I miss you, I remembered, we've always been together
(Younha - See You)
Matahari belum lama menghilang di balik cakrawala namun hujan sudah turun dengan membabi buta. Aku terpaksa menunggu hujan reda di lobi perpustakaan. Tidak membawa payung di musim hujan begini adalah sebuah kebodohan.
Aku mengecek ponsel, siapa tahu ada pesan masuk yang belum aku baca. Tapi sia-sia saja. Tak peduli sudah berapa kali aku mengeceknya, tidak ada satupun notifikasi yang masuk. Helaan napas berat keluar begitu saja. Aku benci hujan. Meski dulu aku dengan bangga memproklamirkan diri sebagai pluviophile. Tapi kini aku tidak layak menyandang status itu. Aku tak lagi menyukai hujan dan aroma yang timbul setelahnya.
Aku sedang mengecek jadwalku untuk besok di kalender ponsel, saat aku merasakan sofa di sebelahku diduduki seseorang. Aku mencoba mengacuhkannya, namun ketika orang itu memanggil namaku, sontak aku mendongakkan kepala. Yanuar?
"Lagi ngapain di sini?" tanyanya basa-basi. Rasanya seperti baru kemarin aku berjumpa dengannya di hari kelulusan. Seharusnya segala perasaanku padanya selesai di hari itu juga. Tapi, hatiku mengkhianatiku. Buktinya ia berdebar kencang saat mataku kembali melihat parasnya. Yang tak begitu rupawan namun selalu membuatku terpesona setiap kali dia tersenyum.
"Eh, habis nugas tadi. Ini mau pulang malah hujan."
Dia menimpali dengan jawaban yang kurang lebih sama. Kenyataan bahwa kami sekarang kuliah di kampus yang sama masih tidak bisa aku percaya. Entah bagaimana aku harus menyikapinya. Bersyukur akan membuatku tampak seperti belum bisa melupakannya. Tapi aku tidak membencinya hingga harus menghindarinya jika kebetulan seperti ini terjadi. Aku cukup lega karena setidaknya kami beda fakultas.
Yanuar bercerita tentang salah satu dosennya yang gila-gilaan ketika memberikan tugas. Aku pun mempunyai dosen yang menyebalkan seperti itu. Kami terlibat pembicaraan seru tentang pengalaman kami menjalani orientasi mahasiswa baru empat bulan lalu. Hingga tanpa sadar dia menggiringku ke topik yang tidak ingin aku bahas.
"Eh, kamu di FISIP, kan? Makanan di kantinnya katanya enak-enak?"
"Ah, maksud kamu foodcourt FISIP? Ya, lumayan sih. Tapi aku jarang makan di sana. Lebih sering nyari makan di luar kampus."
Yanuar menggeleng-gelengkan kepala dan mengatakan aku sudah menyia-nyiakan mutiara berharga di kampusku sendiri. Mau bagaimana lagi? Seenak apapun makanannya, aku tidak terlalu suka dengan situasi di kantin kampusku sendiri.
"Ya kalau kamu mau makan di FISIP silakan. Nggak ada larangan mahasiswa kampus lain makan di situ kok hahaha"
"Ogah, ah. Banyak mantanku di sana."
Seketika aku membulatkan kedua mataku. Sejak kapan Yanuar punya banyak mantan? Dan mereka kuliah di FISIP? Tidak mungkin kan dia....?
"Mantan? Siapa? Aku tahu semua mantanmu dan kayaknya mereka nggak kuliah di FISIP deh, Yan. Nggak usah bercanda kamu."
"Kamu," jawabnya dengan singkat, padat, dan jelas hingga membuatku tersedak ludahku sendiri.
"Memangnya kita pernah pacaran?" tanyaku sarkas. Sial. Hanya dengan satu kata, Yanuar sudah sukses melemparku ke memori masa lalu yang nyaris aku lupakan. Andai saja aku tidak bertemu dengannya hari ini. Andai saja dia tidak harus membahas hal ini secara tiba-tiba.
"Oh, waktu itu nggak jadi sih ya hahaha," balasnya. Dia tertawa seolah dia tidak pernah membuatku galau berbulan-bulan. Hari saat dia berjanji akan menyatakan perasaannya dan meresmikan hubungan kami, tidak pernah menjadi kenyataan. Dia justru tiba-tiba menghilang dari kehidupanku. Aku kelimpungan mencarinya dan tidak bisa menghubunginya karena dia memblokir semua akses komunikasi. Kami baru kembali berbaikan beberapa bulan setelahnya, menjelang ujian nasional, dan memulai segalanya dari awal seolah kejadian itu tidak pernah ada.
Lalu sekarang, tiba-tiba dia membahasnya setelah perasaan kecewa dan marahku padanya lenyap. Maka aku pun ikut menertawakan kisah sedih itu. "Kamu sih, bisanya cuma ngasih harapan palsu."
Namun aku terkejut ketika nadanya berubah serius.
"Waktu itu, aku dilarang kakakku. Jadi aku terpaksa mengarang alasan, karena aku bener-bener nggak boleh pergi, buat ketemu kamu."
Apa-apaan ini? Apakah ini alasan yang sebenarnya? Dia tidak sedang bercanda denganku, kan? Tapi nada bicaranya terlalu serius untuk disebut candaan.
Aku kembali tertawa untuk menutupi perasaanku yang sesungguhnya. Aku bahkan tidak tahu jenis perasaan macam apa ini. Lega, terkejut, menyesal. Semuanya saling berlomba menguasai hati dan pikiranku. Hingga aku tidak tahu lagi harus merespon apa.
"Andaikan kita sama, ya?" Tanpa sadar kalimat itu keluar dari mulutku, yang memilih untuk memberontak dan membuatku menyesal telah mengucapkannya. Namun Yanuar masih menunjukkan tampang seriusnya.
"Ya kamu aja yang nyamain," jawabnya. Nada bicaranya tak seserius tadi. Namun aku bisa menangkap ada sedikit penyesalan di sana.
"Nggak mau," balasku, berbarengan dengan tawa yang kembali mengambil peran untuk menutupi rasa perih yang mulai menjalar.
"Ya udah. Kamu juga pasti tahu kan, jawabanku apa?"
Hujan sudah mulai reda. Yanuar menepuk pundakku pelan lalu pamit pergi duluan karena pacarnya sudah menunggu di tempat kursus. Aku melihatnya pergi dengan senyum terkembang. Merasa jauh lebih lega setelah beberapa tahun ini memendam rasa penasaran.
Tanpa aku minta, Yanuar memberiku penjelasan. Alasan itu datang tepat ketika hatiku tak lagi mengharapkannya. Sungguh timing yang sempurna.
Terkadang ada hal yang tidak akan mungkin terjadi seberapa keras kau berusaha. Dan dia adalah salah satu dari hal itu. Ketidakmungkinan yang tidak akan pernah menjadi nyata.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro