Us
By : account404 orangmisterius404
***
"Tomioka Giyuu!"
Bocah yang dipanggil menoleh. Sebuah bola salju melayang ke arahnya, di detik kemudian membentur wajah. Giyuu meraup wajah panik- dingin, sementara pelakunya justru terbahak.
Adalah Karma Akabane, bocah bersurai merah dengan kejahilan khasnya.
Giyuu merengut. Ia buru-buru membentuk bola salju kecil, langsung dilempar ke arah Karma.
Meleset.
"Akashi-kun, kau tidak apa?"
Giyuu berlari mendekati pemuda bersurai merah lainnya yang sudah merengut. Itu korbannya, Akashi Seijuro. Sepertinya sudah siap menangis, terbukti dari bibirnya yang bergetar.
Jika Nyonya Akashi melihat ini, habislah ia.
"Akashi-kun, jangan menangis, oke? Kita main sama-sama."
Gagal, rautnya justru semakin tertekuk.
"A- Akashi-kun-"
"Pfft!"
Giyuu terdiam. Seijuro juga, tapi diam-diam sudah bergeser menjauh. Si setan merah sudah berlarian sambil tertawa memegang perut.
Ah, Tomioka Giyuu dipermainkan lagi.
"SEI! KARMA!"
Dan 3 bocah ini berakhir dengan kejar-kejaran di tengah turunnya salju. Karma berlari ke arah snowman buatan dua anak tertua, kemudian menabraknya tanpa ampun.
Bocah itu tak meminta maaf sedikitpun.
"Park,"
Empunya marga menoleh. Bocah tertua- Xiao Zhan nyengir. Entah menyadari ekspresi aneh Park atau tidak, intinya ia akan tetap menjadi bocah yang menyenangkan untuk si Korea.
Terjadi begitu saja, sejak menyadari pengumpul bangkai katak di depan pintunya adalah bocah berumur 8 tahun di hadapannya, Park Jisung.
"Kita buat lagi, ya?"
Jisung hanya mengangguk, setelah itu menyungging senyum.
[Dulu, Xiao Zhan adalah anak yang baik.]
"Akashi-kun!"
Bocah bersurai berantakan itu ngos-ngosan, bahkan hingga berhenti guna mengambil napas. Napas Giyuu sesak akibat udara dingin dan habis berlari sekaligus. Rasa-rasanya ia bisa pingsan di detik berikutnya. Sementara itu, Seijuro sudah berlari entah kemana.
Giyuu heran. Apa keturunan Akashi ini tidak lelah?
Satu bola salju menghantam pelipis bocah Tomioka.
Seijuro lah pelakunya, figur cilik bersurai merah tak tau situasi yang kini terbahak. Anak itu sedikit limbung, tapi kedua kawan bermainnya tak menyadari sama sekali.
Kecuali seorang pemuda seumurnya yang kini mendekat.
"Tomioka-san, kau tidak-"
BRUK!
"Eh?"
Saat itulah, semua orang menjadi tak sebaik seharusnya.
"Ugh..."
Giyuu terbangun. Ia memegang kepalanya, entah bagaimana sedikit sakit. Sekelilingnya gelap. Apa ia sudah mati?
Tentu saja tidak, itu berlebihan.
"S- Sei?"
Tak ada jawaban dari empu nama.
"Ka- Kar.. ma...-kun..?"
Masih tak ada sahutan.
Giyuu berdiri, telapaknya menyentuh alas.
Lembab.
Ah, tentu saja. Sekarang musim salju.
Giyuu mulai coba melangkah. Lantainya becek, masa bodoh. Ia coba meraba sekitar. Ada di tengah ruangan. Bocah bersurai hitam itu mencoba tak mempedulikan apapun, tapi tak berhasil.
Ada satu yang menarik perhatiannya,
Bau busuk di tempat ini.
Apa lembab ini benar-benar dari salju?
Tomioka mulai mengikuti sumber bau itu. Di tempat yang nyaris gulita itu, ia menendang sesuatu dengan keras.
MIAW!
"Uh?"
GUK! GUK! GUK!
3 anjing bulldog setinggi pahanya berlari kencang, langsung mencabik kucing itu hingga habis tak bersisa. Tungkai anak itu melemas. Tubuhnya gemetar takut.
Biarpun nyaris gelap gulita, Tomioka Giyuu sangat paham akan nasib kucing yang tak sengaja ditendangnya.
[Dulu, Tomioka Giyuu adalah anak yang emosional.]
KRIEET!
"P- Park.. Jisung..."
Anak berdarah Korea itu masuk tepat setelah semua anjingnya tenang,
Dengan senyum tipis di wajahnya.
[Dulu, Park Jisung adalah anak yang murah senyum.]
"Shuu?"
Tak ada jawaban. Xiao Zhan, anak angkat dari keluarga Asano bergerak menaiki tangga, menuju kamar sang adik di lantai dua.
"Shuu?"
Masih tak terdapat jawaban dari anak yang lebih muda. Yah, sebenarnya tak masalah juga sih. Zhan hanya ingin memastikan keberadaan anak cerdas itu.
"Shuu,"
"Hm."
Figur bocah berstatus anak angkat itu menghela lega. Anak ini ada di dalam kamarnya, di rumah.
Biarpun untuk kasus Tomioka Giyuu tadi,
Asano Gakushuu yang menggotongnya. Sendirian.
"Ma-"
"Mengapa kau meletakkannya di sana?"
Zhan mengernyit. Ia membatalkan ucapannya, lebih memilih menguping dari balik pintu.
Ia tidak tau bahwa bocah Korea pendiam yang akrab disapa Seven bisa begitu akrab dengan adiknya.
"Kenapa ya? Habisnya...
Tomioka-san benar-benar mengganggumu. Benar, kan?"
"Huh?"
Zhan semakin memfokuskan pendengarannya.
Sementara di dalam kamar :
Gakushuu membalik kursinya, menatap Seven tepat di maniknya.
"Anak itu tidak menggangguku, Asano-kun. Suara di kepalaku jauh lebih mengganggu."
Bocah dengan kecerdasan tertinggi di antara ketujuh sahabat itu mengangguk. Ia mengerucutkan bibirnya, berpikir sejenak.
"Gitu ya,"
Pemuda bersurai senada di hadapannya mengangguk- diam-diam juga meneguk ludah. Asano Gakushuu kembali memutar kursinya 30 derajat, tampak jelas jika menyungging senyum tipis.
"Terus,
Kamu mau ikutan sama siapa?"
"Huh?"
Anak 8 tahun empu kamar itu terkekeh kecil.
"Kamu mau main sama siapa?
Park,
Atau temanmu yang ramah di kandang sana?"
Seven tak menjawab. Ia hanya diam dan menunduk, menghindari manik violet Gakushuu yang menatapnya tajam, berusaha mempengaruhinya perlahan tapi pasti.
[Dulu, Seven adalah anak yang pendiam.]
"Ah,"
Bocah berkacamata melirik kawannya yang duduk di kursi. Atensi Asano tak lagi berpusat padanya,
Melainkan pada pintu.
Seven melirik celah bawah pintu. Seseorang berdiri di depannya, pantas Gakushuu terganggu.
"Asano,"
Figur berotak cerdas itu tak menggubris. Ia justru berdiri dan melangkah pelan, berusaha tak menimbulkan suara sekecil apapun.
Dia... Bisa membalas orang ini saat rumahnya kosong, bukan?
CKLEK!
"Whoa!"
Gakushuu tersenyum di ambang pintu. Ia menatap kakak angkatnya, bergantian dengan piring di depan pintunya.
Baik, sayang lancang.
"Itu makanmu, ibu membuatnya untukmu."
Zhan terkekeh canggung. Gakushuu hanya diam, menatapnya tepat di manik dengan senyum tipis.
"Aku akan pergi."
Zhan beranjak dari sana, segera berhenti setelah suara adiknya kembali terdengar.
"Ya?"
"Kakak pilih yang mana?"
Zhan hanya gelagapan, setelah itu pergi tanpa merasa perlu menjawab pertanyaan adiknya.
Gakushuu hanya tersenyum tipis, setelah itu kembali beralih pada bocah di kamarnya.
"Atau kamu pilih bermain dengan dirimu sendiri?"
[Dulu, Asano Gakushuu adalah anak yang senang bercanda.]
"Aku pulang."
Tak ada sambutan untuk Seven. Tak masalah, ia memang mengucapkannya sangat pelan. Yang bisa ia lakukan hanya melangkah ke kamarnya, dan menutup pin-
'Tak ada yang menyambutmu. Kau tidak berharga, Choi Saeyoung.'
Langkah kakinya terhenti. Bocah itu sedikit memiringkan kepala, matanya terpejam. Ia hanya berusaha fokus.
'Kau anak yang buruk, mengapa pula kau hidup? Menyusahkan saja.'
Seven menghela napas.
'Apa yang kau harapkan, Young? Apa ibu pernah menyambut kepulanganmu? Tidakkah ia hanya mengeluhkan segalanya tentangmu?'
Bocah bernama asli Choi Saeyoung itu mencoba tak peduli. Ia hanya melangkah ke kamarnya.
'Kapan terakhir kau mendengar suara ibumu? Apa ayahmu pernah kembali sejak kau menanyakan isi pesan di ponselnya?'
"Diamlah-"
'Mengapa kau tidak mengkhawatirkan mereka? Dan mengapa mereka tak mengkhawatirkanmu? Ah, ya, apa ibumu masih terbaring di kamar? Sejak kau menusuk perutnya dengan-'
"DIAMLAH! DIAM! DIAM! DIAM!"
Seven menjambak rambutnya kuat. Napasnya tersenggal, tubuhnya yang semula duduk di ujung kasur langsung merosot ke lantai. Ia mengadukan kepalanya dengan keramik dingin di kamarnya, sambil terus menggumam kata 'diam'.
Dan di luar, seorang anak memperhatikannya. Tersenyum lebar tiap mendengar gaduhnya keramik dan tulang tengkorak yang beradu.
Bunyinya memang sekeras itu.
"Loh, Akabane, kamu nggak pulang?"
"Oh, Kak Park. Nanti aja deh pulangnya,
Aku hanya sedang menguping pembicaraan Seven. Ini sangat menyenangkan."
[Dulu, Akabane Karma adalah anak yang menyebalkan.]
"Ngomong-ngomong, kucing itu dah mati?"
"Enggak, mau aku rawat di rumah, kasian. Aku duluan."
Park Jisung pergi, meninggalkan Karma yang masih asik memandangi rumah suram itu.
Sebuah bola salju menghantam punggung Park. Merasa terganggu, ia berbalik. Itu Akashi Seijuro, bocah dengan cengiran lebarnya.
"Kak Park lagi apa?"
Jisung menggeleng, masih tersenyum seperti biasa, "Kamu sendiri ngapain disini?"
"Pengin main!"
Tangan yang lebih dewasa langsung ditenggelamkan dalam salju. Ia masih punya hati untuk tak mencemari otak Akashi (konglomerat) Seijuro.
"Kamu main sama Akabane aja, oke? Kakak lagi sibuk."
"Eh? Kak Akabane masih di luar?"
Jisung mengangguk.
"Yaudah deh, aku main sama kak Akabane aja!"
Seijuro berlari pergi, sementara Jisung melanjutkan kegiatannya pada 15 menit berikutnya.
'Mia-'
"SSSST!"
"Pus masih hidup? Pus mau coba saljunya Sei nggak?"
Ujar bocah Akashi ketika tengah menjejalkan sekepal salju ke mulut kucing yang sekarat setelah dikubur ke dalam salju selama 1 menit.
"Loh, kok mulutnya sobek gini sih?"
[Dulu, Akashi Seijuro adalah anak yang jahil.]
20 tahun kemudian :
Ketujuh anak yang selalu bersama di masa lalu kini telah berpisah. Mereka menjalani hidupnya masing-masing, tak terkecuali Karma Akabane.
Seorang pengangguran yang terlalu frustasi mencari kerja.
Pria 27 tahun itu mendengus. Sudah berapa interview yang ia jalani, tapi tak satupun yang diterima.
Satu pesan masuk ke emailnya. Dengan semangat ia membuka pesan itu.
Ditolak, lagi.
"Aku bisa mati kelaparan kalau begini caranya!"
Tapi, ada 1 pesan lagi.
'Anda butuh pekerjaan?'
Dengan semangat Karma membalasnya. Responnya cepat, tapi membuatnya mengernyit kemudian.
'Kalian masih sama.'
***
P.S = Ini trailer. Akunku ada yang baru lagi (hehe).
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro