesar-besarkan, malah membuat sebuah tragedi.
"Please, Lun. Sampai kapan kamu seperti ini?"
Luna memandang diri di depan kaca toilet. Matanya masih bengkak. Pakaiannya sudah berganti dengan baju yang kering. Tentunya, Tyas yang selalu membawanya setiap hari. Berjaga-jaga jika Luna selalu mengguyur tubuh dengan hujan.
"Aku belum minta maaf," lirih Luna.
Tyas memegang pundak Luna.
"Aku yakin Setya pasti maafin kamu. Dia yang paling khawatir soal kamu, yang paling peduli. Dia nggak akan menyusahkan kamu. Setya pasti maafin kamu."
Luna memandang sahabatnya. Cairan bening mulai mengembun.
"Tugas kamu, mendoakan dia. Minta ampun sama Tuhan. Move on. Kamu harus menjalani sisa hidupmu dengan baik. Jangan kecewakan Setya."
Luna menyengguk sambil mengusap air mata yang berhasil menetes.
"Ya udah. Yuk, ke kelas. Bentar lagi Pak Arif dateng."
Keduanya pun keluar dari toilet. Namun, mereka terhadang seorang lelaki.
"Kamu yang namanya Luna?"
Luna mematung, begitu pun Tyas.
Lelaki itu mengulas senyum. "Aku Arya, sepupunya Mas Setya. Dia banyak cerita tentang kamu selama ini."
Arya mengulurkan tangan. "Boleh aku lebih mengenalmu?"
Seolah Setya mengirimkan saudaranya untuk menjaga Luna. Arya. Paras wajahnya sangat mirip dengan Setya. Jantung Luna pun berdetak lebih kencang.
"Haruskah aku memulai kembali?"
Di bawah rinai hujan, di akhir tahun, mampukah kegelapannya berubah menjadi cahaya? Hanya mereka dan Tuhan yang tahu bagaimana kisah hidup mereka berjalan.
Tamat.
Nb: Hai, jangan lupa follow akun ini dan tinggalkan jejak, yaa! Silakan memberikan kritik dan saran dengan sopan, terima kasih banyak atas masukannya. Oh, ya, jangan lupa follow akun Instagram dan Tiktok Author juga di @yamashitaizumi4
🌹Arigatou gozaimasu ^^
Dipublikasikan 15 Desember 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro