The Masquerade Ball
The Masquerade Ball
By: Tinny Najmi
***
**
You are invited to a masked ball party! Come join with us!
June 30th 2018
At The Ball Room
Aku membaca kartu undangan yang baru aku dapatkan dari dalam sebuah boxㅡyang tergeletak di depan pintu apartemenㅡberisi gaun berwarna hitam dan sebuah topeng. Aku mengerutkan kening karena dalam kartu undangan tersebut tidak terdapat alamat yang harus kudatangi.
Lalu aku melihat secarik kertas berwarna putih, aku pun mengambilnya.
Get dress up. Then somebody will pick you up to the location. Love you, Em.
Your Dearest,
Charlotte.
Bibirku melengkung otomatis membentuk sebuah senyuman saat membaca pesan di secarik kertas tersebut. Charlotte adalah kekasihku, aku senang bukan kepalang, pasalnya tanggal 30 Juni adalah hari ulang tahunku. Aku yakin, ia pasti ingin memberi kejutan.
"Is he going to propose me?" aku bergumam dengan senyum tertahan. Hatiku berbunga membayangkan betapa romantis Charlotte saat melamarku nanti. Aku yakin akan hal itu, karena belum lama ini Charlotte sering membicarakan hal itu padaku. That he will marry me. Aku yakin ini akan jadi perayaan ulang tahun terbaik seumur hidupku.
Aku meraih dress hitam yang ada di dalam kotak untuk melihatnya. Sebenarnya aku sedikit heran mengapa dress-nya berwarna hitam, sementara aku tahu kalau kekasihku itu lebih menyukai warna putih. Berbanding terbalik denganku yang lebih menyukai warna hitam. Ah, mungkin dia sengaja memilih warna hitam untukku.
Aku kembali tersenyum. Rasanya penat dan lelah setelah bekerja tadi menjadi hilang. Menguap tergantikan bahagia yang teramat. Aku jadi ingin menghubunginya. Dengan gerak cepat kuraih ponsel yang kugeletakkan di atas kasur. Lalu mendial panggilan nomor satu. Tak sabar menunggu, yang aku dapat malah jawaban operator yang memberitahu nomor kekasihku sedang sibuk.
Huh, kenapa nomornya tidak aktif? Aku membatin sebal. Mungkin dia sengaja untuk membuatku rindu padanya. Baiklah, aku rasa dia berhasil. Sepertinya malam ini aku akan tidur cepat, karena tidak sabar menunggu hari esok tiba.
***
Aku mematut pantulan diriku di cermin, aku tampak seperti orang lain ... aku tidak pernah berdandan semewah ini sebelumnya. Black dress party tanpa lengan ini termasuk jenis gaun glamour yang memiliki bentuk seperti korset pada bagian atas dengan aksen mute dan perut menyempit. Kemudian pada bagian bawah, rok di atas lutut yang melebar dengan beberapa layer, akan memudahkan aku untuk bergerak saat berdansa. Ditambah aksesoris kalung dan anting dari mutiara yang juga berwarna hitam, nampak sepadan dengan dress yang aku pakai.
Aku membiarkan rambut panjang bergelombangku terurai. Lalu, aku pakai masquerade bulu topeng halloween cutout prom party maskㅡyang hanya menutup bagian mataku. Memberikan kesan lebih misterius saat memakainya. Mengapa temanya jadi all black begini? Tapi aku menyukainya ... aku menyukai warna-warna gelap.
Merasa puas, aku pun keluar apartemen. Benar saja, di depan sudah ada seorang pria berpakaian rapi telah menungguku di samping mobil mewah yang panjang. Well, aku merasa jadi Cinderella malam ini. Rupanya Charlotte tidak main-main untuk membuatku semakin terpesona padanya.
Begitu sampai, pria itu langsung membukakan pintu mobil untukku. Aku pun memberi senyuman sebagai tanda terima kasih. Dalamnya luas dan nyaman. Aku tidak pernah tahu Charlotte memiliki mobil seperti ini. Ah, mungkin dia mendadak membelinya. Dia selalu bisa melakukan apa saja dengan uangnya.
Selama perjalanan aku hanya diam, diam-diam tersenyum memikirkan berbagai kenangan manis dengannya. Dia pria yang baik dan sangat menghormatiku, bahkan menyentuhku saja dia selalu meminta izin. Ah, aku merindukannya, tapi ponselnya belum aktif dari kemarin. Menyebalkan sekali.
"Apakah tempatnya masih jauh?" tanyaku pada sang supir. Entah hanya perasaanku, tapi perjalanan ini terasa sangat lama.
"Sebentar lagi kita sampai, Miss," jawabnya tanpa ekspresi.
Oh baiklah, mungkin aku hanya tidak sabar karena ingin cepat bertemu dengannya. Aku kembali diam. Mobil memasuki daerah yang kurang aku ketahui. Lalu berhenti di sebuah gedung yang cukup besar.
Pria yang membawaku turun terlebih dahulu untuk membukakan pintu untukku.
"Terima kasih," ucapku. Dia mengangguk tanpa kata. Lalu membimbingku menuju ball room.
Sesaat, gedung ini terasa menyeramkan. Nuansa gelap dengan berbagai lukisan yang tidak kukenal. Aku dibimbing ke ruang bawah tanah. Lalu bertemu sebuah pintu yang cukup besar. Ia membukakan pintu, alunan musik dansa pun menghampiri indra pendengaranku. Lalu ia mempersilakanku masuk.
Aku masuk tanpa ragu. Rupanya sudah banyak orang di dalam, semuanya mengenakan gaun berwarna hitam dengan topeng hitam yang beragam. Baik pria maupun wanita, dan semuanya berpasangan, aku rasa. Aku melihat sekitar, ball room ini cukup luas. Di dua sisi, ada tangga menuju lantai atas. Di tengah tembok pembatas koridor atas itu terdapat banner bertuliskan, 'Happy Birthday, Emma Housten. This Party is For You'. Aku tersenyum sendiri. Priaku memang romantis. Musik romantis mengalun syahdu, semua berdansa dengan begitu indah.
Tiba-tiba banyak anak-anak menghampiriku dan memberiku bunga mawar hitamㅡlagi? Kenapa harus hitam? Aku menerimanya satu-satu, sekarang di tanganku ada 25 tangkai bunga mawar hitam. Sesuai dengan umurku saat ini. Great! Lalu semua anak-anak itu keluar lewat pintu yang aku masuki tadi. Oke, aku kewalahan jika harus membawa semuanya.
Lalu, di mana kekasihku? Kenapa tidak ada yang menyambutku? Apa tidak ada yang mengenaliku? Bukankah ini pesta untukku?
Aku sedikit tersentak saat seseorang menyentuh pinggangku. Namun lega saat melihat siapa pelakunya. He's my boy. Aku bisa mengenalinya meski dia memakai topeng. Aku sudah sangat hafal postur tubuhnya. Bibirku tersenyum tanpa bisa kutahan. Begitu pun dengannya. Dia memakai setelan jas berwarna hitam dan juga topeng yang mirip seperti milikku. Dia selalu tampan mengenakan apa pun.
Aku mengangkat bunga mawar di pangkuanku, menunjukkan padanya jika aku kerepotan. Lalu dengan seenaknya dia mengambil semua bunga mawar dariku dan melemparnya hingga jatuh berserakan di lantai.
Aku tertawa kecil karena kelakuannya. Lalu menghambur pelukannya. Memeluknya erat. "I miss you," ucapku berbisik di telinganya.
Dia balas memelukku, tapi tak membalas ucapanku. Kami melepas pelukan, lalu tanpa kata ia mengulurkan tangan; mengajakku berdansa. Aku menyambutnya dengan senang hati. Lalu kami berjalan ke tengah dan berdansa mengikuti alunan musik. "Beautiful waltz music..., Masquerade Ball," kataku menyebutkan jenis musik yang diputar. Ia mengangguk sambil tersenyum membenarkan. Pilihan musik yang pas dengan tema pesta malam ini. Aku merasa seperti pemeran utama dalam cerita Cinderella saat ini.
"Kenapa ponselmu tidak aktif?" tanyaku di sela dansa kami. Dia mengedikkan bahu tanpa bersuara.
"Kau tidak akan memberiku ucapan selamat ulang tahun?" aku merenggut karena sejak tadi dia sama sekali tidak mengatakan sepatah kata pun. Hanya tersenyum dan tersenyum. Menyebalkan sekali. Lalu dengan seenaknya dia mencuri kecupan di bibirku. Aku memelototinya dan ia hanya tersenyum jenaka.
Ia hendak melakukannya lagi sebelum kutahan dengan menutup mulutnya. "I want to hear the birthday greetings from you, then you're allowed to kiss me as much as you want," kataku.
Dia lalu menurunkan tanganku dari mulutnya. Lalu menciumku tanpa permisi. Ah, sial! Dia tidak mendengarkan perkataanku. Dan sialnya lagi, aku selalu tidak bisa menolak sentuhan bibirnya. Well, lagi pula aku sangat merindukannya. Sangat merindukannya hingga rasanya dadaku akan meledak.
"You're gonna kill me!" seruku terengahㅡsedikit tertawaㅡsetelah melepas pagutan bibir kami. Dia pun sama, tapi dia kembali menarikku dan meraup bibirku seolah makanannya.
Aku terkesiap. Tiba-tiba aku merasa ada yang aneh dari caranya mencumbuku. Aku merasa dia berbeda dari biasanya. Charlotte tidak akan seperti ini padaku. Dia seperti orang lain ... yang juga kukenal. Lalu aku tersentak menyadari satu kemungkinan. Kudorong ia dengan paksa. Lalu menatapnya dari atas sampai bawah.
"Charlotte? Is that you?" tanyaku sangsi.
Dia diam.
"Kenapa kau tidak berbicara sedikit pun?" desakku mulai resah.
Dia masih diam.
"Jawab aku!" seruku kesal.
Dia masih diam menatapku. Lalu musik tiba-tiba berubah. Berganti menjadi musik yang terdengar menyeramkan bagiku. Overture K.527, aku tahu musik ini, sebuah musik waltz dari opera The Rake Punish'd atau lebih dikenal Don Giovanni.
Opera yang tayang pada tahun 1787 silam. Mengisahkan seorang pemuda bangsawanㅡlebih dikenal dengan sebutan Don Juanㅡyang suka berfoya-foya dan menggoda wanita. Laki-laki yang handal dalam menaklukkan banyak wanita lalu melakukan hubungan seksual dengan para wanita tersebut. Ia melakukan banyak dosa namun enggan bertobat dan akhirnya mati diselimuti api neraka.
Pria di hadapanku menyeringaiㅡtampak mengerikan. Lalu dia berkata, "I want you, Emma Housten."
Seketika tubuhku menegang. Dadaku berdebar ketakutan. Aku mengenal suaranya. Dia bukan kekasihku..., dia bukan Charlotte.
"Kau masih mengenalku. Aku sangat terharu ternyata kau tidak melupakanku," ujarnya lagi penuh percaya diri.
Aku melangkah mundur. Tempo alunan musik semakin cepat dan membuatku semakin ketakutan. Aku melihat sekeliling. Tidak ada yang berdansa, mereka semua menatapku dengan seringai mengerikan. Aku tahu aku harus segera melarikan diri jika tidak ingin mati di tangan psikopat itu. Calum, dia adalah saudara kembar Charlotte. Kembar identik. Namun hanya wajah mereka saja yang mirip. Sementara kepribadiannya berbeda bagai langit dan bumi. Dan satu-satunya yang membuat aku bisa membedakan mereka adalah suara mereka.
Seharusnya aku curiga sejak awal karena ia tidak mau berbicara. Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan?
Dia tiba-tiba tertawa. Mungkin baginya aku yang sedang ketakutan tampak lucu di matanya. Sialan. Aku mencoba untuk lari namun dia dengan cepat mencekal tanganku. Meremasnya kuat sampai terasa sakit.
"Apa yang kau mau?" aku berusaha melepaskan diri.
"It's you, Honey," bisiknya menjijikan.
"Lepaskan aku, Bitch!"
"Kau mau ke mana? Aku membuat pesta ini untuk merayakan hari ulang tahunmu, sekaligus ... hari kematianmu." Tawanya menderai.
Aku terbelalak. Dadaku tak hentinya berdebar ketakutan. "Kau gila!"
"Ya, aku gila. Dan itu karenamu, Emma."
"Jangan sebut namaku dengan mulut busukmu!" balasku sengit.
Dia kembali tertawa. "Kau baru saja menikmati mulut busuk ini, Sayang."
Sialan!
"Kenapa kau ingin membunuhku?"
Dia berlagak berpikir dengan menyebalkannya. "Hmm. Karena kau tidak mau bersamaku, benar kan?"
"Tentu saja! Sejak dulu aku memilih Charlotte! Aku tidak sudi memilih psikopat gila seperti dirimu!"
"Well, karena itu, aku akan membiarkanmu bersama dengannya di neraka."
Aku terkesiap. "Apa maksudmu? Kau apakan Charlotte? Di mana dia?" desakku. Rasa khawatir mulai menggerayapi sekujur tubuh.
"Hmm, he was rest in peace ...," ucapnya santai lalu tersenyum. "Kau akan segera menyusulnya."
Aku menggeleng tak percaya. Dia membunuh saudaranya sendiri. Bagaimana bisa orang seperti ini berkeliaran bebas? "Kau benar-benar gila!"
Lampu tiba-tiba mati. Musik pun berhenti. Tubuhku gemetar hebat, ketakutan. Tanganku yang masih dicekal olehnya tiba-tiba dipelintir kebelakang punggungku lalu ia mengikat kedua tanganku. Entah ia mendapatkan tali dari mana.
"Lepaskan aku! Psikopat sialan!"
"Diamlah, aku akan pelan-pelan melakukannya ...," ujarnya sambil mendekap tubuhku kuat-kuat. Lalu dengan menjijikkannya dia menjilati pundakku yang telanjang. Menjelajahi bagian tubuhku yang tidak tertutup kain.
Aku berusaha memberontak namun tenaganya begitu kuat. Aku rasa aku menangis. "Calum, please ...," aku mengiba. "Kau boleh langsung membunuhku."
Tapi dia tidak mendengarkanku, tangannya berpindah ke ujung kaki, membuatku kehilangan keseimbangan karena cekalannya, hingga aku pun jatuh membentur lantai. Aku meringis.
"Ups, sorry," ucapnya tanpa penyesalan. Dia mengikat kedua kakiku. Lalu lampu menyala. Kulihat sekeliling. Tidak ada siapa-siapa. Entah ke mana orang-orang tadi pergi. Musik itu kembali diputar.
"Don't be afraid, Honey. I'm with you," ujarnya tersenyum mengerikan.
Aku menahan emosi, percuma saja aku mengatakan apa, dia tidak akan mendengarku. Dia lalu membangunkanku, mengubah posisiku menjadi duduk di lantai. Aku, sudah pasrah, tidak ada jalan untuk melarikan diri darinya. Tidak akan ada orang yang bisa menolongku. Satu-satunya orang yang akan menolongku sudah damai di peristirahatan terakhirnya. Walau aku tahu, dia pasti dibunuh dengan kejam.
Charlotte ....
Aku menangis, teringat semua kenangan akan kebersamaan kami selama ini.
"Kenapa kau menangis? Apa karena kau begitu bahagia?" tanyanya tanpa dosa.
Aku tersenyum ketir. Benar-benar orang gila.
"Tenanglah, aku akan membuatmu tidak bisa menangis lagi ...."
"Terserah kau, berengsek!"
Dia tertawa. Jika saja ini negeri dongeng, aku akan berharap ada pahlawan yang tiba-tiba datang menyelamatkanku. Namun sayangnya, ini bukan cerita di negeri dongeng.
Dia mengeluarkan kain penutup mata dari saku jasnya, lalu memakaikannya padaku setelah membuang topengku dan aku tidak bisa melihat apa-apa.
"Musik ini sangat indah, bukan? Kau tahu, aku sangat menyukai Don Juan. Bagiku dia adalah oang yang luar biasa."
"Mati dilahap api neraka, itu yang kau sebut luar biasa? Dasar gila!"
Dia malah tertawa. "Tapi, dia melakukan segala hal yang dia inginkan selama hidupnya. Jadi dia tidak akan menyesal. Dia pasti bahagia di neraka."
Gila. Tidak waras. "Tidak ada yang bahagia di neraka!" teriakku geram. Aku tidak mengerti jalan pikiran psikopat seperti dirinya.
Dia tertawa renyah. "Kau juga akan menikmatinya, Sayang. Aku akan mengirimmu ke neraka," ujarnya lalu mendorong tubuhku hingga aku kembali terbaring membentur lantai.
Tempo musik semakin cepat dan menakutkan. Dia lalu duduk di atas lututku. Merobek gaunku dengan benda tajam yang ia bawa. Tak sedikit benda itu menggores tubuhku. Aku meringis, merintih kesakitan, sementara dia tertawa puas atas penderitaanku.
Tangan dan kakiku diikat. Mata ditutup. Aku tidak lagi berdaya saat ia menindih tubuhku, menikmatinya sekaligus mengoyaknya dengan kejam. Tidak ada sedikit pun sinar harapan lagi untukku. Air mata tak berhenti mengucur, jeritan dan rintihan tak henti terlontar. Namun dia tak kan peduli, karena dia bukan manusia. Dia monster, iblis yang menjelma menjadi manusia.
Bau amis tercium. Aku bisa merasakan darah menggenangi lantai.
Dia menikmati menghancurkan tubuhku. Goresan demi goresan, sayatan demi sayatan. Tak ada yang lebih menyakitkan daripada dibunuh secara perlahan. Bahkan dia menusuk setiap bagian tubuhku. Satu-satu. Tanpa ampun. Tanpa iba. Sampai aku merasa kebas; tidak lagi bisa merasakan apa pun. Aku ... sudah mati rasa.
Suara musik perlahan menghilang, dan di akhir kesadaranku, aku masih mendengarnya berbicara, "Happy deathday, Emma Housten."
Aku pikir, ini akan menjadi perayaan ulang tahun terindah selama hidupku. Nyatanya, hari ini adalah hari perayaan kematianku yang paling mengerikan.
---------------------------------
--------------------
- END -
Subang, 06 Agustus 2018
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro