Cerita #8
Tentang seseorang yang akan menginjak usia 25 tahun di tengah pandemi.
Hari senin kelabu, segalanya berjalan begitu cepat tapi sekaligus begitu lambat. Tidak seperti biasanya aku terbangun di tengah-tengah mimpi malamku, lalu menyadari bahwa jam dua dini hari ternyata sesunyi itu. Semua orang terlelap. Dunia bungkam oleh pekatnya malam. Tapi pikiranku riuh oleh kekhawatiran yang tak pernah ada habisnya. Untuk ke sekian kalinya aku harus mengakui bahwa aku takut. Aku kesepian. Aku mencoba tidur lagi tapi tak bisa. Tapi pada akhirnya aku tertidur setelah dininabobokan lagu-lagu yang selalu aku dengarkan dikala tak sanggup lagi berkawan dengan berisiknya isi kepala yang nyaris membuatku gila.
Aku terbangun lagi oleh suara perkakas dapur yang digunakan Ibu. Aku menengok langit lewat jendela kamarku yang kacanya tak pernah aku lap. Matahari tampaknya malas untuk menebarkan kehangatan. Langit tampak berwarna oranye sendu. Sempat aku terpikir bahwa aku sedang berhalusinasi. Aku benar-benar berharap aku sedang berhalusinasi.
Senin datang lagi. Aku menghela napas bahkan ketika nyawaku belum sepenuhnya terkumpul. Hari ini tidak ada bedanya dengan hari lain. Tidak ada yang istimewa. Tidak ada yang menantiku atau yang aku nantikan. Tapi meski begitu aku mengganti menu sarapanku. Segelas susu hangat yang membuatku mual. Dan berita di televisi tetap menyiarkan kisah yang sama. Menjemukan. Membosankan. Membuatku sesak.
Tidak ada hal yang bisa aku lakukan, selain membuat Ibuku marah-marah dan membuatku merasa tidak berguna. Aku membaca buku seharian untuk mengalihkan perhatian. Lalu bercengkerama dengan teman-temanku di dunia maya agar aku tidak kesepian. Tapi ketika hujan datang, melankoli itu kembali menyerang.
Aku kembali meratapi kesepian itu. Aku menyesali keputusan yang sempat membuatku bangga setahun lalu. Aku rindu hidup normal tanpa harus mencari pengakuan.
Berulang kali aku mencatat di dalam benakku yang mulai lelah oleh angan-angan, bahwa aku tidak akan merayakan pergantian usia bulan depan. Aku berharap aku melupakan hari itu. Tapi di saat yang sama aku juga ingin memberikan sedikit makna pada hari di mana aku seharusnya merasa bahagia. Tapi, pantaskah aku bahagia ketika dunia sedang berduka?
Seharusnya tahun ini menjadi tahun yang berharga untukku. Seharusnya impianku untuk memiliki pacar atau bahkan menikah sudah tercapai. Atau setidaknya aku sedang dalam perjalanan mewujudkan impian itu. Seharusnya aku bisa seperti teman-teman seusiaku yang lain, yang tetap bisa menghasilkan uang meski harus bekerja dari rumah. Seharusnya aku bisa seperti mereka yang selalu penuh cinta dan dicintai banyak orang. Mereka yang aplikasi bertukar pesannya selalu penuh dengan pesan penuh canda dan juga perhatian dari orang tersayang. Mereka yang selalu mendapat dukungan di setiap postingan di media sosial mereka.
Seharusnya.... adalah kata yang selalu membuatku terjebak dalam angan-angan semu. Sesuatu yang bertentangan dengan kenyataan.
Bahkan ketika aku pikir aku sudah cukup dewasa, aku merasa tidak tahu dan tidak bisa apa-apa. Aku tidak bisa mengendalikan hidupku sendiri, meski pada awalnya aku punya rencana untuk membuat segalanya sempurna.
Ketika usia 25 tahun itu membayangi setiap detik dan helaan napasku. Aku harus menelan pil pahit bernama kenyataan. Kenyataan bahwa hidupku stagnan, bahwa aku bahkan tidak punya tabungan untuk masa depan, bahwa aku hanya menyia-nyiakan waktuku untuk berkhayal, bahwa aku masih terjebak dalam pemikiran bahwa tidak ada seorang laki-laki pun yang berniat mendekatiku untuk dijadikannya kekasih. Aku mengasihani diriku sendiri setiap saat setiap waktu.
Ketika hujan datang di hari Senin kelabu ini, aku kembali terpikir untuk menyerah. Aku ingin berhenti mengejar segala sesuatu yang terasa sulit untuk aku gapai. Aku lelah jika harus terus mengharapkan sesuatu yang mungkin tidak akan menjadi nyata. Aku tidak lagi percaya bahwa bersikap positif adalah jalan keluar terbaik.
Aku hanya harus menerima semua ini. Dan justru ketika keinginan untuk menyerah itu kembali datang, satu perasaan lain juga turut menyertai: keinginan untuk tetap berjuang.
Ketika membuka Twitter aku menemukan sebuah kalimat yang cukup menohokku hingga aku terpikir menuliskan ini. Suga BTS mengucapkan kalimat ini dalam sebuah pesan video untuk ARMY (fans BTS): "anyone lives the 24 hours but not everyone has the same day, right? i believe that if there's a happy day, there's also a sad day. isn't that why this thing called life is quite interesting/fun? so no matter what kind of day you've lived, i think it's natural that there will be a better day that will come (diterjemahkan bahasa Inggris oleh u4eakooks_net)".
"Setiap orang menjalani harinya selama 24 jam tapi tidak semua orang mempunyai hari yang sama, bukan? Aku percaya bahwa jika ada hari baik, akan ada juga hari yang sedih. Bukankah itu mengapa hal yang disebut kehidupan itu cukup menarik? Jadi apapun jenis hari yang kau jalani, aku pikir normal rasanya jika akan ada hari baik yang akan datang."
Jadi, begitulah. Aku kembali mendapat pengharapan bahwa mungkin ini hanyalah hari sedihku. Dan bahwa hari baik akan datang lagi di lain waktu.
Semoga.
Ketika hujan datang, di depan jendela, 17:50 WIB
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro