Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Cerita #4

Warung Steak, 19:30 WIB

Aku sampai di gereja tepat pukul 19:00. Beberapa jemaat tampak keluar dari gedung utama saat aku memarkirkan motorku di area parkir. Ibadah doa sepekan sepertinya baru saja usai. Tapi tujuanku datang ke sini bukan untuk mengikuti ibadah. Jadi, dengan santai aku melenggang masuk ke gedung utama, menuju ruang kontrol multimedia di lantai dua.

Akibat terjebak macet, tenagaku habis hanya untuk menahan emosi di jalan. Aku bahkan belum sempat beristirahat, karena langsung berangkat untuk gladi bersih sepulang kerja. Alhasil kini aku kepayahan menaiki tangga.

Tapi, rasa lelahku seketika sirna saat melihat dia ada di dalam ruang multimedia. Dia mengenakan kemeja batik dengan sebuah arloji melingkar di pergelangan tangan kirinya. Tipikal lelaki idamanku sekali. Aku suka melihat laki-laki yang memakai arloji sebagai aksesoris tangan. Kesannya jadi tambah keren dan maskulin.

Dia sedang mengedit slide powerpoint yang akan ditayangkan di ibadah besok malam. Ketika melihatku memasuki ruang multimedia, dia terkejut.

"Loh, kamu dari rumah, dek?" tanyanya.

Ada satu orang lagi di ruangan ini, yaitu Pak Doni. Dia terlihat sedang memindahkan file foto dari memori kamera ke komputer. Pak Doni juga menanyakan hal yang sama kepadaku, aku pun menjawab mereka dengan napas yang sedikit terengah, "Iya, Mas. Kena macet tadi."

Untung masih ada kursi kosong di dalam ruangan. Aku pun memakainya untuk duduk. Posisinya pas sekali, tepat di belakangnya. Darahku berdesir karena punggungnya hanya berjarak beberapa sentimeter dari tubuhku.

Rasa lelah itu kembali datang. Tapi kali ini, perasaan gembira lebih mendominasi diriku. Dia adalah seseorang yang diam-diam aku sukai sejak setahun lalu. Lebih tepatnya sejak aku memutuskan untuk ikut melayani di komisi multimedia. Entah karena kewajibannya sebagai ketua tim, atau memang sudah menjadi kepribadiannya, dia adalah sosok yang ramah dan baik hati. Dia menyambutku dengan tulus saat pertemuan pertama kami. Mungkin kau akan berpikir ini klise. Tapi, aku tak bisa untuk tak mengakui bahwa aku jatuh cinta pada pandangan pertama.

Karena aku tidak ingin menimbulkan intrik dan drama tak penting lainnya, terlebih lagi karena aku dan dia satu gereja, aku memilih untuk menyimpan sendiri perasaan ini. Pengalamaan masa lalu yang selalu ditolak setiap kali menyatakan perasaan duluan, menjadikanku lebih bijak untuk mengelola perasaan.

"Sebenarnya kamu nggak usah datang nggak apa-apa, loh. Kan masih ada Natasya," ujarnya sambil masih fokus mengedit slide. Perkataannya begitu tiba-tiba hingga mengejutkanku yang sedari tadi melamun--sambil memandangi punggungnya dari tempat dudukku. Omong-omong, Natasya itu yang akan tugas denganku besok malam.

"Nggak apa-apa kok, Mas. Hehehe," balasku kikuk.

Dia kembali kepada pekerjaannya mengedit slide. Anda saja dia tahu, kalau aku sangat senang bisa melihatnya sedekat ini.

"Tapi, ini aku nggak tahu loh, ya, bakal jadi gladi atau nggak. Soalnya aku nggak dapet konfirmasi lagi dari panitia," dia kini memutar badannya hingga berhadapan denganku. Jantungku nyaris berhenti berdetak saat ditatap dia seperti itu. Kalau betulan berhenti berdetak bahaya, rumah sakit terdekat kan jaraknya 5 kilometer dari gereja.

"Nggak apa-apa kok, Mas," jawabku. Melihatmu di sini udah bikin aku seneng kok, Mas, lanjutku dalam hati.

Dia melanjutkan kegiatannya kembali, sementara aku diam-diam tersenyum sambil memandangi punggungnya. Kalau pun gladi bersih untuk ibadah besok sore dibatalkan, setidaknya kedatanganku ke sini tidak sia-sia amat. Aku tidak akan begitu kecewa karena aku bisa bertemu dengannya.

Seolah menjawab keraguannya tadi, seorang cowok berusia sekitar 19 tahun datang ke ruang multimedia. Cowok yang aku ketahui bernama Ranu itu, selain melayani di komisi multimedia, juga aktif di kegiatan pemuda remaja gereja. Ranu mengajak si Mas Ketua Tim mengobrol sebentar di luar. Sayang, aku tidak bisa mendengar apa yang mereka obrolkan. Hanya saja firasatku tidak enak.

Setelah selesai, Ranu pergi. Dia lalu menghampiriku dengan raut wajah menyesal. "Bener, kan? Gladinya nggak jadi gara-gara kekurangan personil. Padahal kamu udah jauh-jauh datang ke sini."

"Kemarin juga nggak jadi gladi, Mas. Panitianya nih emang agak nggak jelas. Koordinasi sama multimedia juga kurang banget. Padahal bisa apa mereka tanpa kita?" sahut Pak Doni, meskipun mengomel seperti itu pun nada bicaranya santai seolah tanpa beban. Bagaimana pun aku memaklumi pernyataannya yang terkesan sombong itu. Setiap ibadah di gereja ini sangat mengandalkan liturgi yang ditampilkan melalui LCD. Komisi multimedia lah yang bertugas mengontrol penayangan liturgi di semua ibadah, termasuk ibadah doa sepekan yang rutin diadakan menjelang perayaan Paskah.

Dia justru yang terlihat paling panik di antara kami bertiga yang ada di ruangan ini. Sementara aku, tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Kecewa, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Marah pun percuma. Seluruh benakku masih mensyukuri keberuntunganku bertemu dengannya malam ini. Aku bahkan tidak rela jika harus pulang sekarang.

Akhirnya dia kembali mengerjakan kegiatannya yang sempat terhenti tadi gara-gara interupsi dari Ranu. Tak lama berselang, dia menoleh ke tempat Pak Doni duduk. Dengan nada gelisah dia bertanya, "Pak, setelah ini ada acara nggak?"

"Wah, ada itu, Mas. Saya harus antar istri saya ke dokter, nih. Kenapa? Mau makan?"

Dia bergumam tidak jelas. Tapi dari gerak-geriknya, aku bisa menyimpulkan bahwa dia memang ingin mengajak Pak Doni makan. Oh baiklah, sepertinya aku juga harus pulang sekarang.

"Kita makan dulu aja, ya? Kasihan kamu udah jauh-jauh ke sini, malah nggak jadi gladi."

Aku sedikit linglung. Sebentar. Aku tidak salah dengar, kan? Barusan dia mengajakku bicara, kan?

"Eh?! Nggak usah, nggak apa-apa, Mas," tolakku, setengah sadar. Aduh bagaimana ini? Aku malah jadi salah tingkah sendiri.

"Yakin? Kamu pasti belum makan malam juga, kan?" Dia masih kukuh mengajakku makan.

"Iya, nggak apa-apa, dek. Rumahmu jauh. Makan dulu aja. Tapi sorry ini aku nggak bisa ikut kalian." Pak Doni ikut menjadi provokator.

"Nggak apa-apa, Pak," sahutku. Aku masih mematung di tempat duduk. Ini adalah kesempatan berharga yang tidak boleh aku lewatkan begitu saja. Maka tanpa aku sadari, aku mengiyakan tawarannya dengan hati yang berdebar kencang.

***

Aku terlalu bahagia sekaligus bingung, hingga aku menurut saja saat dia membawaku ke sebuah warung steak. Pilihan yang sepertinya paling cocok untuk kami berdua, yang tidak mengetahui selera masing-masing. Lagipula siapa sih anak muda jaman sekarang yang tidak suka makan steak?

Oh ya, kami menuju warung steak menggunakan motor masing-masing. Sebenarnya dia telah menawarkan untuk memberiku tumpangan--yang sangat ingin aku terima. Tapi terpaksa aku tolak, karena aku tidak mau kembali lagi ke gereja nanti saat pulang hanya untuk mengambil motor.

Ini adalah pertama kalinya dalam hidupku, aku makan berdua dengan cowok. Yang menjadikannya lebih spesial, cowok itu adalah orang yang aku sukai. Jadi bisa dibilang, ini adalah pertama kalinya aku makan dengan orang yang aku sukai.

Selama memesan dan menunggu pesanan datang, aku berusaha keras untuk bersikap biasa saja. Padahal gemuruh di dalam dadaku luar biasa ramainya. Rasanya aku ingin teriak untuk meluapkan kegembiraan ini.

Kami sedang membahas pekerjaan masing-masing saat pesanan kami datang.

"Oh ya, kamu jadi resign dari kantormu sekarang?" tanyanya sembari sesekali meniup steak yang kuahnya masih tampak sangat panas. Aku kembali menahan senyum. Bukan pertanyaannya yang membuatku ingin tersenyum, tapi tingkah lucunya saat akan memakan steak. Ini adalah pertama kalinya aku melihat seseorang yang meniup kuah steak.

"Yeah, masih aku pertimbangin juga sih, Mas. Soalnya susah cari pekerjaan lain."

Dia mengangguk-anggukkan kepalanya seolah sangat memahami apa yang aku rasakan.

"Iya, bener. Sebenarnya aku juga mau resign. Gimana kalau kamu nggantiin posisiku? Bulan depan aku udah nggak kerja."

Bola mataku membulat. Menggantikan posisinya? Tapi setahuku dia kerja sebagai desainer grafis, yang mana merupakan bidang yang sangat tidak aku kuasai.

"Kalau nggak, ya entar aku cariin lowongan di posisi lain. Kantorku juga lagi mau nyari karyawan baru, eh bentar ya ada telepon."

Aku mempersilakannya mengangkat telepon, sementara aku kembali memikirkan keputusanku untuk resign. Namun, perhatianku teralihkan oleh pembicaraannya dengan seseorang di ujung telepon.

"Kamu nyusul aja gimana? ... Udah makan belum? ... Ya udah, bentar lagi aku selesai, kok .... Ya."

Aku tidak berani mengangkat kepalaku saat dia mengucapkan serangkaian kalimat itu. Caranya berbicara sangat berbeda dengan saat dia mengajakku bicara tadi. Tanpa bertanya pun aku tahu, yang meneleponnya barusan adalah pacarnya.

"Oh ya, sampai mana ya tadi? Hehehe"

Kini dia kembali mengajakku bicara. Aku terpaksa kembali memandang wajahnya, dengan senyuman yang terpaksa aku kembangkan.

***

Dia membayar makanan kami. Setelah mengucapkan terima kasih, aku segera menuju ke tempat motorku diparkir. Aku ingin segera pergi dari sini. Tapi, dia justru menahan langkahku.

"Sorry banget ya, hari ini gladinya nggak jadi."

"Iya, nggak apa-apa, Mas."

"Oh ya, bulan Juni nanti kan aku mau nikah. Kalau kamu tugas jadi operator LCD pas pemberkatan nikahku, bisa?"

APA?!

Bagaikan tersambar petir, tubuhku menegang, terlalu terkejut dengan informasi yang baru saja dia sampaikan. Padahal inti kalimatnya adalah meminta kesediaanku bertugas, tapi hanya satu informasi yang aku tangkap, yang membuat seluruh syaraf di tubuhku lemah. Dia akan menikah tiga bulan lagi. Dan aku bahkan belum sempat--dan sepertinya tidak akan pernah bisa--menyatakan perasaanku.

"Hmm... aku usahakan ya, Mas. Aku kabari lagi nanti pas mendekati hari H, oh ya pemberkatannya tanggal berapa?"

"23 Juni."

Sial. Sehari sebelum ulang tahunku! Mana mungkin aku bisa menghadiri pernikahan orang yang aku sukai, di saat seharusnya aku merayakan pertambahan usiaku dengan bahagia?

"Oke. Semoga lancar sampai hari H, ya! Makasih juga traktirannya."

Dia mengembalikan ucapan terima kasihku, lalu berlalu pergi dengan sepeda motor bututnya. Tepat saat dia telah menghilang di simpang empat, air mataku jatuh.

Tidak aku sangka, ini adalah pertama sekaligus terakhir kalinya aku makan berdua dengannya. 



Author's note

Tak terasa sudah hampir dua tahun. 

Tak ku sangka bahwa hal itu telah berlalu tapi sayangnya hatiku masih terasa sesak setiap kali melihatmu, apalagi jika kau bersama wanita itu.

Dan jujur saja, setiap kali acara Doa Sepekan akan dimulai aku selalu teringat akan hari itu.

Suatu malam di bulan Maret, 

hujan yang kadang masih malu untuk turun,

udara malam yang dingin,

dan meja nomor 5 yang menjadi saksi bisu hatiku yang hancur berkeping-keping saat tahu dia tak lagi punya hak untuk menyukaimu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro