Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Cerita #5

Deretan toko dengan beragam etalase cantik menyambutku begitu aku keluar dari toko buku. Beberapa orang terlihat memandangi etalase toko dari luar, mungkin mereka sedang mempertimbangkan niat belanjanya melalui pengaturan etalase yang sengaja dipertontonkan untuk menarik pembeli. Lebih banyak orang berjalan dari dan menuju berbagai arah, memuaskan hasrat hedon mereka dalam ruang terbatas dengan pilihan yang terbatas pula. Well, tak bisa dipungkiri bahwa aku juga menjadi bagian dari budaya hedon itu. Datang ke mall hanya demi membeli satu eksemplar buku, selebihnya aku akan membelanjakan uangku untuk hal tak berguna yang menarik minatku yang sebenarnya tak begitu aku butuhkan.

Kali ini pun, seperti yang biasanya aku lakukan, aku tergiur untuk berkeliling mall padahal tujuan utamaku sudah terlaksana. Entah barang apa lagi yang akan aku beli berdasarkan tawaran diskon atau semata karena tampilannya yang unik.

Saat aku sedang berjalan menuju eskalator, mataku menangkap sebuah toko kue ulang tahun. Pada saat yang bersamaan, langkahku terhenti tidak jauh dari lokasi toko itu berada. Aku terpaku menatap berbagai macam kue ulang tahun yang dipajang di sana. Dalam sekejap saja, otakku memaksaku mengingat memori yang sudah susah payah aku lupakan selama ini. Aku menggigiti bibir bawahku ketika memori itu terpancur deras bagaikan air dari selang yang bocor.


Desember, 2014

Deretan kue ulang tahun dengan beragam bentuk dan warna terpampang cantik di dalam etalase toko. Aku mengamati mereka satu per satu, mencoba menentukan mana yang sekiranya akan disukai Yosua. Setelah bergeming cukup lama--si penjaga toko sudah menatapku jengah, kode untuk mengusirku karena hanya menatap dagangannya dari luar tanpa ada niat untuk beli---aku memasuki toko yang didominasi warna pink itu. Sinar lampu neon dengan warna senada membuat mataku sakit. Aku harus segera menentukan pilihanku dan pergi dari sini.

"Selamat datang, Kak. Ada yang bisa saya bantu?" Penjaga toko yang aku perkirakan berusia 20-an tahun itu kini menyambutku ramah. Tatapan jengah telah berganti dengan tatapan hangat dan senyum ramah. Meskipun aku tahu itu hanya topeng untuk membuat pelanggan merasa disambut, aku tetap mengembalikan senyumnya.

Aku menunjuk sebuah kue bertingkat dua dengan warna dark chocolate dan permen cokelat yang ditancapkan di sekeliling tingkat atasnya sebagai topping. Jika saja kue itu dihadiahkan untukku, aku akan bergidik ngeri membayangkan berapa banyak kalori dan lemak yang terkandung di dalamnya. Tapi aku yakin Yosua akan dengan senang hati menghabiskannya dalam sekali santap.

"Tolong bungkus yang itu ya, Mbak," pesanku kepada wanita muda penjaga toko itu. Aku mengintip sekilas tanda pengenal di dada kanannya. Namanya Daisy. Nama yang terlalu cantik untuk perangainya yang judes.

"Buat hadiah ya, Kak? Saya bisa menuliskan pesan di atas kuenya, jika kakak berkenan?" Daisy berjalan menuju tempat kue cokelat itu dipajang. Mengeluarkannya dari etalase lalu meletakkannya di atas meja konter.

"Boleh, deh. Tolong tulis 'Happy Birthday Yosua' ya."

Daisy langsung mengerjakan tugasnya dengan cekatan. Sementara ia menulis pesan di atas kue pesananku, aku berkeliling di dalam toko untuk melihat-lihat kue yang lain. Beberapa macaroon menarik perhatianku. Mungkin aku perlu membeli beberapa buah untuk aku makan bersama Yosua nanti.

Pada akhirnya aku membawa pulang kue cokelat dengan tulisan 'Happy Birthday Yosua'--ditulis dengan cokelat putih dan tulisannya sangat rapi, dan delapan buah kue macaroon dengan beragam warna. Langit telah mendung saat aku keluar toko. Aku bergegas memasuki mobil agar bisa segera sampai di rumah Yosua sebelum hujan datang mendera.

***

Gerimis jatuh perlahan dari langit. Mobilku telah terparkir tak jauh dari rumah Yosua, tapi ada satu hal yang menahan langkahku untuk keluar dan mengetuk pintu kayu berwarna hijau itu. Sebuah Honda Jazz keluaran tahun 2010 berwarna putih telah mendahuluiku. Lebih tepatnya sang pemilik, pacar sekaligus tunangan Yosua, yang lebih berhak merayakan hari spesial laki-laki itu dibandingkan diriku, sahabat yang diam-diam mencintainya sejak 5 tahun yang lalu.

Aku melirik fotoku dan Yosua yang aku pajang di dashboard mobil. Memang seharusnya aku tidak memajang foto itu, kalau tidak mau menimbulkan kontroversi. Apalagi kalau Rahayu sampai tahu. Lagipula siapa sih yang rela foto pacarnya dipajang di dashboard mobil perempuan lain? Kalau aku jadi Rahayu, aku pasti akan mengamuk bahkan tidak segan melabrak perempuan sialan itu. Yang menjadikanku tanpa takut memajang foto Yosua di dashboard mobilku, adalah hanya aku yang menggunakan mobil ini. Tidak pernah ada seorangpun yang aku ijinkan menumpang mobilku. Bahkan Yosua sekalipun.

Foto itu kami ambil pasca kelulusan SMA. Dengan seragam penuh coretan spidol dan pilox, Yosua mengajakku berfoto bersama untuk mengabadikan momen itu. Siapa tahu kami tidak akan bisa kuliah di kampus yang sama. Siapa tahu di antara kami ada yang mati duluan. Sehingga ketika kami saling merindukan satu sama lain, kami bisa memandang foto itu dan mengenang betapa kami pernah begitu bahagia di masa putih abu-abu.

Kedua kemungkinan itu tidak ada yang menjadi kenyataan. Karena akhirnya kami kuliah di kampus yang sama, dan kami masih hidup sehat hingga sekarang. Tapi justru foto itu menjadi kutukan bagiku. Foto itu lah yang menjadi awal tumbuhnya rasa yang berbeda. Ketika Yosua merangkulku agar wajah kami dapat muat di kamera, saat itu lah hatiku bergetar untuk pertama kalinya. Aku tak lagi melihatnya sebagai sahabat baik semasa SMA, tapi seorang laki-laki yang ingin aku jadikan pacar.

Harapanku itu pun harus pupus, karena Yosua tidak pernah melihatku sebagai wanita. Semasa kuliah, dia selalu sibuk dengan kegiatan organisasinya. Dia hanya akan datang ketika butuh sandaran. Bodohnya, aku dengan tulus memberinya tumpuan untuk melegakan beban hidupnya. Aku, yang selalu mencintainya tanpa syarat, meski dia lebih sering menganggapku tidak ada.

Aku semakin tak terlihat di mata Yosua sejak kehadiran Rahayu. Mahasiswi jurusan Administrasi Negara angkatan setingkat di bawah kami. Hampir setiap hari dia akan sibuk menemani Rahayu ke manapun perempuan itu pergi. Aku yang sudah benar-benar dilupakannya, mencoba untuk hidup seperti biasa sembari berharap Yosua segera sadar akan siapa yang lebih dulu selalu ada untuknya.

Karena tidak ada alasan bagiku untuk menemuinya hari ini--toh, Yosua tidak akan mengharapkan kehadiranku, aku meninggalkan kue cokelat beserta macaroon di teras rumahnya. Tanpa kartu ucapan bahkan pesan yang menyatakan bahwa itu hadiah dariku. Biarlah dia menerka-nerka siapa pengirim kue misterius yang tiba-tiba menaruh benda itu di teras rumahnya di saat langit bulan Desember sedang mengamuk hebat.

Hujan deras mengiringi kepergianku, beserta senyuman kecut yang tercetak lesu di wajahku yang dipoles bedak tipis. Well, jika dibandingkan dengan Rahayu, aku memang tidak ada apa-apanya. Perempuan itu rajin merawat diri dan pintar merias wajah. Perangainya pun sopan dan murah senyum. Pantas saja Yosua kepincut setengah mati di pertemuan pertama mereka. Sialnya, aku lah yang menjadi saksi awal mula kisah cinta Yosua dan Rahayu, hingga kini mereka sudah hampir menikah.


"Indah?"

Sebuah suara mengembalikanku ke alam sadar. Aku melihat ke sekeliling, lalu menyadari bahwa sedari tadi aku masih berdiri terpaku di depan outlet kue ulang tahun. Sebuah outlet mungil di salah satu sudut mall dengan desain interior serba biru dan penjaga toko yang selalu sibuk melayani pembeli. Aku baru saja kembali dari ingatan masa laluku.

Namun, aku terpaksa kembali terlempar ke kenyataan ketika menyadari pemilik suara yang memanggilku tadi. Seorang pria muda berpenampilan casual sedang menggendong anak balitanya, sementara sang istri yang sedang dalam keadaan hamil cukup nyaman dengan hanya membawa tas selempang. Aku tertegun melihat pemandangan di depanku. Bertanya-tanya apakah ini nyata atau hanya imajinasi gilaku.

"Kamu bener Indah, kan? Indah Paramitha?" tanya pria itu lagi, memastikan.

"I-iya." Aku tergugu. Berulang kali aku membasahi tenggorokanku yang tiba-tiba kering.

"Aku Yosua, Ndah. Kamu, masih inget aku, kan?

Tentu saja aku ingat. Bagaimana bisa aku lupa dengan kedua alis tebal dan bibir tipis itu? Atau rambut ikal yang selalu pendek karena dipotong sebulan sekali? Atau senyum tersungging kecil di sudut bibir setiap kali menyadari ada sesuatu yang lucu?

Bagaimana bisa aku lupa ketika yang aku lakukan 5 tahun ke belakang hanyalah memandangi fotonya ketika hari kelulusan SMA? Foto yang sudah berpindah tempat ke samping tempat tidurku.

Alih-alih menjawab pertanyaannya, aku memaksakan senyum. Aku pandangi wajah Yosua dan Rahayu bergantian. Rahayu masih terlihat cantik meski sedang berbadan dua. Sedangkan Yosua tampak sedikit menua seiring pertambahan usia, tapi kilat semangatnya masih terpancar di kedua mata cokelatnya. Warna favoritnya.

"Long time no see! Rahayu, kamu makin cantik aja," pujiku tulus. Tak peduli betapa sakit hatiku ketika cintaku tak berbalas, aku tidak punya alasan untuk membenci perempuan manis ini.

"Baik-baik saja kok, Mbak Indah. Lagi nyari apa Mbak di sini?"

"Habis beli buku tadi. Wah udah lama nggak ketemu, udah mau nambah keluarga baru lagi aja, nih?" Aku kembali memaksakan senyum dan menatap kedua mata cokelat itu. Aura cinta memancar begitu kentara saat sang pemilik menatap mata istrinya.

"Puji Tuhan dikasih kepercayaan lagi buat ngasih adek ke Rama. Kamu ke mana aja selama ini, Indah? Kita terakhir ketemu pas wisudaan ya kalau nggak salah?"

Bukan. Di hari pernikahanmu. Tapi aku hanya melihat kalian berbahagia dari luar gereja, saat kalian baru saja selesai pemberkatan nikah.

"Ehm ... iya kali ya? Aku juga udah lupa. Aku nggak kemana-mana kok. Cuma ya, sekali-sekali ketemu klien."

"Kerja apa, Mbak?" Kali ini giliran Rahayu yang bertanya.

"Petugas asuransi. Kalian kalau butuh asuransi hubungi saya saja," ujarku berkelakar.

Rahayu ikut tertawa, sementara Yosua menatapku serius.

"Kamu aja nggak dateng pas kita nikah. Sahabat macam apa kamu, Ndah?"

Ada sebuah nada getir tersirat dalam suaranya. Hatiku mencelos. Air mataku nyaris jatuh kalau saja Indah tidak segera memperingatkan suaminya dengan gestur seminim mungkin. Aku tahu. Yosua masih menyimpan kekecewaan itu.

"Aku ... lagi di luar kota waktu itu. Mau nyusul tapi kehabisan kereta hahaha" Aku tertawa meskipun hatiku getir. Sama getirnya dengan pertanyaan Yosua tadi.

"Nggak apa-apa kok, Mbak Indah. Nggak usah diambil pusing. Kapan-kapan main ke rumah kita ya?"

Wow, sebuah tawaran yang tentu sangat mustahil untuk aku terima. Tapi aku mengangguk saja--plus senyuman terpaksa untuk yang ke sekian kali--demi menghormati kebaikan hati Rahayu.

Perbincangan kami terpaksa berhenti sampai di sini karena anak mereka mulai merengek minta jajan. Aku melepas kepergian mereka dengan hati lega, setengah berharap Yosua akan berpamitan denganku dengan lambaian tangan khasnya. Tapi laki-laki itu melengos pergi begitu saja. Seolah aku ini hanyalah kolega yang tak sengaja ditemuinya di jalan, kolega yang tak begitu akrab dan tak perlu mengenal secara personal. Malah Rahayu yang menjabat tanganku dengan ramah serta tak henti-hentinya memberikan senyumnya yang membuatku muak.

Aku sendiri lagi. Di depan toko kue ulang tahun yang kini sudah sepi pengunjung. Aku memasuki toko tersebut dan langsung memilih kue cokelat yang pertama kali ditangkap oleh penglihatanku. Meskipun tidak sama persis dengan yang aku beli untuk Yosua 5 tahun lalu, tapi setidaknya rasa dan warnanya sama-sama cokelat. Konon, cokelat dapat meningkatkan hormon endorfin yang mampu membuat kita bahagia. Sesuatu yang sangat aku butuhkan saat ini.

Setelah selesai membayar, aku keluar toko sekaligus keluar dari mall yang tiba-tiba terasa pengap. Mungkin rumah adalah tempat teraman agar aku tak perlu bertemu dengannya lagi. Dia yang menjadi alasanku selalu takut keluar rumah jika tidak sedang harus bertemu klien, takut jika berpapasan dengannya di jalan seperti hari ini.

Mungkin, lebih baik kalau aku pindah ke luar kota.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro