Cerita #9
Jakarta, 19:15 WIB
Langit sudah gelap ketika aku melangkahkan kaki keluar gedung. Udara malam yang lembap sehabis hujan, menemani perjalanan pulangku hari ini.
"Baru pulang, Mbak?" sapa Pak Roni, satpam gedung yang sedang menggenggam plastik es teh di tangan kirinya. Dia sepertinya baru saja selesai makan di warteg seberang jalan. Laki-laki yang menginjak usia lima puluhan itu selalu membungkus es teh setiap habis makan untuk menemaninya menonton TV di pos jaga.
"Iya nih, Pak. Duluan ya, Pak."
Pak Roni melambaikan tangannya yang bebas, lalu memasuki pos jaga, bersiap untuk melaksanakan shift malam. Aku kembali kepada kesendirianku menapaki jalan pulang yang begitu membosankan.
Seharusnya aku pulang jam lima sore tadi. Tapi karena tiba-tiba Bu Sonya, manajerku, menyuruh menyusun ulang rekap data bulan lalu, aku terpaksa kerja lembur sampai jam tujuh. Entah sudah berapa kali aku lembur minggu ini. Meskipun ketika tanda tangan kontrak sudah ada ketentuan bahwa aku harus siap lembur, tapi tetap saja aku merasa lelah. Beban kerjaku semakin bertambah banyak, sementara gajiku tak pernah cukup untuk membiayai hidupku tinggal di ibu kota. Padahal aku hidup sendiri di sini. Aku tidak bisa membayangkan kalau Mila jadi ikut denganku untuk mencari peruntungan di ibu kota, di saat dia belum diterima di perusahaan manapun. Aku bisa stres berat kalau harus menanggung pengangguran seperti dia dengan gajiku yang pas-pasan.
Bangunan indekosku tinggal satu gang lagi, tapi aku memutuskan untuk mampir ke minimarket untuk membeli koyo. Plester pereda nyeri itu selalu menjadi teman setiaku setiap kali lembur. Tentu saja aku hanya bisa mengandalkan koyo, karena aku tidak mampu pergi ke tempat pijat. Sementara pemikiran memanggil tukang pijat untuk datang ke kos terlalu menakutkan untukku. Aku tidak pernah suka ada orang asing yang mengunjungi tempat tinggalku.
Aroma khas minimarket dan dinginnya penyejuk ruangan adalah definisi surgaku. Berada di tempat dengan penerangan yang luar biasa terang ini bisa menjadi pereda penatku setelah bekerja seharian. Mungkin ini terlihat aneh, tapi aku memang suka memasuki minimarket ini untuk sekadar melihat-lihat barang setiap pulang kerja. Jika ada uang, aku akan membeli produk skincare favoritku. Kalau sedang bokek, aku hanya akan beli minuman kaleng dan satu bungkus makanan ringan. Bagiku, selalu ada cara sederhana untuk bahagia.
"Tambahnya apa lagi, Mbak?" tanya penjaga kasir dengan lipstick yang terlalu merah untuk wajahnya yang masih terlihat sangat muda sambil mulai men-scan barcode koyoku.
"Nggak ada, Mbak. Itu aja."
"Nggak sekalian beli minyak gorengnya, Mbak? Lagi ada promo beli satu gratis satu," tawar sang penjaga kasir dengan sikap ramah yang tampak seperti telah terprogram sesuai Standar Operasional Prosedur perusahaan. Aku yakin dia pasti telah memberikan pertanyaan yang sama persis kepada pembeli lain. Meskipun aku tergoda dengan promo itu, dengan terpaksa aku harus menolaknya. Lagipula persediaan minyak gorengku masih banyak.
"Eh, Mbak. Nggak usah pakai kantong plastik!" seruku ketika sang penjaga kasir sedang dalam proses mengambil kantong plastik dari bawah meja kasir.
Dia lalu menyerahkan koyo beserta struk belanja dengan sopan sambil tersenyum ramah. Sebuah ucapan terima kasih mengiringi langkahku keluar minimarket, kembali berjalan menembus gelapnya malam menuju ke kenyataan yang tak ingin aku sambut.
Kalau orang lain menjadikan rumah sebagai tempat ternyaman setelah beraktivitas seharian, bagiku kamar kos atau rumah sementaraku di perantauan ini adalah sebagai tempat yang membosankan. Tidak banyak yang bisa aku lakukan di kamar yang hanya terdiri dari tempat tidur ukuran single, lemari pakaian, meja kecil yang multi fungsi, dan sebuah televisi kecil.
Mungkin karena aku bukan orang yang kreatif. Atau mungkin saja karena aku sudah terlalu lelah bekerja seharian. Hingga satu-satunya hal yang bisa aku lakukan setiap malam adalah berbaring di tempat tidur dengan televisi menyala yang tidak sepenuhnya aku tonton.
Malam ini pun aku melakukan rutinitas yang sama. Setelah mandi dengan air hangat dan menempel koyo di sekitar pinggang, aku berbaring sambil mendengarkan suara televisi yang sedang menayangkan sebuah program komedi dalam format wayang orang. Ketika para pemain melontarkan candaan yang membuat seisi studio tergelak, aku tak terhibur sama sekali. Isi kepalaku sibuk memikirkan rencana yang ingin aku lakukan besok.
Suara seseorang yang memanggil namaku dari luar kamar kos mengejutkanku dari lamunan. Aku nyaris lupa bahwa tadi aku memesan makanan melalui aplikasi. Setelah mengambil sejumlah uang dari dalam dompet, aku bergegas keluar untuk mengambil pesanan makan malamku.
"Atas nama Kak Vernanda?" tanya pria paruh baya berjaket hijau saat melihatku keluar kos.
"Iya, betul, Pak. Makasih ya," aku menerima bungkusan makananku dari Bapak tersebut--yang dari profil di aplikasi aku ketahui bernama Mustofa, lalu menyerahkan selembar uang lima puluh ribuan.
"Kembalinya sepuluh ribu ya, Kak. Sebentar saya--"
"Eh, kembalinya buat Bapak saja. Buat beliin jajan anak Bapak," potongku sebelum Pak Mustofa mengeluarkan uang dari dalam tas selempangnya.
"Wah. Terima kasih banyak, Kak! Semoga rejekinya lancar ya, Kak," sahut Pak Mustofa, eskpresi terharu terlihat begitu kentara di wajahnya. Aku merasakan gejolak perasaan aneh di dalam dada. Bapak ojol ini mengingatkanku dengan Papa di rumah. Papaku juga mencari nafkah melalui ojol setelah mengalami PHK dua tahun lalu.
Pak Mustofa tak henti-hentinya berterimakasih bahkan saat ia menghidupkan mesin sepeda motornya. Aku jadi kewalahan sendiri menanggapinya. Hanya bisa tersenyum dan melepasnya pergi dengan perasaan gamang. Mungkin Pak Mustofa hanyalah salah satu dari begitu banyak orang di luar sana yang bekerja keras demi rupiah yang jumlahnya tak seberapa. Setidaknya nasibku lebih baik.
Kali ini, sembari menyantap makan malam, aku menonton televisi meskipun perhatianku tak sepenuhnya pada acara yang aku tonton. Di sebelah televisi, ada setumpuk amplop berisi surat pengunduran diri yang tak pernah sempat aku serahkan ke Bu Sonya. Berulang kali aku terpikir untuk resign, berulang kali pula niatku menguap setelah memikirkan resiko ketidakstabilan finansial yang mengancamku kalau aku menganggur.
Aku bahkan masih belum mendapatkan alasan yang masuk akal untuk resign. Selain karena aku telah jenuh dengan pekerjaanku saat ini. Aku juga tidak tahu rencanaku selanjutnya. Itulah mengapa aku tidak pernah merealisasikan keinginanku untuk resign.
Meskipun begitu, aku kembali menulis surat pengunduran diri setelah selesai makan. Aku berkata sejujur-jujurnya mengenai alasanku ingin resign, tanpa mempedulikan dampak yang mungkin saja menimpaku saat surat itu sampai ke tangan Bu Sonya.
Setelah semua urusan selesai, aku pergi tidur dengan perasaan tenang. Dan berharap hari esok akan menjadi hari yang lebih baik.
***
Hari berikutnya, lagi-lagi aku tak sempat menyerahkan surat pengunduran diri yang telah aku buat semalam. Jangankan menemui Bu Sonya, untuk makan siang saja tidak sempat. Mungkin karena aku mengerjakan dalam keadaan yang sudah lelah, pekerjaanku kemarin masih banyak kesalahan, dan aku harus merevisinya. Untung saja aku menyadarinya sebelum Bu Sonya mendatangi mejaku untuk mengecek pekerjaanku. Untungnya lagi, aku baru tahu saat akan mengumpulkan pekerjaanku ke mejanya, kalau ternyata Bu Sonya sedang dinas di luar kota.
Suasana hatiku sedang dalam keadaan baik karena hari ini aku bisa pulang tepat waktu. Aku berencana untuk mampir membeli ramen untuk makan malam. Tapi ketika sampai di depan kedai ramen, aku justru bertemu Pak Mustofa, pengemudi ojol yang kemarin mengantarkan pesanan makananku.
Hatiku mencelos saat mendapati wajah murungnya. Dia duduk di pembatas jalan berbahan semen. Berulang kali dia memijit pelipisnya. Sepertinya dia sedang ada dalam masalah.
"Selamat sore, Pak Mustofa?" sapaku setelah sampai di dekatnya. Pria baruh baya itu mendongak, lalu menatapku penasaran.
"Saya Vernanda, Pak. Yang kemarin makanannya diantar sama bapak," lanjutku mengingatkan, karena sepertinya Pak Mustofa kesulitan mengenali wajahku.
"Oh, Kak Vernanda yang ngasih saya tip sepuluh ribu! Iya Kak, selamat sore. Baru pulang kerja?" balasnya mencoba bersikap ramah, meskipun begitu aku masih bisa melihat raut kesedihan yang tercetak jelas di wajahnya yang mulai keriput. Hatiku bagaikan teriris. Apakah sopan jika aku bertanya apa yang mengganggu hatinya?
"Iya, Pak. Hehehe Lagi nunggu orderan ya, Pak?" tanyaku basa-basi.
Raut wajah Pak Mustofa makin murung. Dia menunduk sambil menghela napas panjang, "Maunya sih begitu, Kak. Tapi saya barusan kena suspend."
"Loh kok bisa, Pak?"
Dari beberapa thread yang sering aku baca di Twitter, seorang supir ojol memang rentan terkena suspend jika mendapatkan rating buruk dari konsumen. Rupanya ini yang membuat Pak Mustofa murung sendirian di tepi jalan. Aku lalu duduk di sebelahnya untuk mendengarkan ceritanya.
"Iya, Kak. Kemarin saya nganter penumpang ke stasiun, karena jalanan macet banget saya terpaksa ngambil jalan memutar yang lumayan jauh. Akibatnya si penumpang ketinggalan kereta. Padahal saya udah bilang sejak awal, kalau kondisi jalanan lagi macet. Kalau mau sih saya tolak saja orderannya. Tapi dia bilang nggak apa-apa. Yaudah saya turutin, tapi pas sampai stasiun dan dianya ketinggalan kereta, malah saya yang disalahin. Akhirnya dia ngasih rating satu ke saya. Hari ini saya langsung di-suspend ...." Pak Mustofa terdengar putus asa melalui penuturannya.
"Tapi nanti bisa balik lagi kan akunnya Bapak?"
Pak Mustofa mengangguk, dia kembali menghela napas, "Mungkin satu atau dua hari lagi saya baru bisa kerja lagi. Cuma kalau kayak gini saya yang rugi, Kak. Saya sudah terlanjur janji mau beliin anak saya ramen. Kalau nggak bisa ngojek, mau dapat uang dari mana?"
Aku tersenyum sambil bergantian memandang Pak Mustofa dan resto ramen di belakang kami. Kebetulan sekali aku juga akan membeli ramen. Tidak ada salahnya untuk berbagi dengan Pak Mustofa dan juga anaknya.
"Pak, saya kebetulan juga mau makan ramen buat makan malam. Makan sama saya, yuk? Saya yang traktir! Sekalian nanti bungkus juga buat anak istri di rumah, ya?"
Pak Mustofa membelalakkan matanya tak percaya. Mungkin dia ingin menerima tawaranku tapi merasa tidak enak hati. Aku meyakinkannya bahwa tidak apa-apa untuk menerima tawaranku.
"Papa saya juga supir ojol, Pak. Saya ngerti banget perasaan bapak karena papa saya juga pernah kena suspend dan nggak bisa bawa uang pas pulang. Lagian sebenarnya, saya kurang percaya diri kalau makan di restoran bagus sendirian hehehe"
Sebuah senyum terbit di wajah Pak Mustofa. Melihatnya tersenyum membuat hatiku terasa hangat. Ini adalah pertama kalinya aku mengajak orang asing makan bersamaku. Alih-alih risih, aku justru merasa bahagia karena telah membuat pria paruh baya di sampingku ini bahagia di saat tersedih dalam hidupnya.
"Kak Vernanda baik banget. Kalau gitu saya lepas jaket dulu ya, Mbak. Kebetulan saya juga belum makan sedari siang."
Aku mengangguk antusias. Setelah Pak Mustofa menyimpan jaketnya di motor, kami berdua melangkah memasuki resto ramen yang penuh dengan karyawan yang baru pulang kerja sepertiku.
Pada akhirnya, aku bisa mengobrol akrab dengan Pak Mustofa yang ternyata hanya terpaut satu tahun lebih tua dengan Papaku. Aku merasa bahagia sekaligus terharu. Meskipun obrolan kami hanya seputar pekerjaan sehari-hari dan tujuan hidup masing-masing--Pak Mustofa ingin naik haji suatu hari nanti, tapi berkat keramahan dan ketulusan Pak Mustofa dalam menasihatiku layaknya aku anaknya sendiri, membuatku termotivasi untuk tetap semangat bekerja.
Bahwa rasa jenuh itu adalah fase yang wajar dialami setiap manusia. Alih-alih menyerah dengan keadaan, aku harus bertahan karena ada satu tujuan yang harus aku raih.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro